Rabu, 26 Juni 2013

TAKUT ITU WAJAR

Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu.

Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.


kisah-kisah inspirasi terbaik
Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.

”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”

Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan. Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.

Mahasuci Allah dengan segala tanda-tanda-Nya. Perkataan Rasulullah benar terbukti, sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Zaid bin Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:

Duhai dekatnya surga

Harum dan dingin minumannya

Orang Romawi telah dekat dengan azabnya

Mereka kafir dan jauh nasabnya

Jika bertemu, aku harus membunuhnya

Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan menemui syahidnya.

Ibnu Umar ra bersaksi, ”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian belakang.” Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan membuatnya terbang kemanapun dia suka.

Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa sendiri keberanian di dalam hatinya:

Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!

Kamu harus turun atau kamu akan dipaksa

Bila manusia bersemangat dan bersuara

Mengapa aku melihatmu enggan terhadap surga

Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:

Wahai jiwaku

Jika tidak terbunuh kamu juga pasti mati

Ini adalah takdir kan telah kau hadapi

Jika kamu bernasib seperti mereka berdua

Berarti kamu mendapat hidayah

Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan, risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu menghindar. Semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!

Takut, risau dan galau, sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan, kita seringkali merasakannya. Meski begitu, bukan pula alasan kita menghindar dari sesuatu yang harus kita taklukkan karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang. Kemudian kita mencari-cari alasan dengan menyebutnya dengan dalih strategi dan langkah pintar. Menunduk untuk menanduk, atau yang lainnya.

Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang Muslim adalah menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.

Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran, harus dilakukan, betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri. Meniru ulang apa yang dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat Allah yang Maha Tinggi?!” Wallahu a’lam bi shawab.

kisah dan foto diambil dari situs http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/takut-itu-wajar.html

Selasa, 25 Juni 2013

PRINSIP-PRINSIP SIYASAH DALAM HIDUP BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA

I.    PENDAHULUAN
Dalam sejarah telah tertulis bahwa semenjak Rasulullah meninggal perselisihan terkait dengan kekuasaan politik atau yang disebut dengan persoalan al-Imamat. Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah, namun waktu itu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali kedalam lingkungan umat Islam.
Kenyataannya sejarah umat Islam dan perkembangan pemikiran mereka ternyata menghasilkan konsepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan pendekatan yang dipergunakan.
Penelitian terhadap kitab-kitab Tafsir Al-Quran menunjukkan adanya kecenderungan perkembangan pemikiran politik diantara paramusafir. Penggalian konsepsi diatas tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Islam di Indonesia.
Sistem perpolitikan Islam tidak sama antara satu Negara dengan Negara yang lain. Ada bentuk Negara yang menyatukan antara agama dan Negara, ada yang berdampingan adapula yang memisahkan antara keduanya.
 Oleh karena itu, kelompok kami akan memberikan penjelasan bagi kawan-kawan terkait prinsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an?
B.    Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits?
C.    Bagaimana istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh?
III.    PEMBAHASAN
A.    Dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an
Fiqh lebih popular di definisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris Islam. Menurut abu al-Wafa Ibnu Aqil siyasah adalah suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, kendatipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya.
Setiap disiplin ilmu mempunyai sumber-sumber dalam pengkajiannya. Dari sumber-sumber ini disiplin ilmu tersebut dapat berkembang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Demikian juga dengan fiqh siyasah. Sebagai salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqh, fiqh siyasah mempunyai sumber-sumber yang dapat dirujuk dan dijadikan pegangan.  Al-Qur’an menjadi sumber rujukan utama dalam menentukan hukum dalam fiqh siyasah. Dasar–dasar fiqh siyasah dalam al-Qur’an adalah:
1.    Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an (Q.S. al-Mukminun: 52)

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.
   
2.    Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah. Al-qu’an mengisyaratkan bahwa umat Islam terkait keharusan menyelesaikan persoalan. (Q.S. asy-Syuro: 38)

Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka

3.    Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, sebagaimana tertuang dalam Q.S. an-Nisa: 58

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

4.    Kemestian  menaati Allah dan Rasulullah, dan ulil amri (pemegang kekuasaan). (Q.S. an-Nisa:59)

 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.

