tag:blogger.com,1999:blog-9428589284203343082024-03-12T21:43:17.480-07:00sumber pengetahuan (MULAI DENGAN MEMBACA & MENULIS)Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.comBlogger28125tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-5921742748973957852013-06-26T19:12:00.001-07:002013-06-26T19:12:52.987-07:00TAKUT ITU WAJAR<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia
optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya,
jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000
tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain
sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga
siap dipacu.<br />
<br />
Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah.
Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat
pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda
dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu
Hurairah.<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCArm-uit-05JqhFKh9rLerHZAOKx9rtwFQG3bGaBlp3u4q-zmCPYuGB_9CIvfDzonCBciiKeCt9a-R0VgnVcyPzTYyvAS_9_qcoPbxVyjkuPsPkU0hvZ6fFJqn-4XqP-OzF1XKOI2tmM/s1600/LL0508-001-01.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="kisah-kisah inspirasi terbaik" border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCArm-uit-05JqhFKh9rLerHZAOKx9rtwFQG3bGaBlp3u4q-zmCPYuGB_9CIvfDzonCBciiKeCt9a-R0VgnVcyPzTYyvAS_9_qcoPbxVyjkuPsPkU0hvZ6fFJqn-4XqP-OzF1XKOI2tmM/s320/LL0508-001-01.jpg" title="kisah-kisah inspirasi terbaik" width="239" /></a></div>
Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000
orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan
lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk
memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam
mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang
dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan
yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap
sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.<br />
<br />
”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian
takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur
sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena
jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena
hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”<br />
<br />
Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita
tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan.
Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan
kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga
terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.<br />
<br />
<div style="float: right; margin: 5px;">
<ins style="border: none; display: inline-table; height: 600px; margin: 0; padding: 0; position: relative; visibility: visible; width: 160px;"><ins id="aswift_1_anchor" style="border: none; display: block; height: 600px; margin: 0; padding: 0; position: relative; visibility: visible; width: 160px;"></ins></ins>
</div>
Mahasuci Allah dengan segala tanda-tanda-Nya. Perkataan Rasulullah benar
terbukti, sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Zaid bin
Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah
dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini
menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di
tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:<br />
<br />
Duhai dekatnya surga<br />
<br />
Harum dan dingin minumannya<br />
<br />
Orang Romawi telah dekat dengan azabnya<br />
<br />
Mereka kafir dan jauh nasabnya<br />
<br />
Jika bertemu, aku harus membunuhnya<br />
<br />
Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh
atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi
demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika
mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan
kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam
dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan
menemui syahidnya.<br />
<br />
Ibnu Umar ra bersaksi, ”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur
pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang
yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian
belakang.” Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan
membuatnya terbang kemanapun dia suka.<br />
<br />
Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil
tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada
kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa
sendiri keberanian di dalam hatinya:<br />
<br />
Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!<br />
<br />
Kamu harus turun atau kamu akan dipaksa<br />
<br />
Bila manusia bersemangat dan bersuara<br />
<br />
Mengapa aku melihatmu enggan terhadap surga<br />
<br />
Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada
kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang
Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua
jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:<br />
<br />
Wahai jiwaku<br />
<br />
Jika tidak terbunuh kamu juga pasti mati<br />
<br />
Ini adalah takdir kan telah kau hadapi<br />
<br />
Jika kamu bernasib seperti mereka berdua<br />
<br />
Berarti kamu mendapat hidayah<br />
<br />
Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini
memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang
ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam
perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan,
risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu
menghindar. Semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!<br />
<br />
Takut, risau dan galau, sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena
fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan, kita seringkali merasakannya.
Meski begitu, bukan pula alasan kita menghindar dari sesuatu yang harus
kita taklukkan karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang.
Kemudian kita mencari-cari alasan dengan menyebutnya dengan dalih
strategi dan langkah pintar. Menunduk untuk menanduk, atau yang lainnya.<br />
<br />
Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah
dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan
dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang Muslim adalah
menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.<br />
<br />
Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran, harus dilakukan,
betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan
galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu
mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri. Meniru ulang apa yang
dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan
akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat Allah yang Maha Tinggi?!”
Wallahu a’lam bi shawab.<br />
<br />kisah dan foto diambil dari situs http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/takut-itu-wajar.html</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-50698526753702106952013-06-25T17:46:00.000-07:002013-06-25T17:58:31.694-07:00PRINSIP-PRINSIP SIYASAH DALAM HIDUP BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN<br />
Dalam sejarah telah tertulis bahwa semenjak Rasulullah meninggal perselisihan terkait dengan kekuasaan politik atau yang disebut dengan persoalan al-Imamat. Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah, namun waktu itu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali kedalam lingkungan umat Islam. <br />
Kenyataannya sejarah umat Islam dan perkembangan pemikiran mereka ternyata menghasilkan konsepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan pendekatan yang dipergunakan.<br />
Penelitian terhadap kitab-kitab Tafsir Al-Quran menunjukkan adanya kecenderungan perkembangan pemikiran politik diantara paramusafir. Penggalian konsepsi diatas tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Islam di Indonesia.<br />
Sistem perpolitikan Islam tidak sama antara satu Negara dengan Negara yang lain. Ada bentuk Negara yang menyatukan antara agama dan Negara, ada yang berdampingan adapula yang memisahkan antara keduanya.<br />
Oleh karena itu, kelompok kami akan memberikan penjelasan bagi kawan-kawan terkait prinsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. <br />
II. RUMUSAN MASALAH<br />
A. Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an?<br />
B. Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits?<br />
C. Bagaimana istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh?<br />
III. PEMBAHASAN<br />
A. Dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an<br />
Fiqh lebih popular di definisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris Islam. Menurut abu al-Wafa Ibnu Aqil siyasah adalah suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, kendatipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya. <br />
Setiap disiplin ilmu mempunyai sumber-sumber dalam pengkajiannya. Dari sumber-sumber ini disiplin ilmu tersebut dapat berkembang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Demikian juga dengan fiqh siyasah. Sebagai salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqh, fiqh siyasah mempunyai sumber-sumber yang dapat dirujuk dan dijadikan pegangan. Al-Qur’an menjadi sumber rujukan utama dalam menentukan hukum dalam fiqh siyasah. Dasar–dasar fiqh siyasah dalam al-Qur’an adalah:<br />
1. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an (Q.S. al-Mukminun: 52)<br />
<br />
<i>Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.</i><br />
<i> </i><br />
2. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah. Al-qu’an mengisyaratkan bahwa umat Islam terkait keharusan menyelesaikan persoalan. (Q.S. asy-Syuro: 38)<br />
<br />
<i>Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka</i><br />
<br />
3. Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, sebagaimana tertuang dalam Q.S. an-Nisa: 58<br />
<br /><i>Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.</i><br />
<br />
4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah, dan ulil amri (pemegang kekuasaan). (Q.S. an-Nisa:59)<br />
<br />
<i> Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. </i><br />
<br />
5. Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S. al-Hujurat:9)<br />
<br />
<i>Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! </i><br />
<br />
6. Kemestian mempertahankan kedaulatan negara, dan larangan melakukan agresi dan infasi (Q.S. al-Baqarah: 190)<br />
<br />
<i>Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu</i><br />
<br />
7. Kemestian mementigkan perdamaian dari pada permusuhan (Q.S al-Anfal: 61)<br />
<br />
<i> Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. </i><br />
<br />
8. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S. al-Anfal: 60)<br />
<br />
<i>Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. </i><br />
<br />
9. Keharusan menepati janji (Q.S. an-Nahl:91)<br />
<br />
<i> Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) </i><br />
<br />
10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat: 13)<br />
<br />
<i>Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.</i><br />
<br />
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr: 7)<br />
<br />
<i>Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. </i><br />
<br />
B. Dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits<br />
1. Keharusan mengangkat pemimpin<br />
عن ابى هر يرة قال النبى صلى الله عليه وسلم : اذا خرج ثلا ثة فى السفر فا ليؤ مرو ا احمدهم (رواه ابو داود)<br />
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin diantara mereka.”<br />
<br />
2. Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya<br />
عن عبد الله بن عمرو ان النبى صلى الله عليه وسلم قا ل : كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته ولا ما م على الناس راع وهو مسؤل عن رعيته والر جا ل راع على اهل بية وهو مسؤل عنهم (متفق عليه)<br />
“Dari Ibnu Umar r.a., bersabda Nabi SAW, setiap kamu itu adalah pamimpin dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggung jawab atas rumah tangganya”<br />
<br />
3. Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut<br />
عن عوف بن ما لك عن النبى صلى ا لله عليه وسلم قا ل : خيا ر ائمتكم الذين تحبو نهم ويحبو نكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرائر ائمتكم الذين تبغضو نهم ويبغونكم تلعنو نهم ويلعنو نكم (رواه مسلم)<br />
“Dari Auf bin Malik, telah bersabda Rasulullah SAW, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.”<br />
4. Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai; tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung<br />
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : انما الا ما م جنة يقاتل من ورائه ويتقى به فا ذا امر بالتقو ى الله عز وجل وعد كان له بذ لك اجر وان يامر بغيره كان عليه منه (رواه مسلم)<br />
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya pemimpin itu ibarat perisai yang dibaliknya digunakan berperang dan berlindung. Apabila pemimpin memerintah berdasarkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil, maka baginya ada pahala, apabila memerintah dengan dasar selain itu, maka dosanya akan dibalas.”<br />
<br />
5. Kemestian pemimpin untuk berlaku adil dan dengan itu kemuliaannya tidak hanya dihormati manusia dalam kehidupan dunia, tetapi juga dihormati Allah dalam kehidupan akhirat<br />
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : سبعة يظلهم ا لله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل (متفق عليه)<br />
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, ada tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT, dibawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama adalah imam yang adil…”<br />
C. Istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh<br />
Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’. Kesepakatan-kesepakatan tersebut terangkum dalam pernyataan ibn al-Qayyim: <br />
لاسياسةالاماوافقالشرع<br />
Artinya: “Tidak ada siyasah kecuali yang sesuai dengan syara.”<br />
Akan tetapi, kesepakatan terakhir bukan tanpa masalah. Masalahnya paling tidak, apakah kemestian penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan syara’, berarti harus sesuai dengan mantuq-nya syara’, atau berarti kewajiban penyelenggaraan semangat siyasah syar’iyyah atau berarti ke-mafhum-an syara’. <br />
Dalam mengatasi masalah tersebut, jawaban yang paling layak tentu tidak mempertentangkan kedua alternatif kedua jawaban, tetapi menggabungkan kedua alternatif yang tersedia. Dengan demikian, jawabannya adalah menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah dengan dalil-dalil yang tersurat dalam syara’ secara manthuq suatu keharusan. Akan tetapi, jika keharusan tersebut tidak terpenuhi, bukan berarti tidak ada kemestian untuk menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan dalil-dalil yang tersirat dalam syara’ secara mafhum. <br />
Bertolak dari pemahaman bahwa “dunia merupakan ladang bagi akhirat”, Al-Ghazali menyatakan bahwa, “agama tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama bersaudara kembar. Agama merupakan asal tujuan, sedangkan sulthan merupakan penjaga. Yang tidak berasal atau beragama akan hancur, dan tidak berpenjaga atau bersulthan akan hilang”. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menempatkan ilmu siyasah khalq sebagai alat. Sebagaimana dikatakannya, “tidak sempurna agama, kecuali dengan kehadiran siyasah khalq”. <br />
Lebih lanjut, Al-Ghazali berpendapat bahwa seorang ahli hukum Islam (faqih) seharusnya berpengetahuan tentang siyasah, sebab menurutnya, ia tidak hanya berperan sebagai sulthan, tetapi juga pembimbing ke arah siyasah khalq. Pada gilirannya, Al-Ghazali pun berpendapat ilmu fiqh berarti pengetahuan tentang cara-cara perekayasaan dan pengendalian. Oleh karena itu, bagi Al-Ghazali, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. <br />
“Arti pengetahuan siyasah dalam kehidupan umat Islam, yang tidak memisahkan agama dan negara. Terlihat dari adanya sejumlah ilmuan Muslim yang tertarik untuk membuat karangan khusus mengenai siyasah. Sebagian pengarang dan karangan yang tercatat hasanah kepustakaan fiqh siyasah.”<br />
Menurut beberapa pendapat ulama dalam berbagai kitab yang dikarangnya tentang arti penting fiqh siyasah, adalah<br />
1. Ali Ibn Ismail al Tamar pengarang kitab Al Imamah dan Al Istihqaq<br />
2. Hisyam Bin Al Hakam, pengarang kitab Imamah dan Imamah al Imamah al Mahfudz<br />
3. Yaman Ibn Rahab, pengarang kitab Itsbat al Imamah Abu Bakar <br />
4. Abu Yusuf, pengarang Al-Kharaj<br />
5. Al Mawardi, pengarang kitab Al Ahkam Al Sulthaniyyah wa al Wilayah Al Diniyyah.<br />
Perhatian ulama terhadap persoalan fiqh siyasah tidak pernah terhenti. Pada paruh pertama dan kedua abad ke 20, dikenal beberapa penulis siyasah syariyyah, antara lain: Jamaluddin Al Afgani, Rasyid Ridho, Yusuf Musa, Abdul Karim Zaidan, Abu Al A’la Al Maududi, dll. Di Indonesia, dikenal pula nama-nama, seperti: T. M. Khasby Asshidiqi, H. M. Rosidi, Muhammad Nasir, Z. A. Ahmad, Munawir Sazali, dll.<br />
Sekalipun jumhur ulama menerima kemestian pelaksanaan siyasah syariyyah, namun bukan berarti tidak ada ulama yang menolak keharusan tersebut. Sejak dahulu sampai sekarang, terdapat ulama yang tidak mau berbicara tentang siyasah, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu pembicaraan diluar bidang agama. Abu Bakar Al-Asham, dari golongan mu’tazilah dan sebagian golongan khawarij merupakan ulama-ulama yang berpandangan seperti itu. pada masa kini, pandangan demikian terwakili oleh Ali Abd Al Raziq pengarang kitab Al Islam Wa Ushul Al Hukm. <br />
Menurut Ibn Khaldun, penyebab Abu Bakar Al Asham dan pengikutnya cenderung menghindari persoalan siyasah adalah sebagai upaya mereka untuk menghindarkan diri dari gaya hidup raja yang terlena oleh kemewahan duniawi, dan dalam pandangan mereka, hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. <br />
Menurut Abd al-Raziq ada tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara agama dan negara. Pertama, Paradigma sekularistik, Paradigma ini memberikan garis disparitas antara agama dan negara. Kedua, Paradigma integralistik, dalam perspektif ini, relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga, Paradigma simbiotik, Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbal-balik. Artinya, agama tidak harus diformalkan dalam institusi negara. <br />
<br />
IV. SIMPULAN<br />
1. Dasar-dasar siyasah dalam al-Qur’an diantaranya:<br />
A. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat<br />
B. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah<br />
C. Kemestian menunaiakn amanat dan menetapkan hukum secara adil<br />
D. Kemestian menaatia Allah dan Rasulullah dan Ulil amri<br />
E. Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam<br />
F. Kemetian memepertahankan kedaulatan Negara, dan laranagn melakukan agresi dan infasi<br />
G. Kemestian mementingkan perdamaain dari pada permusuhan<br />
H. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan<br />
I. Keharusan menepati janji<br />
J. Keharusan mengutamakan perdamamian bangsa-bangsa<br />
K. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat<br />
2. Dasar-dasar as-Sunnah<br />
A. Keharusan mengangkat pemimpin<br />
B. Kekemstian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya<br />
C. Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut<br />
D. Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai<br />
E. Kemestian premimpin untuk berlaku adil<br />
3. Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Jakarta .Kencana.<br />
Iqbal, Muhammad. 2007. Fiqh Siyasah: Kontestualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta. Jaya Medi Pratama <br />
Salim, Abdul Muin. 1994. Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada <br />
Syarif, Mujar Ibnu. 2008. Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta. Erlangga<br />
http://politik.kompasiana.com/2013/03/24/agama-dan-negara-tiga-aliran-besar-tentang-hubungan-islam-dan-politik-539750.html# pada Senin, 27 Mei 2013 07.46 <br />
<br />
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br />
<br /></div></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-52992108321865931992013-06-25T17:44:00.003-07:002013-06-25T17:44:37.756-07:00PERKEMBANGAN SIYASAH MASA KERAJAAN SAFAWI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN<br />Membahas sejarah sebuah bangsa tidak akan dapat lepas dari bahasan tentang perkembangan politiknya. Karena dengan pengakuan politik sebuah bangsa atau peradapan dapat diakui keberadaanya. Perkembangan politik suatu bangsa juga menjadi faktor penentu kemajuan peradaban bangsa itu sendiri. <br />Dalam kebudayaan Islam, masyhur kita dengar tentang Dinasti Umayah, Abasiyah serta Fatimiyah. Selain kerajaan-kerajaan tersebut masih adalagi kerajaan Turki Usmani, Mongol dan Safawi. Tiga kerajaan yang berkembang pada abad pertengahan dan sangat mempunyai pengaruh pada peradaban Islam. Masing-masing dinasti pada masa tersebut mempunyai sejarah yang panjang dalam mencapai kejayaan. Dan dalam makalah ini akan dibahas tentang kerajaan Safawi yang berkuasa di Persia. <br />II. PEMBAHASAN<br />A. Sejarah Dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Safawi<br />Kerajaan Safawi berdiri ketika kerajaan Usmani mencapai puncak kejayaan. Secara tegas kerajaan ini menyatakan syiah sebagai mazhab Negara. Oleh karena itu kerajaan ini dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya Negara Iran dewasa ini. Sistem pergantian pemimpin pada kerajaan ini adalah turun temurun.<br />Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberinama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Turki Usmani. Nama safawiyah diambil dari nama pendirinya Safiudin (1252-1334 M) dan nama Safawi terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama ini terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan .<br />Safiuddin berasal dari keturunan orang yang mengambil sufi sebagai jalan hidup. Ia keturunan dari imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Safiuddin mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru yang sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. ia diambil menantu oleh sang guru karena ketekunannya dalam kehidupan tasawuf. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajarannya. Semula tarekat ini hanya bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan dan memerangi golongan ahli bid’ah. Pengaruh tarekat ini sangat luas bahkan dapat menyebar sampai seluruh wilayah Persia, Syiria dan Anatolia. Untuk mengatur pengikut tarekat safawi dilluar Ardabil, Safiuddin mengangkat muridnya menjadi wakil yang disebut dengan khalifah. <br />Ajaran Syiah tarekat Safawi dipegang secara fanatic oleh murid-murid Safiuddin hingga menimbulkan dorongan kuat bagi tarekat ini untuk berkuasa. Karena itu murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara-tentara yang teratur, fanatik dan, menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah. <br />Ketika tarekat ini berada dibawah pimpinan Junaid (1447-1460), ia mulai mengerahkan kegiatannya tidak hanya pada keagamaan saja akan tetapi mengarah kepada gerakan politik. Junaid mulai memperluas wilayahnya. Perluasan wilayah yang dilakukan Junaid ini mendapat tantangan dari penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik ini Junaid kalah dan berusaha untuk mencari suaka politik pada dinasti Ak Koyunlu yang juga menguasai sebagian wilayah Persia. Selama dalam pengasingan Junaid tinggal di istana Uzun Hasan raja Ak Koyunlu. Hubungan kedua kedua penguasa ini semakin akrab sejak junaid berhasil menikahi adik Uzun Hasan. <br />Pada tahun 1459 Junaid berusaha merebut kembali Ardabil akan tetapi gagal. Demikian juga usahanya untuk merebut Sircassia pada tahun 1460 juga mengalami kegagalan. Bahkan pada usahanya yang kedua ini Junaid berhasil di bunun oleh tentara Kara Koyunlu melalui Sirwan. Pada saat itu anak Junaid Haidar masih kecil dan dalam pengasuha Uzun Hasan. Baru pada tahun 1470 secara resmi Haidar memimpin gerakan Safawiyah. Dalam perkembangan selanjutnya Haidar mengawini anak Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari berhasil membawa dinasti Safawi pada puncak kejayaan. <br />Selama dalam pemimpinan Haidar ia memeberikan identitas pada tentara-tentaranya berupa surban berwarna merah dan berubai dua belas yang disebut qizilbash. Bersama tentaranya ini Haidar berhasil mengalahkan Kara Koyunlu (1476). Kemenengan yang berhasil diraih oleh Haidar ini justru menimbulkan situasi politik yang berbeda. Gerakan militer yang berada dibawah pimpinan Haidar ini dianggap sebagai rival politik oleh Ak Koyunlu. Pada saat Haidar dan tentaranya berusaha merebut Sircassia dan pasukan Marwan, Ak Koyunlu justru memberikan bantuan kepada Marwan sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh.<br />Setelah Haidar terbunuh kepemimpinan geraka Safawi berada dibawah anaknya Ali. Akan tetapi sebelum Ali dapat bergerak ia bersama dengan ibu dan saudaranya dipenjarakan di fars hingga dibebaskan oleh Rustam. Tahun 1494 Ali dibunuh oleh Rustam yang dulu pernah membebaskannya karena kekuatiran Rustam terhadap gerakan Safawi. <br />Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada dibawah Ismail. Bersama Ismail, gerakan Safawi berhasil mengalahkan Ak Koyunlu di Sharur dan berhasil menduduki kota Tabriz. Dikota ini Ismail memproklamirkan diri sebagai raja pertama dinasti Safawi. Selama 23 tahun berkuasa (1501-1524) ia berhasil memperluas wilayahnya sampai keseluruh wilayah Persia dan sebagian wilayah Bulan Sabit Subur. Bahkan ia juga berusaha untuk mengembangkan sayapnya dengan berusaha menguasai Turki Usmani akan tetapi usahanya gagal. Kekalahan ini meruntuhkan kebanggaan Ismail I. sehingga diapun berubah menjadi orang yang suka hura-hura. Sepeninggalan Ismail I kerajaan safawi dalam keadaan lemah hingga raja yang keempat. Pertempuran dengan Turki Usmani sering terjadi pada decade tiga raja setelah ismail I yaitu tahmasp I, Ismail II dan, Muhammad Khudabanda.<br />Kondisi memprihatinkan dinasti safawi baru berakhir setelah raja kelima, Abbas I (1628 M) naik tahta. Untuk memulihkan kerajaan safawi Abbas I menempuh langkah damai yaitu pertama berusaha menghilangkan dominasi pasukan qizilbash dan menggantinya dengan pasukan baru. Berdamai dengan Turki Usmani meskipun harus merelakan sebagian wilayahnya. Dan berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam. <br />Usaha yang dilakukan Abbas ini membawa hasil. Perlahan pasukannya mulai kuat. Pada tahun 1598 M ia bersama merebut wilayah kekuasaanya kembali dengan menduduki Heart. Dari sini ia melanjutkan dengan menguasai Marw dan Balkh. Kemudian, pada tahun 1602 M pasukan Abbas menyerang Turki Usmani yang pada saat itu dibawah piminan sultan Muhammad III Fan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan, Baghdad. Dan tahun 1605-1606 M kota Nakhchivan, Erivan, Ganja dan Tiflis dapat ia kuasai. Selanjutnya tahun 1622 ia juga berhasil menduduki Hurmuz dan pelabuhan Gumrun serta mengubah Gumrun menjadi Bandar Abbas .<br />B. Daftar Nama-nama Raja yang Menguasai Kerajaan Safawi<br /><br />No Nama Raja Masa Berkuasa<br />1 Safiuddin 1252-1334<br />2 Sadar Addin Musa 1334-1399<br />3 Khawaja Ali 1399-1427<br />4 Ibrahim 1427-1447<br />5 Junaed 1447-1460<br />6 Ismail I 1501-1524<br />7 Tahmasp I 1524-1576<br />8 Muhammad Khudabanda 1577-1787<br />9 Abbas I 1588-1628<br />10 Safi Mirza 1628-1242<br />11 Abbas II 1642-1667<br />12 Sulaiman 1667-1694<br />13 Husein 1694-1722<br />14 Tahmasp II 1722-1732<br />15 Abbas III 1732-1736<br /><br />C. Dinamika Sosial dan Politik Kerajaan Safawi<br />1. Kondisi Sosial dan Politik<br />Sistem pergantian pemimpin yang turun temurun. Sistem ini semakin menguatkan keberadaan kerajaan safawi apalagi didukung oleh figure pemimpin yang kuat. Abbas I adalah seorang pemimpin yang cakap dan dapat disejajarkan dengan dua raja besar yang semasa dengannya yaitu raja sulaiman dari turki usmani dan sultan akbar dari mughal india. Ia juga seorang pecinta pengetahuan, politikus ulung, dan mamiliki toleransi beragama yang tinggi.<br />Letak kerajaan Persia sangat stategis karena perada di jalur pertemuan timur dan barat. Setelah pelabuhan gumrun diubah menjadi Bandar Abbas, kemajuan kerajaan Persia semakin pesat karena kerajaan ini menguasai jalur perdagangan internasional. Dengan posisinya ini Persia menjadi Negara yang kaya raya. Dan dengan kekayaannya ini tentu saja memberikan sumbangsih besar pada kemajuan kerajaan Safawi. <br />Pada masanya, sering terjadi konflik pada luar kerajaan seperti konflik dengan kerajaan Turky Utsmani untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik dalam rakyat-rakyatnya mengenai mazdhab yang dianut. Bahkan konflik dalam kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan.<br />2. Perundangan, Hukum, Administrasi Negara dan Peradilan <br />Dalam prakteknya, kerajaan Syafawi menggunakan pandangan Syi’ah sebagai acuan Negaranya. Selain hal tersebut di atas,pada abad 17 beberapa kalangan Ulama Syiah tidak lagi mau mengakui bahwa Safawiyah telah mewakili pemerintahan sang imam tersembunyi. pertama, Ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara turun temurun tersebut sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran islam Syi’ah. Kedua, selaras dengan keyakinan Syiah, bahkan semenjak masa keghaiban besar tahun 941 sang imam tersembunyi tidak lagi terwakili di muka bumi oleh Ulama.Selanjutnya Ulama menegaskan bahwasannya Mujtahid menduduki otoritas keagamaan yang tertinggi.<br />Kehancuran rezim ini juga di sebabkan sejumlah perubahan yang luar biasa dalam hal hubungan negara dan agama. Safawiyah semula merupakan sebuah gerakan, tetapi setelah berkuasa rezim ini justru menekan bentuk bentuk millenarian islam sufi seraya cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara. Safawiyah menjadikan Syiisme sebagai agama resmi Iran, dan mengeliminir pengikut sufi mereka sebagai mana yang dilakukanya terhadap ulama sunni .<br />3. Hubungan Internasional<br />Hubungan internasional yang terjalin antara kerajaan safawi dengan Negara luar terutama Negara-negara yang menggunakan Persia sebagai jalur perdagangannya. Hubungan ini tentu saja memberikan dampak positif terhadap perkembangan kerajaan Safawi terutama stabilitas dan keamanan Negara . <br /><br />D. Kemajuan Dan Kemunduran Kerajaan Safawi<br />Dalam setiap kejadian pasti mempunyai suatu sebab, maka kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh kerajaan Safawi juga mempunyai sebab. Adakalanya sebab itu berasal dari dalam diri kita sendiri, ada juga yang berasal dari luar.<br />1. Kemajuan <br />Masa kekuasaan Abbas merupakan puncak kejayaan kerajaan safawi. Berbagai kemajuan telah dicapai pada masa raja ini. Dalam bidang pengetahuan, kerajaan safawi adalah kerajaan yang telah berperadapan tinggi dan berjasa mengebangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan yang lahir dari tanah Persia ini diantaranya Sadar Addin Al-Syarazi seorang filosof serta Muhammad baqir ibnu Muhammad Damad seorang filosof, ahli sejarah, teolog dan orang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah. <br />Dari sektor perekonimian, pada masa Abbas I kerajaan safawi juga mengalami perkembangan seiring dengan stabilitas politik yang telah dicapai. Apalagi setelah menguasai kota Hurmuz dan pelabuhan gumrun dirubah menjadi Bandar Abbas, sektor perdagangan kerajaan safawi semakin menguat. Selain sektor perdagangan pertanian kerajaan safawi juga mengalami kemajuan terutama di daerah bulan sabit subur.<br />Dalam bidang pembangunan kerajaan ini berhasil menciptakan ibu kota yang indah. Di kota tersebut dibangun bangunan-bangunan yang besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, dan jembatan raksasa di atas Zande Rud dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman yang cantik. Ketika abbas meninggal di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Dibidang seni kemajuan nampak pada gaya arsitektur bangunannya seperti tampak pada masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M. Sedangkan seni lukis mulai dirintis sejak masa Tahmasp I .<br />2. Kemunduran <br />a. Faktor Internal<br />1) Adanya figur pemimpin yang kurang cakap. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyebab kerajaan safawi berkembang pesat adalah kecakapan figure raja Abbas I. dan setelah peninggalannya tidak ada lagi pemimpin yang menyamai kecakapannya sehingga ketika terjadi pergolakan politik di kerajaan Safawi para pemimpin tersebut tidak dapat mengatasinya dengan baik.<br />2) Melemahnya kekuatan militer. Pasukan ghulam yang pernah dibentuk abbas I sepeninggalannya tidak lagi sekuat ghulam generasi pertama. Hal ini menyebabkan kelemahan kerajaa Safawi pada sector pertahanan keamanan. <br />3) Krisis moral penguasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa raja-raja pada kerajaan Islam banyak menmpunyai wanita piaraan atau harem. Agaknya hal ini juga terjadi pada kerajaan safawi. Raja-raja pengganti Abbas I juga banyak mempunyai wanita piaraan. Hal ini kentara sekali pada masa pemerinyahan Sulaiman. Bahkan dalam literature sejarah disebutka bahwa selama tujuh tahun raja Sulaiman tidak pernah melibatkan dirinya dalam mengurusi pemerintahan.<br /><br />b. Faktor Eksternal<br />1) Konflik politik dengan kerajaan Turki Usmani. Permusuhan antara safawi dengan turki usmani yang pernah teredam sejak masa pemerintahan Ismail I ternyata tidak benar-benar redam. Perselisihan antara syiah dan sunni ini terus mencuat apalagi dengan melemahnya pemimpin pengganti Abbbas I .<br />2) konflik agama. Pada masa pemerintahan Husain dia memerintah dengan lemah lembut. Akan tetapi kelembutannya ini digunakan oleh kaum syiah untuk memaksakan fahamnya kepada rakyat yang belum bermazhab syiah. Hal ini memotivasi rakyat Kandahar yang mayoritas bermazhab suni untuk mengkonsolidasikan kekuatannya dibawah komando Mir Mahmud Khan. Dan pada tahun 1722 M raja Husain berhasil digulingkan. <br />Untuk menanggulangi Mir Mahmud Khan raja Tahsamp, pengganti raja Husain beraliansi dengan Nadir Khan dari suku Afshar. Dan kemenangan ada di pihak Tahsamp II. Karena lemahnya raja ini Nadir Khan akhirnya memaksa Tahsamp II untuk turun tahta dan digantikan Abbas III yang masih sangat kecil. Empat tahun berikutnya Nadir Khan naik tahta menggantikan Abbas III. Denagn naiknya Nadir Khan menjadi raja maka berakhirlah masa kejayaan kerajaan Safawi .