5.    Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S. al-Hujurat:9)

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!

6.    Kemestian mempertahankan kedaulatan negara, dan larangan melakukan agresi dan infasi (Q.S. al-Baqarah: 190)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu

7.    Kemestian mementigkan perdamaian dari pada permusuhan (Q.S al-Anfal: 61)

 Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.

8.    Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S. al-Anfal: 60)

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.

9.    Keharusan menepati janji (Q.S. an-Nahl:91)

 Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)

10.    Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat: 13)

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

11.    Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr: 7)

Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.

B.    Dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits
1.    Keharusan mengangkat pemimpin
عن ابى هر يرة قال النبى صلى الله عليه وسلم : اذا خرج ثلا ثة فى السفر فا ليؤ مرو ا احمدهم (رواه ابو داود)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin diantara mereka.”

2.    Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
عن عبد الله بن عمرو ان النبى صلى الله عليه وسلم قا ل : كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته ولا ما م على الناس راع وهو مسؤل عن رعيته والر جا ل راع على اهل بية وهو مسؤل عنهم (متفق عليه)
“Dari Ibnu Umar r.a., bersabda Nabi SAW, setiap kamu itu adalah pamimpin dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggung jawab atas rumah tangganya”

3.    Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
عن عوف بن ما لك عن النبى صلى ا لله عليه وسلم قا ل : خيا ر ائمتكم الذين تحبو نهم ويحبو نكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرائر ائمتكم الذين تبغضو نهم ويبغونكم تلعنو نهم ويلعنو نكم (رواه مسلم)
“Dari Auf bin Malik, telah bersabda Rasulullah SAW, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.”
4.    Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai; tidak  hanya berfungsi sebagai alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : انما الا ما م جنة يقاتل من ورائه ويتقى به فا ذا امر بالتقو ى الله عز وجل وعد  كان له بذ لك اجر وان يامر بغيره كان عليه منه (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya pemimpin itu ibarat perisai yang dibaliknya digunakan berperang dan berlindung. Apabila pemimpin memerintah berdasarkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil, maka baginya ada pahala, apabila memerintah dengan dasar selain itu, maka dosanya akan dibalas.”

5.    Kemestian pemimpin untuk berlaku adil dan dengan itu kemuliaannya tidak hanya dihormati manusia dalam kehidupan dunia, tetapi juga dihormati Allah dalam kehidupan akhirat
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : سبعة يظلهم ا لله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل (متفق عليه)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, ada tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT, dibawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama adalah imam yang adil…”
C.    Istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh
Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’. Kesepakatan-kesepakatan tersebut terangkum dalam pernyataan ibn al-Qayyim:
لاسياسةالاماوافقالشرع
Artinya: “Tidak ada siyasah kecuali yang sesuai dengan syara.”
Akan tetapi, kesepakatan terakhir bukan tanpa masalah. Masalahnya paling tidak, apakah kemestian penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan syara’, berarti harus sesuai dengan mantuq-nya syara’, atau berarti kewajiban penyelenggaraan semangat siyasah syar’iyyah atau berarti ke-mafhum-an syara’.
Dalam mengatasi masalah tersebut, jawaban yang paling layak tentu tidak mempertentangkan kedua alternatif kedua jawaban, tetapi menggabungkan kedua alternatif yang tersedia. Dengan demikian, jawabannya adalah menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah dengan dalil-dalil yang tersurat dalam syara’ secara manthuq suatu keharusan. Akan tetapi, jika keharusan tersebut tidak terpenuhi, bukan berarti tidak ada kemestian untuk menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan dalil-dalil yang tersirat dalam syara’ secara mafhum.
Bertolak dari pemahaman bahwa “dunia merupakan ladang bagi akhirat”, Al-Ghazali menyatakan bahwa, “agama tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama bersaudara kembar. Agama merupakan asal tujuan, sedangkan sulthan merupakan penjaga. Yang tidak berasal atau beragama akan hancur, dan tidak berpenjaga atau bersulthan akan hilang”. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menempatkan ilmu siyasah khalq sebagai alat. Sebagaimana dikatakannya, “tidak sempurna agama, kecuali dengan kehadiran siyasah khalq”.
Lebih lanjut, Al-Ghazali berpendapat bahwa seorang ahli hukum Islam (faqih) seharusnya berpengetahuan tentang siyasah, sebab menurutnya, ia tidak hanya berperan sebagai sulthan, tetapi juga pembimbing ke arah siyasah khalq. Pada gilirannya, Al-Ghazali pun berpendapat ilmu fiqh berarti pengetahuan tentang cara-cara perekayasaan dan pengendalian. Oleh karena itu, bagi Al-Ghazali, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. 
 “Arti pengetahuan siyasah dalam kehidupan umat Islam, yang tidak memisahkan agama dan negara. Terlihat dari adanya sejumlah ilmuan Muslim yang tertarik untuk membuat karangan khusus mengenai siyasah. Sebagian pengarang dan karangan yang tercatat hasanah kepustakaan fiqh siyasah.”
Menurut beberapa pendapat ulama dalam berbagai kitab yang dikarangnya tentang arti penting fiqh siyasah, adalah
1.    Ali Ibn Ismail al Tamar pengarang kitab Al Imamah dan Al Istihqaq
2.    Hisyam Bin Al Hakam, pengarang kitab Imamah dan Imamah al Imamah al Mahfudz
3.    Yaman Ibn Rahab, pengarang kitab Itsbat al Imamah Abu Bakar
4.    Abu Yusuf, pengarang Al-Kharaj
5.    Al Mawardi, pengarang kitab Al Ahkam Al Sulthaniyyah wa al Wilayah Al Diniyyah.
    Perhatian ulama terhadap persoalan fiqh siyasah tidak pernah terhenti. Pada paruh pertama dan kedua abad ke 20, dikenal beberapa penulis siyasah syariyyah, antara lain: Jamaluddin Al Afgani, Rasyid Ridho, Yusuf Musa, Abdul Karim Zaidan, Abu Al A’la Al Maududi, dll. Di Indonesia, dikenal pula nama-nama, seperti: T. M. Khasby Asshidiqi, H. M. Rosidi, Muhammad Nasir, Z. A. Ahmad, Munawir Sazali, dll.
Sekalipun jumhur ulama menerima kemestian pelaksanaan siyasah syariyyah, namun bukan berarti tidak ada ulama yang menolak keharusan tersebut. Sejak dahulu sampai sekarang, terdapat ulama yang tidak mau berbicara tentang siyasah, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu pembicaraan diluar bidang agama. Abu Bakar Al-Asham, dari golongan mu’tazilah dan sebagian golongan khawarij merupakan ulama-ulama yang berpandangan seperti itu. pada masa kini, pandangan demikian terwakili oleh Ali Abd Al Raziq pengarang kitab Al Islam Wa Ushul Al Hukm.
Menurut Ibn Khaldun, penyebab Abu Bakar Al Asham dan pengikutnya cenderung menghindari persoalan siyasah adalah sebagai upaya mereka untuk menghindarkan diri dari gaya hidup raja yang terlena oleh kemewahan duniawi, dan dalam pandangan mereka, hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut Abd al-Raziq ada tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara agama dan negara. Pertama, Paradigma sekularistik, Paradigma ini memberikan garis disparitas antara agama dan negara. Kedua, Paradigma integralistik, dalam perspektif ini, relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga, Paradigma simbiotik, Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbal-balik. Artinya, agama tidak harus diformalkan dalam institusi negara. 

IV.    SIMPULAN
1.    Dasar-dasar siyasah dalam al-Qur’an diantaranya:
A.    Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
B.    Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah
C.    Kemestian menunaiakn amanat dan menetapkan hukum secara adil
D.    Kemestian menaatia Allah dan Rasulullah dan Ulil amri
E.    Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam
F.    Kemetian memepertahankan kedaulatan Negara, dan laranagn melakukan agresi dan infasi
G.    Kemestian mementingkan perdamaain dari pada permusuhan
H.    Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan
I.    Keharusan menepati janji
J.    Keharusan mengutamakan perdamamian bangsa-bangsa
K.    Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat
2.    Dasar-dasar as-Sunnah
A.    Keharusan mengangkat pemimpin
B.    Kekemstian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
C.    Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
D.    Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai
E.    Kemestian premimpin untuk berlaku adil
3.    Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’.





