<br />Kerajaan Safawi mengalami kemajuan pesat pada masa kepemimpinan Abbas I. tetapi setelah raja ini wafat, kegemilangan kerajaan safawi juga ikut terkubur. Raja-raja yang menggantikannya tidak memiliki kecakapan yang sama dengan dia sehingga perlahan lahan kerajaan ini mengalami kemunduran hingga akhirnya benar-benar musnah. <br />E. Analisis<br />1. Daftar Nama-nama Raja dan Kemajuan Yang Dicapai<br /><br />No Nama Raja Masa Berkuasa Kemajuan Yang Telah Dicapai<br />1 Safiuddin 1252-1334 pendiri tarekat safawiyah<br />2 Sadar Addin Musa 1334-1399 <br />3 Khawaja Ali 1399-1427 <br />4 Ibrahim 1427-1447 <br />5 Junaed 1447-1460 • membentuk pemerintahan sendiri<br />• membawa tarekat safawi ke politik<br />6 Ismail I 1501-1524 • memproklamirkan kerajaan safawi<br />• menaklukkan ak koyunlu<br />• menduduki Tabriz<br />• memajukan bidang seni<br />7 Tahmasp I 1524-1576 • mematahkan serangan turki usmani<br />• pelukis berbakat<br />8 Muhammad Khudabanda 1577-1787 <br />9 Abbas I 1588-1628 • membentuk tentara ghulam<br />• menaklukan heart, marw, balkh, kepulauan hurmuz, <br />• menjalin hubungan dengan turki<br />• membuka jalur pedagangan melalui Bandar abbas<br />• menjadikan Persia berperadaban tinggi<br />10 Safi Mirza 1628-1242 <br />11 Abbas II 1642-1667 <br />12 Sulaiman 1667-1694 <br />13 Husein 1694-1722 <br />14 Tahmasp II 1722-1732 <br />15 Abbas III 1732-1736 <br />Keterangan:<br />Raja-raja penguasa yang memimpin kerajaan Safawi setelah Abbas I adalah penguasa-penguasa yang lemah dalam kepemimpinannya. Mereka cenderung suka berfoya-foya dan hanya memikirkan diri sendiri, tidak memperdulikan umatnya. Maka, pemimpin-pemimpin inilah yang nantinya menjadikan runtuhnya kerajaan Safawi.<br /><br />2. Kritik akan Kemejuan dan Kemunduran Kerajaan Safawi<br />Kerajaan Persia dapat mencapai kejayaan karena memiliki figure pemimpin yang cakap. Abbas I dengan langkah-langkah diplomatis yang dia tempuh justru mengantarkan kerajaan ini menuju masa kejayaan. Pengorbanan yang dilakukan abbas I ketika mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani justru menjadi langkah bagi abbas I untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai Turki Usmani. <br />Namun demikian, Negara yang berkembang besar karena pengaruh pemimpinnya ini menjadi mundur bahkan akhirnya runtuh karena tidk ada lagi pemimpin pengganti yang secakap dirinya. Keterpurukan kerajaan Safawi juga diperparah karena perilaku pemimpinnya yang lebih mementingkan kesenangan pribadi dari pada kepentingan rakyatnya.<br />Lihatlah betapa pentingnya posisi pemimpin itu dalam suatu sistem pemerintahan. Jika pemimpin yang ada dalam pemerintahan itu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan baik, maka keadaan sistem pemerintahannya akan berjalan dengan baik pula. Layaknya seperti tubuh manusia yang mempunyai kepala sebagai pusat pengendali gerakan semua anggota tubuhnya. Jika satu saraf saja yang ada dalam kepala itu rusak, maka sistem pergerakan anggota yang lain juga tidak akan normal. Maka, jika kita mendapat kesempatan menjadi pemimpin jadilah pemimpin ya g benar dan amanah.<br />III. KESIMPULAN <br />Kerajaan safawi adalah kerajaan yang menjadikan syiah sebagai mazhab Negara. Kerajaan Safawi ini berasal dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Turki Usmani. Nama safawiyah diambil dari nama pendirinya Safiudin (1252-1334 M).<br />Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa Abbas I. figure pemimpin yang handal dan kecerdasan yang mumpuni membuat kerajaan Safawi mengalami kemajuan di bawah pemerintahannya. Salah satu prestasi besar kerajaan ini adalan dengan dikuasainya kepulauan Hurmuz dan dibukanya pelabuhan Bandar Abbas.<br />Kerajaan Persia runtuh ketika kerajaan ini diperintah oleh abbas III yang masih sangat belia. Kekuasaanya direbut secara sepihak oleh Nadir Khan dari suku Ashraf yang dulu pernah membantunya.<br />IV. PENUTUP<br />Demikian makalah ini kami tulis, kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini baik format penulisan maupun isi dalam makalah ini masih terdapat kekurangan untuk itu saran konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan tulisan ini. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita semua.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Fuadi Imam, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta;Teras, 2012)<br />Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta;Prrenada Media Group, 2011) <br />Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2003)<br />file:///C:/Users/User/Pictures/KERAJAANSAFAWIYAH.htm. diambil 21/05/13.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-51857185188205291902013-06-25T17:42:00.002-07:002013-06-25T17:42:29.607-07:00PERKEMBANGAN SEJARAH FIQIH SIYASAH PADA MASA NABI dan SAHABAT<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. Pendahuluan<br />Sebagaimana tersimak dari tulisan- tulisan sebelumnya, Fiqh siyasah syar’iyyah telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dalam mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial- budaya yang diridhai Allah SWT. Fakta serupa itu, terutama tampak setelah Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Dan masa permulaan Islam sama dengan masa turunnya wahyu, yang antara lain, Pertama , periode di Makkah yang telah menerima wahyu yang pertama, dan Kedua , periode di Madinah telah menerima wahyu yang terakhir. <br />Dalam perjalanannya mengemban wahyu Allah, Nabi memerlukan suatu strategi yang berbeda di mana pada waktu di Makkah Nabi lebih menonjolkan dari segi tauhid dan perdalam akhlak tetapi ketika di Madinah Nabi banyak berkecimpung dalam pembinaan atau pendidikan sosial masyarakat karena di sana beliau diangkat sebagai Nabi sekaligus sebagai kepala Negara. <br />Persoalan yang dihadapi oleh Nabi ketika di Madinah jauh lebih komplek dibanding di Makkah. Di sini umat Islam sudah berkembang pesat dan harus hidup berdampingan dengan sesama pemeluk agama yang lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu pendidikan yang diberikan oleh Nabi juga mencangkup urusan- urusan muamalah atau tentang kehidupan bermasyarakat dan politik. <br /><br /><br />II. Sistem Pemerintahan dan Dinamika Sosial Politik<br />A. Pada masa Nabi Muhammad <br />1. Periode Nabi di Makkah<br />Muhammad lahir pada tanggal 20 April 571 M atau 12 Rabi’ul awal bersamaan dengan tahun gajah dan wafat pada usia 63 tahun, tanggal 8 juni 633 M atau 12 Rabi’ul awal 11 H. Masa kenabiannya dimulai ketika berusia 40 tahun dan berlangsung sekitar 23 tahun. Muhammad lahir dalam keadaan yatim, ayahnya, Abdullah meninggal dunia tiga bulan ketika Muhammad dalam kandungan ibunya. Ketika lahir Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyah. Dalam asuhannya, ia dibesarkan sampai umur empat tahun. Ketika berusia enam tahun, ibunya meninggal dunia, Abdul Mutholib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad, namun dua tahun kemudian Abdul Mutholib meninggal dunia karena renta. Setelah itu tanggung jawab merawat Muhammad beralih kepada pamannya Abu Tholib. <br />Dalam usia muda Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluargannya dan kambing penduduk Makkah. Pada usia 12 tahun, Muhammad menemani pamannya pergi berdagang ke Syiria. Kemudian pada usia 25 tahun, Muhammad berangkat ke Syiria juga dengan membawa dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda bernama Khadijah. Dalam perdagangan ini, Muhammad memperoleh laba yang besar dan kemudian Khadijah melamarnya. Maka Muhammad menikah pada usia 25 tahun, dan Khadijah berusia 40 tahun. <br />Menjelang usianya yang ke empat puluh, dia terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer letaknya dari Makkah. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M. Malaikat Jibril muncul dihadapannya, dengan menyampaikan wahyu yang pertama yaitu dalam Surat Al- Alaq ayat 1- 5. Dengan wahyu yang pertama ini, maka beliau diangkat sebagai Nabi, utusan Allah. Pada saat itu, Nabi Muhammad belum diperintahkan untuk menyeru kepada umatnya, namun setelah turun wahyu yang kedua, yaitu surat Al- Muddatsir ayat 1- 7, Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul yang harus berdakwah.<br />Pada periode di Makkah, tiga tahun pertama, dakwah Islam dilakukan secara sembunyi- sembunyi. Nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwah Islam di lingkungan keluarga, mula- mula istri beliau sendiri, yaitu khadijah, yang menerima dakwah beliau, kemudian Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar sahabat beliau, lalu Zaid, bekas budak beliau. <br />Namun dakwah yang dilakukan oleh beliau tidak mudah karena mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy, hal tersebut timbul karena beberapa faktor, diantaranya adalah, Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya, para pemimpin Quraisy tidak percaya ataupun mengakui serta tidak menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di Akhirat, dan lain- lain. Banyak cara dan upaya yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad, namun selalu gagal, baik secara diplomatik dan bujuk rayu maupun tindakan- tindakan kekerasan secara fisik. <br />Karena di Makkah dakwah Nabi Muhammad mendapat rintangan dan tekanan, pada akhirnya Nabi memutuskan untuk berdakwah di luar Makkah. Namun, Thaif beliau dicaci dan dilempari batu sampai beliau terluka. Hal ni sampai membuat Nabi Muhammad putus asa, sehingga untuk menguatkan hati beliau, Allah mengutus dan mengisra’ dan memi’rajkan beliau pada tahun kesepuluh kenabian itu. Berita tentang Isra’ dan Mi’raj ini menggemparkan masyarakat Makkah.<br />Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam terjadi, yaitu dengan datanganya sejumlah penduduk Yasrib ( Madinah) untuk berhaji ke Makkah. Mereka terdidri dari dua suku yang saling bermusuhan yaitu, suku Aus dan suku Khazraj yang masuk Islam dalam tiga gelombang. Pada gelombang pertama pada tahun kesepuluh kenabian, mereka datang dan memeluk agama Islam dan menerapkan ajarannya sebagai upaya untuk mendamaikan permusuhan antara kedua suku. Gelombang kedua, pada tahun 12 kenabian mereka datang kembali menemui nabi dan mengadakan perjanjian yaitu, “ Aqabah Pertama’’ , yang berisi ikrar kesetiaan. Kemudian gelombang ketiga pada tahun ke- 13 kenabian, mereka datang kembali kepada Nabi untuk hijrah ke Yasrib. Dengan perjanjian yaitu “ Aqabah Kedua”. Demikian periode Makkah terjadi, dalam periode ini Nbi Muhammad mengalami hambatan dan kesulitan dalam dakwah Islamiyah. Dalam periode ini Nabi Muhammad belum terpikir untuk menyusun suatu masyarakat Islam yang teratur, karena perhatian Nabi lebih terfokus pada penanaman teologi atau keimanan masyarakat. <br />2. Negara Madinah pada Masa Nabi<br />a. Pembentukan Negara di Madinah<br />Keadaan Madinah sebelum datangnya Nabi Muhammad di sana sama halnya dengan keadaan di Makkah. Pelanggaran hukum merupakan keadaan sehari- hari. Suku- suku yang tinggal disana berperang satu sama lain. Tidak ada pemerintahan yang memaksakan hukum dan ketertiban. Nabi setelah datang kesana, menghapuskan semua perbedaan suku dan mengelompokan penduduk dengan satu nama umum, yaitu Anshar. Dia mulai melaksanakan hukum dan ketertiban, membuat, perdamaian, dan dengan begitu mengukuhkan itikad baik orang- orang Madinah. Sebelum kedatangan Nabi, Madinah terutama didiami oleh dua suku, yaitu suku Aus dan Khazraj. <br />Hijrah merupakan titik balik di dalam karier Nabi Muhammad. Suatu unsur yang baru dan berbeda mengubah rencana keagamaan Nabi. Disini dia memulai apa yang dapat disebut karier agama dan politik. Selama ini Islam merupakan suatu agama yang murni, tetapi setelah Nabi hijrah ke Madinah, Islam menjadi satu kesatuan agama- politik. Nabi mendirikan suatu persaudaraan Islam. Dia berhasil di dalam mendirikan suatu persekutuan, menggabungkan kaum kaya dan kaum miskin atas dasar yang sama. <br />Oleh karena itulah Rasulullah bersama para sahabat melakukan hijrah ke Madinah, adapun sebab utama yang membuat Nabi hijrah ke Madinah adalah, yaitu<br />Pertama, perbedaan iklim di kedua kota itu mempercepat dilakukannya hijrah. Iklim di Madinah yang lembut dan watak rakyatnya yang tenang sangat mendorong penyebaran dan pengembangan agama Islam. Sebaliknya kota Makkah tidak mempunyai dua kemudahan itu.<br />Kedua, Nabi- nabi umumnya tidak dihormati di negara- negaranya sehingga Nabi Muhammad pun tidak diterima oleh kaumnya sendiri. Akan tetapi disukai sebagai Nabi Allah, oleh karena orang- orang Madinah dan dia sungguh diundangnya. <br />Ketiga, tantangan yang Nabi hadapi tidaklah sekeras di Makkah, golongan pendeta dan kaum ningrat Quraisy yang menganggap Islam bertentangan dengan kepentingan mereka, ini tentu berbeda dengan sikap penduduk Madinah terhadap Nabi. <br />Negara Madinah dapat dikatakan sebagai negara dalam pengertiannya yang sesungguhnya karena telah memenuhi syarat- syarat pokok pendirian suatu negara yaitu, wilayah, rakyat, pemerintah, dan undang- undang dasar. <br />b. Piagam Madinah<br />Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan Yahudi dan orang - orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan karena menyangkut peraturan dan tata tertib umum , otoritas mutlak di berikan pada beliau. Mengenai kapan penyusunan naskah piagam atau perjanjian tertulis itu dilakukan oleh Nabi tidak pasti, mengenai waktu dan tanggalnya. Apakah waktu pertama hijriyah atau sebelum waktu perang badar atau sesudahnya. Menurut Watt, para sejarah umumnya berpendapat bahwa piagam itu dibuat pada permulaan periode madinah tahun pertama hijriyah. <br />Piagam konstitusinal Nabi di Madinah merupakan suatu monumen yang abadi dari kebijaksanaan politik dan kewarganegaraannya, sesuatu yang mengagumkan dari wawasan pikiran dan kebijaksanaannya. Piagam ini merupakan yang paling penting dilihat dari pandangan sejarah karena membuka suatu fase baru bagi revolusi Islam dengan menambahkan konstitusi politik terhadap struktur agama Islam. <br />Secara umum, piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah. Walaupun mereka heterogen kedudukannya sama, masing- masing memiliki kewajiban yang sama untuk membela madinah, tempat tinggal mereka. Dengan demikian, piagam Madinah menjadi alat Muhammad untuk menjadi pemimpin bukan saja bagi kaum muslimin ( muhajirin dan anshar ), tetapi seluruh penduduk madinah. Padahal, Ia belum pernah sekalipun memaklumatkan diri sebagai pemimpin. Secara strategis, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya. Piagam ini akhirnya batal karena pelanggaran dan pengkhianatan yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Mula-mula pelanggaran dilakukan oleh bani Qainuga pada tahun 3 H/ 624 M. Pada suatu hari seorang anggota bani Qainuga menganiaya seorang wanita muslimah dipasar. Ketika sorang muslim daag menolong wanita itu, ia malah dikeroyok oleh kawanana bani qainuga hingga tewas. Rasullulah lalu mengambil keputusan tegas, mengusir bani Qainuga dari madinah. Setahun kemudian, bani Nadzir bermaksud membunuh Rasulullah, namun gagal, Akhirnya bani Nadzirpun diusir. <br />Pengkhianatan terakhir dilakukan bani Quraizhah yang bersengkongkol dengan bani Nadzir. Dalam perang Khandaq, bani Quraizhah berhasil mengepung kaum muslimin selama 20 hari. Tetapi karena tibul perpecahan diantara kaum Yahudi, usaha mereka gagal dan bani Quraizhah pun diusir. Kejadian ini dengan jelas menunjukkan bahwa pengusiran baru dilakukan apabila kaum Yahudi melakukan pengkhianatan. <br />Isi piagam Madinah adalah sebuah shahifah ( piagam) dari Muhammad Rasulullah ( yang mengatur hubungan) antara mukmin Quraiys dan Yatsrib ( Madinah) dan orang – orang yang mengikuti bergabung, dan berjuang ( jahadu) bersama- sama dengan mereka. Adapun isi dari piagam tersebut adalah berjumlah 47 yang tertera dalam referensi “ Fatah Syukur”. Dari piagam 47 butir piagam Madinah menurut penomoran Schact jelas terlihat beberapa asas yang dianut:<br />a. Asas kebebasan beragama<br />b. Asas persamaan<br />c. Asas kebersamaan<br />d. Asas keadilan<br />e. Asas perdamaian yang berkeadilan <br />f. Asas musyawarah <br />B. Pada Masa Khuafa’ur Rasyidin<br />1. Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq<br />Abu bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At- Tamimi. Dijuluki Abu Bakar karena dari pagi- pagi betul memeluk Islam. Gelar Ash- Shidiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan Nabi dalam bernagai peristiwa terutama Isra’ Mi’raj.<br />Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai macam masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi dan Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk bersatu mau melanjutkan tugas membangun mulya Nabi. Abu Bakar menyadari bahwa kekuatan kepemimpinan bertumpu pada komunitas yang bersatu. Yang pertama menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksana. Yaitu mengirim eksepedisi ke perbatasan Syirian dibawah pimpinan Usamah untuk membalas pembunuhan Ayahnya Zaid dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mut’ah <br />Prioritas lain yang terlaksana oleh pemerintahan Abu Bakar adalah hilangnya beberapa orang Arab dari ikatan Islam yang lebih dikenal dalam Islam adalah “ Riddah” mereka melepas kesetiaan dengan tidak memberikan baiat kepada khalifah yang baru dan juga mereka menganggap bahwa perjanjian – perjanjian yang dibuat oleh Nabi dengan sendirinya batal dan disebabkan oleh kematian Nabi.<br />Salah satu jasa terbesar dalam pemerintahan Abu Bakar adalah pengumulan ayat- ayat Al- Qur’an yang pada waktu itu masih berserakan dan belum dibubukan dalam satu mushaf. Pada waktu itu banyak penghafal Al- Qur’an yang gugur dan meninggal dalam peperangan Riddah sehingga dikawatirkan penghafal Al- Qur’an semakin habis. Oleh karena itu Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan- tulisan Al- Qur’an menjadi satu. <br />Sesudah Rasulullah wafat, pengendalian dan pengarahan kaum Muslimin dipegang oleh sahabat Abu Bakara. Pasa masa ini timbul persoalan-persoalan yang tidak timbul dimasa Nabi. Oleh karena itu, terdapat beberapa pemecahan masalah yang diambil Abu bakar, dalam hal ini dapat dipandang sebagai fakta siyasah. Adanya kelompok masyarakat yang enggan mengeluarkan zakat, karena zakat hanya wajib dikeluarkan pada waktu Rasul masih hidup yang telah dijelaskan dalam QS. At- Taubath ayat 103. <br />Mereka beralasan bahwa bentiuk perintah pada ayat ini ditujukan hanya pada Rasul sehingga setelah Rasul wafat tidak ada kewajiban zakat. selain itu doa yang membawa ketentraman jiwa adalah doa Rasullulah, bukan doa orang selain Rasul. Kebijakan Abu bakar menentang hal ini tidak hanya karena tafsirannya tetapi juga keengganan kelompok tertentu untuk mengeluarkan zakat dapat membahayakan keutuhan umat mempreteli sendi-sendi pokok ajaran Islam. <br />2. Khalifah Umar bin Khattab<br />Umar bin Khatab nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al- Quraisy dari suku Adi, salah satu yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Makkah empat tahun sebelum kelahiran Nabi. Ia ialah seorang yang berbudi luhur , fasih dan adil serta pemberani. Ia juga dipercaya oleh suku bangsa Quraiys untuk berunding dan dan mewakilinya jika ada persoalan dengan suku- suku lain. Dengan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi serta menjadi tangan kanan khalifah yang baru itu. Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar telah menunujuk Umar bin Khattab menjadi penerusnya.<br />Umar bin Khattab menyebut dirinya “ Khalifah Khalifati Rasulullah ” ( pengganti- pengganti Rasululah ). Ia juga mendapat gelar Amir Al- Mukuminin ( komandan orang- orang beriman) sehubungan dengan penaklukan- penaklukan yang berlansung pada masa pemerintahannya. <br />Pemerintahan Umar telah memiliki peran dalam sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol karena perluasan wilayahnya. Setelah penaklukan Irak, Iran, Siria, Palestina, dan Mesir di dalam waktu yang singkat, yaitu selama sepuluh tahun kekhalifahannya, negara Islam yang masih bayi itu berubah menjadi suatu kekaisaran yang besar dan kekuatan yang paling besar di dunia pada waktu itu. Akan tetapi, kekhalifahan Umar tidak kurang pula mencoloknya dalam pembaharuan – pembaharuan pemerintahannya. <br />Umar bin Khatab merupakan khalifah yang banyak sekali memberikan contoh-contoh siyasah, diantaranya penerapan bea-impor, dan pada masa itu berlaku atas dasar keseimbangan, hal ini, seimbang dengan bea-impor yang dikenakan Negara-negara non muslim kepada pedagang-pedagang non muslim. Dalam menjawab Nabi Musa, Gubernur menanyakan tentang bea masuk impor yang harus dikenakan terhadap pedagang non muslim, umar menyatakan : “ Ambilllah oleh mu bea impor sebagaimana mereka mengambil bea impor untuk pedangan muslim.”<br />Umar bin Khatab yang pertama kali menunjuk seorang hakim untuk mengadili perkara-perkara dibidang harta kekayaan. Dengan demikian sejarah Islam mulai mengenal pembagian kekuasaan, meski terbatas pada lembaga eksekutif dan yudikatif.<br />Dalam bidang munakhahat, umar menetapkan peraturan bahwa menjatuhkan talak tiga kali bermakna hukum menjatuhkan hukum talak tiga. Hal ini disebabkan banyak kaum muslimin menjatuhkan talaq tiga secara tergesa-gesa. Dengan keputusan kaum muslimin diharapkan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus, karena konsekuensinya sangat berat yaitu jatuh ketiga talaknya. <br />3. Khalifah Ustman bin Affan <br />Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan ibn Abdil Ahs ibn Umayyah dari pihak Quraiys. Ia memluk Islam lantaran ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah satu seorang sahabat dekat Nabi SAW. Melalui persaingan yang ketat dengan Ali, tim formatur yang dibentuk oleh Umar ibn Khattab akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Utsman bin Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman al- Khulafa’ur Rasyidin yaitu 12 tahun.<br />Separuh pertama pada pemerintahan Ustman, beliau melanjutkan sukses pendahuluannya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Separuh pemerintahan Ustman bin Affan yang kedua muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam sediri. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhdap kepemimpinan Ustman adalah kebijakasanaanya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Jadi, dengan tidak tegasnya Ustman dalam pemerintahannya akhirnya tidak mampu membebaskan diri sepenuhnya dari pengaruh keluarga Umayyah yang mengintari dirinya. Dalam literatur politik pada masa pemerintahan Ustman tidak terealisasi dengan baik. Dalam sejarah, Ustman sering dikatakan sebagai khalifah yang nepotisme. Pada masa pemerintahan Utsman, wilayah kekuasan Islam sudah bertambah luas. Oleh karena itu, Ustman perlu mengangkat orang- orang yang dapat dipercaya dan setia terhadap pemerintah pusat. <br />Utsman bin Affan berusaha merapkan siyasah syar’iah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi selama masa pemerintahannya. Contohnya adalah mempersatukan umat islam melalui penyalinan Al-Qur’an pada satu mushaf, yaitu mushaf Ustmani. Khalifah hanya melarang menggunakan salinan Al-Qur’an atau mushaf lain demi keselamatan umat. Ustman bin Affan merupakan khalifah pertama yang menentukan lokasi khusus untuk siding pengadilan, karena pada masa sebelumnya proses peradilan dilakukan dimasjid T.M Hasybi As-shidiqy yang menjelaskan kebijakan khalifah Ustman tentang status milik unta yang lepas. <br />4. Khalifah Ali bin Abi Thalib<br />Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. Ia adalah sepupu Nabi yang telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Makkah, demi untuk membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. <br />Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita- cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Ustman kepada kepada kerabat dekatnya menjadi pemilik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat. <br />Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik sedang bergejolak tentu saja situasi demikian tidak memungkinkan khalifah untuk mengupayakan pengaturan dan pengarahan kehidupan umat secara leluasa pada masa ini, terjadi peperangan antar muslim. Sekalipun khalifah telah berusaha mempersatukan umat, namun situasi politik semakin memburuk. Konflik berdarah yang dikenal dengan perang siffin dan perang jamal pun pecah. <br />Ali bin Abi Thalib terpaksa berperang meskipun ia senantiasa berkeinginan untuk ishlah dengan sesama muslim. Oleh karena itu sebelum melakukan perang jamal Ali mengirim surat perdamaian dan ia pun menjawab surat-surat dari muawiyah tidak kurang dari empat kali. Meskipun kepemimpinannnya dihadapkan pada situasi politik yang rawan, namun bukan berarti bahwa Ali tidak membuat kebijakan, yang termasuk kategori fikih siyasah antara lain : urusan korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan bersenjata, dan urusan administrasi peradilan. <br />III. Kemajuan yang Dicapai pada Masa Nabi Muhammad dan Khulafa’ur Rasyidin<br />A. Kemajuan yang Dicapai pada Masa Nabi Muhammad SAW<br />Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Muhammad terjadi pada saat usianya 35 tahun. Waktu itu bangunan ka’bah rusak berat, perbaikan ka’bah dilakukan secara bergotong royong para penduduk Makkah membantu secara suka rela. Tetapi pada saat terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkanya hajar aswad ditempatnya semula timbul perselisihan. Perselisihan semakin muncak, namun pada akhirnya para pemimpin quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk masjid esok hari, dialah yang berhak meletakkan hajar aswad. Dengan peristiwa itu, dapat diketahui bahwa perjuangan Muhammad dalam menyelesaikan sebuah perselisihan yang terjadi pada kaum Quraisy. Sehingga Muhammad dipercaya menjadi hakim dan diberi gelar “ al- Amin”. <br />Al- Qur’an merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada umat. Tugas Muhammad disamping mengajarkan tauhid juga mengajarkan Al- Qur’an kepada umatnya agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya yang selanjutnya akan menjadi warisan secara turun temurun dan menjadi pegangan dan pedoman hidup bagi kaum Muslimin sepanjang zaman. <br />Rasulullah bersabda, ” Aku tinggalkan dua perkara, apabila kamu berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan tersesat, yaitu Al- Qur’an dan sunnah”. Semua yang disampaikan Rasulullah kepada umatnya adalah berdasarkan Al- Qur’an. Bahkan dikatakan dalam sebuah hadits, bahwa akhlak Rasul adalah Al- Qur’an. Apa yang dicontohkan oleh Rasul adalah cermin isi Al- Qur’an. Sehingga kalau umat Islam mau berpegang teguh kepada Al- Qur’an dan hadits Nabi, maka dijamin mereka tidak akan tersesat. <br />B. Kemajuan yang Dicapai pada Masa Khulafa’ur Rasyidin<br />Keempat khalifah yanhg menggantikan Nabi di dalam kepemimpinan umat Islam dikenal sebagai khulafa’ur rasyidin atau khalifah- khalifah yang shaleh. Masa khalifah- khalifah yang shaleh merupakan zaman yang paling gemilang di dalam sejarah Islam. Pada zaman ini cita- cita dan ajaran Nabi diteruskan sebagai suatu kekuatan yang hidup, dan khalifah- khalifah mengikuti tradisi dari Sang Guru Agung di dalam cita- cita dan kebijaksanaan. <br />Meskipun hanya berlangsung 30 tahun, masa replubik Islam itu merupakan masa yang paling penting di dalam sejarah. Ia menyelamatkan Islam, mengonsolidasikannya dan meletakkan dasar bagi keagungan umat Islam. Khalifah rasyidin yang pertama, Abu Bakar menyelamatkan umat Islam dari perpecahan karena karena soal penggantian kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Dia juga menyelamatkan Islam dari bahaya besar orang- oarang murtad dan nabi- nabi palsu, dan mempertahankan keyakinan akan agama yang benar di Arabia. Kahlifah Rasyidin yang kedua, Umar, mengonsolidasikan Islam di Arabia, mengubah anak- anak padang pasir yang liar menjadi bangsa pejuang yang berdisiplin dan mengahancurkan Kekaisaran Persia dan Bizantum, membangun suatu imperium yang sangat kuat. Pemerintahan khalifah rasyidin yang ketiga, Usmant, menyaksikan ekspansi imperium Arab yang lebih jauh di Asia Tengah dan Tripoli. Pemerintahan yang terbentuknya angkatan laut. Pemerintahan khalifah rasyidin yang keempat, Ali, digunakan untuk mengatasi kekacauan di dalam negeri. <br />Masa kekuasaan khulafa’ur Rasyidin yang dimuali sejak Abu Bakar Ash- Shidiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam yang berhasil dalam mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad yang telah meletakkan dasar agama Islam di Arab, setelah beliau wafat, gagasan dan ide- idenya diteruskan oleh para Khulafa’ur Rasyidin. <br />Ekspansi ke negeri – negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenaangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat. <br />Pada masa kekuasaan Khulafa’ur Rasyidin, banyak kemajuan peradaban yang telah dicapai. Diantaranya adalah munculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Diantara gerakan pemikiran yang menonjol pada masa khulafa’ur rasyidin adalah sebagai berikut:<br />a. Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al- Karim dan mengumpulkannya dalam bentuk mushaf pada masa Abu Bakar<br />b. Memberlakukan mushaf standar pada masa Ustman bin Affan<br />c. Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan menerangi kebodohan berilasan para penduduk negeri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa Utsman dikirim ke berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Al- Qur’an dan A- Sunnah kepada banyak penduduk begeri yang sudah dibuka.<br />d. Sebagian orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke- 19 banyak yang mempelajari fenomena futuhat al- Islamiyah dan menafsirkannya dengan motif bendawi. Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah perang dengan motif ekonomi, yaitu mencari dan mengeruk kekayaan negeri yang ditundukan. <br />e. Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i maupun panglima. Tidak dikenal orang yang berprofesi khusus sebagai da’i. Para khalifah adalah pengusaha, imam shalat, mengadili orang yang berselisih, da’i, dan juga panglima perang.<br />Disamping itu dalam hal peradaban juga terbentuk organisasi negara atau lembaga- lembaga yang dimiliki pemerintahan kaum muslimin sebagai pendukung kemaslahatan kaum muslimin. Organisasi negara tersebut telah dibina lebih sempurna, telah dijasikan sebagai suatu nizham yang mempunyai alat- alat perlengkapan dan lembaga- lembaga menurut ukuran zamannya telah cukup baik. <br />Oraganisasi- organisasi atau lembaga- lembaga negara yang ada pada khulafa’ur rasyidin, diantarannya adalah:<br />a. Lembaga Politik<br />Termasuk dalam politik khilafah ( jabatan kepala Negara), wizarah ( kementrian negara), dan kitabah ( sekertaris Negara)<br />b. Lembaga Tata Usaha Negara<br />Termasuk dalam urusan lembaga tata usaha negara, Idaratul Aqalim ( spengelolaan pemerintah negara), dan diwan ( pengurus departemen) seperti diwan kharaj ( kantor urusan keuangan), diwan rasail ( kantor urusan arsip), diwanul barid ( kantor urusan pos), diwan syurthah ( kantor urusan kepolisian) dan departemen lainnya.<br />c. Lembaga Keuangan Negara<br />Termasuk dalam lembaga keuangan negara adalah urusan – urusan keuangan dalam masalah ketentaraan, baik angkatan perang maupun angkatan laut, serta perlengkapan dan persenjataannya.<br />d. Lembaga Kehakiman Negara<br />Termasuk dalam lembaga kehakiman negara, urusan- urusan mengenai Qadhi ( pengadilan Negeri), Madhalim ( pengadilan banding), dan Hisbah ( pengadilan perkara yang bersifat lurus dan terkadang juga perkara pidana yang memerlukan pengurusan segera). <br />IV. ANALISIS <br />Tabel Khalifah dan Kemajuannya ( ada di lampiran berikutnya)<br />V. PENUTUP<br />Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2009)<br />Djazuli, H.A., Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu- rambu Syariah, ( Jakarta Prenata Media Grup, 2009)<br />Fuadi,Imam, Sejarah Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Teras, 2011)<br />Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam , ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)<br />Mahmudunnaris, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)<br />Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip- prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996)<br />Syukur NC, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010)<br />Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996)<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-72867883715710176532013-06-25T17:40:00.003-07:002013-06-25T17:40:41.977-07:00RUANG LINGKUP FIQH SIYASAH<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN<br />Islam sebagai agama telah menyediakan berbagai kerangka normatif dan implementatif untuk dijadikan sebagai pedoman umat manusia dalam berperilaku di muka bumi. Islam tidak memberikan kerangka itu dalam bentuknya yang paling detail, melainkan memberikan panduan nilai-nilai dan kerangka aplikasi sesuai dengan problem yang dihadapi umat manusia. Dengan demikian, Islam tampil sebagai agama yang mampu menjawab segala tantangan zaman. <br />Menurut teori yang dikemukakan J.J. Rousseau (1712-1778 M), bahwa secara natural law, setiap individu-individu melalui perjanjian bersama antara mereka membentuk sebuah masyarakat (social contract). Dengan terbentuknya sebuah masyarakat ini, maka secara otomatis pula, terbentuklah sebuah pemerintahan yang dapat mengatur dan memimpin masyarakat tersebut. <br />Dikatakan pula, bahwa hukum Islam itu adalah sebuah hukum yang sangat menyeluruh, dalam arti hukum Islam dapat mencakup segala aspek kehidupan manusia. Padahal, di satu sisi, hukum Islam terlihat secara lahirnya hanya dikaitkan dengan hukum dogmanitas yang seolah-olah bersifat vertikal, bukan horizontal. Ternyata pandangan ini salah. Karena terbukti hukum Islam secara langsung mengatur urusan duniawi manusia, sama ada yang muslim maupun yang bukan muslim. <br />Maka dari sinilah perlunya sebuah disiplin ilmu di dalam hukum Islam yang dapat mengatur konsep pemerintahan. Karena pemerintahan sangat diperlukan di dalam mengatur kehidupan manusia. Disiplin ilmu tersebut adalah fiqh siyâsah.<br /><br />II. RUMUSAN MASALAH<br />A. Apa Pengertian Fiqh Siyasah?<br />B. Bagaimana Obyek dan Metode Pembahasan Fiqh Siyasah?<br />C. Apa Saja Bidang-bidang Fiqh Siyasah?<br />D. Bagaimana Pengembangan Fiqh Siyasah di Era Modern?<br />III. PEMBAHASAN<br />A. Pengertian Fiqh Siyasah<br />Istilah fiqh siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni fiqh dan siyasah. Secara etimologis, fiqh merupakan bentuk mashdar dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan (tertentu). <br />Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih populer didefinisikan sebagai berikut: Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. <br />Adapun Al siyasah berasal dari kata سا س يسوس سياسة yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Secara terminologis, sebagaimana dikemukakan Ahmad Fathi Bahatsi, siyasah adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.<br />Definisi lain ialah Ibn Qayyim dalam Ibn ‘Aqil menyatakan:<br />"Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah tidak menentukannya" <br />Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqh siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya. <br />Prinsipnya definisi-definisi tersebut mengandung persamaan. Siyasah berkaitan dengan mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkanya dari kemudaratan.<br />Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siyasah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur, 2. Pihak yang diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:<br />“Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat”.<br />Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyasah berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyasah (siyasah syar’iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlah). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. Definisi politik adalah: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. <br />Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.<br /><br /><br />B. Obyek dan Metode Pembahasan Fiqh Siyasah<br />Objek kajian fiqh siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga negara, hubungan antar warga negara dengan lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubungan yang bersifat ekstern antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan. Dari pemahaman seperti itu, tampak bahwa kajian siyasah memusatkan perhatian pada aspek pengaturan. Penekanan demikian terlihat dari penjelasan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy: <br />“Objek kajian siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan penadbirannya, dengan mengingat persesuaian penadbiran itu dengan jiwa syariah, yang kita tidak peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nash-nash yang merupakan syariah ‘amah yang tetap”. <br />Hal yang sama ditemukan pula pada pernyataan Abul Wahhab Khallaf: <br />“Objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya”. <br />Secara garis besar maka objeknya menjadi, pertama, peraturan dan perundang-undangan, kedua, pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan, dan ketiga, hubungan antar penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.<br />Metode yang digunakan dalam membahas Fiqh Siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam membahas Fiqh lain, dalam Fiqh Siyasah juga menggunakan Ilm Ushul Fiqh dan Qowaid fiqh.<br /><br /><br />Secara umum, metode yang digunakan adalah:<br />1. Al-Ijma’<br />Al-Ijma’ merupakan kesepakatan (konsensus) para fuqaha (ahli fiqh) dalam satu kasus. Misalnya pada masa khalifah Umar ra. Dalam mengatur pemerintahannya Umar ra melakukan musyawarah maupun koordinasi dengan para tokoh pada saat itu. Hal-hal baru seperti membuat peradilan pidana-perdata, menggaji tentara, administrasi negara dll, disepakati oleh sahabat-sahabat besar saat itu. Bahkan Umar ra mengintruksikan untuk shalat tarawih jama’ah 20 raka’at di masjid, merupakan keberaniannya yang tidak diprotes oleh sahabat lain. Hal ini dapat disebut ijma’ sukuti.<br />2. Al-Qiyas<br />Dalam fiqh siyasah, qiyas digunakan untuk mencari umum al-ma'na atau Ilat hukum. Dengan qiyas, masalah dapat diterapkan dalam masalah lain pada masa dan tempat berbeda jika masalah-masalah yang disebutkan terakhir mempunyai ilat hukum yang sama.<br />Dalam hal qiyas berlaku kaidah :<br />اَلْحُكْمُ يَدُوْرُوْ مَعَ عِلَتِهِ وُجُوْدًا وَعَدْمًصا<br />"hukum berputar bersama ilatnya, ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya ilat hukum tersebut"<br />3. Al-Mashlahah al-Mursalah<br />Al-mashlahah artinya mencari kepentingan hidup manusia<br />dan mursalah adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash Al-Qur'an dan As-Sunah yang menguatkan atau membatalkan. Al-mashlahah al-mursalah adalah pertimbangan penetapan menuju maslahah yang<br />harus didasarkan dan tidak bisa tidak dengan استقراء (hasil<br />penelitian yang cermat dan akurat).<br />4. Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah. <br />Sadd al-Dzari'ah adalah upaya pengendalian masyarakat menghindari kemafsadatan dan Fath al-Dzari’ah adalah upaya perekayasaan masyarakat mencapai kemaslahatan.<br />Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah adalah "alat" dan bukan "tujuan", contohnya ialah pelaksanaan jam malam, larangan membawa senjata dan peraturan kependidikan. Pengendalian dan perekayasaan berdasar sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah dapat diubah atau dikuatkan sesuai situasi.<br />Dalam hal Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah berlaku kaidah :<br />للوسا ئل حكم المقاصد<br />"Hukum 'alat’ sama dengan hukum ‘tujuan’nya".<br />5. Al-‘Adah<br />Kata Al-‘Adah disebut juga Urf. Al-‘Adah terdiri dua macam, yaitu : al-‘adah ash sholihah yaitu adat yang tidak menyalahi syara’<br />dan al-‘adah al-fasidah yaitu adat yang bertentangan syara’.<br />Dalam hal Al-‘adah berlaku kaidah :<br />العادة محكمة<br />"Adat bisa menjadi hukum"<br />6. Al-Istihsan<br />Al-Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus kepada ketetapan dalam umum. Dengan kata lain berpindah menuju dalil yang lebih kuat atau membandingkan dalil dengan dalil lain dalam menetapkan hukum.<br />Contoh : menurut sunnah tanah wakaf tidak boleh dialihkan kepemilikannya dengan dijual atau diwariskan, tapi jika tanah ini tidak difungsikan sesuai tujuan wakaf, ini berarti mubazir. Al-Qur'an melarang perbuatan mubazir, untuk kasus ini maka diterapkan istihsan untuk mengefektifkan tanah tersebut sesuai tujuan wakaf.<br />7. Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah<br />Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah adalah sebagai teori ulama yang banyak digunakan untuk melihat ketetapan pelaksanaan fiqh siyasah. Kaidah-kaidah itu bersifat umum. Oleh karena itu, dalam penggunaannya, perlu memerhatikan kekecualian-kekecualian dan syarat-syarat tertentu.<br />Kaidah-kaidah yang sering digunakan dalam fiqh siyasah, antara lain:<br />الحكم يدورو مع علته وجودا وعدما<br />“hukum berputar bersama ilatnya, ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya ilat hukum tersebut”.<br />تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمنكة والأحول والعواعد والنيات<br />“Hukum berubah sejalan dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan dan niat”.<br />دفع المفاسد وجلب المصالح<br /> “Menolak kemafsadatan dan meraih kemaslahatan”. <br /><br />C. Bidang-bidang Fiqh Siyasah<br />Berkenaan dengan luasnya objek kajian fiqih siyasah, maka dalam tahap perkembangan fiqh siyasah ini, dikenal beberapa pembidangan fiqh siyasah. Tidak jarang pembidangan yang diajukan ahli yang satu berbeda dengan pembidangan yang diajukan oleh ahli lain. Hasbi Ash Siddieqy, sebagai contoh, membaginya ke dalam delapan bidang, yaitu; <br />1. Siyasah Dusturriyah Syar’iyyah <br />2. Siyasah Tasyri’iyyah Syar’iyyah<br />3. Siyasah Qadha’iyyah Syar’iyyah<br />4. Siyasah Maliyah Syar’iyyah <br />5. Siyasah Idariyah Syar’iyyah<br />6. Siyasah Kharijiyah Syar’iyyah/Siyasah Dawliyah<br />7. Siyasah Tanfiziyyah Syar’iyyah <br />8. Siyasah Harbiyyah Syar’iyyah<br />Contoh lain dari pembidangan fiqh siyasah terlihat dari kurikulum fakultas syari’ah, yang membagi fiqh siyasah ke dalam empat bidang, yaitu:<br />1. Fiqh Dustury<br />2. Fiqh Maliy<br />3. Fiqh Dawly<br />4. Fiqh Harbiy<br />Pembidangan-pembidangan di atas tidak selayaknya dipandang sebagai “pembidangan yang telah selesai”. Pembidangan fiqh siyasah telah, sedang dan akan berubah sesuai dengan pola hubungan antarmanusia serta bidang kehidupan manusia yang membutuhkan pengaturan siyasah. <br />Dalam fiqh tersebut, berkenaan dengan pola hubungan antarmanusia yang menuntut pengaturan siyasah, dibedakan:<br />1. Fiqh siyasah dusturiyyah, yang mengatur hubungan antara warga negara dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara yang lain dalam batas-batas administratif suatu negara. Jadi, permasalahan di dalam fiqh siyasah dusturiyyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakat. Maka ruang lingkup pembahsannya sangat luas. Oleh karena itu, di dalam fiqh siyasah dusturiyyah biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya. Contoh Negara yang menganut siyasah dusturiyyah yaitu Negara Indonesia, Ira’ dan lain-lain. Misalnya: Membayar pajak tepat waktu, pembuatan identitas kewarga negaraan seperti pembuatan KTP, SIM, dan AKTA Kelahiran.<br />2. Fiqh siyasah dawliyyah, Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash. Fiqh yang mengatur antara warga negara dengan lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara dari negara lain. Contoh Negara yang menganut siyasah dauliyah yaitu Negara Iran, Malaysia, dan Pakistan. Meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam. misalnya. Misalnya: NATO PBB.<br />3. Fiqh siyasah maliyyah, fiqh yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara. Maka, dalam fiqh siyasah ada hubungan di antara tiga faktor, yaitu: rakyat, harta, dan pemerintah atau kekuasaan. Dalm suatu kalangan rakyat, ada dua kelompok besar dalam suatu negara yang harus bekerja sama dan saling membantu antar orang-orang kaya dan miskin. Fiqh siyasah ini, membicarakan bagaimana cara-cara kebijakan yang harus diambil untuk mengharmonisasikan dua kelompok tersebut, agar kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak semakin lebar. Adapun Negara yang menganut fiqih maliyyah adalah Semua Negara. Contohnya: RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Negara). <br /><br />D. Pengembangan Fiqh Siyasah di Era Modern<br />Dunia Islam setelah tiga kerajaan besar Islam mundur; kerajaan Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia (1700-1800 M), tidak mampu menandingi keunggulan Barat dalam bidang tehnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi.<br />Menghadapi penestrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat, sebagian pemikir Islam: a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju utuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan Khulafa al-Rasyidin. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang sampai dengan sekarang. <br />Pada periode modern, para pemikir islam bangkit dari kemunduran yang melanda di negeri-negeri muslim, hampir seluruh dunia islam berada di bawah penjajahan Barat. Maka sebagian para pemikiran islam modern atau kontemporer mempunyai suatu kecenderungan untuk mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian islam, hal-hal seperti itu dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, dan sekularisme.<br />Kelompok pertama memiliki bahwa agama dan politik adalah menyatu, tak terpisahkan. Dalam pandangan kelompok ini negara tidak bisa dipisahkan dari agama, karena tugas negara adalah menegakkan agama sehingga negara islam atau khilafah islamiyah menjadi cita-cita bersama. Karena itulah syariat islam menjadi hukum negara yang dipraktikan untuk seluruh umat islam. Kelompok pertama ini diwakili oleh: Muhammad Rasyid Ridha (1869-1935 M), Hasan bin Ahmad bin Abdurrohman Al-Banna atau dikenal Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1966 M), dan Imam Khomeini (1900-1989 M).<br />Dari sejumlah pemikir yang memiliki pandangan integralistik ini menunjukkan bahwa islam tidak bisa dipisahkan dengan negara yang ditunjukkan oleh mereka dalam aktivitas politiknya dalam bentuk partai politik islam yang bertujuan untuk merebut negara dari penguasa sekuler.<br />Budaya-budaya fiqih siyasah pada era modern adanya perkembangan mengenai gagasan-gagasan politik dan kebudayaan yang tidak terlepas dari pengaruh sekularisme ke tengah-tengah umat manusia. contohnya bidang tekhnologi, ilmu pengatahuan, ekonomi dan organisasi. Timbulnya budaya-budaya tersebut, semakin lemahnya dunia Islam di bawah penjajahan bengsa Barat. Hampir seluruh Negara Muslim berada di bawah imperialisme dan colonialisme.<br />Kelompk kedua memiliki pandangan bahwa agama dengan politik melakukan simbolis atau hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara untuk menegakkan aturan-aturan syariat. Sementara negara membutuhkan negara untuk mendapatkan legitimasi. Para pemikir tersebut menunjukkan garis pemikiran politik yang moderat dengan tidak mengabaikan pentingnya negara terhadap agama. Dan kelompok ini diwakili oleh; Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Iqbal (1873-1938 M), Muhammad Husan Haikal (1888-1945 M), Fazlur Rahman (1919-1988 M).<br />Kelompok ketiga, para pemikir memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan untuk mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya faktor alamiah dan historis dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu umat Islam mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiah. Dan kelompok ini diwakili oleh: Ali Abd al-Raziq (1888-1966 M), Thaha Husein (1889-1973 M), Mustafa Kemal Atturk (1881-1938 M). <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />IV. ANALISIS<br />Fiqh siyasah adalah sebuah disiplin ilmu yang isinya adalah membahas hukum-hukum pemerintahan dan konsep menjalankan pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam dengan tujuan memberi kemaslahatan bagi rakyatnya.<br />Adapun ruang lingkup fiqh siyasah secara keseluruhan dan secara umum, dapat dikelompokan kepada tiga (3) kelompok: 1. Siyasah dusturiyyah, 2. Siyasah dauliyyah, 3. Siyasah maliyyah.<br />Pertama, Siyasah Dusturiyah (peraturan perundang-undangan) meliputi pengkajian hukum (tasyrifiyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (qadhaiyah) oleh lembaga yudikatif dan administrasi pemerintah (idariyah) oleh lembaga eksekutif. Adapun Contohnya yaitu: membayar pajak tepat waktu, pembuatan identitas kewarga negaraan seperti pembuatan KTP, SIM, dan AKTA Kelahiran.<br />Kedua, Siyasah dauliyyah (kedaulatan, kerajaan, kekuasaan, wewenang). Meliputi kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial, nasionalitas ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing dengan tujuan untuk mengatur antara warga negara dengan lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara dari negara lain. Adapun Negara yang menganut siyasah dauliyyah ini yaitu Negara Iran, Malaysia, dan Pakistan. Contohnya: NATO PBB.<br />Ketiga, Siyasah Maliyah (ekonomi/moneter) ternasuk dalma siyasah maliyah ialah sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak publik, pajak dan perbankan. Adapun Negara yang menganut fiqih maliyyah adalah Semua Negara, contohnya: RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Negara).<br />Melihat definisi serta luasnya pembahasan ruang lingkup fiqh siyasah, sebaiknya kajian fiqh siyasah ini benar-benar didalami secara mendalam di dalam kelas fiqh siyasah ini karena sangat penting bagi kemajuan pemikiran mahasiswa.<br />Pembelajaran fiqh siyasah tidak hanya mengacu pada teks-teks fiqh siyasah, akan tetapi juga dapat dirujuk pada kitab-kitab furu’ lainnya. Hendaknya, organisasi gerakan mahasiswa, study group, dan dosen-dosen mulai mewarnai sistem pemikiran politiknya berlandaskan fiqh siyasah, karena selama ini, ideologi yang dipakai hanya bersifat nasionalisme semata, tanpa ada semangat Islami. <br /><br />V. KESIMPULAN<br />Secara terminologis, fiqh adalah Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan siyasah (menurut Ibn al-Qayyim dalam Ibn ‘aqil) adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah tidak menentukannya.<br />Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqh siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.<br />Objek kajian fiqh siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga negara, hubungan antar warga negara dengan lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubungan yang bersifat ekstern antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan.<br />Metode-metode fiqh siyasah, yaitu: ijma’, al-Qiyas, al-mashlahah al-mursalah, sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah, al-‘adah, al-istihsan, serta kaidah-kaidah fiqhiyyah.<br />Adapun bidang-bidang fiqh siyasah, antara lain: Fiqh siyasah dusturiyyah, fiqh siyasah dawliyyah dan fiqh siyasah maliyyah. <br />Pada periode modern, para pemikir islam bangkit dari kemunduran yang melanda di negeri-negeri muslim, hampir seluruh dunia islam berada di bawah penjajahan Barat. Maka sebagian para pemikiran islam modern atau kontemporer mempunyai suatu kecenderungan untuk mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian islam, hal-hal seperti itu dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, dan sekularisme.<br /><br />VI. PENUTUP<br />Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Djazuli, A., Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2009, Cet. 4<br />Salim, Abdul Mu’in, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, Cet. 1<br />Syarif, Mujar Ibnu, dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008<br />http//blogfiqh.blogspot.com/2010/kuliah-fiqh-siyasah-politik-islam.html<br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-22150091227119019542013-06-25T17:38:00.003-07:002013-06-25T17:38:26.034-07:00PERKEMBANGAN SEJARAH FIQH SIYASAH PADA MASA DAULAH UMAYYAH<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
I. PENDAHULUAN<br /><div style="text-align: justify;">
Kajian terhadap kajian siyasah telah tumbuh dan berkembang sejak islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Bahkan, usia fiqh siyasah setua ajaran islm itu sendiri. Fiqih siyasah menguraikan berbagai keragaman politik dan ekonomi umat yang sangat komplek yang dihadapi seluruh umat diberbagai wilayah dunia islam. <br />Fiqih siyasah menerima dengan terbuka apa yang datang dari luar selama maslahat bagi kehidupan umat, bahkan menjadikannya sebagai unsur yang akan bermanfaat dan akan menambah dinamika kehidupannya serta menghindarkannya dari kekakuan dan kebekuan.Akan tetapi siyasah juga akan menolak unsur-unsur luar yang akan menyimpangkannya dari tujuan dan keluar dari rambu-rambu syari’ah yang akan mengikis habis identitasnya. Hal ini dihadapi umat islam dimana saja didalam proses kehidupan didunia yang terus berubah.<br />II. RUMUSAN MASALAH<br />A. Bagaimana Sistem Khalifah/Pemerintahan Bani Umayyah?<br />B. Siapa Saja Raja-Raja Daulah/Kerajaan Bani Umayyah?<br />C. Bagaimana Dinamika Sosial dan Politik Bani Umayyah?<br />D. Apa Saja Kemajuan yang di Capai Bani Umayyah?<br />E. Bagaimana Perluasan Wilayah Daulah Bani Umayyah?<br />F. Bagaimana Kemunduran Daulah Bani Umayyah?<br />G. Bagaimana Analisis Pemerintahan Bani Umayyah?<br />III. PEMBAHASAN<br />A. Sistem Khalifah/Pemerintahan Bani Umayyah<br />Nama dinasti umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdul Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting di tengah quraisy pada masa jahiliyyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdi Manaf selalu bertarung dan memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.<br />Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb. Muawiyah disamping sebagai pendiri daulah Bani Umayyah juga sekaligus sebagai khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Kuffah ke Damaskus.<br />Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchi heridetas(kerajaan turun-temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipudaya tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Ia bahkan mengangkat putranya, Yazid, menjadi putra Mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlansung secara turun-temurun yang diikuti oleh para pengganti Muawiyah. Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi di Zaman Khulafa al-Rasyidin dimana Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah melanggar asas musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an agar segala urusan diputuskan melalui musyawarah.<br /><br />B. Raja-Raja Daulah/Kerajaan Bani Umayyah<br />Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. <br />NO NAMA MASA BERKUASA<br />1 Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan 661-681 M<br />2 Yazid ibn Mu’awiyah 681-683 M<br />3 Mua’wiyah ibnu Yazid 683-685 M<br />4 Marwan ibnu Hakam 684-685M.<br />5 Abdul Malik ibn Marwan 685-705 M<br />6 Al-Walid ibnu Abdul Malik 705-715 M<br />7 Sulaiman ibnu Abdul Malik 715-717 M<br />8 Umar ibnu Abdul Aziz 717-720 M<br />9 Yazid ibnu Abdul Malik 720-824 M<br />10 Hisyam ibnu Abdul Malik 724-743 M<br />11 Walid ibn Yazid 734-744 M<br />12 Yazid ibn Walid [Yazid III] 744 M<br />13 Ibrahim ibn Malik 744 M<br />14 Marwan ibn Muhammad 745-750 M<br />Dan para sejarawan mencatat bahwa para khalifah terbesar dari daulah Bani Umayyah ialah Muawiyah bin Abi Sufyan(661-680 M), Abdul Malik bin Marwan(685-705 M), Walid bin Abdul Malik(705-715 M), Umar bin Abdul Aziz(717-720 M), dan Hisyam bin Abdul Malik(724-743 M).<br />C. Bagaimana Dinamika Sosial dan Politik Bani Umayyah<br />1. Kondisi Sosial politik<br />a. Awal Mula Konflik Politik dalam Islam<br />Ali hanyalah seorang Jendral dan seorang prajurit yang gagah berani. Muawiyah adalah seorang diplomat yang licik dan seorang politikus yang pintar. Dia memainkan kelicikan apabila keberanian bertarung tidak berhasil. Dengan cerdik dia memanfaatkan pembunuhan khalifah Utsman untuk menjatuhkan nama dan memperlemah khalifah Ali dan untuk membantu rencananya. Karena dia sendiri adalah orang yang paling licik pada waktu itu. Muawiyah menjalin persahabatan dan persekutuan dengan Amar, juga orang yang paling cerdik dan banyak akal pada saat itu. Karena gagal dalam menggunakan pedang, Muawiyah adan sekutunya menipu dan mengalahkan khalifah Ali dengan permainan kecerdikan dan kelicikan di dalam perang siffin.<br />Menarik untuk dicermati, konflik ini bermuara pada aktivitas pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah Utsman di akhir kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok ‘Aisyah r.a., kelompok Ali, dan kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di Syam (Syria dan sekitarnya). Faksionalisasi ini pada gilirannya melahirkan pergumulan politik yang begitu tajam hingga beberapa periode khilafah di era Dinasti Umayyah.<br />b. Perang Siffin dan Awal Politik Pembentukan Daulah Bani Umayyah<br />Sejarah Bani Umayyah tak dapat dilepaskan dari sejarah sebelumnya, yaitu krisis kepemimpinan yang melanda umat Islam pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sejarah mencatat bahwa setelah terbunuhnya khalifah Utsman, bibit konflik mulai muncul. Umat Islam mulai mengalami konflik internal antara beberapa faksi yang ada, seperti perang Jamal antara faksi ummum mu’minin Aisyah dan Zubair bin Awwam r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga terjadi pada perang Shiffin antara Muawiyah dengan Ali.<br />Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syiria yang yang sangat strategis. Ia menaruh ambisi untuk menjadi khalifah dan seperti seorang politisi berpengalaman yang mempertimbangkan kejahatan yang hebat supaya bisa memungkinkannya mencapai tujuan.<br />Hal tersebut menimbulkan peperangan sesama muslim yaitu antara angkatan perang Ali dengan pasukan Muawiyah di kota tua siffin, dekat sungai Eufrat pada tahun 37 H. Khalifah Ali bergerak dari kuffah memimpin 50.000 tentara untuk menumpas pemberontakan Muawiyah. <br />Kedua pasukan itu berhadapan di medan siffin. Khalifah Ali mau menghindari pertumpahan darah umat Islam dan mau menyelesaikan itu dengan jalan damai, karena penyesalan dengan jalan damai menemui kegagalan, pertempuran pun meletus. Pertempuran terjadi antara kedua laskar beberapa hari lamanya. Ali dengan keberanian pribadinya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan laskarnya, sehingga kemenangan sudah membayang baginya. <br />Muawiyah mulai cemas dan kehabisan akal. Muawiyah telah terdesak kalah dengan 7.000 pasukannya terbunuh. Muawiyah yang cerdik, atas nasihat Amr bin Ash sekutunya yang cerdik, mengikatkan Al-Qur’an pada ujung tombak tentaranya, dan dengan demikian menuntut agar perselisihan itu diselesaikan menurut Al-Qur’an. <br />Tetapi Ali berusaha sungguh-sungguh mengobarkan semangat laskarnya meneruskan perjuangan, sehingga kemenangan yang hampir ditangannya itu sempurna. Tetapi seruan Ali tidak mendapat perhatian malah mereka memaksa Ali supaya mengmumkan bahwa peperangan dihentikan. Ali tidak dapat menahan dan terpaksa mengalah dan memgumumkan bahwa peperangan dihentikan.<br />Setelah pertempuran berhenti, diputuslah bahwa perselisihan itu harus diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai wasit. Muawiyah mengagkat sahabatnya, Amr bin Ash yang cerdik untuk menjadi penengah dari pihaknya. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari.<br />Dalam tahkim tersebut khalifah Ali dan Muawiyah harus meletakkan jabatan dan pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah tetapi justru mengangkat Muawiyah menjadi khalifah karena Ali telah diturunkan oleh Musa. Peperangan Siffin yang diakhiri dengan tahkim(arbitrasse), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil. Namun ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang makar itu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan khalifah dan meyebabkan lahirnya golongan khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali yang berjumlah kira-kira 12000 orang.<br />Peristiwa tahkim tersebut tidaklah menguntungkan Ali karena hal tersebut menimbulkan pecahnya kaum muslimin menjadi sekte-sekte, sehingga kepemimpinan Ali semakin lemah dan Muawiyah semakin kuat.<br />Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H(660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota khawarij. Kemudian kedudukan Ali sebagai khalifah dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian itu dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, dibawah Muawiyah bin Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H/661 M yaitu tahun persatuan itu dikenal dalan sejarah sebagai tahun jamaah(‘am jamaah). Muawiyah menerima kekhilafahan di Kuffah dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Hasan, antara lain:<br />1. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun penduduk Irak<br />2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka<br />3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun<br />4. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya, Husein 2 juta dirham<br />5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada bani Abdi Syams. <br />Dengan demikian berakhirlah masa al-khulafa’ ar-Rasyidin dan dimulailah kekuasaan daulah bani Umayyah dalam sejarah politik. Inilah awal politik pembentukan Daulah Umayyah.<br />2. Administrasi negara<br />Dalam menjalankan pemerintahannya, Khalifah Dinasti Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab (sekretaris) yang meliputi : <br />a. Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.<br />b. Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.<br />c. Katib asy-Syurthah yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.<br />d. Katib al-Qadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.<br /><br />D. Apa Saja Kemajuan yang di Capai Bani Umayyah<br />Adapun kemajuan-kemajuan yang diraih Bani Umayyah diantaranya adalah :<br />a. Bidang Politik dan Pemerintahan<br />Pada masa Dinasti Umayyah, pusat pemerintahan dari Madinah dipindahkan ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum Syi’ah, dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman Mu’awiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar bin al-Khattab.<br />Dalam menjalankan pemerintahannya, Khalifah Dinasti Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab (sekretaris) yang meliputi : <br />e. Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.<br />f. Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.<br />g. Katib asy-Syurthah yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.<br />h. Katib al-Qadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.<br />Kemudian, Mu’awiyah juga memisahkan antara urusan keuangan dan urusan pemerintahan. Dia mengangkat seorang gubernur di setiap provinsi untuk melaksanakan pemerintahan. Akan tetapi, untuk memungut pajak, di masing-masing provinsi diangkat seorang pejabat khusus dengan gelar Shahib al-Kharraj. Pejabat ini terikat dengan gubernur, dan diangkat oleh khalifah. Dalam masalah keuangan, gubernur harus menggantungkan dirinya pada Shahib al-Kharraj, dan hal ini membatasi kekuasaannya. Demikianlah Mu’awiyah mengembangkan keadaan yang teratur dari kekacauan.<br />Dari deskripsi diatas dapat kita ketahui bahwa jenis atau pola pemerintahan terdahulu mulai berubah sejak zaman Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud mengikuti gaya pemerintahan monarki di Persia dan Bizantium. Ia tetap memakai istilah khalifah, namun memberi interprestasi baru. Ia menyebut dirinya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Menurut beberapa ahli sejarah, pola pemerintahan yang dipakai pada masa Bani Umayyah adalah Otokrasi. Walaupun telah berbentuk kerajaan, Bani Umayyah tetap membuktikan eksistensinya dengan terus membuat kemajuan-kemajuan.<br />b. Bidang Militer dan Ekonomi<br />Pemindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota inilah daulah Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah imperium Arab.<br />Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah antara lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium (Konstantinopel). Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik yang berhasil menaklukkan Balkh, Sind, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan India. Ekspansi ke barat dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul Malik dengan mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju barat daya, benua Eropa. Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan adalah al-Jazair, Maroko, ibukota Spanyol (Kordova), Seville, Elvira, dan Toledo. Di zaman Umar ibn Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Siria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, dan sebagian Asia Tengah.<br />Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan adalah khalifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.<br />Sejumlah uang emas dan perak pernah dicetak sebelumnya pada masa ’Abd al-Malik, tapi cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia. Selanjutnya pada tahun 695-M, ’Abd al-Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al-Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya.<br />c. Bidang Sosial dan Budaya<br />Pada masa Dinasti Umayyah, orang-orang muslim Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (Mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “sayyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara.<br />Masyarakat pada masa Dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat kelas sosial. Kelas tertinggi biasanya diisi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum aristokrat Arab. Kelas sosial kedua adalah para muallaf yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga negara mengakui hak penu mereka sebagai warga muslim. Kelas sosial ketiga adalah anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, yaitu orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Selanjutnya, kelas paling rendah dalam masyarakat adalah golongan budak. Meskipun perlakuan terhadap budak telah diperbaiki, tetapi dalam prakteknya mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.<br />Khalifah Dinasti Umayyah banyak yang bergaya hidup mewah dan sama sekali berbeda dengan para khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap.<br />Selama periode kekuasaan Dinasti Umayyah, dua kota Hijaz, Mekah dan Madinah, menjadi tempat berkembangnya musik, lagu dan puisi. Sementara itu, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam. Di sini, kajian ilmiah tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai. Motif awalnya adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk agama Islam baru yang ingin mempelajari Al-Qur’an, menduduki posisi pemerintahan, dan bisa berinteraksi dengan para penakluk. Di samping itu, kesenjangan yang besar antara bahasa klasik Al-Qur’an dengan bahasa Suriah, Persia dan bahasa serta dialek lain menjadi pemicu munculnya minat pengkajian bahasa. Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan jika perintis tata bahasa Arab legendaris Abu al-Aswad al-Duwali (wafat 688-M), berasal dari Baghdad.Di bidang kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah, Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh.<br />d. Bidang Ilmu dan Pengetahuan<br />Ilmu pengetahuan di masa ini mengalami perkembangan yang pesat, bahkan ilmu pengobatan mencapai kesempurnaannya di Arab. Khalid bin Yazid memperoleh kesarjanaan dalam ilmu kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku tentang bidang itu.Khalid bin Yazid (wafat tahun 704-M atau 708-M) putra khalifah Dinasti Umayyah kedua, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang kimia, kedokteran, dan astrologi. Meskipun terbukti legendaris, mengasosiasikan penerjemahan itu kepada Khalid bin Yazid menjadi penting, karena hal itu membuktikan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi ilmiah mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh tenaga penggeraknya.<br />Naskah-naskah astrologi dan kimia yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq (700-M-765-M), seorang keturunan Khalifah ’Ali bin Abi Thalib, dan salah satu dari 12 imam Syi’ah, telah diragukan keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis. Kenyataan paling tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa Dinasti Umayyah adalah bahwa ia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen yang bisa dijadikan bahan kajian. <br />E. Perluasan Wilayah Daulah Bani Umayyah<br />Kejayaan dinasti Umayyah ditandai dengan capaian ekspansinya yang sangat luas. Ekspansi masa dinasti Umayyah merupakan kelanjutan dan perluasan dari apa yang telah dicapai pada masa khulafah al-Rasyidin.<br />a. Perluasan ke wilayah barat<br />Untuk mengembangkan kekuasannya Mu’awiyah berusaha mematahkan imperium Bizantium, dengan merebut kota konstatinopel. Karena dengan jatuhnya kota konstatinopel akan menyebabkan jatuhnya imperium Bizantium.<br />Untuk kepentingan ini Mu’awiyah mempersiapkan armadanya yang telah dilengkapi dengan persenjataan lengkap, bahkan armada Mu’awiyah jauh lebih besar dari armada Bizantium yang bermarkas di pantai Lycia. Maka mulailah bertolak armada Mu’awiyah, setiap pulau yang dilewati di laut tengah berhasil ditaklukan satu persatu seperti pulau Rhodes, pulau Kreta, dan juga diserangnya pulau-pulau sisilia dan pulau-pulau Arwad. Kemudian Mu’awiyah terus bertolak untuk mengepung konstatinopel. Ketika itu tentara muslimin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah dan didampingi oleh Abu Ayub al-Anshar, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar dan Banu Abbas. Meskipun penyerangan terus dilakukan oleh pasukan Islam, tampaknya saat itu pasukan Bizantium sangat tangguh. Pada tahun 677 M, Mu’awiyah memutuskan untuk menghentikan serangan dan berdamai dengan Bizantium setelah pasukan Islam mengalami kekalahan.<br />Pada masa khalifah Sulaiaman bin abdul malik juga berusaha untuk merebut kota konstatinopel kembali namun tetap gagal. Sehingga penyerangan diarahkan ke wilayah lain:<br />1) Penaklukan di Afrika utara <br />Pada tahun 681 M M Uqbah bin nafi memimpin ekspansi besar-besaran ke barat sampai mencapai atlantik. Tetapi dalam perjalanan pulang dia disergap dan dibunuh oleh kepala suku Barbar Kusaylah dan Kahina. Olah karena itu pasukan kaum muslimin mengundurkan diri.<br />Ketika jabatan khalifah dipegang oleh Abdul Malik, bani Umayyah mulai bangkit kembali. Abdul malik mengirimkan pasukan yang besar dibawah pimpinan Hasan Ibnu Mu’man al-Ghasani(689 M). Mereka berhasil mengusir Romawi dari Afrika Utara.