DAFTAR PUSTAKA
Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Jakarta .Kencana.
Iqbal, Muhammad. 2007. Fiqh Siyasah: Kontestualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta. Jaya Medi Pratama
Salim, Abdul Muin. 1994. Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Syarif, Mujar Ibnu. 2008. Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta. Erlangga
http://politik.kompasiana.com/2013/03/24/agama-dan-negara-tiga-aliran-besar-tentang-hubungan-islam-dan-politik-539750.html#  pada Senin, 27 Mei 2013 07.46

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

PERKEMBANGAN SIYASAH MASA KERAJAAN SAFAWI

I.    PENDAHULUAN
Membahas sejarah sebuah bangsa tidak akan dapat lepas dari bahasan tentang perkembangan politiknya. Karena dengan pengakuan politik sebuah bangsa atau peradapan dapat diakui keberadaanya. Perkembangan politik suatu bangsa juga menjadi faktor penentu kemajuan peradaban bangsa itu sendiri.
Dalam kebudayaan Islam, masyhur kita dengar tentang Dinasti Umayah, Abasiyah serta Fatimiyah. Selain kerajaan-kerajaan tersebut masih adalagi kerajaan Turki Usmani, Mongol dan Safawi. Tiga kerajaan yang berkembang pada abad pertengahan dan sangat mempunyai pengaruh pada peradaban Islam. Masing-masing dinasti pada masa tersebut mempunyai sejarah yang panjang dalam mencapai kejayaan. Dan dalam makalah ini akan dibahas tentang kerajaan Safawi yang berkuasa di Persia.
II.    PEMBAHASAN
A.    Sejarah Dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Safawi
Kerajaan Safawi berdiri ketika kerajaan Usmani mencapai puncak kejayaan. Secara tegas kerajaan ini menyatakan syiah sebagai mazhab Negara. Oleh karena itu kerajaan ini dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya Negara Iran dewasa ini. Sistem pergantian pemimpin pada kerajaan ini adalah turun temurun.
Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberinama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Turki Usmani. Nama safawiyah diambil dari nama pendirinya Safiudin (1252-1334 M) dan nama Safawi terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama ini terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan .
Safiuddin berasal dari keturunan orang yang mengambil sufi sebagai jalan hidup. Ia keturunan dari imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Safiuddin mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru yang sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. ia diambil menantu oleh sang guru karena ketekunannya dalam kehidupan tasawuf. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajarannya. Semula tarekat ini hanya bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan dan memerangi golongan ahli bid’ah. Pengaruh tarekat ini sangat luas bahkan dapat menyebar sampai seluruh wilayah Persia, Syiria dan Anatolia. Untuk mengatur pengikut tarekat safawi dilluar Ardabil, Safiuddin mengangkat muridnya menjadi wakil yang disebut dengan khalifah.
Ajaran Syiah tarekat Safawi dipegang secara fanatic oleh murid-murid Safiuddin hingga menimbulkan dorongan kuat bagi tarekat ini untuk berkuasa. Karena itu murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara-tentara yang teratur, fanatik dan, menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah.
Ketika tarekat ini berada dibawah pimpinan Junaid (1447-1460), ia mulai mengerahkan kegiatannya tidak hanya pada keagamaan saja akan tetapi mengarah kepada gerakan politik. Junaid mulai memperluas wilayahnya. Perluasan wilayah yang dilakukan Junaid ini mendapat tantangan dari penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik ini Junaid kalah dan berusaha untuk mencari suaka politik pada dinasti Ak Koyunlu yang juga menguasai sebagian wilayah Persia. Selama dalam pengasingan Junaid tinggal di istana Uzun Hasan raja Ak Koyunlu. Hubungan kedua kedua penguasa ini semakin akrab sejak junaid berhasil menikahi adik Uzun Hasan.
Pada tahun 1459 Junaid berusaha merebut kembali Ardabil akan tetapi gagal. Demikian juga usahanya untuk merebut Sircassia pada tahun 1460 juga mengalami kegagalan. Bahkan pada usahanya yang kedua ini Junaid berhasil di bunun oleh tentara Kara Koyunlu melalui Sirwan. Pada saat itu anak Junaid Haidar masih kecil dan dalam pengasuha Uzun Hasan. Baru pada tahun 1470 secara resmi Haidar memimpin gerakan Safawiyah. Dalam perkembangan selanjutnya Haidar mengawini anak Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari berhasil membawa dinasti Safawi pada puncak kejayaan.
Selama dalam pemimpinan Haidar ia memeberikan identitas pada tentara-tentaranya berupa surban berwarna merah dan berubai dua belas yang disebut qizilbash. Bersama tentaranya ini Haidar berhasil mengalahkan Kara Koyunlu (1476). Kemenengan yang berhasil diraih oleh Haidar ini justru menimbulkan situasi politik yang berbeda. Gerakan militer yang berada dibawah pimpinan Haidar ini dianggap sebagai rival politik oleh Ak Koyunlu. Pada saat Haidar dan tentaranya berusaha merebut Sircassia dan pasukan Marwan, Ak Koyunlu justru memberikan bantuan kepada Marwan sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh.
Setelah Haidar terbunuh kepemimpinan geraka Safawi berada dibawah anaknya Ali. Akan tetapi sebelum Ali dapat bergerak ia bersama dengan ibu dan saudaranya dipenjarakan di fars hingga dibebaskan oleh Rustam. Tahun 1494 Ali dibunuh oleh Rustam yang dulu pernah membebaskannya karena kekuatiran Rustam terhadap gerakan Safawi.
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada dibawah Ismail. Bersama Ismail, gerakan Safawi berhasil mengalahkan Ak Koyunlu di Sharur dan berhasil menduduki kota Tabriz. Dikota ini Ismail memproklamirkan diri sebagai raja pertama dinasti Safawi. Selama 23 tahun berkuasa (1501-1524) ia berhasil memperluas wilayahnya sampai keseluruh wilayah Persia dan sebagian wilayah Bulan Sabit Subur. Bahkan ia juga berusaha untuk mengembangkan sayapnya dengan berusaha menguasai Turki Usmani akan tetapi usahanya gagal. Kekalahan ini meruntuhkan kebanggaan Ismail I. sehingga diapun berubah menjadi orang yang suka hura-hura. Sepeninggalan Ismail I kerajaan safawi dalam keadaan lemah hingga raja yang keempat. Pertempuran dengan Turki Usmani sering terjadi pada decade tiga raja setelah ismail I yaitu tahmasp I, Ismail II dan, Muhammad Khudabanda.
Kondisi memprihatinkan dinasti safawi baru berakhir setelah raja kelima, Abbas I (1628 M) naik tahta. Untuk memulihkan kerajaan safawi Abbas I menempuh langkah damai yaitu pertama berusaha menghilangkan dominasi pasukan qizilbash dan menggantinya dengan pasukan baru. Berdamai dengan Turki Usmani meskipun harus merelakan sebagian wilayahnya. Dan berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam.
Usaha yang dilakukan Abbas ini membawa hasil. Perlahan pasukannya mulai kuat. Pada tahun 1598 M ia bersama merebut wilayah kekuasaanya kembali dengan menduduki Heart. Dari sini ia melanjutkan dengan menguasai Marw dan Balkh. Kemudian, pada tahun 1602 M pasukan Abbas menyerang Turki Usmani yang pada saat itu dibawah piminan sultan Muhammad III Fan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan, Baghdad. Dan tahun 1605-1606 M kota Nakhchivan, Erivan, Ganja dan Tiflis dapat ia kuasai. Selanjutnya tahun 1622 ia juga berhasil menduduki Hurmuz dan pelabuhan Gumrun serta mengubah Gumrun menjadi Bandar Abbas .
B.    Daftar Nama-nama Raja yang Menguasai Kerajaan Safawi

No               Nama Raja                          Masa Berkuasa
1    Safiuddin                            1252-1334
2    Sadar Addin Musa                            1334-1399
3    Khawaja Ali                            1399-1427
4    Ibrahim                            1427-1447
5    Junaed                            1447-1460
6    Ismail I                            1501-1524
7    Tahmasp I                            1524-1576
8    Muhammad Khudabanda                            1577-1787
9    Abbas I                            1588-1628
10    Safi Mirza                            1628-1242
11    Abbas II                            1642-1667
12    Sulaiman                            1667-1694
13    Husein                            1694-1722
14    Tahmasp II                            1722-1732
15    Abbas III                            1732-1736