<br />2) Ekspansi ke spanyol<br />Ekspansi pasukan Islam ke Spanyol ini melalui beberapa tahap. Pada bulan juli 710 M sebanyak 900 orang melakukan penyelidikan dan penelitian untuk mendapatkan laporan-laporan mengenai kekuatan mereka. Pada tahun berikutnya, Tariq bin Ziyad berhasil menyeberangi selat tersebut dengan kekuatan 7000 orang, kebanyakan suku Barbar. Selain itu pasukan Islam berhasil mengalahkan pasukan Roderick pada bulan juli tahun 717 M.<br />Setelah kemenangan itu tariq berhasil menguasai spanyol, seperti Cordova, Granada, dan Toledo. Selanjutnya pasukan pasukan tariq dan Musa melanjutkan perjalanan ke utara dan berhasil menguasai Barcelona dan Saragosa. Daerah-daerah Aragon dan Castilia pun berhasil ditaklukan. <br />b. Perluasan ke wilayah timur<br />Penaklukan ke wilayah timur juga mendapatkan hasil yang cukup gemilang. Diantara penaklukan ke wilayah timur adalah ke daerah Sind. Sind adalah negeri yang melingkari sungai Sind(Indus) membentang dari Iran sampai pegunungan Himalaya. <br />F. Kemunduran Daulah Bani Umayyah<br />Sepeninggal hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini memperkuat golonga oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, daulat Umayyah digulingkan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan <br />Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:<br />1. Sistem pergantian khalifah melaului garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.<br />2. Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa khawarij dan syiah terus menjdai oposisi baik secara terbuka dimasa awal dan akhir maupun secara sembunyi seperti dimasa pertengahan Bani Umayyah. Penumpasa terhadap gerakan-gearakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.<br />3. Pada masa bani Umayyah pertentangan etnis antara suku ArabiaUtara dan Arabia Selatan yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk mengalang dana persatuan dan kestuan. <br />4. Lemahnya pemerintahan Bani Umayyah juga disebabkan olah sikap hidup mewah dilimgkunngan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.<br />5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah dalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas bin Abdul Mutholib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari bani hasyim dan golongan syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pmerintah Bani Umayyah. <br /><br /><br /><br />G. Analisis Pemerintahan Bani Umayyah<br />Daftar khalifah bani umayyah:<br />No Tahun Nama khalifah Sistem pemerintahan Kemajuan Daulah Islamiyah<br /> Keilmuan Politik dan sosial Ekonomi dan pajak Pertahanan pertanian Teknologi dan industri<br />1. 661-681 M Muawiyah ibn Abi Sufyan Monarchi absolut - jabatan hakim berkembang menjadi profesi<br /> memindahkan ibu kota umat Islam ke damaskus<br /> menggabungkan beberapa provinsi<br /> membentuk semacam petugas protokoler<br /> mendirikan dinas pos mencetak mata uang sendiri<br /> pembentukan diwan al-Kharaj tentang perpajakan<br /> membentuk angkatan bersenjata - Pengembangan angkatan laut<br />2. 681-683 M Yazid ibn Muawiyah Monarchi absolut - - - - - -<br />3. 683-684 M Muawiyah ibn Yazid Monarchi absolut - - - - - -<br />4. 684-685 M Marwan ibn Al-Hakam Monarchi absolut - - - - - -<br />5. 685-705 M Abdul Malik ibn Marwan Monarchi absolut Menyusun buku tata bahasa Arab oleh Sibawaih dalam al-Kitab menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi<br /> membangun panti-panti untuk orang cacat<br /> membangun jalan-jalan raya<br /> mendirikan masjid-masjid yang megah<br /> membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock” mengganti uang Bizantium dengan uang arab<br /> membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an<br /> mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni - pembangunan bebrapa irihasi<br /> berkembangnya gandum, padi, tebu, jeruk, kapas dan sebagainya.<br /> kemajuan pada industry kulit dan tenun<br /><br />6. 705-715 M Al-Walid ibn Abdul Malik Monarchi absolut - melakukan pembangunan besar-besaran mata uang arab yang telah dibakukan - - -<br />7. 715-717 M Sulaiman ibn Abdul Malik Monarchi absolut - pembangunan mega raksasa yang terkenal dengan Jami’ul Umawi<br /> - - - -<br />8. 717-720 M Umar Ibn Abdul Aziz Monarchi absolut membukukan hadits<br /> berkembangnya ilmu kedokteran banyak perbaharuan di bidang pemerintahan<br /> menjalin hubungan baik dengan syi’ah<br /> mensejajarkan kedudukan mawali dengan muslim arab - melakukan banyak perluasan wilayah - -<br />9. 720-724 M Yazid ibn Abdul Malik Monarchi absolut - - - - - -<br />10. 724-743 M Hisyam ibn Abdul Malik Monarchi absolut kebudayaan dan kesusastraan Arab - perdagangan ahli strategi militer<br /> pemulihan keamanan dan kemakmuran - -<br />11. 743-744 M Walid ibn Yazid Monarchi absolut - melipatkan sejumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia<br /> - - - -<br />12. 744 M Yazid ibn Walid (Yazid III) Monarchi absolut - - - - - -<br />13. 744 M Ibrahim ibn Malik Monarchi absolut - - - - - -<br />14. 745-750 M Marwan ibn Muhammad Monarchi absolut - - - berhasil menumpas beberapa pemberontakan - -<br /><br />IV. KESIMPULAN<br />Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb. Muawiyah disamping sebagai pendiri daulah Bani Umayyah juga sekaligus sebagai khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Kuffah ke Damaskus.<br />Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchi heridetas(kerajaan turun-temurun). <br />Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Dan para sejarawan mencatat bahwa para khalifah terbesar dari daulah Bani Umayyah ialah Muawiyah bin Abi Sufyan(661-680 M), Abdul Malik bin Marwan(685-705 M), Walid bin Abdul Malik(705-715 M), Umar bin Abdul Aziz(717-720 M), dan Hisyam bin Abdul Malik(724-743 M).<br />Awal mula politik bani Umayyah ditandai dengan konflik perang siffin antara Mua’wiyah dan Ali bin Abi Thalib. Pada peperangan ini dimenangkan oleh pihak Ali namun dengan kecerdikan Mua’wiyah dan Amr bin Ash pemerintahan dapat mereka rebut. Selain itu dengan adanya perang siffin tersebut telah memecah pendukung Ali menjadi dua yaitu syi’ah dan khawarij.<br />Namun diluar konflik politik tersebut. Bani Umayyah dapat mencapai kemajuan-kemajuan pada bidang pemerintahannya antara lain dalam bidang ilmu pengetahuan, sosial dan politik, perluasan wilayah dan lain-lain.<br /><br />V. PENUTUP<br />Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.<br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Amin, Syamsul Munir , Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta:Amzah, 2010)<br />Fu’adi, Imam, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), cet 1<br />Mahmuddunnasir, Syed, Islam konsepsi dan Sejarahnya ,(Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2005)<br />Syukur, fatah, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra, 2010)<br />http://tonnyfaradizza.blogspot.com/2012/12/peradaban-islam-pada-masa-bani-umayyah.html<br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-22664988503076944632013-06-25T17:36:00.004-07:002013-06-25T17:36:56.552-07:00PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KLASIK<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
<br /><br />PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KLASIK</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />I. PENDAHULUAN<br />Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam mencatat bahwa munculnya persoalan kalam justru bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik. Mungkin sebagian orang merasa aneh kenapa di dalam Islam, sebagai agama, masalah pertama muncul justru persoalan politik bukan persoalan keagamaan, seperti persoalan kalam atau persoalan fiqh.<br />Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern- bahkan orientalis sekalipun juga mempunyai cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya. Bermula sejak Nabi telah memiliki konsep dasar dalam bernegara, terbukti dengan adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep diantaranya, Hak Azazi Manusia, serta penanaman sikap tenggang rasa antar sesama umat beragama. Diakatakan demikian, karena pada saat itu umat Yahudi juga berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari. <br />Pada fase setelah wafat Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara mengalami berbagai perubahan, seperti pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system negara memakai pola Khilafah, namun setelah terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan berubah menjadi monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid. <br />Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa pemikiran politik Islam zaman klasik.<br /><br />II. Pemikiran Politik Khowarij, Syi’ah, Mu’tazilah, dan Sunny<br />Sesudah kholifah Usman bin Affan meninggal kemudian kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh Jamhur Madinah yang dipelopori oleh para pemberontak. Baiat ini pada saat itu tidak meletakkan batas tindak yang layak bagi pemberontakan hingga timbul api yang dapat dinamakan fitnah. Pada dasarnya keadaan ini telah menimbulkan dua kelompok yang masing-masing mempunyai benteng pertahanan yang besar, yaitu: kelompok yang menyokong khalifah Ali dan kelompok yang berpihak pada Muawiyah. <br />Tidaklah kita disini akan membentangkan rincian dari pertikaian yang timbul, namun itu adalah kepentingan politik. Memang dapat kita katakan, bahwa soal pertikaian ini pada dasarnya adalah semata soal politik seseorang yang berhak menjadi kepala negara. Berikut merupakan pemikiran politik yang timbul atas dasar kepentingan politik. <br />A. Khowarij<br />Generasi pertama Khowarij lahir waktu sejumlah pengikut Ali bin Abi Thalib, kholifah ke empat, menolak keputusan dua Arbitrator Amr bin Ash yang mewakili kubu Muawiyah dan Abu Musa Asy’ari yang mewakili kubu Ali bin Abi Thalib pada pertempuran shiffin. Seusai shiffin Ali dan para pendukungnya kembali ke Iraq, dan Muawiyah juga disertai para pendukungnya kembali ke Syuria. Tetapi bedanya, kubu Muawiyah meninggalkan shiffin dalam keadaan padu dan bersatu, sedangkan kubu Ali pulang ke Iraq dalam keadaan pecah. Di sepanjang jalan mereka bertengkar. Barisan yang masih setia kepada Ali dan mereka yang meninggalkan kubu Ali saling salah menyalahkan. Ketika Ali masuk Kuffah kelompok yang meninggalkan dia, yang jumlahnya sekitar 12.000 orang berhenti di satu desa dekat Kuffah bernama Harura. Mereka kemudian dikenal dengan nama Khowarij. Karena mereka keluar (kharaja) dari kubu Ali (kharij = seseorang yang keluar, khawarij = orang-orang yang keluar). Khawarij, yang semula merupakan pendukung-pendukung Ali, meninggalkannya karena berkeyakinan bahwa sungguh tidak dibenarkan Ali sebagai kholifah atau imam yang telah dibaiat oleh rakyat secara sah bersedia tunduk kepada keputusan dua arbitrator dalam penyelesaian sengketa antara dia dan pihak pemberontak Muawiyah. <br />Kaum khawarij ini kemudian mengembangkan paham dan pemikiran di bidang teologi dan politik. Paradigma pemikiran dan paham mereka di dua bidang ini didasarkan pada peristiwa tahkim. Jadi pemikiran mereka sebagai reaksi atas hasil tahkim dan perkembangan berikutnya. Pemikiran politik mereka yang pokok adalah mengenai eksistensi khilafah, masalah siapa yang berhak menjadi khalifah dan persyaratannya, masalah mekanisme pengangkatan dan pemakzulan khalifah.<br /> Pembentukan lembaga khilafah atau pemerintahan, menurut khawarij, bukanlah merupakan suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada kehendak umat apakah suatu pemerintahan perlu dibentuk atau tidak. Semua sekte khawarij mempunyai kesamaan pendapat tentang tidak adanya keharusan membentuk suatu pemerintahan. Bahkan salah seorang pemuka khawarij, Najdah bin Amr al-Hanafi dari sekte an-Nadjad berpendapat bahwa imam atau kepala negara itu tidak perlu sama sekali. Imam atau kepala negaradiperlukan hanya jikamashlahat umat menghendaki demikian. Pada hakikatnya, menurut Nadjad umat tidak membutuhkan adanya khalifah, imam atau kepala negara untuk memimpin mereka. Jelasnya khawarij berpendapat bahwa membentuk pemerintah dan mengangkat seorang imambukan wajib syar’i, melainkan keadaanlah yang mengharuskan ada. <br />Pemikiran politik khawarij yang cemerlang dan bercorak demokratis adalah mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam, dan atau kepala negara kalau memang dibutuhkan oleh umat Islam. Golongan ini berpendapat, masalah ini berkaitan dengan kemashlakhatan umat, dan karena itu bukanlah hak monopoli suku tertentu. Siapapun, apakah itu orang Quraisy atau bukan, atau apakah ia orang Arab atau bukan Arab, boleh menjadi khalifah selama ia mempunyai kemampuan untuk memegang jabatan itu. Bahkan seorang budak sekalipun, boleh dipilih menjadi pemimpin masyarakat muslim jika ia memenuhi kualifikasi untuk itu.<br />Kaum khawarij lebih mengutamakan orang non Quraisy untuk menduduki jabatam khalifah. Alasan yang dikemukakan agar mudah dimakzulkan apabila ia menyimpang dari ketentuan syariat. Sebabtidak ada ashabiyat yang melindunginya, atau keluarga besar yang akan membelanya. Karena itu, ketika mereka memakzulkan Ali sebagai khalifah, mereka menggantikannnya dengan mengangkat Abdullah bin Wahab al-Rasibi, non Quraisy. Itulah sebabnya para peneliti sepakat mengatakan kaum khawarij adalah para pemegang prinsip demokrasi yang tulen. <br />Patut pula dicatat bahwa mereka mengambil sikap opposan terhadap pemerintah yang diakui sah oleh mayoritas umat Islam, seperti dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah. Bahkan mereka menghalalkan darah para penguasanya, karena mereka telah keluar dari Islam dan telah berdosa besar serta boleh dibunuh. Karenanya baik para kholifah Umayah, maupun para khalifah Abasiyah mereka menganggap tidak sah. Mereka tidak dipilih rakyat dan karena itu pula mereka harus dimakzulkan, bila perlu dibunuh. Sejarahpun mencatat bahwa kaum khawarij tampil sebagai salah satu gerakan yang merongrong dua dinasti itu. Sikap radikal mereka tentu dipengaruhi oleh prinsip teori politik mereka mengenai imamah.<br />Adapun mengenai kualifikasi bagi khalifah disamping tidak disyaratkan harus berasal dari suku tertentu, menurut khawarij sang calon harus punya kekuatan, berilmu, berlaku adil, punya keutamaan, dan wara’. Sedangkan mekanisme pemilihinnya diserahkan kepada kehendak kaum muslim. Yang penting dipilih secara bebas dan benar dan pembaiatannya dilakukan secara sempurna oleh seluruh kaum muslimin pula. <br />Kelompok muslim yang berpaham demokrat ini, tapi radikal dalam politik praktis, tidak menetapkan masa jabatan seorang khalifah. Ini berarti khalifah boleh memangku jabatannya seumur hidup. Tentu saja ada persyaratan yang berat, yaitu selama ia tidak melanggar syariat Islam. Tapi apabila ia menyimpang dari prinsip-prinsip al-Quran dan Sunah nabi, kaum muslimin wajib memakzulkannya atau membunuhnya apabila keadaan memungkinkan. <br />Tentang sikap dan pandangan politik Khowarij secara umum dapat dikemukakan bahwa mereka mengakui keabsahan kekholifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman pada tahun-tahun pertama dia memerintah, dan Ali sampai dia menerima keputusan arbitrator. Dalam hal jabatan khalifah mereka berhaluan sangat demokratis. Menurut mereka jabatan kholifah itu terbuka bagi tiap orang laki-laki Muslim yang berkebangsaan Arab dan merdeka dan bukan monopoli bagi suku atau keluarga tertentu. Selanjutnya, menurut mereka kalau seorang khalifah telah dipilih dan di baiat maka tidak dibenarkan ia untuk turun tahta. Tetapi kalau dia menyeleweng dan bila dirasa perlu dapat diturunkan dari jabatannya dan bahkan dapat dibunuh.<br />Setelah banyak orang Islam bukan Arab menggabungkan diri dengan barisan Khawarij maka diadakan perubahan terhadap syarat yang pertama untuk dapat menduduki jabatan khalifah. Calon khalifah tidak lagi harus laki-laki muslim yang berbangsa arab dan merdeka. Tiap laki-laki muslim yang mampu berlaku adil dapat menduduki kursi khalifah. Dengan adanya perubahan tersebut, menurut khawarij jabatan kholifah terbuka bagi tiap laki-laki muslim, baik yang merdeka atau budak. <br />B. Syiah<br />Ketika Nabi Muhammad saw wafat dan apabila sebagian besar sahabat Nabi menyetujui dan berbaiat kepada Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama terdapat sejumlah sahabat yang berpendirian bahwa yang lebih berhak menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Itulah titik awal dari lahirnya golongan Syi’ah atau golongan pengikut dan pendukung Ali. Golongan itu makin berkembang pada tahun-tahun terakhir dari pemerintahan Usman, karena ketidak mampuan khalifah ketiga ini mengelola negara, dan golongan itupun naik daun ketika Ali bin abi Thalib menjabat sebagai khalifah ke empat. <br />Patut pula diberi suatu analisis bahwa terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah, tidak bisa lepas dari pendapat kaum Khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim. Para pengikut Ali yang setia jelas tidak dapat menerima pengkafiran itu. Untuk itu mesti ada suatu doktrin yang mengimbanginya, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrinkan bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai Imam untuk menggantikan Nabi.<br />Kelompok Syiah merupakan gerakan keagamaan yang mendapatkan bentuk sempurnanya pada masa dinasti Abbasiyah serta berkembang menjadi kelompok besar dan memainkan peran penting dalam sejarah Islam. Mereka menolak Abbasiyah sebagai pemimpin yang sah. Sebelumnya, mereka juga menolak Umayyah sebagai pemimpin yang sah. Sehingga, mereka lebih cenderung menjadi oposisi dari pemerintah dibanding berkompromi dengan pemerintah yang berkuasa. Tetapi, madzhab-mazhab Syiah yang ada, memiliki argumen yang berbeda, seperti tentang siapa yang seharusnya menjadi imam pada masa tertentu dan bagaimana memilih seorang imam. Satu-satunya persamaan diantara mereka ialah tentang keyakinan bahwa imamah merupakan suatu keniscayaan dalam keyakinan dan perilaku muslim.<br />Kepemimpinan Syiah dimulai dari Ali, imam pertama mereka, diteruskan oleh anaknya Hasan, kemudian oleh Husayn yang garis keturunannya lebih dimuliakan oleh para pengikutnya. Buktinya, sembilan imam terakhir dari dua belas imam yang diakui oleh Kelompok Dua Belas, yang merupakan kelompok utama Syiah, semuanya adalah keturunan Husayn. Kisah paling misterius sekaligus paling menarik dari imam-imam yang diakui oleh Syiah ialah tentang imam terakhir, Muhammad al-Muntazhar. Sejak masa kanak-kanak, Muhammad menghilang di sebuah gua di dekat masjid agung Samarra. Karena itu, ia dianggap menjadi imam yang disembunyikan dan ditunggu. Pada suatu saat nanti ia akan muncul sebagai Mahdi yang akan menegakkan Islam. Meskipun tersembunyi, imam kedua belas ini tetap menjadi penguasa masa. Dengan demikian, konsep Imam Mahdi menjadi bagian penting dalam Syiah, sekaligus menjadi garis pemisah yang tegas antara madzhab Syiah dengan madzhab Sunni. Sekalipun madzhab Sunni menunggu dan mengharap datangnya penyelamat agama, mereka tidak menjadikannya sebagai dasar keyakinan. <br />Para ulama Syiah, khususnya para fuqaha, tidak hanya menjadi legal-moral, namun juga merupakan wakil imam yang tersembunyi. Karena itu, para fuqaha Syiah muncul untuk menjalankan otoritas yang secara signifikan lebih besar daripada sejawat mereka, fuqaha Sunni. Pandangan ini membangkitkan cara pandang yang luar biasa terhadap politik. Bagi mereka Abbasiyah dan Sunni adalah perampas kekuasaan. Karena merekalah, imam sejati terpaksa bersembunyi. Mereka menyerukan, “Sepanjang para perebut kekuasaan masih memerintah dan kaum beriman terus dianiaya, imam sejati dicegah untuk menjalankan haknya, dan nyawanya dalam bahaya. Karena itu, ia tidak dibolehkan, bahkan wajib menarik diri dari cengkraman pimpinan palsu yang tiran”. Karena sebab inilah, Syiah memisahkan diri dari negara dan menarik diri dari kehidupan komunal. Realitas kekuasaan politik, yang tentangnya Syiah punya banyak pengalaman, membuat penundaan aktivitas politik menjadi pilihan yang tepat. Di bawah pimpinan di luar Syiah, semua perjanjian dalam urusan-urusan publik, pada prinsipnya terlarang. Keseluruhan sikap mereka ini didasari oleh keyakinan bahwa mereka harus menunggu takdir Allah. Artinya, mereka harus bersikap non-partisipasi dan berserah diri. <br />Karena banyaknya sekte-sekte dalam Syi'ah, penulis hendak menyebutkan empat saja dari keseluruhan sekte tersebut berdasarkan analisa Al Imam Ash sahrastani yang menganggap kelima sekte tersebut sebagai al umm (induk). Al Imam Ash Sahrastani dalam Al Milal wa an Nihal menyebutkan bahwa perpecahan dalam tubuh syi'ah dapat dikelompokkan kedalam empat aliran pokok diantaranya; Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ismailiyah, dan Ghullah. <br />1. Syiah Kaisaniyah<br />Kaisaniyah adalah sekte syi'ah yang mempercayai keimamahan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma. Muhammad bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu. Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah Ali yang juga dipanggil Kaisan. Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok ini adalah al Karabiyah, pengikut Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam. Bahkan menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti Abbasiyah pertama yaitu Abu Abbas As Saffah dan Abu Ja'far Al Mansur merupakan pecahan dari pengikut Hasyimiyah itu. Karena setelah meninggalnya Abi Hisyam, jabatan imamah berpindah kepada Muhammad bin Ali Abdullah, kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim al Imam, as Saffah dan al Mansur.<br />Kaisiniyah di pimpin oleh Kaisan bin Abu Amroh. Ia telah mendirikan golongan ini setelah meninggalnya Husayn. Aliran ini pernah mendapatkan kedudukan hingga terkenal bahkan sanggup mendirikan negara yang dipimpin oleh Al-Mukhtar bin Abi Ubaid el-Tsaqofi yang muncul di arena politik pada tahun 66 H. Ia dari waktu ke waktu berpindah aliran hingga ia tidak dipercayai. El-Mukhtar dapat membunuh Ubaidillah ibnu Zayad, tetapi ia pun terbunuh di tangan Mus’ab bin Zubair untuk memeranginya. Dengan berdirinya golongan Kaisiniyah dapat dikatakan bahwa madzhab Syi’ah telah berdiri dengan penuh kepribadiannya. Gerakan ini berjalan dan bertindak sebagai satu partai yang sudah lengkap dan dewasa hingga akhir abad pertama hijriyah. Syiah Kaisiniyah tetap dalam kesatuan hingga meninggalnya Abu Hasyim ibnu Muhammad bin Hanafiyah tahun 98 H. Atas keadaan ini berdiri pula golongan baru yang bernama “El Hasyimiyah” sebagai cabang dari yang pertama. Kemudian ia pun menyerahkan pimpinan kepada sepupunya Muhammad Ali al-Abbasyi yang akhirnya berdiri kerajaaj Abbasyiyah yang menjadi sebab golongan ini yaitu golongan Kaisiniyah. <br />2. Syi'ah Zaidiyah<br />Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin. Beliau merupakan tokoh alhul biat yang terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi. <br />Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu' ia menganut paham Hanafiyah. Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah. Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh dengan al Qur'an dan sunnah Nabi<br />Sekte-sekte yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah. Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin al Mundziry al 'Abdi. Sekte ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali sebagai imam setalahnya, namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya dengan Isyarat (secara tidak langsung) atau dengan al washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali dibandingkan lainnya). Sementara itu, sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah dapat ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini ummat telah melakukan sesalahan dalam berbai'at kepada Abu Bakar dan Umar, karena sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi bai'at mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma'a wujud al afdhal. Akan tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul Mu'minin Utsman bin Affan karena dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka juga mengkufurkan Ummul Mu'minin A'isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah berperang terhadap Ali. Sekte ini juga dikenal dengan al Jaririyah.<br />Pecahan lain dari sekte Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan Katsir an Nu'man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara umum, pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja mereka bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan. Menurut Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni.<br />Zaidiyah, yang mempunyai banyak pengikut di Yaman dan pernah lama berkuasa disana. Diantara pokok pendiriannya adalah:<br />a. Imam seharusnya dari keturunan Ali-Fatimah, tetapi tidak menolak jika jabatan itu diduduki oleh orang lain asal memenuhi syarat. Oleh karenanya mereka mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Meskipun urutan prioritas seharusnya Ali yang menjadii kholifah.<br />b. Imam tidak ma’sum. Dia dapat saja berbuat salah dan dosa seperti manusia yang lain.<br />c. Tidak ada ada imam dalam kegelapan atau persembunyian. Yang diliputi oleh berbagai misteri. <br /> 3. Syi'ah Ghulat<br />Syi'ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi, bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah Ghulat telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide Syi'ah awal yaitu Abdullah bin Saba'. Nama Abdullah bin Saba' diakui oleh pembesar Syi'ah sebagai seseorang yang pertamakali menobatkan keimamahan Ali dan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya. Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal Abdullah bin Saba' sendiri merupakan tokoh penyusup dari kalangan Yahudi dari penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim. Kelompok saba'iyah juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam melainkan seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut mereka Ali telah naik kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya dan Kilat adalah senyumnya.<br />Kelompok lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak seekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya.<br /> 4. Syi'ah Imamiyah dan syiah Ismailiyah<br />Secara garis besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhamamd telah melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah beliau wafat. Oleh karena itu, mereka betul-betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami perpecahan menjadi beberapa golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah Dua Belas adalah yang tebesar, disusul Isma'iliyah. Di zaman kehilafahan Abbasiyah, keduanya memerankan perpolitikan yang cukup signifikan.<br />Pokok-pokok pendirian syiah Imamiyah adalah:<br />a. Abu Bakar dan Umar telah meraqmpas jabatan khalifah dari pemiliknya, Ali.<br />b. Kedudukan Ali satu tingkat lebih tinggii dari pada manusia biasa, dan dia merupakan perantara dari manusia dan Tuhan.<br />c. Imam itu ma’shum, terjaga dari segala kesalahan, baik besarmaupun kecil.<br />d. Ijma’atau kesepakatan ulama’ Islam baru dapat dianggap sebagai salah satu dasar hukum Islam kalau direstui oleh imam. <br />e. Imam mereka yang kedua belas, yang menghilang pada usia 4 atau 5 tahun sebelas setengah abad yang lalu akan muncul kembali di dunia padaakhir zaman untuk menegakkan dan meratakan keadilan serta memberantas kedzaliman. <br />Syi'ah Isma'iliyah misalnya, kelompok ini berhasil mendirikan dinasti Fathimiyah di Mesir dan Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah tandingan Abbasiyah setelah berhasil mengadakan beberapa pemberontakan. Pemimpin pergerakan Isma'iliyah yang mewujudkan khilafah Fathimiyah adalah Ubaidillah al Mahdi (Nama asli: Sa'id Ibn Husain/Abu Muhammad Ubaidillah Al Mahdi) yang juga mengaku sampai kepada keturunan Ali'.<br />Dinasti Fathimiyah, sebagaimana dinasti Abbasiyah mengkalim sebagai pemimpin yang sebenarnya. Tidak hanya itu, Mereka menegaskan bahwa merekalah imam-imam yang sebenarnya, yakni imam-imam al Mahdi pengganti keturunan Ali radhiyallahu'anhu. Mereka mengklaim sebagai penerus siklus ke 6 dari para imam. Al Hakim bin Amrillah, salah seorang raja dinasti Fathimiyah di Mesir ini bahkan diklaim sebagai Tuhan oleh pengikut Agha Khan. Prof. Dr, Ali Abdul Wahid Wafi dalam risalah Ghurbah al Islam menyebut mereka sebagai gerakan Syi'ah ghullat (berlebihan) yang keluar dari Islam. Adonis menganalisa, bahwa gerakan syi'ah Isma'iliyah ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengorganisasian gerakan Qaramithah (syi'ah) yang disebarluaskan oleh Hamdan Qaramith pada 264 H di desa Kuffah dengan banyak modifikasi. Demikian halnya dengan kelompok Syi'ah Dua Belas. Dinasti Buwaihi merupakan penjelmaan dari gerakan syi'ah ini. Mereka berhasil menggulingkan dinasti Abbasiyah selama kurang lebih satu abad lamanya. Bahkan hingga kini, mereka tetap eksis dengan Republik Iran sebagai basis gerakannya.<br />C. Mu’tazilah<br />Mu’tazilah sebagai gerakan atau sikap politik lahir pada awal pemerintahan kholifah Ali bin Abi Thalib. Diantara Tholkhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin abi Waqas, Abdullah bin Umar, dan Zaid bin Tsabit. Tholkhah dan Zubair kemudian dengan terang-terangan memberontak terhadap Ali, sedangkan yang lain tetap bersikap netral. Penduduk Madinah pada umumnya, dan sebagian suku dari Tamini mengikuti sikap netral tersebut, yakni meskipun tidak mendukung Ali tetapi tidak pula memihak musuh-musuh Ali, seperti Muawiyah. Mereka tidak melibatkan diri dalam bentrokan antara pihak-pihak yang bertengkar, dan banyak di antara mereka berpaling pada pendalaman pengetahuan agama. Dengan otak dan hati mereka. Kelompok itu disebut Mu’tazilah karena telah i’tazala (memisahkan diri). Demikian pula Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid bersikap netral terhadap pembunuhan Usman dan peperangan antara Ali dan Talkhah, Zubair dan Aisyah dalam perang jamal. <br />Konsepsi politik mu’tazilah pada umumnya menegaskan bahwa imamah atau kepemimpinan negara ini merupakan pilihan rakyat, menurut mereka, karena Allah tidak memberikan penegasan tentang siapa yang harus memimpin umat sepeninggal Nabi. Maka hak menjadi khalifah tidak merupakan hak istimewa bagi satu keluarga atau suku tertentu. Bagi mu’tazilah, hak memilih kepala negara itu berada di tangan rakyat, yang kemudian mengangkatnya untuk melaksanakan hukum, tanpa memandang suku, dari suku Quraisy atau bukan, asalkan beragama Islam, mukmin dan adil, serta tidak pula mempertimbangkan suku.<br />Pemimpin tidak harus dari suku Quraisy selain merupakan doktrin mu’tazilah juga dianut sekelompok Syi’ah Zaidiyah dan sebagian besar dari golongan Khowarij. Mu’tazilah juga sepaham dengan Khawarij bahwa pengangkatan imam atau pemimpin bukan merupakan kewajiban (agama). Tetapi bagi Mu’tazilah pengangkatan imam atau pemimpin negara itu tidak lagi wajib hanya kalau keadilan betul-betul sudah merata pada seluruh rakyat, dan sudah tidak ada lagi ancaman terhadap jiwa, harta benda, dan kehormatan rakyat oleh orang-orang fasiq. <br />Dalam sejarah, kaum mu’tazilah tidak pernah membentuk pemerintahan. Bahkan dalam politik praktispun tampaknya tidak begitu menarik perhatian mereka. Barangkali hal itu disebabkan oleh sikap netral mereka terhadap kasusu-kasus yang berbau politik. Mereka lebih suka memilih jalan yang ditempuh pendahulu mereka, seperti Hasan al-Bashri. <br />Dimasa dinasti Umayyah, mereka menunjukkan sikap tidak senang terhadap penguasa dinasti ini. Namun demikian, mereka tidak melakukan kegiatan politik praktis, apabila melakukan pembelotan dan pemberontakan seperti yang dilakukan oleh khawarij. Alasannya adalah dinasti Umayah tidak menyukai kebebasan berkehendak dan kebebasan berpendapat (salah satu paham Mu’tazilah) tumbuh di dalam masyarakat baik di bidang agama maupun di bidang politik. <br />Aliran muktazilah mulai tumbuh dan berkembang di akhir pemerintahan Umaya. Masa yang terpenting dalam sejarah adalah dari tahun 100 – 225 H, di masa dinasti Abasiyah terutama pada periode pemerintahan Al-Makmun, Al-Muktashim, dan Al-Wasiq. Bahkan al-Makmun menjadikannya sebagai madzhab resmi dinasti Abasiyah. <br />D. Sunny<br />Ahlu sunnah atau yang dikenal dengan sunny pada mulannya merupakan sekelompok ulama’ yang berpendirian bahwa orang-orang dalam syi’ah, khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah telah banyak menyeleweng dari ajaran agama, atau lebih tegas lagi telah menyeleweng dari “sunnah nabi” dan “sunnah para salaf”. Sunny merupakan sebuah kelompok besar dalam Islam yang tetap teguh untuk mengikuti sunnah-sunnah nabi, yang itu berbeda dengan aliran-aliran lain dalam Islam seperti syi’ah, khawarij ataupun mu’tazilah dan murji’ah. <br />Ajaran utama dari ahlu sunnah adalah mengakui akan adanya khulafaur rasyiddin yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, dan Ali Bin Ali Thalib. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah nama lembaga khilafah tetap dipertahankan dalam pemerintahan, tetapi sebenarnya khilafah Islam tersebut telah berubah menjadi kerajaan Arab. Dalam sejarah pemikiran Sunni, meskipun terdapat perbedaan yang umum di antara madzhab-madzhab fiqih mereka, ahli fiqih Sunny secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal sebagai teori khalifah, sebuah doktrin baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang signifikan. Teori tersebut telah mendominasi komunitas Islam untuk waktu yang cukup lama. Apabila teoritikus politik Sunny membicarakan teori khilafah, biasanya yang mereka perbincangkan adalah suatu imamah atau lembaga di mana seseorang bertugas mengawasi pelaksanaan syariah dan bertindak sebagai hakim. Tetapi karena istilah ini biasanya dipakai secara khusus di kalangan Syi'ah, maka digunakan pemakaian istilah lembaga khilafah untuk kalangan Sunny dan istilah imamah untuk kalangan Syi'ah untuk menghilangkan kebingungan. Seorang khalifah bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang terdahulu, tetapi juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah menunjuknya.<br />Meskipun banyak penguasa baik dari dinasti Ummayah berupaya mengaitkan status Ilahiyah kepada para penerus (khalifah), para ulama fiqih Sunny pada umumnya menganggap khalifah sebagai penguasa yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya. <br /><br />III. Politik Sunny Zaman Klasik dan Pertengahan<br />Masa Khulafaur Rasyidin dan era dinasti Umayah belum dikenal pemikiran politik Islam yang dirumuskan secara sistematis. Ia baru muncul pada periode bani Abbasyiah. Namun prosedur pengangkatan Khulafaur Rasyidin secara ijma’ oleh sahabat dan kaum muslimin, sebagian telah dikemukakan, menjadi dasar bagi teori politik para juris Sunny. <br />Sehubungan dengan itu, secara umum didasarkan pada empat prinsip umum. Pertama, berdasarkan keutamaan keturunan. Khalifah atau imam (kepala negara) harus dari keturunan Quraisy. Kedua, baiat sebagai syarat yang disepakati oleh umat Islam dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh ahl al hall wa al-‘aqd. Dengan baiat itu mereka mengadakan kontrak sosial dengan kepala negara terpilih baik disukai atau tidak, selama ia tidak melakukan perbuatan maksiat. Kesetiaan dan ketaatan yang mereka berikan berkaitan dengan tugas kepala negara melaksanakan undang-undang, kewajiban-kewajiban dan mewujudkan keadilan sesuai dengan ketentuan kitab Allah dan Rasulnya. Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), yakni pemilihan khalifah melalui musyawarah atau konsultasi. Keempat, prinsip keadilan. Keadilan menurut Islam bersifat universal baik dalam perundang-undangan maupun dalam praktek, bahkan terhadap musuh sekalipun dapat berlaku adil.<br />Walaupun mayoritas kaum sunny menerima prinsip-prinsip umum tersebut, namun perbedaan-perbedaan dalam banyak detail dalam masalah politik dan pemerintahan ini tetap tak terhindarkan. Boleh dikatakan mereka tidak mencapai kesepakatan kecuali dalam dua hal, yaitu: keharusan adanya kepala negara dan pemerintahan itu sendiri guna mencegah kekacauan, dan keinginan mereka untuk menjalankan prinsip-prinsip ajaran Islam. <br />Melihat begitu beragamnya akar dan dasar bagi perumusan teori-teori politik mereka, yaitu tradisi politik umat Islam generasi pertama, menginterpretasikan terhadap wahyu yang berkaitan dengan tata kehidupan bermasyarakat, dan serangan intelektual mereka terhadap gerakan agama, dan politik serta intelektual non sunny, mestinya mereka memiliki pemikiran politik yang komprehensif. Akan tetapi nyatanya tidak demikian. Hal itu disebabkan pemikiran dan gagasan mereka tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap gerakan-gerakan tersebut dalam rangka mempertahankan status quo kekuasaan politik yang ada. <br /><br />IV. Pemikiran Politik Tentang Proses Terbentuknya Negara dan Unsur-unsur Negara<br />A. Mawardi<br />Nama lengkap dari Mawardi adalah Abu Hhasan Ali Bin Habib Al-Mawardi al-Basyri (364 H/975 M- 450 H/1059 M). Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Dia berpindah-pindah dari kota ke kota menjadi hakim kemudian menetap di Baghdad dan mendapat kedudukan yang terhormat pada pemerintahan kholifah Qodir. Situasi politik di dunia Islam pada masa Mawardi, sejak menjelang abad X sampai pertengahan abad XI, tidak lebih baik dari masa Al-farabi, dan bahkan lebih parah. Mawardi termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, tafsir, fikh dan ketatanegaraan. <br />Pendapat Mawardi tentang Manusia yakni bahwa manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain, oleh karena banyak binatang yang misalnya hidup sendiri dan mandiri tetapi manusia selalu memerlukan manusia lain dan ketergantungan satu sama lain merupakan suatu yang tetap dan langgeng. Mawardi juga berpendapat bahwa perbedaan bakat, pembawaan dan kemampuan antara manusia lah yang merupakan pendorong bagi mereka yang saling membantu.<br />Menurut Mawardi, segi politik negara itu memerlukan enam sendi utama:<br />1. Agama yang dihayati<br />2. Penguasa yang berwibawa<br />3. Keadilan yang menyeluruh<br />4. Keamanan yang merata<br />5. Kesuburan tanah yang berkesinambungan<br />6. Harapan kelangsunagan hidup.<br />Menurut Al-Mawardi, Imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dan dengan demikian Mawardi juga memberikan baju agama kepada jabatan keppala negara disamping baju politik. Tentang cara pemilihan atau seleksi imam, ada dua hal dalam cara pemilihan atau seleksi imam diantaranya: pertama, Ahl al-Ikhtiyar atau mereka yang berwenang untuk memilik imam bagi umat. Kedua, Ahl al-Imamah atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mawardi dengan jelas mengemukakan bahwa seorang imam dapat digeser dari kedudukannya sebagai kholifah kalau ternyata sudah menyimpang dari, keadilan, kehilangan panca indera atau organ-organ tubuh yang lain, atau kehilangan kebebasan bertindak karena telah menjadi tawanan orang-orang dekatnya.<br />Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi ialah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. <br />B. Ghozali<br />Nama lengkapnya adalah Abu hamid Al-Ghozali atau Imam Ghozali, seorang teolog terkemukan, ahli hukum, pemikir yang original, ahl tasawuf yang terkenal dan mendapat julukan hujjah al-Islam. Al-Ghozali dilahirkan dikota Thus, yang termasuk wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M, dan wafat di Thus dapa tahun 505 H atau 1111 M. <br />Dia mendapatkan pendidikan awalnya di Thus, dibawah asuhan seorang pendidik dan ahli tasawuf, sahabat karib ayahnya yang telah meninggal. Kemudian dia pindah ke Naisabur dan berguru tentang ilmu kalam atau teologi pada imam Haramain Juwaini. Tampaknya pada waktu itu dia sudah mulai menulis dan mengajar. Tetapi kiranya pada waktu itu pula sudah mulai timbul kebimbangan pada pikirannya tentang kebenaran apa yang didapatkannya dari gurunya. Selain berguru kepada imam Haramain, Ghozali juga belajar kepada sejumlah ulama’ lain, tetapi umumnya kurang begitu terkenal. Kemudian dia menggabungkan diri dengan kelompok Nizam Al-Mulk, wazir sultan (Saljuk) A. Arsalan, suatu kelompok yang waktu itu sangat menarik bagi para cendekiawan muda Islam. <br />Teori kenegaraan Ghozali tentang asal mula timbulnya negara, sebagaimana ilmuan-ilmuan politik sebelumnya berpendapat bahwa manusi itu makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian, yang disebabkan oleh dua faktor, pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia. Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak. Menurut Ghazali, tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan material dan duniawi yang tidak mungkin ia penuhi sendirian, tetapi lebih dari itu untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang sejahtera di akhirat nanti melalui pengalaman dan penghayatan ajaran agama secara betul, sedangkan yang demikian itu tidak mungkin tanpa keserasian kehidupan duniawi. <br />Menurut Ghazali kewajiban mengangkat seorang kepala atau pemimpin negara tidak berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Hal ini disebabkan karena persiapan untuk kesejahteraan ukhrawi harus dilakukan melalui pengamalan dan penghayatan ajaran agama secara betul. Dan hal itu baru mungkin dalam suasana dunia yang tertib, aman dan tentram, dan untuk menciptakan dunia yang demikian diperlukan pemimpin negara yang ditaati, atau dengan kata lain, tidak mungkin mengamalkan ajaran agama secara baik dalam kondisi dan situasi duniawi yang tidak mendukung. Oleh karenanya Ghazali meminjam suatu ungkapan bahwa agama dan raja ibarat dua anak kembar, agama sebagai suatu fondasi sedangkan sultan sebagai penjaganya, suatu yang tanpa pondasi akan runtuh, dan suatu tanpa pondasi tanpa penjaga akan hilang. <br />Dalam teori Ghazali tentang tata negara bahwa kekuasaan kepala negara itu datang dari Tuhan dan bukan dari rakyat, maka dapat pula dimengerti bahwa Ghazali tidak menyinggung soal dapat atau tidaknya seorang kepala negara digeser dari singgasananya. <br />C. Ibnu Khaldun<br />Abdurrahman ibnu Khaldun lahir di Tuniasia pada tahun 1332 M dan wafat di Kairo pada Tahun 1406 M. Beliau menjalani kehidupan yang bergejolak bahkan untuk ukuran para intelektual muslim sekalipun. Kedua orang tuanya meninggal pada tahun 1349 M. Meskipun begitu beliau mendapat pendidikan konvensional dan bisa mempelajari filsafat secara ekstensif, membaca karya-karya Plato, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, yang melaluinya beliau mengenal Aristoteles.<br />Ibnu Khaldun bekerja pada pemerintahan di bawah beberapa pemimpin kecil di Maroko dan Granada. Beliau menjalin hubungan akrab dengan Ibnu al-Khatib, wazir Granada. Ibnu Khaldun sangat cerdik, tahu kapan harus mengubah aliansi. Beliau mempunyai bakat khusus untuk memahami dan bernegosiasi dengan suku-suku nomad negeri itu.<br />Perselisihan Politik yang muncul pada zamannya memaksanya pindah ke Kairo. Kota ini sangat mengesankan Ibnu Khaldun. Di sana, beliau menjadi ahli hukum Islam yang terkenal dan dihormati cukup baik sebagai kepala Madzhab Maliki. Lawan-lawannya di Kairo bersekongkol agar Ibnu Khaldun dipecat dari jabatannya. Beliau melewatkan 14 tahun berikutnya sebagai kepala sebuah pondok sufi. Beliau pernah diangkat kembali menjadi hakim, sebelum akhirnya dipecat lagi.Pengalaman politik Ibnu Khaldun menjadi latar yang baik bagi pemahaman mengenai masyarakat politik dan bagi pemanfaatan sumber-sumber historis. <br />Menurut Ibnu khaldun adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup manusia yangmerupakan makhluk sosial. Ketika Allah menciptakan alam semesta dan membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, banyak binatang yang mendapatkan kekuatan yang lebih sempurna dari pada yang diberikan manusia. Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dari peradaban merupakan suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara para anggota masyarakat. <br />Menurut ibnu Khaldun, kehadiran raja sebagai penengah dan pemisah dan sekaligus hakimyang merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama manusia dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan kata lain jabatan negara adalah suatu lembaga yang alami bagi kehidupan bernegara. Adapun syarat untuk menduduki jabatan kepala negara adalah imam harus dipilih oleh ahl al-halli wa al-aqdi, disamping syarat-syarat lain, yaknia: berpengetahuan luas, adil, mampu, sehat badan serta utuh semua panca indranya, dan dari keturunan Quraisy. <br />A. Pemikiran Politik Tentang Proses Terbentuknya Negara<br />Tidak semua pemikir membahas tentang proses terbentuknya negara. Hanya ibnu Abi Rabi’, al Mawardi, al Ghazali, dan Ibn Khaldun yang membicarakannya. Tiga yang pertama hidup pada abad klasik dan satu yang terakhir hidup pada abad tengah. <br />Rabi’ memulai pembahasannya tentang negara atau kota berdasarkan kenyataan sosial, bahwa manusia adalah jenis makhluk yang saling memerlukan sesamanya untuk mencukupi segala kebutuhannya tidak mungkin seorang diri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada bantuan atau berdampingan dari dan dengan orang lain. Karena itu, satu sama lain saling membutuhkan untuk mendapat kebutuhan hidup. Keinginan mencukupi kebutuhan agar bertahan hidup, dan untuk memperolehnya memerlukan kerja sama, mendorong mereka berkumpul di suatu tempat, agar mereka bisa saling tolong-menolong dan memberi. Proses itulah yang membawa terbentuknya kota-kota, dan akhirnya menjadi negara.<br />Al-Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tidak mungkin seseorang mampu mencukupi hajat hidupnya sendiri, kecuali berhubungan dengan orang lain. Manusia itu, kata al Ghazali, diciptakan oleh Allah tidak bisa hidup seorang diri, ia butuh berkumpul bersama yang lain, makhluk jenisnya itu. Itulah sebabnya Ibnu Khaldun berpendapat bahwa organisasi kemasyarakatan bagi umat manusia adalah suatu keharusan dan menurutnya karena kemampuan manusia seorang diri terbatas, memaksanya untuk kerjasama dengan orang lain. <br />Lebih lanjut Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ketika umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan sebagaimana yang dimaksudkan, dan ketika peradaban manusia telah menjadi kenyataan, merekapun memerlukan seseorang yang akan melaksanakan kewibawaan untuk memelihara mereka. <br />B. Unsur-unsur Negara<br />Syarat-syarat yang diperlukan untuk mendirikan suatu negara yang diperlukan untukmendirikan negara adalah: <br />1. Umat: yakni sekelompok manusia yang mempunyai satu bentuk (unit) yang merupakan satu bangsa yang memiliki syarat-syarat tertentu seperti satu sejarah hidup yang sama, satu bumi tempat tinggal, satu cita-cita, satu ras, dan satu bahasa, serta satu agama.<br />2. Satu tempat/kawasan/daerah yang dapat menampung bangsa itu untuk hidup bersama-sama dalam satu kawasan.<br />3. Undang-undang Dasar yang mengikat bangsa itu dalam tindak tanduknya, tingkah lakunya, cara hidupnya, dan lain sebagainya.<br />4. Pimpinan/Imam/Kepala negara yang memegang tampuk kekuasaan, menjalankan hukum dan menjatuhkan hukuman. <br />Negara adalah suatu “entitas”,suatu “yang ada” atau suatu kenyataan yang bersifatpolitik dan juridis, yang terdiri dari suatu masyarakat manusia yang merupakan suatu golongan yang bebas dalam suatu daerah bersama yang kompak (bersatu padu), dan yang tunduk kepada suatu penguasa tertinggi. <br />Jika kita menganilisis pengertian itu lebih lanjut, maka ada tiga yang menarik perhatian kita. <br />Pertama, adalah ada suatu corak hakiki dari pada suatu negara, bahwa di dalamnya ada suatu organisasi yang mempunyai kekuasaan dan wibawa yang memelihara serta mempertahankan hukum dengan alat-alat yang ada padanya.<br />Kedua, adalah suatu corak hakiki pula dari pada suatu negara bahwa ada padanya suatu daerah yang mempunyai batas yang dapat ditunjukkan dengan jelas dan di dalam daerah itu berlakulah kuasa dan wibawanya. <br />Ketiga, adalah suatu corak hakiki pula dari pada suatu negara bahwa ada suatu masyarakat yang tinggal di daerah itu dan mengakui serta mengalami kewibawaan itu. <br />Menurut Rabi’ untuk mendirikan negara diperlukan beberapa unsur dan sendi, pertama, harus ada wilayah. Kedua, harus ada raja atau penguasa sebagai pengelola negara yang akan menyelenggarakan segala urusan negara dan rakyat. Ketiga, rakyat. Keempat, keadilan. Kelima, pengelola negara, unsur ini merupakan perwujudan hubungan kuat antara raja dan masa rakyat. <br /><br />D. ANALISIS<br />No. Madzhab/Tahun Pemikiran Politik Islam Tokoh<br />1 Syiah 36 H/656 M a. Kaisiniyah (66 H) Mukhtar bin Abi Ubaid, <br /> b. Zaidiyah Zaid bin Ali Zainal Abidin<br /> c. Imamiyah (itsna asyariyah) Abu Ja’far Muhammad al-Baqir. <br /> d. Ismaailiyah Ismail bin Ja’far<br />2 Khowarij 36 H/656 M Menghalalkan darah para penguasanya, karena mereka telah keluar dari Islam dan telah berdosa besar serta boleh dibunuh. Karenanya baik para kholifah Umayah, maupun para khalifah Abasiyah mereka menganggap tidak sah. Mereka tidak dipilih rakyat dan karena itu pula mereka harus dimakzulkan, bila perlu dibunuh. <br />3 Mu’tazilah 36 H/656 M tumbuh dan berkembang tahun 100 – 225 H Mengikuti sikap netral, yakni meskipun tidak mendukung Ali tetapi tidak pula memihak musuh-musuh Ali, seperti Muawiyah. imamah atau kepemimpinan negara ini merupakan pilihan rakyat, menurut mereka, karena Allah tidak memberikan penegasan tentang siapa yang harus memimpin umat sepeninggal Nabi. Washil bin ‘Athak<br />4 Sunny 132 H Pertama, berdasarkan keutamaan keturunan. Kedua, baiat sebagai syarat yang disepakati oleh umat Islam dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh ahl al hall wa al-‘aqd. Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), Keempat, prinsip keadilan. Al-Baqillani,<br />Al-Baghdadi, Ibn Abi Rabi, Al-Mawardi, Al-Juwaini Al-GhazaliIbn Taimiyah, dan Ibnu Khaldun <br /><br />No. Pemikir/Tahun Hasil Pemikiran Politik Islam Masa Pemerintahan<br />1 Al-Mawardi 364 H/975 M- 450 H/1059 M Kebutuhan untuk meneruskan roda-roda kehidupan, adapun mekanismenya manusia menggunakan akalnya.<br />Seorang kepala negara mempunyai kredibilitas dalam bernegara dan agama. kholifah Qodir<br />2 Al-Ghozali 450 H atau 1058 M 505 H atau 1111 M. Kepala negara adalah bayang-bayang Tuhan di Bumi jabatan kepala negara adalah sesuatu yang suci/Muqaddas.<br />Agama dan raja adalah ibarat dua anak kembar, agama adalah fondasi dan raja adalah penjaganya. Nizam Al-Mulk,<br />3 Ibnu Khaldun 1332 M- 1406 M. Kodrat manusia saling membutuhkan satu sama lain.<br />Keefektifan dalam pelaksanaan syari’at Islam. Abu Abdullah Muhammad<br /><br />E. KESIMPULAN <br />A. Segala pemikiran politik yang timbul baik pemikiran politik khowarij, syiah, mu’tazilah, dan sunny, timbul karena pertikaian politik. Memang dapat kita katakan, bahwa soal pertikaian ini pada dasarnya adalah semata soal politik seseorang yang berhak menjadi kepala negara. <br />B. Prosedur pengangkatan Khulafaur Rasyidin secara ijma’ oleh sahabat dan kaum muslimin, sebagian telah dikemukakan, menjadi dasar bagi teori politik para juris Sunny. Sehubungan dengan itu, secara umum didasarkan pada empat prinsip umum. Pertama, keturunan, Kedua, baiat Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), Keempat, prinsip keadilan.<br />C. Pada proses terbentuknya negara, Rabi’ memulai pembahasannya tentang negara atau kota berdasarkan kenyataan sosial sebagai proses yang membawa terbentuknya kota-kota, dan akhirnya menjadi negara. Al-Mawardi berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, hal yang serupa juga dikatakan oleh al Ghazali bahwa manusia diciptakan oleh Allah tidak bisa hidup seorang diri, ia butuh berkumpul bersama yang lain, makhluk jenisnya itu. Itulah sebabnya Ibnu Khaldun berpendapat bahwa organisasi kemasyarakatan bagi umat manusia adalah suatu keharusan dan menurutnya karena kemampuan manusia seorang diri terbatas, memaksanya untuk kerjasama dengan orang lain. Sedangkan unsur-unsur negara secara umum terdiri dari wilayah, ada penguasa, rakyat, dan pengelola negara.<br /><br />F. PENUTUP<br />Makalah yang dapat kami buat, sebgai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin......<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Black, Antony, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006<br />Fachruddin, Fuad Muhd., Pemikiran Politik Islam, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1988<br />Hitti, Philip, History of the Arabs, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008<br />Pulungan, J. Suyuti, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 <br />Saifuddin, Negara Islam Menurut konsep Ibnu Khaldun, Yogyakarta: Gema Media, 2007 <br />Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990<br />Choirul Anam, “Konsep Politik Syi’ah dan Sunny”, dalam http://indonesia-anam.blogspot.com/2009/11/konsep-politik-syiah-dan-sunny.html, diakses 30 April 2013 <br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-36507393622873801772013-06-25T17:35:00.002-07:002013-06-25T17:35:29.277-07:00POLITIK PEMERINTAHAN DAULAH FATIMIYAH<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
POLITIK PEMERINTAHAN DAULAH FATIMIYAH</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />I. PENDAHULUAN<br />Silih bergantinya kepemimpinan dalam umat islam yang terjadi semenjak wafatnya Rasulullah memberikan banyak gambaran yang jelas bahwa islam secara periodesasi memiliki beberapa kedaulatan yang begitu gemilang. Berawal dari Khulafaur Rasyidin, yang kemudian digantikan dengan kedaulatan Bani Umayyah, setelahnya diteruskan dengan kedaulatan Dinasti Abbasiyah, yang akhirnya direbut oleh kedaulatan Fatimiyah.<br />Melemahnya kekuatan Dinasti Bani Abbasiyah pada abad ke-4 H karena pengaruh yang sangat kuat dari penganut madzhab Syi’ah memberikan kesempatan bagi golongan Syi’ah untuk lebih leluasa untuk mengembangkan madzhabnya. Salah satunya adalah Syi’ah Ismailiyah yang dengan leluasanya menyebarkan dan mengembangkan madzhab Syi’ah Ismailiyah nya di daerah Mesir pada tahun 296-527 H hingga berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar disana dengan Kedaulatan Fatimiyah nya. <br />Maka dari itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai sejarah awal berdirinya Daulah Fatimiyah sampai beralihnya kedaulatan tersebut ke tangan Daulah Ayyubiyah di bawah kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah.<br /><br />II. RUMUSAN MASALAH<br />A. Bagaimana sistem pemerintahan Daulah Fatimiyah?<br />B. Siapa saja raja dari Daulah Fatimiyah?<br />C. Bagaimana dinamika sosial politik Daulah Fatimiyah?<br />D. Apa saja kemajuan yang dicapai pada masa Daulah Fatimiyah?<br />E. Bagaimana perluasan wilayah yang terjadi pada masa Daulah Fatimiyah?<br />F. Apa saja faktor yang melatarbelakangi kemunduran Daulah Fatimiyah?<br />G. Bagaimana analisis politik Daulah Fatimiyah? <br /><br /><br /><br />III. PEMBAHASAN<br />A. Sistem Pemerintahan Daulah Bani Fatimiyah<br />Dinasti Fatimiyah berkuasa pada tahun 297-567 H/ 909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir dan di Syiria. Awalnya kelompok ini di bentuk dengan sistem agama dan politik oleh Abdullah bin Maimun, namun mengalami perubahan menjadi gerakan kekuatan dengan tokohnya Said bin Husain yang menyebar dan menjadi landasan munculnya dinasti ini. <br />Dinasti Fatimiyah pertama kali berdiri di Raqqodah daerah Al-Qairawan dengan khalifah pertamanya Al-Mahdi. Konsep yang digunakan adalah syi’ah radikal isma’iliyah yang pada mulanya berbasis di Ifkriyah kemudian berpusat di Maroko dengan alasan keamanan maka dipindahkan ke Mesir setelah dapat menaklukan Dinasti Ikhsyidiyah dan mendirikan ibukota baru di Qahirah. <br />Sejak awal berdirinya daulah fatimiyah dapat membangun imperium yang kuat dan berbagai penyokong (pembangunan fisik) yang menandakan bahwa Daulah Fatimiyah secara politis sudah memiliki suatu konsep pemerintahan dan menunjukkan suatu kondisi politik yang cukup stabil. Kestabilan itu cukup dinamis walaupun terjadi pergantian kepemimpinan di Daulah Fatimiyah. Pergantian kepemimpinan ini berdasarkan keturunan, kekuasaan khalifah silih berganti secara turun temurun kepada putra mahkotanya. Sekalipun pergantian dan pengangkatan khalifah yang masih muda karena alasan keturunan kerajaan merupakan model pergantian khalifah secara garis keturunan yang akhirnya menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh para wazir. Peranan wazir menjadi sangat penting dan kompetetif pada masa ini sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak terhindarkan lagi demi ambisi terhadap jabatan dan pengaruh di istana. Mereka saling menjatuhkan dengan berusaha mengangkat khalifah padahal khalifah terakhir sudah menunjuk pengganti dirinya.<br />Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sistem pemerintahan Dinasti Fatimiah dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala bidang. Selain ada beberapa kebijakan Daulah Fatimiyah yang sejalan dengan Daulah Umayyah dan Abbasiyah terlihat dari pemerintahan dapat berjalan dengan baik hampir ke seluruh Afrika Utara dan terhentinya gerakan yang membahayakan posisi khalifah.<br />Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syi’ah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syi’ah. Ini karena penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik. Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat sentralistis seperti pada bidang ekonomi, perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama dua setengah abad. <br /><br />B. Daftar Raja Daulah Fatimiyah<br />NO NAMA TAHUN<br />1 Al-Mahdi 909-934 M<br />2 Al- Qaim 934-946 M<br />3 Al-Manshur 925-952 M<br />4 Mu’iz Lidinillah 952- 975 M<br />5 Al-Aziz 975-996 M<br />6 Al-Hakim 996-1021 M<br />7 Al-Dzahir 1021-1036 M<br />8 Al-Mustansir 1036-1095 M<br />9 Al-Musta’li 1095-1101 M<br />10 Al-Amir 1101-1130 M<br />11 Al-Hafidz 1130-1149 M<br />12 Al-Zafir 1149-1154 M<br />13 Al-Faiz 1154-1160 M<br />14 Al-Azid 1160-1171 M<br /><br />C. Dinamika Sosial dan Politik<br />1. Kondisi Sosial dan Politik (Masyarakat)<br />Secara politis Dinasti Fatimiyah sudah memiliki salah satu konsep pemerintahan. Kekuasaan Fatimiyah yang demikian luas didukung oleh kondisi politik yang stabil dan perekonomian yang bagus serta pembangunan sarana dan prasarana. Masjid Al-Azhar yang berkembang menjadi Universitas Al-Azhar merupakan bukti bahwa mesir sebagai ibu kota pemerintahan Fatimiyah dibangun dengan megah dan indah. <br />Para penguasa awal khilafah Fatimiyah menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sietem pemerintahan Dinasti Fatimiah dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala bidang. Khilafah Al-Mahdi, hal yang pertama dalam usaha pemerintahannya adalah pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang pemerintahannya termasuk tokoh-tokoh penting meski sangat besar jasa dalam pembentukan khilafah fatimah. <br />Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syi’ah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syi’ah. Ini karena penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik. <br />Dalam masa pemerintahan Daulah Fatimiyyah terjadi konflik politik yang melebar menjadi konflik aqidah antara kaum Syiah dan Non Syiah. Tak dan satu agama pun yang berkembang di muka bumi ini yang dalam sejarahnya tak terbelah, sekali pun Islam sebagai agama samawi yang terpecah belah menjadi Sunni dan Syi’ah. Pada dasarnya transendentalnya agama, pemahaman dan penghayatanya tak lepas dari fitrah manusia dalam menerimanya. Dan keterbelahan Sunni-Syi’ah adalah bukti gamblang tentang hal itu. Penganut dari satu belahan yang ekstrim akan mengaku bahwa kelompoknya lah yang benar dan menganggap yang lain kafir. Kecurigaan kalangan Sunni terhadap Syi’ah, dan sebaliknya tak berkurang dan mungkin tidak akan pernah berkurang sampai ke masa depan karena dasar dari keterbelahan tersebut adalah emosional. Kecintaan yang besar kalangan Syi’ah terhadap Ahlu Bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luar biasa di kalangan Sunni terhadap para sahabat Rasul, dan hal itu yang mengakibatkan perbedaan sumber hukum islam. Kalau hanya karena perbedaan visi religius sikisma Sunni-Syi’ah tidak akan meruncing menjadi suatu perpecahan. Malangnya sikisma tersebut kemudian berhimpitan pada sikisma politis. Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah belah dalam ranah politik sehingga muncul Aqidah Syi’ah tentang Taqiyah dimana mereka memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan golongan Sunni nya mempunyai rival dari golongan Syi’ah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga akhirnya salah satu golongan Syi’ah yaitu Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan Fatimiyah. Namun, dengan sistem underground nya golongan Sunni mencoba meruntuhkan Dinasti Fatimiyah dengan perantara Shalahudin Al-Ayyubi yang kelak menjadi perdana menteri di Mesir dengan di bawah kedaulatan Bani Abbasiyah. <br />Khalifah Al-Adhid dalam kemelut pemerintahannya mengambil kebijakna poltiknya dengan meminta bantuan Shalahudin Al-Ayyubi untuk mempertahankan Mesir dari tentara salib yang kemudian peperangan dimenangkan Shalahudin dan berakibat pada berpindah tanganya kekuasaan ke tangan Bani Ayyubiyah. <br />Segi sosial kemasyarakatan Dinasti Fatimiyah dapat nersikap liberal dan memberikan kebebasan agama untuk berkembang dan terjaganya toleransi agama. Menurut kaum Ismaili seseorang harus dibujuk untuk dapat memeluk agama Islam dan karenanya sejarah telah memperlihatkan bagaimana Al-Mu’izz telah secara terbuka memperbolehkan umat Kristen beradu pendapat dengan para ahli Islam dan di luar dana yang tersedia beliau membangun kembali gereja St. Mercurius yang rusak di Fustat yang sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi.<br /><br />2. Perundangan dan Hukum<br />Dalam bidang pemerintahan Kaum Fatimiah melakukan kebijakan seperti Bani Umayyah dari Spanyol dan Bani Abbasiyah seperti penanggulangan kejahatan dan pelaksanaan sangsi. Para Qadli menyelenggarakan bidang kehakiman menurut hukum-hukum agama. Khalifah Al-Mu’izz menyelenggarakan pengadilan untuk menampung pengaduan terhadap para pejabat pemerintahan. Al-Mu’izz mengeluarkan perintah-perintah kepada pengadilan untuk memutuskan perkara menurut hukum Syi’i dan juga turut mengarahkan Mu’adzdzin untuk mengumandangkan adzan di masjid-masjid menurut keyakian Isma’ili. Kepala Qadli di Mesir mempunyai yurisdiksi terhadap semua wilayah kekuasaan Fatimiah meskipun pengadilan tinggi reguler hingga masa Nurudin Mahmud. Al-Mu’iz selalu berusaha memelihara keadilan yang terpisah dan merdeka dari perangkat negara lainya serta bekerja bagi kesejahteraan masyarakat umum dan bebas dari sifat penyelewengan. Guna pengembangan pemerintahanya beliau mengeluarkan perintah yang mengarahkan para pejabat Bait al-Mal untuk membeli semua barang dan komoditi yang berguna bagi pemerintah sesuai dengan harga pasar tanpa memperlihatkan bahwa semua itu dibeli oleh pemerintah guna kepentingan sendiri. <br /><br />3. Administrasi Negara<br />Dalam pemerintahannya seorang Khalifah di bantu oleh seorang Wazir yang secara administrasi membantu dalam penyelesaian urusan strategis, militer, birokrasi, lembaga keuangan dan lembaga peradilan. Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat centralistis seperti pada bidang ekonomi, perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama dua setengah abad. Khalifah Al-Muiz dengan usaha peningkatan bidang pertanian dan hubungan dagang dengan negara lain sampai pembuatan pelabuhan Iskandariah demi kemakmuran rakyatnya.<br />Dan dalam bidang sistem ekonomi dan sosial terlihat dengan menghasilkan produk industri dan seni Islam yang baik hingga ke India. <br /><br />4. Peradilan<br />Dalam pemerintahan daulah fatimiyyah dapat diketahu mengenai peradilannya bahwa pranata hukum berlaku seoerti dalam madzhab syiah pada umumnya dan ismailiyyah pad khususnya. Sumber hukum ditentukan oleh Al Quran dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam dan dibantu oleh juresprodence yang pernah diberikan oleh imam dan orang yang mendapat izin dari imam. Begitu pula halnya orang yang bertindak sebagi propogandis. <br /><br />5. Hubungan Internasional<br />Dalam hungunan internasionalnya pada kekahalifahan ke-4 yaitu Al-Aziz memberi kebijakan dengan merekrut orang-orang Turki dan Negro untuk mengimbangi kekuasaan para pengawal istana yang telah terlanjur membesar dan sebagian besar berasal dari suku Barbar yang keras. Sama halnya dengan konflik politik diatas, rekruitmen seperti ini menimbulkan kemelut dalam tubuh militer dan secara terus-menerus menjadi perselisihan yang melemahkan kekuasaan Fatimiah. Beliau juga merekruitmen orang non-muslim yang dipercaya untuk menjadi menteri, petugas pajak, dan bahkan penasehat dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan serta para dokter dan para pejabat yang mengendalikan kerja operasional kekhalifahan. Namun dengan kebijakan ini menmbulkan keemburuan dimasyarakat yang ahirnya menimbulkan konflik dalam pemerintahan. <br /><br />D. Kemajuan yang dicapai:<br />1. Keilmuan<br />Pendidikan merupakan salah satu perhatian khusus yang tidak luput dari pemerintahan dinasti Fatimiyah, terbukti dengan adanya universitas Al-Azar di Kairo yang awalnya hanyalah sebuah masjid sebagai lembaga pendidikan tinggi yang masih eksis sampai sekarang. Perpustakaan Darul Hikmah yang didirikan oleh Kholifah Al-Hakim (1004 M) yang ahirnya mengembangkan beberapa bidang keilmuan seperti Bahasa dan Sastra, Filsafat, Matematika, Astronomi, Fisika, Optika, Kedokteran yang diikuti dengan munculnya beberapa Ulama’. Pada bidang filsafat sendiri menggunakan filsafat yunani dan mengembangkanya dengan salah satu tokohnya Abu hatim Al-Razi. <br />2. Ekonomi dan Perpajakan<br />Kekuasaan Fatimiyah yang demikian luas didukung oleh kondisi politik yang stabil dan perekonomian yang bagus serta pembangunan sarana dan prasarana. Masjid Al-Azhar yang berkembang menjadi Universitas Al-Azhar merupakan bukti bahwa mesir sebagai ibu kota pemerintahan Fatimiyah dibangun dengan megah dan indah. <br /><br />3. Perdagangan, Industri dan Pertanian<br />Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syi’ah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syi’ah. Ini karena penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik. Dalam pemerintahannya seorang Khalifah di bantu oleh seorang Wazir yang secara administrasi membantu dalam penyelesaian urusan strategis, militer, birokrasi, lembaga keuangan dan lembaga peradilan. Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat centralistis seperti pada bidang ekonomi, perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama dua setengah abad. Khalifah Al-Muiz dengan usaha peningkatan bidang pertanian dan hubungan dagang dengan negara lain sampai pembuatan pelabuhan Iskandariah demi kemakmuran rakyatnya.<br /><br />4. Militer dan Pertahanan<br />Sejak awal berdirinya daulah fatimiyah dapat membangun imperium yang kuat dengan dukungan militer yang tangguh di sekitar Laut Tengah membentang dari Samudra Atlantik di sebelah barat dan Sungai Euphrat di sebelah Timur, Pulau Sisilia di sebelah utara dan Yaman di sebelah selatan. Ini membuktikan secara politis Dinasti Fatimiyah sudah memiliki salah satu konsep pemerintahan. <br />Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sistem pemerintahan Dinasti Fatimiah dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala bidang. Khilafah Al-Mahdi, hal yang pertama dalam usaha pemerintahannya adalah pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang pemerintahannya termasuk tokoh-tokoh penting meski sangat besar jasa dalam pembentukan khilafah fatimah. Selain kebijakan tersebut dilkukan pula pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerintahan. Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal khalifah dan keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Qur’an), kebijakan penukaran duta (persahabatan) dengan Dinasti Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan pusat dan daerah). <br /><br />E. Perluasan Wilayah Daulah Fatimiyah<br />Dalam kebijakan pemerintah dilkukan pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerintahan. Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal khalifah dan keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Qur’an), kebijakan penukaran duta (persahabatan) dengan Dinasti Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan pusat dan daerah). Hal lain dapat dilihat dari pembangunan kota Mahdiyah yang terletak sebelah selatan kota Qoiruwan, dan menjadikan kota ini sebagai pangkalan armada laut khilafah fatimah. Dan tidak terkecuali dalam usaha mengembangkan wilayah kekuasaan, dan uasaha ini berkaiatan erat dengan kemiliteran. Dengan adanya perluasan kekuasaan tersebut mengarahkan untuk dapat menguasai daerah-daerah strategis dan mengantisipasi gerakan-gerakan yang dapat menbahayakan posisi khalifah. Maka dari itu stabilitas politik Daulah Fatimiyah tetap terjaga dengan terlihatnya pemerintahan yang berjalan dengan baik karena hampir seluruh Afrika Utara wilayah barat dapat dikuasai. Salah satu wilayah yang dikuasai Khilafah Fatimiah adalah bekas kekuasaan Bani Aghlab yang berpusat di Tunisia, Rustamiah Khariji di Tabart, Indrisiah di Fez dan Pulau Sisilia juga termasuk daerah kekuasaan Daulah Fatimiah. Sedangkan pada puncak kejayaannya wilayah kekuasaanya mencakup seluruh daerah-daerah Afrika Utara, Sisilia, Mesir, Syiria, dan Arabia Barat yang tidak bisa dilepaskan dari penguasaan awal wilayah Mesir yang cukup strategis dalam melakukan ekspansi-ekspansi selanjutnya.<br /><br />F. Kemunduran Daulah Fatimiyah<br />1. Internal<br />Konflik politik Daulah Fatimiyah antara kaum syi’ah dan non syi’ah memiliki kesinambungan dengan konflik aqidah antara Kum Syi’ah dan non-Syi’ah. Seperti pada pengangkatan khalifah yang masih muda yang merupakan konsekuensi logis dari model pergantian khalifah secara garis keturunan yang akhirnya menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh para wazir. Seperti pada masa Al-Hakim dengan sikap labilnya karena umurnya masih 11 tahun. Dia dikenal sebagai khalifah sewenang-wenang, keras, sikapnya yang cenderung dipengaruhi hawa nafsu, sikap bencinya terhadap orang-orang Mesir sendiri dengan bertindak sewenag-wenang dan merendahkan mereka dan merampas harta dan nyawa. Sementara itu dia memberikan tempat bagi orang-orang asing dan tidak jelas moralnya untuk mengurusi maslah-masalah pemerintahan. Semua itu berakibat pada buruknya keamanan pemerintahan, menurunya ketentraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap yang amoral. <br /><br />2. Eksternal<br />Kecintaan yang besar kalangan Syi’ah terhadap Ahlu Bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luar biasa di kalangan Sunni terhadap para sahabat Rasul, dan hal itu yang mengakibatkan perbedaan sumber hukum islam. Kalau hanya karena perbedaan visi religius sikisma Sunni-Syi’ah tidak akan meruncing menjadi suatu perpecahan. Malangnya sikisma tersebut kemudian berhimpitan pada sikisma politis. Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah belah dalam ranah politik sehingga muncul Aqidah Syi’ah tentang Taqiyah dimana mereka memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan golongan Sunni nya mempunyai rival dari golongan Syi’ah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga akhirnya salah satu golongan Syi’ah yaitu Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan Fatimiyah. Namun, dengan sistem underground nya golongan Sunni mencoba meruntuhkan Dinasti Fatimiyah dengan perantara Shalahudin Al-Ayyubi yang kelak menjadi perdana menteri di Mesir dengan di bawah kedaulatan Bani Abbasiyah.<br /><br />G. Analisis Politik Daulah Fatimiyah<br />1. Tabel Daftar Raja dan Kemajuan yang Dicapai<br />2. Kritik Kemajuan dan Kelemahan sistem Pemerintahan<br /><br />IV. KESIMPULAN<br />Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syi’ah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syi’ah. Ini karena penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat yang beraliran Sunni. Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik. <br />Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah belah dalam ranah politik sehingga muncul Aqidah Syi’ah tentang Taqiyah dimana mereka memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan golongan Sunni nya mempunyai rival dari golongan Syi’ah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga akhirnya salah satu golongan Syi’ah yaitu Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan Fatimiyah.<br /><br />V. PENUTUP<br /><br />Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />Azzabi’, Mahmud. Sunni yang Sunni, Trj. Al-Bayyinat fi Ar-Radh ‘ala Abatil al-Muraja’at. Bandung: Pustaka. 1989. <br />Fuadi, Imam. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Yogyakarta: Teras. 2012. <br />Karim, M Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007.<br />Khoiriyah. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam dari Arab Sebelum Islam Hingga Dinasti-Dinasti Islam. Yogyakarta: Teras. 2012.<br />Mustaqim, Ahmad. Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan. Bandung: PT. Fajar Aksara. 1998<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-25902142403242368362013-06-25T17:33:00.002-07:002013-06-25T17:33:16.661-07:00PERKEMBANGAN SEJARAH FIQH SIYASAH PADA MASA PEMERINTAHAN DI INDONESIA PASCA PENJAJAHAN BELANDA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