C.    Dinamika Sosial dan Politik Kerajaan Safawi
1.    Kondisi Sosial dan Politik
Sistem pergantian pemimpin yang turun temurun. Sistem ini semakin menguatkan keberadaan kerajaan safawi apalagi didukung oleh figure pemimpin yang kuat. Abbas I adalah seorang pemimpin yang cakap dan dapat disejajarkan dengan dua raja besar yang semasa dengannya yaitu raja sulaiman dari turki usmani dan sultan akbar dari mughal india. Ia juga seorang pecinta pengetahuan, politikus ulung, dan mamiliki toleransi beragama yang tinggi.
Letak kerajaan Persia sangat stategis karena perada di jalur pertemuan timur dan barat. Setelah pelabuhan gumrun diubah menjadi Bandar Abbas, kemajuan kerajaan Persia semakin pesat karena kerajaan ini menguasai jalur perdagangan internasional. Dengan posisinya ini Persia menjadi Negara yang kaya raya. Dan dengan kekayaannya ini tentu saja memberikan sumbangsih besar pada kemajuan kerajaan Safawi.
Pada masanya, sering terjadi konflik pada luar kerajaan seperti konflik dengan kerajaan Turky Utsmani untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik dalam rakyat-rakyatnya mengenai mazdhab yang dianut. Bahkan konflik dalam kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan.
2.    Perundangan, Hukum, Administrasi Negara dan Peradilan
Dalam prakteknya, kerajaan Syafawi menggunakan pandangan Syi’ah sebagai acuan Negaranya. Selain hal tersebut di atas,pada abad 17 beberapa kalangan Ulama Syiah tidak lagi mau mengakui bahwa Safawiyah telah mewakili pemerintahan sang imam tersembunyi. pertama, Ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara turun temurun tersebut sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran islam Syi’ah. Kedua, selaras dengan keyakinan Syiah, bahkan semenjak masa keghaiban besar tahun 941 sang imam tersembunyi tidak lagi terwakili di muka bumi oleh Ulama.Selanjutnya Ulama menegaskan bahwasannya Mujtahid menduduki otoritas keagamaan yang tertinggi.
Kehancuran rezim ini juga di sebabkan sejumlah perubahan yang luar biasa dalam hal hubungan negara dan agama. Safawiyah semula merupakan sebuah gerakan, tetapi setelah berkuasa rezim ini justru menekan bentuk bentuk millenarian islam sufi seraya cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara. Safawiyah menjadikan Syiisme sebagai agama resmi Iran, dan mengeliminir pengikut sufi mereka sebagai mana yang dilakukanya terhadap ulama sunni .
3.    Hubungan Internasional
Hubungan internasional yang terjalin antara kerajaan safawi dengan Negara luar terutama Negara-negara yang menggunakan Persia sebagai jalur perdagangannya. Hubungan ini tentu saja memberikan dampak positif terhadap perkembangan kerajaan Safawi terutama stabilitas dan keamanan Negara .

D.    Kemajuan Dan Kemunduran Kerajaan Safawi
Dalam setiap kejadian pasti mempunyai suatu sebab, maka kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh kerajaan Safawi juga mempunyai sebab. Adakalanya sebab itu berasal dari dalam diri kita sendiri, ada juga yang berasal dari luar.
1.    Kemajuan
Masa kekuasaan Abbas merupakan puncak kejayaan kerajaan safawi. Berbagai kemajuan telah dicapai pada masa raja ini. Dalam bidang pengetahuan, kerajaan safawi adalah kerajaan yang telah berperadapan tinggi dan berjasa mengebangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan yang lahir dari tanah Persia ini diantaranya Sadar Addin Al-Syarazi seorang filosof serta Muhammad baqir ibnu Muhammad Damad seorang filosof, ahli sejarah, teolog dan orang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah.
Dari sektor perekonimian, pada masa Abbas I kerajaan safawi juga mengalami perkembangan seiring dengan stabilitas politik yang telah dicapai. Apalagi setelah menguasai kota Hurmuz dan pelabuhan gumrun dirubah menjadi Bandar Abbas, sektor perdagangan kerajaan safawi semakin menguat. Selain sektor perdagangan pertanian kerajaan safawi juga mengalami kemajuan terutama di daerah bulan sabit subur.
Dalam bidang pembangunan kerajaan ini berhasil menciptakan ibu kota yang indah. Di kota tersebut dibangun bangunan-bangunan yang besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, dan jembatan raksasa di atas Zande Rud dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman yang cantik. Ketika abbas meninggal di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Dibidang seni kemajuan nampak pada gaya arsitektur bangunannya seperti tampak pada masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M. Sedangkan seni lukis mulai dirintis sejak masa Tahmasp I .
2.    Kemunduran
a.    Faktor Internal
1)    Adanya figur pemimpin yang kurang cakap. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyebab kerajaan safawi berkembang pesat adalah kecakapan figure raja Abbas I. dan setelah peninggalannya tidak ada lagi pemimpin yang menyamai kecakapannya sehingga ketika terjadi pergolakan politik di kerajaan Safawi para pemimpin tersebut tidak dapat mengatasinya dengan baik.
2)    Melemahnya kekuatan militer. Pasukan ghulam yang pernah dibentuk abbas I sepeninggalannya tidak lagi sekuat ghulam generasi pertama. Hal ini menyebabkan kelemahan kerajaa Safawi pada sector pertahanan keamanan.
3)    Krisis moral penguasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa raja-raja pada kerajaan Islam banyak menmpunyai wanita piaraan atau harem. Agaknya hal ini juga terjadi pada kerajaan safawi. Raja-raja pengganti Abbas I juga banyak mempunyai wanita piaraan. Hal ini kentara sekali pada masa pemerinyahan Sulaiman. Bahkan dalam literature sejarah disebutka bahwa selama tujuh tahun raja Sulaiman tidak pernah melibatkan dirinya dalam mengurusi pemerintahan.

b.    Faktor Eksternal
1)    Konflik politik dengan kerajaan Turki Usmani. Permusuhan antara safawi dengan turki usmani yang pernah teredam sejak masa pemerintahan Ismail I ternyata tidak benar-benar redam. Perselisihan antara syiah dan sunni ini terus mencuat apalagi dengan melemahnya pemimpin pengganti Abbbas I .
2)    konflik agama. Pada masa pemerintahan Husain dia memerintah dengan lemah lembut. Akan tetapi kelembutannya ini digunakan oleh kaum syiah untuk memaksakan fahamnya kepada rakyat yang belum bermazhab syiah. Hal ini memotivasi rakyat Kandahar yang mayoritas bermazhab suni untuk mengkonsolidasikan kekuatannya dibawah komando Mir Mahmud Khan. Dan pada tahun 1722 M raja Husain berhasil digulingkan.
Untuk menanggulangi Mir Mahmud Khan raja Tahsamp, pengganti raja Husain beraliansi dengan Nadir Khan dari suku Afshar. Dan kemenangan ada di pihak Tahsamp II. Karena lemahnya raja ini Nadir Khan akhirnya memaksa Tahsamp II untuk turun tahta dan digantikan Abbas III yang masih sangat kecil. Empat tahun berikutnya Nadir Khan naik tahta menggantikan Abbas III. Denagn naiknya Nadir Khan menjadi raja maka berakhirlah masa kejayaan kerajaan Safawi .
Kerajaan Safawi mengalami kemajuan pesat pada masa kepemimpinan Abbas I. tetapi setelah raja ini wafat, kegemilangan kerajaan safawi juga ikut terkubur. Raja-raja yang menggantikannya tidak memiliki kecakapan yang sama dengan dia sehingga perlahan lahan kerajaan ini mengalami kemunduran hingga akhirnya benar-benar musnah.
E.    Analisis
1.    Daftar Nama-nama Raja dan Kemajuan Yang Dicapai