PERKEMBANGAN SEJARAH FIQH SIYASAH<br />PADA MASA PEMERINTAHAN DI INDONESIA PASCA PENJAJAHAN BELANDA</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN<br />Setiap negara memiliki sistem politik di negaranya masing-masing. Sistem politik yang dianut itulah yang akan mempengaruhi jalanya roda pemerintahan di negara itu. Sistem politik selalu berubah-ubah sesuai keadaan faktor ekonomi, masyarakat, gaya sosial serta faktor eksternal lainya yang mampu mempengaruhi negaranya. Di Indonesia sendiri, sistem pemerintahanya telah mengalami tiga kali perubahan. Masa awal yang disebut dengan era orde lama, setelah presiden Soekarno mundur dari jabatanya dan digantikan oleh presiden Soeharto bergantilah menjadi era orde baru, dan setelah 1998 disebut dengan era reformasi. <br />Sejarah mengenai sistem pemerintahan dimulai sejak diproklamasikanya kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan adanya proklamasi ini berarti terbentuklah sebuah negara baru yang berdaulat. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkembangan sejarah fiqih siyasah pada masa orde lama atau setelah penjajahan Belanda.<br /><br />II. RUMUSAN MASALAH<br />A. Bagaimana Sistem Pemerintahan di Indonesia Pasca Penjajahan Belanda?<br />B. Bagaimana Dinamika Sosial Politik di Indonesia Pada Masa Orde Lama?<br />C. Apa Saja Kemajuan-Kemajuan yang Dicapai Pada Masa Orde Lama?<br />III. PEMBAHASAN<br />A. Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Penjajahan Belanda<br />Pada awal masa kemerdekaan terjadi perbedaan pendapat tentang dasar negara. Panitia sembilan akhirnya merumuskan dasar negara dalam Piagam Jakarta. Teks Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:<br />Pembukaan<br />Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.<br />Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.<br />Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.<br />Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.<br />Jakarta 22 Juni 1945<br />Panitia Sembilan<br />1. Soekarno<br />2. Mohammad Hatta<br />3. Muhammad Yamin<br />4. Achmad Soebardjo<br />5. Abikoesno Tjokrosoejoso<br />6. Haji Agus Salim<br />7. A.A. Maramis<br />8. Andul Kahar Muzakkir<br />9. Wachid Hasyim<br />Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:<br />1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya<br />2. Kemanusiaan yang adil dan beradab<br />3. Persatuan Indonesia<br />4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan<br />5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia<br />* Kalimat yang dicetak tebal merupakan kalimat yang diubah dalam perumusan Pancasila<br />Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD. Butir pertama yang berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. <br />Sistem pemerintahan Soekarno telah banyak mengalami perubahan, dari sistem presidensial, kemudian parlementer, demokrasi liberal, dan diganti dengan demokrasi terpimpin. Dalam pemerintahan presidensial, kekuasaan negara terfokus pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Pemerintahan parlemen merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan posisi perlemen memiliki peran penting dalam pemerintahan, parlemen memiliki wewewnag untuk mengangkat perdana menteri dan juga dapat menjatuhkan pemerintahan dengan cara menjatuhkan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan tersebut. Kemudian dilanjutkan denagn pemerintahan demokrasi, namun pemerintahan ini dipanang masih bersifat semu, karena jalanya sistem demokrasi tidak sepenuhnya dilakukan.<br />B. Dinamika Sosial Politik di Indonesia Pada Masa Orde Lama<br />Pada awal kemerdekaan Indonesia, setelah dilaksanakanya proklamasi, tidak serta merta Indonesia menjadi negara yang bebas merdeka seutuhnya. Tentara sekutu masih saja membayang-bayangi. Kehadiran mereka pada tanggal 29 september 1945 mulai menguasai kembali wilayah-wilayah di Indonesia. Kota Bandung berhasil ditaklukan pada tanggal 10 Oktober , selanjutnya Semarang 17 Oktober, 25 Oktober di Surabaya dan kemudian kota-kota lain di Jawa dan Sumatera. Namun rakyat Indonesia masih terus gigih untuk mempertahankan kemerdekaan. Sehingga walaupun Belanda dan tentara sekutu menguasai ibukota tetapi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tetap menjalankan fungsinya. Hal tersebut ditandai dengan adanya konferensi New Delhi, sidang dewan keamanan PBB (Januari 1949), serangan umum 1 Maret 1949, sidang dewan keamanan PBB 1949 dan perundingan Roem Royen. Perjanjian Roem Royen ini menjadi dasar diselenggarakanya Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Hasil dari konferensi Den Haag adalah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, dan menjadikan berdirinya RIS pada tanggal 27 Desember 1949. <br />Perjuangan bangsa Indonesia beralih dari perjuangan fisik ke masalah sosial politik. Setelah wakil presiden mengeluarkan maklumat No. X tentang diperkenankanya mendirikan partai-partai politik, maka banyak partai politik mulai bermunculan. Pada tanggal 7 November 1945 Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) lahir sebagai wadah aspirasi umat Islam,yang terdiri dari organisasi NU, Muhammadiyah, al Irsyad, Jami’atul Washliyah, dan al Ittihadiyah. 17 Desember 1945 Partai Sosialis yang mengkristalisasikan falsafah hidup markis berdiri, dan 29 Januari 1946 Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekuler” pun muncul. Partai-partai yang berdiri sesudah itu dapat dikategorikan kedalam tiga aliran utama ideologi. Partai-partai Islam selain Masyumi adalah Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), yang keluar dari Masyumi pada tahun 1947, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Nahdlatul Ulama (NU) yang keluar dari Masyumi tahun 1952. <br />Perpecahan ini berdampak negatif pada partai Islam karena tidak dapat mencapai angka mayoritas. Hasil pemilu 1955 di Indonesia, golongan nasionalis, Islam, dan komunis tidak ada yang menang karena PNI mencapai 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4% suara dan komunis 16,4% suara. Dengan demikian terjadi perimbangan kekuatan dan harus melakukan kompromi politik baik di parlemen dan konstituante. Untuk berkompromi adalah suatu hal yang mustahil karena pertentangan antara ketiga kekeuatan ini cukup tajam dan telah lama. Hal ini dijadikan oleh Presiden Soekarno untuk mengatakan bahwa demokrasi parlementer tidak cocok untuk Indonesia. Dalam pidato-pidato di berbagai kesempatan, Soekarno mengatakan hal tersebut. Akhirnya pada tanggal 10 Oktober 1956, ketika majelis konstituante di Bandung dibuka, demokrasi parlementer diganti dengan demokrasi terpimpin. <br />Pergantian dari demokrasi parlementer menjadi demokrasi terpimpin mendapat tantangan dari banyak pihak. Kelompok Islam yang dipimpin oleh ketua Masyumi waktu itu ( Muhammad Natsir) menganggapnya sebagai sistem diktator. PSI dan dan wakil presiden Muhammad Hatta juga menyatakan ketidaksetujuanya. Namun Presiden Soekarno tetap melanjutkan keinginanya. Oleh karena itu wakil presiden Mohammad Hatta menyatakan mengundurkan diri dari jabatanya pada pada tangal 1 Desember 1956.<br />Dalam demokrasi terpimpin Soekarno membuat slogan-slogan politik. Diantaranya dalam peringatan ulang tahun RI tahun 1959, Soekarno berpidato dengan judul Manifestasi Politik (manipol) dilengkapi dengan USDEK ( kependekan UUD 1945, Sosialis Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno juga menyatukan tiga golongan ( nasionalis, agama, dan komunis) dalam satu konsep Nasakom. <br />Dalam masa ini Masyumi melakukan oposisi. Kedudukanya menjadi semakin sulit karena dianggap sebagai musuh oleh Soekarno dan PKI karena dianggap menghalangi keinginanya. Akhirnya Masyumi di bubarkan melalui PenPres no. 200 tahun 1960.<br />Sedangkan partai Islam lainya seperti NU, PSII dan Perti berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan politik saat itu. PNI yang diharapkan dapat mengikuti semua keinginan Soekarno ternyata tidak mengikuti kemauanya, sehingga Soekarno mulai mencari dukungan dari PKI. Dan PKI memanfaatkan Soekarno untuk mewujudkan keinginanya. <br />Pertentangan terjadi dimana-mana. Secara umum pada tahun 1960 masyarakat terkotak-kotak menjadi 3 golongan, yaitu NU, PNI, dan PKI. Tahun 1964 PKI melancarkan aksi merebut tanah perkebunan, wakaf, melakukan penggerebekan dan penganiayaan. Tahun 1965 terjadi bentrokan antara orang PKI dan Islam, antara komunis dengan kaum santri, sehingga terjadi kekacauan dimana-mana. <br />Dalam kondisi seperti itu, D.N. Aidit merencanakan untuk melakukan tindakan kekerasan. Pada tanggal 30 September, Kolonel Untung dan pasukanya menculik dan membunuh sejumlah jenderal di Jakarta, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Peristiwa itu dikenal dengan nama G30S/ PKI. Sejak peristiwa itu barisan ABRI, organisasi dan rakyat bergabung untuk menumpas PKI. <br />Konfrontasi dengan Malaysia membuat Indonesia dikucilkan dari negara kapitalis. Akhirnya Indonesia keluar dari PBB. Akibatnya terputuslah semua bantuan dari organisasi yang bernaung dibawah PBB seperti IMF, World Bank, dan lain-lain. Pada tahun 1966 aksi pemuda, mahasiswa, dan pelajar bersama ABRI berhasil menurunkan Soekarno dan menumpas PKI serta melarang semua ajaran komunis di Indonesia. Sejak saat itu maka berakhirlah kekuasaan orde lama.<br />Peradilan islam masa kemerdekaan<br />Setelah proklamasi kemerdekaan indonesia tanggal 17 agustus 1945, atas usul menteri agama yang disetujui menteri kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa pengadilan agama diserahkan diserahkan dari kekeuasaan kementrian kehakiman kepada kementrian agama dengan ketetapan pemerintah no 5 tanggal 25 maret 1946. Pada awal kemerdekaan, terjadi perubahan dalam pemerintahan tetapi tidak tampak perubahan yang sangat menonjol dalam tata peradilan, khususnya peradilan agama di indonesia. <br />Selama revolusi fisik terdapat beberapa hal yang perlu dicermati:<br />a. Keluarnya UU nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu.<br />b. Keluarnay penetapan menteri agama no 6 tahun 1947 tentang penetapan formasi pengadilan agama.<br />c. Keluarnya UU no 19 tahun 1948 tentang susunan badan-badan kehakiman dan kejaksaan yang ditetapkan wakil presiden moh hatta dan menteri kehakiman soesanto tirtoprojo di yogyakarta.<br />d. Berdasarkan keputusan recomba jawa barat, daerah-daerah yang masih dikuasai tentara sekutu dan belanda, instansi yang bernama priesterraad diubah menjadi penghulu gerecht.<br />Pada 1954 terdapat usulan untuk membentuk suatu badan dalam rangka melayani masalah perkawinan dan perceraian. Ide tersebut semula dicetuskan oleh S.M. Nasruddin Latif, kepala kua jakarta. Akhirnya terbentuklah BP4 (badan penashat perkawinan dan penyelesaian perceraian). <br /><br />C. Kemajuan-Kemajuan Yang Dicapai Pada Masa Orde Lama.<br />1. Keilmuan dan Teknologi<br />Salah satu kemajuan yang dicapai Indonesia setelah merdeka adalah berkembangnya ilmu pendidikan. Perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintahan Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa pada zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres pendidikan, menteri pengajaran dan pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang berlandaskan pada ideologi bangsa Indonesia sendiri.<br />Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan barat. Diharapkan praktek pendidikan barat ini akan bisa mempersiapkan kaun pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai “ pangreh praja”. Praktik pendidikan kolonial ini tetap menunjukan diskriminasi antara ank pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahanya. Yakni menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Disamping itu, dengan pendidikan model barat diharapkan muncul kaum pribumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakanpun berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun pendidikan barat ( belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang pada ahirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia. <br />Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya departemen agama, persoalan pendidikan agama islam mulai mendapat perhatian yang serius. Departemen agama juga membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama islam dan kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru agama dan mengawasi pendidikan agama-agama di sekolah. <br />2. Ekonomi dan Perpajakan<br />Keadaan perekonomian pada awal masa kemerdekaan Indonesia amat buruk. Hal ini disebabkan adanya inflasi yang sangat tinggi. Banyak tokoh negara yang ikut merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia. Contohnya, Bung Hatta dengan ide dasar ekonomi koperasi dan Sumitro Djojohadikusumo dngan ide ekonomi campuran. Namun dalam proses perkembanganya, disepakatilah bentuk ekonomi baru yakni demokrasi ekonomi yang menganut sistem ekonomi pancasila.<br />Meskipun sudah menganut sistem perekonomian Ekonomi Demokrasi, bukan berarti sistem ekonomi liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi. Kebebasan usaha yang tidak terkendali (liberalisme) terjadi pada tahun 1950 sampai dengan 1957. Sedangkan keikutsertaan pemerintah yang terlalu doniman (etatisme) terjadi pada tahun 1960 sampai masa orde baru.<br />3. Militer dan pertahanan<br />Perkembangan selanjutnya setelah Belanda berhasil menawan Soekarno dan Hatta pada tanggal 22 Desember 1948, maka dibentuk pemerintahan militer yang menetapkan kebijakan sistem pertahanan negara untuk menghadapai aksi Belanda dengan konsepsi perubahan dari sistem linier ke sistem gerilya, dari sistem pertahanan yang hanya dilakukan oleh tentara ke sistem pertahanan rakyat semesta. Kebijakan ini berakhir pada tanggal 27 Desember 1949 setelah kabinet Republik Indonesia Serikat akhirnya diakui Belanda.<br />Pada tanggal 17 agustus 1950, RIS berubah menjadi NKRI. Pada masa antara 1950-1959, di bidang pertahanan, pemerintah kemudian melakukan konsolidasi angkatan perang untuk membangun dan membina angkatan perang serta menyempurnakan manajemen organisasi militer guna menghadapi berbgai pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />IV. ANALISIS<br />Hasil pemilu tahun 1955<br />1. Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)<br />2. Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)<br />3. Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)<br />4. Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)<br />NO TAHUN PARTAI PENDIRI<br />1 1955 Partai Nasional Indonesia Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo<br /><br />2 1955 Masyumi Muhammad Natsir<br /><br />3 1955 Nahdlatul Ulama Hasyim Asy’ari<br />4 1955 Partai Komunis Indonesia Letkol Untung<br /><br />V. PENUTUP<br />Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan mengenai pembahasan tentang Islam di India. kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya, besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pemakalah khususnya dan pembaca pada umumnya, Amin... <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.<br />Suharto, Ayu, Dkk, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.<br />Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005.<br />Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Piagam_Jakarta <br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-25601814908277589542013-06-25T17:31:00.002-07:002013-06-25T17:31:27.558-07:00PERKEMBANGAN SEJARAH FIQH SIYASAH PADA MASA TURKI UTSMANI <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN <br />Sejak mundur dan berakhirnya era Abbasiyah, keadaan politik umat Islam mengalami kemajuan kembali oleh tiga kerajaan besar: Turki Usmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Dari ketiganya, Turki Usmani adalah yang terbesar dan terlama, dikenal juga dengan imperium Islam. <br />Dengan wilayahnya yang luas membentang dari Afrika Utara, Jazirah Arab, Bahkan hingga Asia Tengah, Turki Usmani menyimpan keberagaman bangsa, budaya dan agama, Turki Usmani mampu berkuasa selama kurang lebih 6 abad berturut-turut. Tentunya hal ini membawa kesan tersendiri bahwa kerajaan Turki Usmani mampu membawa masyarakat islam dalam keajayaan selama 6 abad, hal yang menurut pemakalah adalah tergolong luar biasa.<br />Oleh karenanya, dalam tulisan ini setidaknya akan berusaha memaparkan kembali sejarah peradaban Islam masa turki usmani yang penuh dengan suasana politik, makalah ini akan berusaha menjelaskan bagaimana kerajaan turki usmani mampu menjadi kerajaan Islam yang paling hebat sepanjang masa, serta bagaimana pula kerajaan Islam sebesar ini bisa runtuh dan akhirnya menjadi Republik Turki pada tahun 1924.<br />2. SISTEM PEMERINTAHAN TURKI UTSMANI <br />Kerajaan Turki Usmani muncul di pentas sejarah Islam pada periode pertengahan. Masa kemajuan Dinasti ini dihitung dari mulai digerakkannya ekspansi ke wilayah baru yang belum ditundukkan oleh pendahulu mereka. keberhasilan mereka dalam memperluas wilayah kekuasaan serta terjadinya peristiwa-peristiwa penting merupakan suatu indikasi yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kemajuan tersebut.<br />Pendiri dari kerajaan Turki ini adalah bangsa Turki dari kabilah Qayigh Oghus salah satu anak suku Turk yang mendiami sebelah barat gurun Gobi, atau daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina, yang dipimpin oleh Sulaiman. Dia mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol yang menyerang dunia Islam yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm pada tahun 1219-1220 M. Sulaiman dan anggota sukunya lari ke arah Barat dan meminta perlindungan kepada Jalaluddin, pemimpin terakhir Dinasti Khawarizm di Transoxiana (Maa Wara al-Nahr). Jalaluddin menyuruh Sulaiman agar pergi kearah Barat (Asia Kecil). Kemudian mereka menetap di sana dan pindah ke Syam dalam rangka menghindari serangan mongol. Dalam usahanya pindah ke Syam itu, pemimpin orang-orang Turki mendapat kecelakaan. Mereka hanyut di sungai Efrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar pada tahun 1228. Akhirnya mereka terbagi menjadi 2 kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri asalnya; dan yang kedua meneruskan perjalanannya ke Asia kecil. Kelompok kedua ini berjumlah 400 kepala keluarga yang dipimpin oleh Ertugril (Erthogrol) ibn Sulaiman. Mereka mengabdkan dirinya dirinya kepada Sultan Alauddin II dari Dinasti Saljuk Rum yang pusat pemerintahannya di Kuniya, Anatolia Asia Kecil.<br />Pada saat itu, Sultan Alauddin II sedang menghadapi bahaya peperangan dari bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan di Romawi Timur (Byzantium). Dengan bantuan dari bangsa Turki pimpinan Erthogrol, Sultan Alauddin II dapat mencapai kemenangan. Atas jasa baik tersebut Sultan menghadiahkan sebidang tanah yang perbatasan dengan Bizantium. Sejak itu Erthogrol terus membina wilayah barunya dan berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut wilayah Byzantium. <br />Pada tahun 1288 Erthogrol meninggal dunia, dan meninggalkan putranya yang bernama Usman, yang diperkirakan lahir pada 1258 M. Usman inilah yang ditunjuk oleh Erthogrol untuk meneruskan kepemimpinannya dan disetujui serta didukung oleh Sultan Saljuk pada saat itu. Nama Usman inilah yang nanti diambil sebagai nama untuk Kerajaan Turki Usmani. Usman ini pula yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Usmani. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II. Kemenangan-kemenangan dalam setiap pertempuran dan peperangan diraih oleh Usman. Dan berkat keberhasilannya maka benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan Broessa dapat ditaklukkan. Keberhasilan Usman ini membuat Sultan Alauddin II semakin simpati dan banyak memberi hak istimewa pada Usman. Bahkan Usman diangkat menjadi gubernur dengan gelar Bey, dan namanya selalu disebut dalam do’a setiap khutbah Jum’at. Penyerangan Bangsa Mongol pada tahun 1300 M, ke wilayah kekuasaan Saljuk Rum mengakibatkan terbunuhnya Sultan Saljuk tanpa meninggalkan putra sebagai pewaris kesultanan. Dalam keadaan kosong itulah, Usman memerdekakan wilayahnya dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol. Usman memproklamirkan kemerdekaan wilayahnya dengan nama Kesultanan Usmani.<br />3. RAJA-RAJA TURKI UTSMANI <br />Dengan jatuhnya jazirah Arab, maka imperium Turki Usmani mempunyai wilayah yang luas sekali, terbentang dari Budapest di pinggir sungai Thauna, sampai ke Aswan dekat hulu sungai Nil, dan dari sungai efrat serta pedalaman Iran, sampai Bab el-Mandeb di selatan jazirah Arab. Selama masa kesultanan Turki Usmani (1299-1942 M.) sekitar 625 tahun berkuasa tidak kurang dari 38 Sultan.. <br />No Nama Penguasa Awal masa kekuasaan CIRI FASE INI<br /><br />1<br />2<br />3<br />4<br /><br /><br /><br />5<br />6<br />7<br />8<br /><br />9<br />10<br />11<br />12<br />13<br />14<br />15<br />16<br />17<br />18<br />19<br />20<br />21<br />22<br />23<br />24<br />25<br />26<br />27<br />28<br />29<br />30<br />31<br />32<br />33<br />34<br />35<br />36<br /><br />37<br /><br />38 Masa kesultanan:<br />Usman bin Ortoghal<br />Urkhan bin usman<br />Murad bin Aurkhan<br />Bayazid bin murad<br /><br />Masa pertikaian diantara anak-anak bayazid:<br />Muhammad I bin Bayazid<br />Murad II bin Bayazid<br />Muhammad II (al-Fatih)<br />Bayazid bin Muhammad<br />Masa khalifah:<br />Salim I bin bayazid<br />Sulaiman (al-Qanuni) bin Salim<br />Salim II bin Sulaiman<br />Murad III bin Salim<br />Muhammad III bin Murad<br />Ahmad I bin Muhammad<br />Musthafa bin Muhammad<br />Usman II bin Ahmad<br />Mustafa I (kali kedua)<br />Murad IV bin Ahmad<br />Ibrahim I bin Ahmad<br />Muhammad IV bin Ibrahim<br />Sulaiman II bin Ibrahim<br />Ahmad II bin Ibrahim<br />Musthafa II bin Muhammad<br />Ahmad II bin Muhammad<br />Mahmud I bin Musthafa<br />Usman III bin Musthafa<br />Musthafa III bin Ahmad<br />Hamid I bin Ahmad<br />Salim III bin M.usthafa<br />Musthafa IV bin Bdul Hamid<br />Mahmud II bin Abdul Hamid<br />Abdul majid I bin Mahmud<br />Abdul Aziz bin Muhammad<br />Murad V bin Abdul Majid<br />Abdul Hamid II bin Abdul Majid<br />Muhammad Rasyad bin Abdul Majid<br />Muhammad Wahiduddin bin Abdul Majid<br />Abdul Majid bin Abdul Aziz <br />699 H / 1299 M<br />726 H / 1325 M<br />761 H / 1359 M<br />791-805 M / 1389-1402 M<br /><br /><br />816 H / 1413 M<br />824 H / 1421 M<br />855 H / 1451 M<br />886 H / 1481 M<br /><br />918 H / 1512 M<br />926 H 1519 M<br />974 H / 1566 M<br />982 H / 1574 M<br />1003 H / 1594 M<br />1012 H 1603 M<br />1026 H / 1617 M<br />1027 H / 1617 M<br />1031 H / 1621 M<br />1032 H / 1622 M<br />1049 / 1639 M<br />1058 H 1648 M<br />1099 H / 1687 M<br />1102 H / 1690 M<br />1106 H / 1694 M<br />1115 H / 1703 M<br />1143 H / 1730 M<br />1168 H / 1754 M<br />1171 H / 1757 M<br />1187 H / 1173 M<br />1203 H / 1788<br />1222 H / 1807 M<br />1223 H / 1808 M<br />155 H / 1839 M<br />1277 H / 1860 M<br />1293 H 1876 M<br />1293 H/ 1877 M<br />1328 H / 1910 M<br /><br />137 H / 1918 M<br /><br />1340-342 H / 1921-1923 M <br />Masa Sultan yang Kuat<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Masa kekuatan dan khalifah Masa kelemahan<br /><br /><br /><br /><br />Masa kelemahan<br /><br /><br /><br /><br /><br />Masa kemerosotan dan<br />kemunduran<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Masa<br /><br />pengeuasaan sultan dan<br /><br />peninggian<br /><br /><br />4. DINAMIKA SOSIAL POLITIK <br />Persinggungan Islam dengan Turki melalui sejarah panjang, terhitung sejak abad pertama hijriyah hingga suku-suku Turki menjadi penganut dan pembela Islam. Pengaruh Turki dalam dunia Islam semakin terasa pada masa Pemerintahan al-Musta’sim (640-656 H./1242-1258 M.), khalifah terakhir dinasti Abbasiyah. Sejak masa itu bangsa Turki dari berbagai suku senantiasa terlibat dalam jatuh bangunnya berbagai dinasti di daerah mana mereka bertempat tinggal dan mengabdi. <br /><br />5. KEMAJUAN PADA MASA KERAJAAN TURKI<br />Kerajaan Turki Usmani merupakan salah satu kerajaan Islam yang bertahan lama yang mampu mengembangkan peradaban dalam berbagai hal. Selain pembangunan dalam bentuk fisik, perkembangan pesat juga terjadi dalam hal pemikiran Diantara kemajuan-kemajuan yang capai kerajaan Usmani yaitu : a. Sosial Politik dan Administrasi negara<br />Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani berlangsung dengan cepat, hal ini diikuti pula oleh kemajuan dalam bidang politik, terutama dalam hal mempertahankan eksistensinya sebagai negara besar. Hal ini berkaitan erat dengan sistem pemerintahan yang diterapkan para pemimpin Dinasti ini. Selain itu, tradisi yang berlalu saat itu telah membentuk stratifikasi yang membedakan secara menyolok antara kelompok penguasa (small group of rulers) dan rakyat biasa (large mass). <br />Sebagai struktur masyarakatnya sangat heterogen, Dinasti Usmani mempunyai kekuasaan yang menentukan nasib warga Timur Tengah dan Balkan, sampai pada tingkat yang luar biasa. Dinasti Usmani tersebut mendominasi, mengendalikan dan membentuk masyarakat yang dikuasainya. Salah satu konsep utama yang diterapkan oleh Usmani adalah perbedan antara askeri dan ri’aya, yakni antara kalangan elit penguasa dan yang dikuasai, elit pemerintah dan warga Negara, antara tentara dan pedagang, antar petugas pemungut pajak dan pembayar pajak. Bahkan, untuk menjadi kelas penguasa seseorang harus dididik dalam kebahasaan dan tata cara yang khusus yang disebut dengan tata cara Usman. Seseorang dapat menjadi elit Usmani melalui keturunan atau melalui pendidikan sekolah-sekolah kerajaan, kemiliteran atau pendidikan sekolah keagamaan. <br />b. Bidang Militer<br />Kerajaan Turki Usmani mampu menciptakan pasukan militer yang mampu mengubah Turki menjadi Mesin perang yang paling tangguh dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan negeri-negeri non Muslim. Bangsa-bangsa non Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen di asramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.<br />Ketika terjadi kekisruan ditubuh militer, maka Orkhan mengadakan perombakan dan pembaharuan, yang dimulai dari pemimpin-pemimpin personil militer. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut dengan pasukan Janissari atau Inkisyariyah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan kuat dalam penaklukan negeri Non Muslim. Selain itu, ada juga ada juga tentara feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat, pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah. <br />Keberhasilan ekspansi wilayah dibarengi dengan terciptanya jaringan pemerintah yang teratur. Di masa Sulaiman I, disusunlah sebuah kitab undang-undang (qonun) yang diberi nama Multaqa al-Abhur. Kitab ini menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi abad ke-19.<br />Pengelolaan administrasi pemerintah tidak hanya terbatas sampai ketingkat propinsi, tetapi selanjutnya diefektifkan dengan membentuk daerah-daerah tingkat II yang dikepalai masing-masing seorang kepala daerah (sanjaks). Di tingkat pusat, di samping ada sultan ada grand vizier (perdana menteri) yang dibantu oleh beberapa pembantu,diantaranya oleh para ulama yang berfungsi sebagai lembaga pemberi fatwa atau dewan pertimbangan. <br />c. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan<br />Dalam bidang pendidikan, Dinasti Usmani mengantarkan pada pengorganisasian sebuah sistem pendidikan madrasah yang tersebar luas. Madrasah Usmani pertama didirikan di Izmir pada tahun 1331, ketika itu sejumlah ulama di datangkan dari Iran dan Mesir untuk mengembangkan pengajaran Muslim dibeberapa toritorial baru. Tapi hal ini tidak begitu berkembang, karena Turki Usmani lebih memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sehingga dalam khazanah Intelektual Islam kita tidak menjumpai ilmuan terkemuka dari Turki Usmani. <br />Disamping pembangunan sekolah-sekolah dan akademisi-akademisi kepedulian akan ilmu pengetahuan juga terlihat dari perpustakaan-perpustakaan yang dibangun di sekitar sekolah dimana pengelolaan perpustakaan tersebut sangat tertib, terbukti dengan keteraturan catatan pemimjam. Kemudian Pada masa sultan Al-Fatih telah dilakukan penerjemahan khazanah-khazanah lama dari bahasa yunani, latin, Persia dan arab kedalam bahasa turki, salah satu buku yang diterjemahkan adalah Masyahir al-Rijal (orang-orang terkenal) karya poltark, buku-buku lainnya yang diterjemahkan ke bahasa turki adalah buku karangan abu al-qasim al-zaharowi al-andalusi, seorang ahli kedokteran yang berjudul Al-Tashrif fi Al-Thibbi. Buku ini kemudian diberi tambahan pembahasan alat-alat untuk bedah dan posisi pasien tatkala terjadi operasi bedah <br />d. Bidang Ekonomi dan Keuangan Negara<br />Tercatat beberapa kota yang maju dalam bidang industri pada waktu itu di antaranya : Mesir sebagai pusat produksi kain sutra dan katun Anatoli selain sebagai pusat produksi bahan tekstil dan kawasan pertanian yang subur, juga menjadi pusat perdagangan dunia pada saat itu <br />Belum lagi, karena Turki mengusai beberapa kota pelabuhan utama, seperti pelabuhan-pelabuhan sepanjang laut tengah (Afrika Utara), pelabuhan laut merah, teluk Persia, pelabuhan di Siria (pantai Libanon sekarang), pantai Asia Kecil dan yang paling strategis adalah pelabuhan Internasional Konstantinopel yang menjadi penghubung Timur dan Barat waktu itu, maka Turki menjadi penyelenggara perdagangan, pemungut pajak (cukai) pelabuhan yang menjadi sumber keuangan yang besar bagi Turki.<br /><br />6. PERLUASAN WILAYAH<br />Setelah Usman mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja besar keluarga Usman), pada tahun 1300 M. dia memulai memperluas wilayahnya. Perluasan wilayah (ekspansi) para Sultan Usmani menjadi model. Hal ini berlangsung paling tidak sampai dengan masa Pemerintahan Sulaiman I. untuk mendukung hal itu, Orkhan membentuk pasukan tangguh yang dikenal dengan Inkisyariyyah. Pasukan Inkisyariyah adalah tentara utama Dinasti Usmani yang terdiri dari bangsa Georgia dan Armenia yang baru masuk Islam. Ternyata, dengan pasukan tersebut seolah-olah Dinasti Usmani memiliki mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi penaklukan negeri-negeri non Muslim. Maka pada masa orkhan I kerajaan Turki Usmani dapat ditaklukkan Azmir (Asia kecil), tahun 1327, Thawasyani (1330), Uskandar (1338), Ankara (1354), dan Gholipolli (1356). Daerah-derah ini adalah bagian dunia eropa yang pertama kali dapat dikuasai kerajaan Usmani. <br />Ekspansi yang lebih besar terjadi pada masa Murad I. di masa ini berhasil ditaklukan wilayah Balkan, Adrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (ibukota Bulgaria) dan seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan yang diraih oleh Murad I, kerajaan-kerajaan Kristen di Balkan dan Eropa timur menjadi Murka. Mereka lalu menyusun kekuatan yang terdiri atas Hongaria, Bulgaria Serbia dan Walacia (Rumania), untuk menggempur Dinasti Usmani. Meskipun Murad I tewas dalam pertempuran tersebut, kemenangan tetap dipihak Dinasti Usmani. Ekspansi berkutnya dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I.<br />Puncak ekspansi terjadi pada masa Sultan Muhammad II yang dikenal dengan gelar al-Fatih (sang penakluk). Pada masanya dilakukan ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran. Kota penting yang berhasil ditaklukannya adalah Konstantinopel (kota kerajaan Romawi Timur) yang ditaklukkan pada tahun 1453. setelah ditaklukkan, kota tersebut diubah namanya menjadi Istambul (tahta Islam). Kejatuhan Konstantinopel ke tangan Dinasti Usmani memudahkan tentara Usmani menaklukkan wilayah lainnya., seperi Serbia, Albania dan Hongaria.<br />Maka, dengan adanya berbagai ekspansi, menyebabkan ibukota Dinasti Usmani berpindah-pindah. Sebagai contoh, sebelum Usman I memimpin Dinasti Usmani, ia mengambil kota Sogud sebagai ibukotanya. Kemudian setelah penguasa Dinasti Usmani dapat menaklukkan Broessa pada tahun 1317, maka pada tahun 1326 Broessa dijadikan ibukota pemerintahan. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Murad I. ternyata, di masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu dijadikan sebagai ibukota pemerintahan. Sampai ditaklukkanya Konstantinopel oleh Muhammad II, yang kemudian diganti namanya menjadi Istambul sebagai ibukota pemerintahan yang terakhir. <br />Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Dinasti Usmani dalam perluasan wilayah Islam. (1) kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). (2) sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan untuk tujuan penyerangan. (3) semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam. (4) letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istambul terletak antara dua benua dan dua selat (selat Bosphaoras dan selat Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur. (5) kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti Usmani mengalahkannya. <br /><br />7. RUNTUHNYA KERAJAAN TURKI USMANI<br />Sampai pada akhir kekuasaan Sulaiman al-Qanuni I kerajaan Turki Usmani berada ditengah-tengah dua kekuatan monarki Austria di Eropa dan kerajaan Syafawi di Asia. Melemahnya kerajaan Usmani setelah wafatnya Sulaiman I dan digantikan oleh Salim II. Pengganti kepemimpinan ini ternyata tidak mampu menghadapi kondisi tersebut. Pada awal abad ke-19 para Sultan tidak mampu mengontol daerah-daerah kekuasaannya. Dan melemahnya militer Turki Usmani berakibat munculnya pemberontakan-pemberontakan. Beberapa daerah berangsur-angsur mulai memaisahkan diri dan mendirikan pemerintah otonom.<br />Oleh karena itu, keruntuhan Khilafah Utsmaniyah (974-1171 H/1566-1757 M) terjadi pada saat kenaikan Sultan Salim II (1566-1574) yang telah dianggap sebagai permulaan keruntuhan Turki Utsmani dan berakhirnya zaman keemasannya.<br />Hal ini ditandai dengan melemahnnya semangat perjuangan prajurit utsmani yang menyebabkan sejumlah kekalahan dalam pertempuran menghadapi mmusuh-musuhnya. Pada tahun 1663 , tentara utsmani menderita kekalahan dalam penyerbuan hongaria. Tahun 1676 turki kalah dalam pertempuran di Mohakez, Hungaria dan menandatangani perjanjian karlowits pada tahun 1699 yang berisi pernyataan seluruh wilayah Hungaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada penguasa Venetia.<br />Pada tahun 1774, penguasa Usmani, Abdul Hamid menandatangani perjanjian dengan Rusia yang berisi pengakuan kemerdekaan Crimenia dan penyerahan benteng-benteng pertahanan di laut hitam serta memberikan izin kepada rusia untuk melintasi selat antara laut hitam dengan laut putih. Apabila dikategorikan, maka faktor-faktor keruntuhan kerajaan Turki Usmani adalah:<br />1. Faktor internal<br />Karena luas wilayah kekuasaan serta buruknya system pemerintahan, sehingga hilangnya keadilan, banyaknya korupsi dan meningkatnya kriminalitas. Heterogenitas penduduk dan agama. Kehidupan istimewa yang bermegahan. Merosotnya perekonomian negara akibat peperangan yang pada sebagian besar peperangan turki mengalami kekalahan.<br />2. Faktor Eksternal<br />Munculnya gerakan nasionalisme. Bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan Turki selama berkuasa, mulai menyadari kelemahan dinasti tersebut. Kemudian ketika Turki mulai lemah mereka bangkit untuk melawannya.<br />Terjadinya kemajuan teknologi di barat khususnya bidang persenjataan. Turki selalu mengalami kekalahan karena mereka masih menggunakan senjata tradisional, sedangkan wilayah barat seperti Eropa telah menguunakan senjata yang lebih maju lagi.<br />Melihat faktor-faktor yang menyebabkan kehancuran Turki tersebut, hal ini berawal dari orang-orang arab yang menghadapi orang-orang utsmaniyah, mereka berada dalam dilema yaitu mereka di sisi lain ingin menghormati Turki sebagai cerminan persatuan kaum muslimin, di sisi lain mereka mempunyai landasan berfikir ingin memerdekakan diri dari kerajaan Turki tersebut. <br />E. ANALISIS FIQH SIYASAH<br />Diakui ataupun tidak, dalam kurun waktu 6 abad berkuasa, kerajaan turki usmani telah diakui oleh sejarah sebagai kerajaan Islam terbesar dan terlama dibanding dengan kerajaan Islam lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal penting sehingga kerajaan ini mampu bertahan sedemikian lamanya. Kami ingin menganalisis dari bebagai aspek, meskipun tidak secara menyeluruh, hanya bagian-bagian tertentu saja, yaitu : <br />1) Sistem Sosial Masyarakat <br />Salah satu kunci kesuksesan dan keberhasilan Turki usmani adalah adanya persatuan di antara masyarakatnya yang begitu banyak, (pada tahun 1520 jumlah penduduk kerajaan Turki Usmani adalah 11,692,480 peduduk). Persatuan ini oleh pemerintah diwadahi dalam bentuk organisasi keagamaan bernama millet. Millet adalah kelompok agama yang diperbolehkan membangun komunitasnya sendiri di bawah peraturan dan perlindungan kerajaan Turki Usmani. Pluralitas yang diberikan pada rakyatnya mampu memberikan rasa persatuan bagi rakyat dari berbagai wilayah yang ditaklukannya sehingga, semua masyarakatnya bersatu <br />Namun pada akhirnya sistem ini runtuh bersamaan dengan munculnya paham nasionalisme yang disebarkan oleh bangsa barat, yang memang bertujuan menyerang dari dalam masyarakatnya. Sehingga setiap wilayah / kerajaan kecil yang ditaklukannya mulai memberontak dari dalam atas semangat nasionalisme mereka, masyarakat kerajaan turki usmani pun kemudian terpecah belah, setelah sebelumnya bersatu, bahkan kerajaan turki usmani mendapat julukan “The Sickman Europe” (Orang Eropa yang sakit). <br />Hal ini kemudian ingin dihilangkan dengan memberikan paham pan-turkisme, paham untuk menyatukan seluruh masyrakat Turki, namun paham ini tidak bisa diterima rakyat, berlanjut dengan paham pan-islamisme oleh Sultan Abdul Hamid II, paham yang menyerukan umat islam bersatu secara politik, persatuan ini diwujudkan berupa pengakuan Sultan Turki Usmani sebagai khalifah umat Islam, gagasan ini berhasil mendapat simpati umat islam untuek beberapa tahun. Namun perlawanan barat tidak berhenti sampai di situ, kartu As terakhir mereka adalah mengusung paham demokrasi yang kemudian mengakhiri kerajaan Turki Usmani dan memunculkan Republik Turki yang dipelopori oleh Mustofa Kemal At-Taruk.<br />2) Segi Kekuatan Militer <br />Jelas Turki Usmani pada saat itu berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya, kerajaan Turki Usmani, mulai dari raja pertamanya Usman hingga raja terhebatnya Sulaiman Al Qanuni, lebih memfokuskan pada perkembangan militer. Hal ini dikarenakan bangsa Turki terkenal sebaga bangsa yang berdarah militer, sehingga semangat militernya sangat kuat, untuk itu sebagian besar APBN kerajaan dipergunakan untuk membiayai prajurit perang daripada untuk keperluan lain, seperti agama, ilmu pengetahuan dan lain-lain. <br />Bahkan untuk memperbanyak prajurit, raja kedua Turki Usmani, Orkhan mengangkat Bangsa-bangsa non-Turki sebagai prajurit, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Jenissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukkan negeri-negeri non muslim. Hal ini menjadikan kerajaan ini lebih kuat dibandingkan kerajaan-kerajaan lain, sehingga semakin banyak wilayah yang ditaklukkan maka semakin banyak pula prajurit-prajurit baru yang dapat dilatih untuk dijadikan tentara islam. Jadilah kerajaan turki usmani kerajaan yang hebat dan berwilayah yang luas.<br />Sistem pemerintahan, saat wilayah semakin luas, tentunya sistem pemerintahan harus hebat juga, dalam mengelola wilayah yang luas sultan-sultan Turki Usmani senantiasa bertindak tegas. Sulaiman Al Qanuni menerapkan sistem pemerintahan pembagian wilayah kekuasaan, sehingga dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri), yang membawahi pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I. Di bawahnya terdapat beberapa orang al-zanaziq atau al-’alawiyah (bupati). Hal ini menjadikan kerajaan turki usmani pada masa sulaiman Al-Qanuni bisa mengatur wilayah yang sedemikian besarnya.<br />3) Segi Ilmu Pengetahuan<br />Meskipun kerajaan Turki Usmani hebat dalam hal sistem militer dan sistem pemerintahan, namun mereka tidak terlalu memperhatikan ilmu pengetahuan, yang sebenarnya bisa lebih memperkuat tenaga militer. APBN Negara sebagian besar dipergunakan untuk membiayai pendidikan militer bangsa-bangsa non-turki untuk dijadikan prajurit islam yang kuat, sehingga hanya sedikit yang dipergunakan untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan kelemahan tersendiri bagi mereka. <br />Berbeda dengan kerajaan-kerajaan barat yang lebih memfokuskan perhatian pada ilmu pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu pengetahuannya berkembang pesat, yang kemudian memperkuat militer dengan senjata-senjata api baru, yang tidak dimiliki oleh turki usmani. ketika bangsa turki usmani diserang oleh bangsa barat dengan senjata baru mereka, bangsa turki usmani mulai kekualahan. Sehingga pasca kehebatan dan wilayahnya yang luas, sedikit demi sedikit kerajaan ini mulai digerogoti, baik dari luar kerajaan maupun dari dalam kerajaan (pemberontak).<br />Munculnya kaum elit, bahwa raja-raja setelah sulaiman al qanuni, kurang bisa mengatur pemerintahannya, bahkan ditambah lagi munculnya kaum elit kapitalis di wilayah pemerintahan, sehingga individualitas antar pemimpin dan golongan-golongan elit semakin tumbuh, yang berlanjut dengan penumpukan harta umtuk kepentingan masing-masing, hal ini dimanfaatkan oleh Negara-negara yang telah dikuasainya untuk memerdekakan diri, mereka tidak mau lagi dimanfaatkan tenaganya oleh bangsa turki untuk dijadikan tentara, disamping itu serangan-serangan barat pada wilayah terluar kerajaan juga semakin memperburuk suasana pemerintahan, anggaran dana yang seharusnya dipergunakan untuk memperkuata pertahanan militer Negara sebagian besar dikuasai dan dimonopoli oleh kaum elit kerajaan, hal ini mengakibatkan semangat berperang prajurit melemah karena tidak adanya dana untuk peperangan yang memadai, sehingga perlahan-lahan wilayah kerajaan mulai mengalami penyusutan, hingga pada tahun 1924 kerajaan Turki Usmani berubah menjadi Republik Turki.<br /><br />IV. SIMPULAN <br />Suku Turki terkenal sebagai suku bangsa yang berjiwa militer, mempunyai kemampuan mengatur strategi perang, sehingga mereka mampu mempertahankan keutuhan kerajaan dalam waktu yang lama. Karena berjiwa militer, maka ketaatan terhadap pemimpinnya (sultan) sangat menonjol, yang diikuti dengan pejabat kerajaan yang hampir semua dari golongan mereka, sehingga persaingan dengan suku bangsa lain tidak terjadi.<br />Turki Usmani yang disibukkan dengan usaha-usaha penaklukan tentu saja tidak sempat terlalu banyak mempersembahkan karya-karya material yang bisa dinikmati sekarang. Akan tetapi, peranannya dalam memperluas wilayah, membendung serangan musuh dan meneruskan estafet kekuasaan Islam, terutama ketika menaklukkan Konstantinopel<br /><br />V. PENUTUP<br />Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak lepas dari kesalahan-kesalahan, baik itu kesalah tulisan atau kesalahan materi, oleh karena itu kritik dan saran yang kontruktif dari segenap pembaca mata kuliah Fiqh Siyasah senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Al Usairi, Ahmad, terjemah Tarikhl Al Islamiy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar, 2008.<br /><br />Busman Edyar, Ilda Hayati, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Asatruss, 2009.<br /><br />Ensiklopedi Islam, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990.<br /><br />Hamka, Sejarah Umat Islam III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.<br /><br />Maarif, Ahmad Syafii, Sejarah Pemikiran dan Peradapan Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007. <br /><br />Maryam, Siti dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2002.<br /><br />Mughni, A. Syafiq, Sejarah Kebudayaan di Turki, Jakarta: Logos, 1997.<br /><br />Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya I, Jakarta: UI Press, 1992.<br /><br />Syalabi, Ahmad, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, Kairo: Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, tth. <br /><br />Syalaby, Ali Muhammad, Bangkit Dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, (Jakarta: Pustaka Al kautsar, 2008.<br /><br />Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. XIII.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-18271072382905099472013-06-25T17:28:00.005-07:002013-06-25T17:28:56.929-07:00PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH PADA MASA ORDE BARU DI INDONESIA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH PADA MASA ORDE BARU DI INDONESIA<br />I. PENDAHULUAN<br />Sejarah dan perkembangan politik hukum di Indonesia dimulai pada saat diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh sang proklamator Ir. Soekarano dan Muh. Hatta. Dari kemerdekaan itulah mulai dijalankannya suatu roda pemerintahan dengan menciptakan hukum–hukum yang baru yang terlepas dari hukum-hukum para penjajah yang selama hampir 3,5 abad menjajah negeri ini.<br />Perkembangan politik di Indonesia sendiri tentunya tidak bisa terlepas dari peran serta para pelakunya yang didalamnya juga terdapat para aktifis muslim yang ikut memeriahkan dunia perpolitikan di Indonesia. Walaupun terjadi berbagai macam polemik namun tidak bisa dipungkiri bahwa peran serta para ulama’ sangatlah besar dalam kemajuan perpolitikan di Indonesia.<br />Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai perkembangan fiqih siyasah yang ada di Indonesia khususnya di era orde baru. Tentunya berbeda dengan apa yang telah terjadi di Negara timur tengah layaknya arab pada masa Nabi serta para penerusnya. Fiqih siyasah di Indonesia tentunya sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sebagaimana yang akan di jelaskan pada makalah ini.<br /><br />II. RUMUSAN MASALAH<br />A. Bagaimana Kondisi dan Situasi Politik Pemerintahan di Indonesia Pada Masa Orde baru?<br />B. Bagaimana Perkembangan Partai - Partai Islam Pada Masa Orde Baru?<br />C. Bagaimana KonflikPartai Islam dan Pemerintah Orde Baru ?<br />D. Bagaimana Nasib Orang Muslim dan Partai Islam Masa Orde Baru ?<br />E. Bagaimana Analisis Fiqih Siyasah Pemerintahan Orde Baru ?<br /><br /><br /><br /><br /><br />III. PEMBAHASAN<br />A. Kondisi Dan Situasi Politik Pemerintahan Di Indonesia Pada Masa Orde Baru<br />Stabilitas politik di Indonesia sebenarnya sudah mulai goyang sejak tahun 1963, namun mulai masuk pada puncak fase ketegangan ketika tahun 1965 yang pada kala itu pertentangan antara PKI dan TNI sedang berapi-api. Bermuara pada adanya pemberontakan G30S PKI, politik di Indonesia mengalami pergolakan yang cukup kuat. Tiga orang jenderal Angkatan Darat mendesak presiden Soekarno untuk mengeluarkan “Surat Perintah Sebelas Maret” yang pada intinya ingin menggulingkan kekuasaan Soekarno pada masa itu. Dan akhirnya Bulan Juni 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum IV yang menetapkan Surat Perintah Sebelas Maret, sehingga secara hukum surat perintah itu menjadi sah dan otomatis dengan dikeluarkanya super semar ini pula sebagai indikator dimulainya orde baru.<br />Dari hal ini, dapat kita fahami peran serta militer terhadap lahirnya Orde Baru dikatakan sangat signifikan. Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru telah menampilkan militer sebagai pelaku utama dalam pentas perpolitikan di Indonesia. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi, lahirnya konsep Dwifungsi ABRI pada masa Demokrasi Liberal bermaksud bahwa disamping bertugas sebagai pengaman negara juga bertugas menciptakan dan menjaga kehidupan masyarakat agar terbina dengan baik.<br />Dengan berbekal surat perintah tersebut Soeharto mengambil beberapa tindakan. Diantaranya adalah dengan membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret, menangkap sejumlah menteri yang diduga berindikasi PKI ( Soebandrio, Chaerul Saleh, Yusuf Muda Dalam, dan Panglima AU Oemar Dhani). Orde Lama menjadi simbol penyelewengan konstitusi dan demokrasi, tidak ada upaya mensejahterakan rakyat, komunis merajalela, serta keadaan serba buruk pada zaman Demokrasi Terpimpin. Orde Baru menunjuk kepada tatanan dengan tujuan kehidupan social, politik, ekonomi, kultural yang dijiwai oleh moral pancasila. Dengan demikian Soeharto meraih kekuasaan berdasarkan sebuah koalisi para perwira militer, organisasi-organisasi Muslim dan golongan Kristen.<br />Politik pada masa Orde Baru mengalami banyak perubahan, dalam hal ini juga terjadi penyederhanaan partai. Penyederhanaan ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :<br />a. Kelompok Nasionalis ( PKI,IPKI, Murba )<br />b. Kelompok Spiritual ( NU, PMI, PSII, Perti, Parkindo dan Katholik<br />c. Golongan Karya <br />Setelah Soeharto secara sah menjadi presiden menggantikan Soekarno, Soeharto memegang secara penuh kekuasaan. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Soeharto lebih terkesan otoriter dalam memimpin. Selain itu untuk menguatkan keotoriteranya pada massa ini sistem berubah drastis menjadi non demokratis dengan berbagi hal misalnya pembatasan pemberitaan, kebebasan pers yang tertekan, dan arogansi pihak-pihak pemerintahan yang memegang kekuasaan. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya sebuah rancangan UU mengenai pers yang diajukan ke DPR-GR tahun 1966 menjadi sumber kekhawatiran baru. Menurut rancangan tersebut, semua surat kabar harus mendukung pancasila, UUD 1945 dan harus tunduk terhadap “hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif. Tidak cukup hanya itu, kritik-kritik juga banyak dilontarkan terhadap kebijakan di bidang ekonomi. Kebijakan pada masa ini dirasa terkesan mematikan pengusaha kecil. Watak ini dinamakan dengan watak dirigits. Dirigisme adalah kecenderungan Negara untuk melakukan intervensi pada pengelolaan kegiatan-kegiatan social dan ekonomi. Hal ini dikarenakan pemodal asing secara bebas diijinkan untuk melakukan penanaman modal di Indonesia berseberangan dengan itu, para pengusaha kecil mengalami diskriminasi.<br />B. Perkembangan Partai-Partai Islam Pada Masa Orde Baru<br />Setelah pada awal era kepemimpinan Soeharto partai disederhanakan menjadi tiga bagian, kaitanya dalam hal ini wadah sebagai media persatuan umat Islam kala itu belum ada. Partai Islam masih terpecah menjadi tiga yaitu NU, Perti dan PSII. Tuntutan rehabilitasi Masyumi sebagai wadah yang dimaksudkan berujung pada penolakan pihak pemerintah, kecuali adanya satu wadah baru yang dibuat diluar dari ketiga partai tersebut. Oleh karena itu, Dr. Moh.Hatta tampil dengan gagasan berdirinya Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Namun tindakan ini tidak mendapatkan respon bahkan ditentang oleh suara kaum muda. Akhirnya pada 7 Mei 1967 diumumkan deklarasi berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai wadah baru politik Islam oleh 18 organisasi Islam yang terhimpun dalam Federasi Amal Muslimin. Partai ini mengambil “Bulan Bintang” sebagai lambangnya. Dengan ini jelas bahwa kuantitas partai Islam mengalami peningkatan. <br />Momen kebangkitan partai Islam tidak berhenti sampai disini, akhirnya berselang satu tahun KUII (Kongres Umat Islam Indonesia) berencana untuk diselenggarakan, namun dikarenakan hal ini disinyalir sebagai kebangkitan umat Islam pemerintah tidak memberikan izin. Pada masa ini NUlah yang menjadi partai muslim yang mampu mendapatkan banyak suara dalam pemilu. Terbukti 58 kursi didapatkan oleh NU dibandingkan dengan Parmusi yang hanya 24 buah, serta PSII dan Perti mengikuti dibelakangnya. Dan kemudian keempat fraksi Islam dalam DPR RI tahun1973 melebur menjadi satu dalam Fraksi Persatuan Pembangunan yang kemudian menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun adanya fusi partai ini sebenarnya juga memiliki banyak sekali kelemahan, dengan meleburnya tradisionalis modernis ini semakin menghilangkan identitas masing-masing. Dengan demikian partai Islam PPP meninggalkan asas Islamnya dan menjadi partai Nasionalis tanpa ciri Islam . Ini sebagai strategi politik agar kaum muslimin masih bias ikut andil dalam perpolitikan kala itu, karena pemerintah mewajibkansemua partai berasaskan pancasila.<br />Konflik internalpun menjadi salah satu faktor mengapa NU sering mengalami pergolakan, dikarenakan jumlah kursi yang diterima oleh NU tidak senada dengan apa yang sebenarnya telah direncanakan. Terlepas dari itu semua pergolakan juga terjadi ketika kala itu Kiai Bishri Syansuri ikut dalam pergolakan rancangan UU Perkawinan. Perundingan ini lebih tepatnya dipelopori oleh ABRI dan NU. Jelas sekali betapa besarnya pengaruh Ulama’ baik didalam maupun diluar PPP. Terlena dengan kegiatan politik NU malah lupaakan perjuanganya di dunia pendidikan, sehingga para aktivis NU kecewa akan hal itu dan pada akhirnya NU memberanikan diri untuk keluar dari tubuh PPP. <br /><br />C. KonflikPartai Islam dan Pemerintah Orde Baru <br />Selama masa Orde Baru setidaknya setiap 5 tahun sekali mulai dari 1955 pemilu diadakan, dan banyak partai politik yang ikut serta memeriahkanya dan tak kurang dari partai Islampun ikut didalamnya. Partai politik Islam yang ikut adalah partai politik yang secara tegas mencantumkan asasnya adalah Islam. Pada pemilu tahun 1999, paling tidak ada delapan partai yang berasaskan Islam, antara lain yang mendapatkan kursi di DPR pada saat ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan lain-lain.<br />Sejak pemilu tahun 1955 sampai dengan tahun 1997 yaitu selama 20 tahun terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia. Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun 1982 memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari 400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi yang diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 16%. <br />Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu memperoleh kursi diatas 62% sampai 75% yang merupakan alat politik pemerintah Orde Baru. Karena itu perolehan suara partai Islam pada masa ini bukan merupakan indikasi sebenarnya atas sikap pemilih yang dilakukan secara terbuka dan demokratis dalam pemilu. Orde Baru memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan Karya sehingga partai politik Islam seakan terbelenggu oleh Birokrasi dan ABRI untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaannya, yang Kemenangan Golkar didukung penuh oleh kekuatan birokrasi dan ABRI. Jelas sekali pada masa ini partai Islam semakin mengalami diskriminasi dan gerakanya dibatasi oleh gerakan-gerakan pemerintah Soeharto kala itu. <br />Kelicikan pemerintah Soeharto untuk menekan laju dari partai Islam khususnya NU adalah dengan membuat organisasi tandingan yaitu GUPPI ( Gabungan usaha Perbaikan Pendidikan). Kemunculan GUPPI ini meresahkan NU karena tersaingi dalam peningkatan program-program sosial, dan pendidikan. Keresahan ini tidak tanpa alasan karena dengan jelas GUPPI mendukung Golkar dan tentunya mendukung pemerintah. Para Kyai seperti Hj.Ani dari jombang berhasil ditarik ke Golkar. Geram dengan hal itu sampai-sampai Pada bulan April 700 ulama berkumpul di Tebuireng dan mengeluarkan fatwa yang menharuskan seluruh umat Islam untuk mencoblos satu partai Islam. <br /><br />D. Nasib Orang Muslim dan Partai Islam Pada masa Orde Baru <br />Secara garis besar nasib umat Islam serta partai Islam pada masa Orde Baru layaknya jerami di ujung tanduk kerbau, tak tentu nasibnya mau bagaimana. Disatu sisi para cendekiawan muslim serta aktivis muslim lain berjuang mempertahankan peranan politiknya dalam pemilu demi kepentingan umat. Disisi lain juga harus mempertahankan agar tetap pada Khittahnya.<br />Partai Islam mengalami tekanan yang sangat keras terutama oleh pemerintahan Soeharto yang dalam hal ini menggunakan kekuasaanya serta Golkar sebagai alat. Mulai dari pembentukan badan tandingan seperti GUPPI yang disinyalir digunakan pemerintah untuk memecah suara dari partai Islam. Dan terbukti pada pemilu pemilu berikutnya suara partai Islam mengalami penurunan, seperti yang terjadi pada tahun 1977 NU kehilangan 5 kursi di DPR.<br />Pada perkembangnya perbaikan-perbaikan dalam segala hal dilakukan demi kepentingan umat. Seperti halnya perbaikan hubungan NU dengan pemerintah yang melahirkan Program Wajib belajar dan beriringan dengan itu pula 5000 sekolah telah bekerja sama dengan pemerintah khususnya LP ma’arif. Hal ini juga dirasakan pada perkembangan di dunia dakwah. Selain ormas NU dan para superstar, masyarakat luas juga semakin banyak yang ikut ambil bagian dalam pertumbuhan dakwah yang meluas hingga keluar masjid, ke kantor-kantor dan tempat lain. <br /><br />E. Analisis Fiqih Siyasah Pada Pemerintahan Orde Baru <br />Permasalahan politik di Indonesia sangatlah pelik. Perkembangan siyasah pada masa Orde Barupun mengalami berbagai macam kemajuan tentunya. Islam yang notabene agama terbesar dan otomatis memiliki massa besarpun ikut andil di daamnya. lslam adalah agama yang tidak hanya mendukung pembangunan, pengembangan, dan kemajuan di berbagai bidang, tetapi ia pun menuntut setiap hari yang dilalui umat manusia lebih baik dari hari sebelumnya. Begitu juga dengan kehadiran partai politik Islam di Indonesia yang sangat berpengaruh dalam pembangunan Indonesia dimulai dari sebelum terbentuknya Negara ini maupun setelah terbentuknya Negara Indonesia baik masa Orde Lama, Orde Baru maupun Reformasi.<br />Lahirnya partai berasaskan Islam dan partai yang berbasiskan massa Islam, pada masa Orde Baru, bersatu padu memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Pada masa Orde Baru yaitu yang dimulai pada pemilu tahun 1971 (pada saat itu ada 4 partai politik Islam yaitu Partai NU, PSII, PARMUSI dan PERTI), serta Partai Persatuan Pembangunan untuk pemilu selanjutnya sampai dengan pemilu tahun 1997, tidak menunjukan pembedaan yang demikian.<br />Tanpa keikut sertaan Islam dalam perpolitikan di Indonesia tentunya politik Indonesia tidak akan mengalami pencapaian seperti sekarang. Jadi antara Negara, Politik dan Islam tidak dapat terpisahkan. Adanya berbagai macam permasalahan justru yang menjadikan bangsa ini semakin besar. Semua lini memberikan sumbangsihnya demi kemajuan Negara Indonesia. “Bukanlah bertanya mengenai apa yang bisa dilakukan oleh negara untuk anda, tetapi apa yang bisa anda lakukan untuk negara anda” Begitulah kiranya John. F. Kennedy mengeluarkan pendapatnya tentang Negara.<br />Berikut adalah analisis tabel partai polik sejak tahun 1966-1998<br />TABEL PEMERINTAHAN INDONESIA<br />NO TAHUN PARTAI ISLAM DAN NON MUSLIM TOKOH<br />1. 1966 Partai Nasional Indonesia (PNI) Dr. Tjipto Mangun Kusumo<br /> Nahdatul Ulama (NU) Moh. Natsir<br /> Partai Katolik F.S. Hari Jadi<br /> Partai Murba Tanmalaka, Khairul Saleh, Sukarni, Adam Malik<br /> Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Amir Syarifudin<br /> Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) Kolonel A.H. Nasution<br /> Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Domine (Ds) Probo Winoto<br /> Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) H. Faizal Baasyir, SH.<br /> Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) Syekh Sulaiman ar-Rasuly<br /> <br />2. 1971 Golongan Karya (Golkar) Yasin Limpo<br /> Partai Nasional Indonesia (PNI) Dr. Tjipto Mangun Kusumo<br /> Nahdatul Ulama (NU) Moh. Natsir<br /> Partai Katolik F.S. Hari Jadi<br /> Partai Murba Tanmalaka, Khairul Saleh, Sukarni, Adam Malik<br /> Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Amir Syarifudin<br /> Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) Kolonel A.H. Nasution<br /> Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Domine (Ds) Probo Winoto<br /> Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) H. Faizal Baasyir, SH.<br /> Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) Syekh Sulaiman ar-Rasuly<br />3. 1976 PPP H.M.S. Mintaredja, SH.<br /> Golongan Karya (Golkar) Akbar Tanjung<br /> PDI Ir. Soekarno<br />4. 1981 PPP H.M.S. Mintaredja, SH.<br /> Golongan Karya (Golkar) Akbar Tanjung<br /> PDI Ir. Soekarno<br />5. 1986-1998 Golongan Karya (Golkar) Akbar Tanjung<br /> PPP H.M.S. Mintaredja, SH.<br /> PDI Ir. Soekarno<br /><br /><br /><br /><br /><br />IV. KESIMPULAN<br />A. Kondisi dan situasi politik pemerintahan di Indonesia pada masa Orde Baru mulai goyang sejak tahun 1963, bermuara pada adanya pemberontakan G30S PKI, politik di Indonesia mengalami pergolakan yang cukup kuat. Tiga orang jenderal Angkatan Darat mendesak presiden Soekarno untuk mengeluarkan “Surat Perintah Sebelas Maret” yang pada intinya ingin menggulingkan kekuasaan Soekarno pada masa itu. Dan akhirnya Bulan Juni 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum IV yang menetapkan Surat Perintah Sebelas Maret, sehingga secara hukum surat perintah itu menjadi sah dan otomatis dengan dikeluarkanya super semar ini pula sebagai indikator dimulainya Orde Baru. <br />B. Perkembangan partai-partai Islam pada masa Orde Baru pada awal era kepemimpinan Soeharto partai disederhanakan menjadi tiga bagian, yaitu NU, Perti dan PSII. Tuntutan rehabilitasi Masyumi sebagai wadah berujung pada penolakan pihak pemerintah, kecuali adanya satu wadah baru yang dibuat diluar dari ketiga partai tersebut. Oleh karena itu, Dr. Moh.Hatta tampil dengan gagasan berdirinya PDII. Namun tindakan ini tidak mendapatkan respon bahkan ditentang oleh suara kaum muda. Akhirnya pada 7 Mei 1967 diumumkan deklarasi berdirinya PARMUSI sebagai wadah baru politik. Partai ini mengambil “Bulan Bintang” sebagai lambangnya. Dengan ini jelas bahwa kuantitas partai Islam mengalami peningkatan. <br />C. Pada masa Orde Baru setidaknya setiap 5 tahun sekali mulai dari 1955 pemilu diadakan, pada pemilu tahun 1999, ada delapan partai yang berasaskan Islam, antara lain yang mendapatkan kursi di DPR pada saat ini adalah Partai: (PPP), (PBB), (PK), (PNU), (PKU), Partai Masyumi, (PSII). Sejak pemilu tahun 1955-1997 terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru. Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun sejak pemilu tahun 1977-1997. Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi GOLKAR yang selalu memperoleh kursi diatas yang merupakan alat politik pemerintah Orde Baru. Kelicikan pemerintah Soeharto untuk menekan laju dari partai Islam khususnya NU adalah dengan membuat organisasi tandingan GUPPI. Kemunculan GUPPI ini meresahkan NU karena dengan jelas GUPPI mendukung Golkar dan tentunya mendukung pemerintah.<br />D. Pada masa Orde Baru partai Islam mengalami tekanan yang sangat keras terutama oleh pemerintahan Soeharto. Mulai dari pembentukan badan tandingan seperti GUPPI yang disinyalir digunakan pemerintah untuk memecah suara dari partai Islam. Dan terbukti pada pemilu-pemilu berikutnya suara partai Islam mengalami penurunan, seperti yang terjadi pada tahun 1977 NU kehilangan 5 kursi di DPR. Pada perkembangnya perbaikan-perbaikan dalam segala hal dilakukan demi kepentingan umat. Seperti halnya perbaikan hubungan NU dengan pemerintah yang melahirkan Program Wajib belajar dan beriringan dengan itu pula 5000 sekolah telah bekerja sama dengan pemerintah khususnya LP ma’arif. Hal ini juga dirasakan pada perkembangan di dunia dakwah. Selain ormas NU dan para superstar, masyarakat luas juga semakin banyak yang ikut ambil bagian dalam pertumbuhan dakwah yang meluas hingga keluar masjid, ke kantor-kantor dan tempat lain. <br /><br />V. PENUTUP<br />Demikian makalah yang dapat penulis buat. penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Lesmana, NU Vis a Vis Negara, Yogyakarta : LKiS, 1999<br />Mahfud MD, Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003<br />Rais, M. Amin, Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986<br />Sahidi, Zaim, Soeharto Menjaring Matahari, Bandung: Mizan, 1998<br />Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010<br />_________________, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,2010 <br />http://ninkrukhster.blogspot.com/2012/06/perbandingan-peran-partai-politik-islam.html<br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-63175097075558544902013-06-25T17:26:00.002-07:002013-06-25T17:26:34.040-07:00PERKEMBANGAN SEJARAH FIQH SIYASAH PADA MASA DAULAH ABBASIYAH<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