No    Nama Raja    Masa Berkuasa    Kemajuan Yang Telah Dicapai
1    Safiuddin    1252-1334    pendiri tarekat safawiyah
2    Sadar Addin Musa    1334-1399   
3    Khawaja Ali    1399-1427   
4    Ibrahim    1427-1447   
5    Junaed    1447-1460    •    membentuk pemerintahan sendiri
•    membawa tarekat safawi ke politik
6    Ismail I    1501-1524    •    memproklamirkan kerajaan safawi
•    menaklukkan ak koyunlu
•    menduduki Tabriz
•    memajukan bidang seni
7    Tahmasp I    1524-1576    •    mematahkan serangan turki usmani
•    pelukis berbakat
8    Muhammad Khudabanda    1577-1787   
9    Abbas I    1588-1628    •    membentuk tentara ghulam
•    menaklukan heart, marw, balkh, kepulauan hurmuz,
•    menjalin hubungan dengan turki
•    membuka jalur pedagangan melalui Bandar abbas
•    menjadikan Persia berperadaban tinggi
10    Safi Mirza    1628-1242   
11    Abbas II    1642-1667   
12    Sulaiman    1667-1694   
13    Husein    1694-1722   
14    Tahmasp II    1722-1732   
15    Abbas III    1732-1736   
Keterangan:
Raja-raja penguasa yang memimpin kerajaan Safawi setelah Abbas I adalah penguasa-penguasa yang lemah dalam kepemimpinannya. Mereka cenderung suka berfoya-foya dan hanya memikirkan diri sendiri, tidak memperdulikan umatnya. Maka, pemimpin-pemimpin inilah yang nantinya menjadikan runtuhnya kerajaan Safawi.

2.    Kritik akan Kemejuan dan Kemunduran Kerajaan Safawi
Kerajaan Persia dapat mencapai kejayaan karena memiliki figure pemimpin yang cakap. Abbas I dengan langkah-langkah diplomatis yang dia tempuh justru mengantarkan kerajaan ini menuju masa kejayaan. Pengorbanan yang dilakukan abbas I ketika mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani justru menjadi langkah bagi abbas I untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai Turki Usmani.
Namun demikian, Negara yang berkembang besar karena pengaruh pemimpinnya ini menjadi mundur bahkan akhirnya runtuh karena tidk ada lagi pemimpin pengganti yang secakap dirinya. Keterpurukan kerajaan Safawi juga diperparah karena perilaku pemimpinnya yang lebih mementingkan kesenangan pribadi dari pada kepentingan rakyatnya.
Lihatlah betapa pentingnya posisi pemimpin itu dalam suatu sistem pemerintahan. Jika pemimpin yang ada dalam pemerintahan itu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan baik, maka keadaan sistem pemerintahannya akan berjalan dengan baik pula. Layaknya seperti tubuh manusia yang mempunyai kepala sebagai pusat pengendali gerakan semua anggota tubuhnya. Jika satu saraf saja yang ada dalam kepala itu rusak, maka sistem pergerakan anggota yang lain juga tidak akan normal. Maka, jika kita mendapat kesempatan menjadi pemimpin jadilah pemimpin ya g benar dan amanah.
III.    KESIMPULAN
Kerajaan safawi adalah kerajaan yang menjadikan syiah sebagai mazhab Negara. Kerajaan Safawi ini berasal dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Turki Usmani. Nama safawiyah diambil dari nama pendirinya Safiudin (1252-1334 M).
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa Abbas I. figure pemimpin yang handal dan kecerdasan yang mumpuni membuat kerajaan Safawi mengalami kemajuan di bawah pemerintahannya. Salah satu prestasi besar kerajaan ini adalan dengan dikuasainya kepulauan Hurmuz dan dibukanya pelabuhan Bandar Abbas.
Kerajaan Persia runtuh ketika kerajaan ini diperintah oleh abbas III yang masih sangat belia. Kekuasaanya direbut secara sepihak oleh Nadir Khan dari suku Ashraf yang dulu pernah membantunya.
IV.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami tulis, kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini baik format penulisan maupun isi dalam makalah ini masih terdapat kekurangan untuk itu saran konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan tulisan ini. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA
Fuadi Imam, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta;Teras, 2012)
Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta;Prrenada Media Group, 2011)
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2003)
file:///C:/Users/User/Pictures/KERAJAANSAFAWIYAH.htm. diambil 21/05/13.









<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>