I. PENDAHULUAN<br />Pemerintahan dinasti Abbasiyah dinisbatkan pada Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, sementara khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib.<br />Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas ash-Shaffah dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan bani Abbasiyah berlangsung dalam rentan waktu yang panjang yaitu selama 5 abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M) berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.<br />II. PEMBAHASAN<br />A. Sistem Khalifah / Pemerintahan pada Masa Daulah Abbasiyah<br />Pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah bertumpu pada banyak sistem yang pernah dipraktekan oleh bangsa-bangsa sebelumnya baik yang muslim maupun yang non muslim. Dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan oleh khalifah kedua, Abu Ja’far al-Mansur yang dikenal sebagai pembangun khalifah tersebut. Sedangkan sebagian pendiri Abbasiyah ialah Abdul Abbas as-Saffah. Dukungan dan sumbangan bangsa Persia kentara sekali ketika Abbasiyah berdiri dengan munculnya Abu Muslim al-Khurrasani, dan memang wilayah operasional bangsa ini berada dibekas reruntuhan kerajaan Persia. Kebangkitan orang-orang Persia itu antara lain juga karena sudah bosannya mereka terhadap kebijakan pemerintahan Umayyah yang diskriminatif terhadap bangsa non-Arab yang menjadikan mereka warga negara kelas dua yang disebut dengan kaum mawalli. Maka, tidak mengherankan bila kekhalifahan Abbasiyah mengambil nilai-nilai Persia dalam sistem pemerintahannya.<br />Bani Abbasiyah mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada 4 aspek, yaitu:<br />1. Aspek Khilafah (Pemimpin)<br />Berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah sebelumnya, Bani Abbas menyatukan kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk memperkuat posisi dan melegitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat. Pemanfaatan bahasa agama dalam pemerintahan ini terlihat pertama kali dalam pernyataan al-Mansur bahwa dirinya adalah wakil Allah dibumi-Nya. Pernyataan al-Mansur diatas menunjukkan bahwa khalifah memerintah berdasarkan mandat Tuhan, bukan pilihan rakyat. Oleh karenanya, kekuasaannya adalah suci dan mutlak serta harus dipatuhi oleh umat. Para khalifah Bani Abbasiyah akhirnya mengklaim diri mereka sebagai bayang-bayang Tuhan dimuka bumi dan khalifah Tuhan, bukan khalifah Nabi.<br />Berdasarkan prinsip ini, kekuasaan khalifah bersifat absolut dan tidak boleh digantikan kecuali setelah ia meninggal. Ironisnya, absolutisme kekuasaan khalifah didukung pula oleh pemikiran-pemikiran tokoh sunni yang hidup pada masa daulah Bani Abbasiyah berkuasa. Ibn Abi Robbi’, Al Ghozali dan Ibn Taimiyah adalah beberapa tokoh sunni yang mendukung gagasan kekuasaan mutlak khalifah dan sakralnya kedudukan mereka. Al Ghozali bahkan berpendapat bahwa sumber kekuasaan adalah dari Tuhan dan diberikan-Nya kepada sebagian kecil hamba-Nya. Karenanya kekuasaan khalifah yang mendapat mandat dari Tuhan tidak boleh diganggu apalagi diturunkan.<br />2. Aspek Wizarah (Tangan Kanan Khalifah)<br />Wizarah adalah salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas kepala negara. Sedangkan wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan. Sebelum Bani Abbasiyah, wizarah memang telah ada, tetapi belum terlembaga. Pada masa Bani Abbas, dibawah pengaruh kebudayaan Persia, wazir ini mulai dilembagakan. Dalam pemerintahan al-Saffah, wazir yang diangkatnya adalah Abu Salamah al-Khallal ibn Sulaiman al-Hamadzani. Wazir ini bertugas sebagai tangan kanan khalifah. Dia menjalankan urusan-urusan kenegaraan atas nama khalifah. Dia berhak mengangkat dan memecat pegawai pemerintahan, kepala daerah bahkan hakim. Wazir juga berperan megkoordinir departemen-departemen (Diwan), seperti departemen perpajakan (Diwan al-Kharaj), departemen pertahanan (Diwan al- Jaisy) dan departemen keuangan (Diwan Bait al-Mal). Kepala departemen (shohih al-diwan) ini kadang-kadang disebut juga dengan wazir. Akan tetapi mereka tetap mengikuti dan berada dibawah kontrol kekuasaan wazir koordinator. Departemen-departemen yang dikepalai oleh masing-masing wazir ini merupakan kabinet dalam pemerintahan Bani Abbasiyah yang disebut dengan Diwan al-‘Aziz. <br />Berdasarkan hal ini, Al-Mawardi, ahli tata negara pada masa Bani Abbasiyah, membagi wazir menjadi dua bentuk. Pertama, wazir tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departemen. Wazir ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri. Kedua, wazir tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana terhadap kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tanfidz. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.<br />3. Aspek Kitabah (Sekretaris Negara)<br />Besarnya pengaruh wazir-wazir dalam pemerintahan membutuhkan tenaga-tenaga untuk membantu tugas-tugasnya dalam mengkoordinir masing-masing departemen. Untuk itu, wazirpun mengangkat para katib untuk menempati pos-posnya. Diantara jabatan katib ini adalah katib al-rasa’il, katib al-khoroj, katib al-jund, katib al-syurthah dan katib al-kodhi. Sesuai dengan namanya, para katib (kitab) bertugas dalam bidang masing-masing. Namun yang paling strategis dan penting adalah jabatan katib al-rasa’il. Ia bertugas mengumumkan keputusan atau undang-undang, menyusun dan mengkonsep surat-surat politik dengan bahasa yang baik dan indah sebelum disahkan oleh khalifah serta mengeluarkan surat-surat resmi negara. Itulah sebabnya khalifah memilih katib al-rasa’il ini dari kalangan ahli sastra. Katib al-rasa’il ini dapat disebut juga asisten pribadi khalifah atau Menteri Sekertaris Negara, karena dia duduk berdampingan dengan khalifah dalam menentukan kebijaksanaan negara dan mengumumkannya dalam masyarakat.<br />4. Aspek Hijabah (Pengawal Khalifah)<br />Hijab berarti pembatas atau penghalang. Dalam sistem politik Bani Abbasiyah, hajib (petugas hijab) berarti pengawal khalifah, karena tugas dan wewenang mereka adalah menghalangi dan membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan khalifah Bani Abbasiyah. Mereka bertugas menjaga keselamatan dan keamanan khalifah.<br />Adanya hajib ini nampaknya merupakan suatu kebutuhan dalam pemerintahan. Kompleksnya permasalahan kenegaraan dan kemasyarakatan serta luasnya daerah pemerintahan Bani Abbas menuntut perlunya khalifah bersikap ekstra hati-hati terhadap segala kemungkinan buruk yang dapat menimpa diri mereka. Jadi dapat dipahami bahwa hajib ini kurang lebih sama dengan pasukan pengawal pengamanan presiden pada masa sekarang.<br />Selain empat aspek tersebut diatas untuk urusan daerah (provinsi), khalifah Bani Abbasiyah mengangkat kepala daerah (amir) sebagai pembantu mereka. Ketika khalifah masih kuat, sistem pemerintahan ini bersifat sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang diwakili oleh wazir. Namun setelah kekuasaan Islam lemah masing-masing amir berkuasa penuh mengatur pemerintahannya sendiri. Pada masa al-Saffah pemerintah daerah (amir) dibagi menjadi 3 keamiran, yaitu: imarah istikfa’, imarah istila’, imarah khashshah. Masing-masing imarah mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Imarah istikfa’ bertugas antara lain mengatur dan menggaji tentara, memungut pajak, menjadi imam dan menegakkan pelaksanaan hukum. Imarah istila’ bertugas dalam bidang politik, yaitu semacam kepala kepolisian daerah (polda). Mereka bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban daerah. Sedangkan imarah khashshah bertugas menangani masalah ketentaraan.<br />B. Daftar Raja-raja Daulah / Kerajaan Abbasiyah<br />Para khalifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 khalifah, mereka adalah:<br />1. Abul Abbas As-Shaffah (Pendiri) 749-754 M<br />2. Abu Ja’far Al-Manshur 754-775 M<br />3. Abu Abdullah Muhammad Al Mahdi 775-785 M<br />4. Abu Muhammad Musa Al-Hadi 785-786 M<br />5. Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid 786-809 M<br />6. Abu Musa Muhammad Al-Amin 809-813 M<br />7. Abu Ja’far Abdullah Al-Ma’mun 813-833 M<br />8. Abu Ishaq Muhammad Al-Mu’tashim 833-842 M<br />9. Abu Ja’far Harun Al-Watsiq 842-847 M<br />10. Abu Fadl Ja’far Al-Mutawakil 847-861 M<br />11. Abu Ja’far Muhammad Al-Muntashir 861-862 M<br />12. Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in 862-866 M<br />13. Abu Abdullah Muhammad Al-Mu’taz 866-869 M<br />14. Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi 869-870 M<br />15. Abu Abbas Ahmad Al-Mu’tamid 870-892 M<br />16. Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tadid 892-902 M<br />17. Abul Muhammad Ali Al-Muktafi 902-905 M<br />18. Abul Fadl Ja’far Al-Muqtadir 905-932 M<br />19. Abu Mansur Muhammad Al-Qahir 932-934 M<br />20. Abul Abbas Ahmad Ar-Radi 934-940 M<br />21. Abu Ishaq Ibrahim Al-Muttaqi 940-944 M<br />22. Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi 944-946 M<br />23. Abul Qasim Al-Fadl Al-Mu’ti 946-974 M<br />24. Abul Fadl Abdul Karim At-Thai 974-991 M<br />25. Abul Abbas Ahmad Al-Qadir 991-1031 M<br />26. Abu Ja’far Abdullah Al-Qaim 1031-1075 M<br />27. Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi 1075-1094 M<br />28. Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir 1094-1118 M<br />29. Abu Manshur Al-Fadl Al-Mustarsyid 1118-1135 M<br />30. Abu Ja’far Al-Mansur Ar-Rasyid 1135-1136 M<br />31. Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi 1136-1160 M<br />32. Abu Mudzafar Al-Mustanjid 1160-1170 M<br />33. Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi 1170-1180 M<br />34. Abu Al-Abbas Ahmad An-Nasir 1180-1225 M<br />35. Abu Muhammad Az-Zahir 1225-1226 M<br />36. Abu Ja’far Al-Mansur Al-Mustansir 1226-1242 M<br />37. Abu Ahmad Abdullah Al-Mu’tashim Billah 1242-1258 M.<br /><br />C. Dinamika Sosial dan Politik<br />1. Kondisi Sosial Politik<br /><br />Kondisi Bani Abbasiyah dalam Bidang Sosial<br />Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia Islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Persi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-memiliki seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai keahlian.<br />Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan terhadap kaum Mawalli dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat (Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan meletakan ibu kota kerajaannya di Baghdad, wilayah yang dikelilingi oleh bangsa dan agama yang berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen, dan Majusi.<br />Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau kesukuan, melainkan berdasarkan jabatan seseorang seperti menurut jarzid Zaidan. Masyarakat Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok besar, kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim), para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima), kaum bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya, para petugas khusus, tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama, pujangga fuqaha, saudagar dan penguasa buruh dan petani.<br /><br />Kondisi Bani Abbasiyah dalam Bidang Politik<br />Sistem pemerintahan pada masa daulah Abbasiyah terbagi menjadi 4 periode, yaitu:<br />1) Periode I atau periode pengaruh Arab dan Persia I, terjadi pada tahun 132-232 H/750-847 M. Berakhirnya tahap (periode) ini seiring meninggalnya khalifah Al-Wasiq.<br />2) Periode II atau periode pegaruh Turki I, yakni tahun 232-334 H /847-945 M dimana Khalifah Al-Mutawakkil memegang kekhalifahan.<br />3) Periode III atau periode pengaruh Persia II (334-447 H /945-1055 M), yakni kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah.<br />4) Periode IV atau periode pengaruh Turki II (447-590 H/1055-1194 M), yakni masa kekuasaan daulat Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah sampai datangnya pengaruh lain seperti invasi dari bangsa Tartar dan ekspansi bani Utsmani.<br /><br /> Adapun perpolitikan yang dijalankan dalam sistem pemerintahan dinasti Abbasiyah periode I adalah sebagai berikut:<br />a. Kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh khalifah yang mempertahankan keturunan Arab murni dibantu oleh Wazir, Menteri, Gubernur dan para Panglima beserta pegawai-pegawai yang berasal dari berbagai bangsa dan pada masa ini yang sedang banyak di angkat dari golongan Mawali turunan Persia.<br />b. Kota Bagdad sebagai ibukota negara, menjadi pusat kegiatan politik, sosial dan kebudayaan, dijadikan kota internasional yang terbuka untuk segala bangsa dan keyakinan sehingga terkumpullah di sana bangsa-bangsa Arab, Turki, Persia, Rumawi, Qibthi, Hindi, Barbani, Kurdi, dan sebagainya.<br />c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia. Para khalifah dan para pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.<br />d. Kebebasan berpikir diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taqlid, hal mana menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang termasuk bidang aqidah, filsafat, ibadah dan sebagainya.<br />e. Para menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina tamadun Islam.<br />Adapun perpolitikan yang dijalankan dalam sistem pemerintahan dinasti Abbasiyah periode II-III-IV adalah sebagai berikut:<br />a. Kekuasaan khalifah sudah lemah bahkan kadang-kadang hanya sebagai lambang saja. Kekuasaan sebenarnya ditangan wazir atau panglima atau sultan yang berkuasa di Bagdad sehingga kadang-kadang nasib khalifah tergantung pada selera penguasa di angkat, diturunkan atau bahkan dibunuh.<br />b. Kota Bagdad bukan satu-satunya kota internasional dan terbesar, sebab masing-masing kerajaan berlomba-lomba untuk mendirikan kota yang menyaingi Bagdad. Di Barat tumbuh kota Cordon, Toledo, Sevilla. Di Afrika kota Koiruan, Tunisisa dan Kairo. Di Syiria kota Mush dan Halab, di Timur tumbuh kota Bukhara.<br />c. Keadaan politik dan militer merosot, ilmu pengetahuan tambah maju dengan pesatnya. Hal itu disebabkan masing-masing kerajaan, masing-masing amir atau khalifah atau sultan berlomba-lomba untuk memajukan ilmu pengetahuan, berlomba-lomba untuk mendirikan perpustakaan, mengumpulkan para ilmuwan para pengarang, penterjemah, memberi kededudukan terhormat kepada ulama dan pujangga.<br /><br />Selain itu Konflik Politik juga terjadi pada Masa Daulah Abbasiyah, yakni :<br />Jatuhnya dinasti bani Umayyah yang menelan korban jiwa besar dari kalangan dinasti Umayyah sekaligus sebagai tonggak awal berdirinya dinasti Abbasiyyah. Sebagai kekuatan baru yang mulai tumbuh dan di tegakkan di atas puing-puing kehancuran dinasti umayyah, menjadikan langkah awal yang dijalankan oleh pemerintahan bani Abbas adalah upaya kemantapan dan stabilitas daulat abbasiyah yang mewarisi seluruh wilayah luas bekas wilayah dinasti Umayyah. Beberapa langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintahan Abbasiyah diantaranya:<br /><br />a. Melenyapkan kekuatan dinasti Umayyah yang tersisa<br />Pembaiatan khalifah pertama dinasti Abasiyyah, Abul Abbas Al-Safah, dilaksanakan pada tanggal 28 November 749 M di masjid Kufah. Pembaiatan ini sekaligus formalisasi berdirinya daulat Abasiyyah. Pada saat itu kekuasaan bani Umayyah yang berpusat di Damaskus masih ada di bawah pemerintahan khalifah Marwan II, khalifah terakhir dari dinasti Umayyah karenanya, pada waktu itu sebenarnya terdapat dualisme kekuasaan. Pertama, kekuasaan dinasti Umayyah yang tengah berada dalam keadaan lemah namun tetap dipandang ancaman serius bagi kekuatan Abbasiyah. Kedua, kekuasaan Abbasiyah yang sudah kuat. Semua kekuatan-kekuatan yang tersisa dan dianggap ancaman oleh dinasti Abbasiyah dilumpuhkan. Upaya-upaya itu dilakukan biar tidak ada lagi gangguan-gangguan yang akan muncul dalam perjalanan pemerintahan Abbasiyah, dan Abbasiyah terbebas dari ancaman dalam bentuk apapun.<br />b. Memadamkan upaya-upaya gerakan pemberontakan<br />Upaya keras telah dilakukan oleh kelompok Abbasiyah untuk menghabisi semua yang dianggap berbahaya, tetapi tidak berarti kemudian pemerintahan Abbasiyah kuat buktinya beberapa pemberontakan dan ancaman kemudian muncul yang sewaktu-waktu mengancam kelangsungan daulat Abbasiyah. Sekurang-kurangnya ada tiga bentuk ancamanyang dihadapi oleh khalifah Al-Mansur, khalifah kedua yang dipandang sebagai pembina dinasti ini. Ketiga gerakan tersebut adalah<br />a) Abdullah ibn Ali<br />Beliau adalah orang yang berjasa besar dan membunuh Marwan II didalam menumbangkan kekuasaan Umayyah. Dia pernah dijanjikan oleh Abu Abbas untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalannya nanti seandainya ia berhasil membunuh khalifah Marwan II. Dia membuat gerakan pemberontakan karena tidak puas terhadap penunjukkan Abu Ja’far al-mansur sebagai khalifah, bukan menunjuk dirinya. Abul Abbas memerintahkan Abu Muslim al-khurasani untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Dengan kehebatan pasukan al-khurasani akhirnya pasukan Abdullah mengalami kekalahan berat dan ia sendiri terpaksa melarikan diri setelah berhasil ditangkap dan dipenjarakan, akhirnya ia sendiri dibunuh. Sehingga pemberontakan yang hampir saja mengoyahkan kedaulatan Abbasiyah tersebut dengan cepat diatasioleh khalifah Al-Mansur.<br />b) Abu Muslim al-Khurasani<br />Sebagaimana Abdullah ibn Ali beliau adalah salah seorang yang sangat berjasa dalam pendirian daulat Abbasiyah. Dialah yang memiliki kemampuan menggalang kekuatan didaerah Khurasan untuk menggulingkan kekuatan Umayyah yang pada akhirnya bermuara pada terbentuknya daulat Abbasiyah, disatu pihak telah terbukti betapa besar potensi dan pengaruh yang dimiliki oleh beliau, namun dipihak lain hal tersebut sekaligus telah menimbulkan pula kekhawatiran bagi khalifah terhadap kemungkinan ia bakal tampil sebagai rival politik yang sewaktu-waktu dapat mengancam kekuasannya memimpin Abbasiyah. Agaknya ada keinginan Abul Muslim memainkan peranan besar dalam kekuasaan Abbasiyah ditandai dengan perselisihannya dan keengganannya yang sering terjadi untuk menjalankan perintah khalifah dimasa Abul Abbas al-Safah. Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebutakhirnya beliau tidak segan-segan menjalankan politik kejinya. Beliau diundang ke istana untuk menghadap khalifah. Setelah terjadi dialog yang panjang akhirnya pada bulan Sya’ban 137 H ia dibunuh oleh para algojo istana.<br />c) Gerakan Syi’ah<br />Dalam upaya menggulingkan kekuasan bani Umayyah golongan memainkan peran yang penting. Mereka bergabung kedalam gerakan Abbasiyah karena tidak suka terhadap pemerintahan Umayyah. Kedua kelompok terjalin kerjasama dimana selain didorong oleh perasaan senasib, yakni sama-sama mendapat tekanan dari pihak Umayyah, juga karena kecerdikan bani Abbas yang mengakomodir pemikiran Syi’ah di dalam gerakan mereka. Gerakan bani Abbas mengusung pernyataan bahwa gerakan mereka dilakukan atas nama dari keluarga Muhammad yang didukung. Karenanya, gerakan ini sekaligus akan melegitimasi hak ahlu al bait terhadap jabatan khalifah sebagaiman yanyang dianut oleh kalangan Syi’ah. Upaya politik bani Abbas ini ternyata angkuh untuk merekrut kekuatan Syi’ah. Dengan menguatnya struktur Persi dalam pemerintahan bani Abbas menyebabkan munculnya rasa kecemburuan dikalangan orang Arab sendiri. Supremasi Persi tersebut berlanjut sampai akhirnya datang orang-orang Turki memasuki bidang ketentaraan berkat kebijaksanaan jendral Tahir (820 M) orang0orang Turki ini kemudian menjadi satu kekuatan yang patut diperhitungkan dalam percaturan politik Abbasiyah, dan lebih dari itu juga menjatuhkan supremasi dan dominasi Persi di pemerintahan Abbasiyah.<br /><br />2. Perundangan dan Hukum<br />Pada periode Abbasiyah, lembaga hukum disebut juga dengan al-nidham al-madhalim, yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.<br />Lembaga ini terdiri dari tiga macam bagian, antara lain:<br />a. Al-Qadha<br />Badan ini bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, sunnah Rasul, atau ijma’ dan atau berdasarkan ijtihad. Badan ini juga dipimpin oleh qadhi, yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisiham bahkan sampai dengan masalah waqaf. Pada masa ini, di setiap wilayah diangkat beberapa hakim, dan setiap perkara diselesaikan sesuai dengan mazhab yang dianut oleh masyarakat.<br />b. Wilayatul Hisbat<br />Pejabat badan al-hisbat disebut juga dengan al-muhtasib, disini al-muhtasib bertugas mengatur ketertiban umum, mengawasi hukum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang butuh penanganan segera. Mereka juga bertugas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, mengawasi ketertiban pasar, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum syari’at.<br />c. Wilayatul Madhalim<br />Pejabat badan al-madhalim disebut dengan qadhi al-madhalim atau shahib al-madhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding. Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya. <br /><br />3. Adiministrasi Negara<br />Pada masa khalifah al-Mansyur perbendaharaan negara penuh dan berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara.<br />Kemudian pada masa khalifah al-Mahdi, beliau melakukan upaya untuk meningkatkan uang kas negara, yakni dengan mempermudah transportasi jalur perdagangan yaitu dengan dibangunnya stasiun kafilah dagang dan tersedianya air yang cukup pada tempat tersebut. Adanya kuda-kuda yang tangguh untuk mempermudah dan mempercepat layanan pos. Ditingkatkannya armada dagang dari teluk Persia dan teluk Aden ke pesisir India dan wilayah Asia Tenggara, sehingga perdagangan eropa sangat tergantung sekali pada pedagang-pedagang muslim yang berkedudukan di pesisir Laventine dan pesisir Afrika Utara. Perbaikan tidak hanya pada penyediaan fasilitas fisik saja namun fasilitas keamanan dan kenyamanan juga, sehingga mendukung kelancaran lalu lintas pedagang dan tentunya menambah pemasukan yang sangat besar bagi perbendaharaan negara (bait a-mal). Dengan banyaknya uang kas negara tentunya dapat meningkatkan bidang lainnya seperti perindustrian pertanian dan lain sebagainya.<br />a. Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.<br />b. Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.<br />c. Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti: Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang, membangun armada-armada dagang untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.<br /><br />4. Peradilan<br />Keberadaan peradilan pada masa daulah Abbasiyah sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Umaiyah. Sebagaimana Umaiyah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat. Pemerintahan daerah yang didirikan itu antara lain bertugas mengelola secara administratif kawasan-kawasan yang baru ditaklukkan.<br />Para pemegang kekuasaan pemerintahan daerah itu disebut Amir. Pada awalnya, sistem pemerintahan ini bersifat sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang di wakili oleh wazir, pada awalnya kedua pemegang kekuasaan ini bertugas melakukan segala bidang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya pada setiap bidang ditunjuk pejabat yang menanganinya. Dan Penunjukan ini dilakukan oleh khalifah. Salah satu dari pejabat daerah yang diangkat oleh khalifah adalah pejabat qadli atau hakim. Para Qadli tersebut dipilih diantara para fuqaha’ yang berpengaruh, dan mereka menerapkan hukum Islam bagi permasalahan sipil warga muslim dan diserahi tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan umat Islam kepada badan peradilan tersebut. <br />Terdapat beberapa hal yang tumbuh dalam perkembangan peradilan di periode Abbasiyah, antara lain:<br />a. Munculnya mazhab-mazhab<br />Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.<br />Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umaiyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad ketujuh masehi yaitu Abu Hanifah (w. 767 M) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq dan mazhab ini telah melahirkan al-Auza’i (w.774 M) dan al-Zahiri (w.883 M). Kemudian Imam Malik bin Anas (w.795 M) sebagai ulama mazhab Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqaha’ dengan karya monumentalnya al-Mutawattha’. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.820 M) yang muncul sebagai jalan tengah antara mazhab Irak yang liberal dan Mazhab Madinah yang konservatif dan mendominasi daerah Mesir. Selanjutnya lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.855 M) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.<br />Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya. Selain masalah peradilan, para ulama tersebut juga menjelaskan tentang aturan hukum yang mengatur seorang muslim dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, politik dan sosialnya.<br />Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya, para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.<br />Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara.<br /><br />b. Menjauhnya fuqaha’ dari jabatan hakim<br />Ada satu keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan mereka diwarnai dengan celupan agama. Karena itu mereka membimbing hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah.<br />Karena dasar itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim. Sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sangat sering merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.<br />Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang Muslim Iran yang pernah menjadi sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat Islam.<br />c. Lahirnya istilah qadhil qudha<br />Istilah qadhil qudha pada masa sekarang ini dapat kita katakan sebagai menteri kehakiman. Qadhil qudhah ini berkedudukan di ibu kota negara. Dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Tokoh pertama yang mendapat gelar qadhil qudhah adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan al-Mahdi dan dua orang putranya al-Hadi dan Harun al-Rasyid.<br />Qadhil qudhah (Mahkamah agung) di Abbasiyah memiliki peran yang sangat sentral bagi qadhi-qadhi di daerah, hal ini dikarenakan mereka sangat dekat dengan para khalifah dan menjadi pimpinan para qadhi di seluruh negeri.pada masa ini qadhil qudhah juga mempunyai hak untuk mengangkat pejabat-pejabat peradilan yang memiliki kompetensi, baik yang berada di pusat maupun yang berada di daerah. Dan mereka juga diberi wewenang untuk memberhentikan pejabat bawahannya. Selain itu juga mereka mempunyai tugas meneliti tingkah laku qadhi bahkan sampai pada putusan-putusan yang diambil oleh para qadhi dalam mengambil fatwa dan putusan hukum.<br /><br />5. Hubungan Internasional<br />Di abad ke-9, Raja Harun Al-Rasyid sudah menjalin hubungan diplomasi dengan raja Frank, Raja Charlemagne. Mereka menjalin persekutuan ini memiliki maksud masing-masing. Charlemagne menjalin hubungan dengan Harun untuk menghadapi Bizantium. Hal ini dimanfaatkan Harun untuk menghadapi Umaiyah di Spanyol. Kedekatan hubungan ini ditandai dengan pertukaran duta besar dan hadiah berupa bahan pakaian gajah, dan rempah-rempah.<br />Berbeda dalam hubungan diplomasi, penguasa Abbasiyah dengan Bizantium berseteru dalam kurun waktu lebih dari satu abad lamanya. Di antaranya raja Al-Mahdi pertama yang mengumandangkan perang suci melawan Bizantium dan dilanjutkan oleh anaknya, Harun. Di bawah komando Harun lah pasukan Arab telah mencapai Bosporus yang menyebabkan Ratu Irene dipaksa menandatangani perjanjian memalukan dan membayar upeti sebanyak 70-90 ribu dinar yang pada akhirnya pun perjanjian ini diingkari oleh penerus Ratu Irene, Nicephorus I. Selain itu, Harun melancarkan penyerbuannya dari kota Raqqah dan perbatasan Suriah. Masa pemerintahan Harun inilah merupakan masa kegemilangan (keemasan) yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah. Hanya pada tahun 838M terjadi upaya penguasaan daerah di seberang Taurus yang dilancarkan oleh al-Mu’tashim dengan persenjataan yang lebih lengkap, berhasil mencapai pusat daratan Romawi.<br /><br />D. Kemajuan yang Dicapai Pada Masa Daulah Abbasiyah<br />1. Bidang Ke Ilmuan dan Teknologi<br />Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid hidup banyak tokoh ilmuwan, yakni Qadi Abu Yusuf, keluarga Barmaki, Abu Atahiyah, seorang penyair, Ishak al-Mausuli, penyanyi, dan al-Asma’orang ahli riwayat. Ia menyukai syair, menghormati para ulama, menyantuni para nara pidana dengan memberinya pakaian untuk musim panas dan musim dingin yang dianggarkan dari dana Baitul Mal. Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan dunia kala itu.<br />Pada masanya hidup pula para filsuf, pujangga, ahli baca Al-Qur’an dan para ulama dibidang agama. Didirikan pula perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat membaca, menulis, dan berdiskusi. Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Al-Qur’an, qira’at, hadis, fiqh, Ilmu kalam, bahasa dan sastra. <br />Selain itu ada empat madzhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa dinasti Abbasiyah, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Disamping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia.<br />Pada masa khalifah Harun berkumpul pula para seniman di Bagdad, seperti Abu Nawas salah seorang penyair yang terkenal dan dihasilkan pula banyak karya seni sastra yang indah seperti Afi Lailah wa Lailah, “Seribu Satu Malam” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Arabian Night. Pelabuhan-pelabuhan Abbasiyah disinggahi oleh kapal-kapal dari seluruh penjuru dunia, seperti jung-jung dari Cina, yang membawa barang dagangannya (porselen, sutera, dan minyak kesturi), kapal-kapal dari India dan Nusantara yang membawa barang-barang tambang, rempah-rempah dan cat, sedangkan batu manikam, lazuardi dan budak datang dari Turki di Asia Tengah. Madu, lilin, kulit putih datang dari Skandavia dan Rusia, sementara itu gading, emas-bubuk dan budak kulit hitam datang dari Afrika Timur. Dari bandar-bandar itu diekspor barang-barang hasil industri, perhiasan, kaca-logam, mutiara-gelas dan rempah-rempah ke Timur Jauh, Afrika dan Eropa. Dan juga Industri kertas, sebagaimana yang dibuat oleh Cina, telah dapat diusahakan pada masa Harun al-Rasyid.<br />Kemudian dalam masa pemerintahan al-Makmun pengaruh Yunani sangat kuat. Diantara para penterjemah yang masyhur saat itu ialah Hunain ibn Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani ke bahasa Arab. Ia terjemahkan kitab Republik dan Plato, dan kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles. India juga mengihami perkembangan filsafat, kesusasteraan dan ilmu pasti dalam Islam. Al-Khawarizmi (wafat kira-kira 850 M) menyusun ringkasan astronomi berdasarkan ilmu Yunani dan India. Penulisan sejarah berkembang pula pada saat itu, di antara para penulis sejarah ialah Ibn Ishak, Ibn Hisyam dan at-Tabari, al-Maqrizi dan lain-lain. Ilmu bumi memudahkan perjalanan kaum Muslimin ke penjuru dunia, antara lain ke India, Srilangka dan Melayu.<br /><br />2. Bidang Ekonomi dan Perpajakan<br />Ekonomi Imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari wilayah timur imperium diperdayangkan dengan barang-barang, hasil dari wilayah bagian barat. Di kerajaan ini, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarqand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma dari Irak. Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan barat (termasuk wilayah yang kini bernama Mali dan Niger) melambungkan perekonomian Abbasiyah.<br />Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara timur dan barat juga banyak membawa kekayaan. Bahsrah menjadi pelabuhan yang penting.<br />Selain itu salah satu sumber pemasukan negara yang menunjang keeksistensinya didapat dari pajak berupa zakat yang dibebankan atas tanah produktif, hewan ternak, emas dan perak, barang dagangan, dan harta lainnya yang bisa berkembang.<br /><br /><br />3. Bidang Perdagangan, Industri dan Pertanian<br />Perdagangan dan industri<br />Sejak masa khalifah kedua Abasiyah, Al Mansyur, sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan maritim Arab dan Persia dengan India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulaiman At-Tajir dan para pedagang muslim lainya pada abad ke 3 H. Tulang punggung perdagangan ini adalah sutra, kontribusi orang Cina kepada dunia barat. Biasanya, jalur perdagangan yang disebut “jalan sutra”, menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina, sebuah wilayah yang kini tidak banyak dilalui dibanding wilayah-wilayah dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadaban.<br />Pada masa Abbasiyah, orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur barus, dan sutra. Dari kawasan asia yang lebih jauh, juga mengimpor gading, kayi eboni, dan budak kulit hitam dari afrika.<br /><br />Perkembangan bidang pertanian<br />Bidang pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahnnya berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan negara dan pengolahan tanah hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli yang statusnya mengalami peningkatan pada masa rezim baru . lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa yang hancur diberbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap.<br /><br />4. Bidang Militer dan Pertahanan<br />Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.<br />Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan.<br />Pembentukan lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemberontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.<br />Dimana organisasi militer terdiri pengawal khalifah (haras), pasukan tetap (jund), pasukan sukarela (thawwi’ah), dan pasukan reguler yang terdiri dari pasukan infanteri (harbiyyah), pasukan pemanah (ramiyah), dan pasukan kavaleri (fursan). Semua pasukan ini didominasi oleh orang-orang Persia, bukan bangsa Arab.<br />Kemudian pada masa Al-Mansur membangun basis militer sebagai markas. Basis militer yang berada di perbatasan ini dikenal dengan Shawaif dan Syawati’. Tujuannya adalah untuk menjaga wilayah perbatasan.<br /><br />E. Perluasan Wilayah Pada Masa Daulah Abbasiyah<br />Pada masa Abbasiyah I usaha perluasan wilayah kekuasaan tidak banyak dilakukan karena difokuskan untuk melakukan pembinaan dan penataan terhadap wilayah-wilayah yang telah dikuasai, terutama pembinaan dalam sektor politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Mesir yang telah menjadi salah satu wilayah kekuasaan dan aktifitas dakwah Islam semenjak zaman Khulafaurrasyidin, dikembangkan menjadi basis dakwah untuk wilayah bekas jajahan kerajaan Romawi Timur di sekitar Laut Tengah.<br />Pada masa ini kota Baghdad, Basrah dan Kuffah merupakan pusat-pusat kegiatan dakwah dalam arti yang luas. Penguasa kekhalifaan Abbasiyah I adalah para pecinta ilmu dan sangat memuliakan ulama-ulama serta para pujangga. Para putera khalifah diberikan pendidikan khusus oleh ulama dan pujangga dengan harapan mendapat pengetahuan keagamaan yang luas dan kelak akan menjadi ulama dan pujangga.<br />Pada masa ini juga dilakukan pengembangan dakwah kedaerah-daerah India yang beragama Hindu yang pernah dilakukan pada masa sebelumnya. Dan pada masa khalifah Mansur, Hisyam bin Amru diangkat menjadi gubernur di Sind dengan tugas melanjutkan pengembangan dakwah ke daerah-daerah lain, sehingga pada masa ini wilayah dakwah Islam telah sampai di Kasymir. Sementara pada masa al-Mahdi (158-169 H/775-785 M) angakatan dakwah dan angakatan perang Islam melakukan kampanye besar ke daerah-daerah India lainnya. Dakwah Islam terus meluas ke India pada masa al-Makmun, sementara pada masa al-Muktasim, dakwa Islam terus berkembang di negeri-negeri yang terletak antara Kabul, Kasymir, dan Miltan.<br /><br />F. Kemunduran Daulah Abbasiyah<br />1. Faktor Internal<br />a. Persaingan antar Bangsa<br />Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbasiyah yang lebih memilih bersekutu dengan orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Persekutuan itu dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah, yakni sama-sama tertindas. Sedangkan orang-orang Arab pada masa itu merupakan orang-orang yang dirasa sulit melupakan Bani Umayyah, karena merupakan warga kelas satu dan orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah.<br />Setelah khalifah Abbasiyah berdiri, Dinasti Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu, akan tetapi semakin lama orang-orang Persia merasa tidak puas dengan pemerintahan tersebut. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah yang pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit, kecuali Islam yang pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya disamping fanatisme kearaban muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah.<br />Penyebab adanya fanatisme kebangsaan ini adalah karena luasnya wilayah kekuasaan yang dimiliki dinasti Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan yang bersamaan dengan tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah. Hal ini tercermin karena sikap para khalifah Abbasiyah justru mendahulukan menjalankan sistem perbudakan baru, yakni budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara, dan merekapun diberi nasab dinasti serta mendapat gajian. Dan membiarkan berkembangnya fanatisme kebangsaan. <br /><br />b. Kemerosotan Ekonomi<br />Pada periode pertama, pemerintah Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.<br />Setelah khalifah memasuki zaman kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.<br /><br /><br /><br />c. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Kesukuan<br />Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka memprogandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Konflik anatara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.<br /><br />2. Faktor Eksternal<br />a. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.<br />b. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.<br /><br /><br />III. KESIMPULAN<br /><br />Para khalifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 khalifah. Bani Abbasiyah mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada 4 aspek, yaitu:<br />1. Aspek Khilafah<br />2. Aspek Wizarah<br />3. Aspek Kitabah<br />4. Aspek Hijabah.<br />Sistem pemerintahan pada masa daulah Abbasiyah terbagi menjadi 4 periode, yaitu:<br />1. Periode I tahun 132-232 H/750-847 M.<br />2. Periode II tahun 232-334 H /847-945 M.<br />3. Periode III tahun 334-447 H /945-1055 M.<br />4. Periode IV tahun 447-590 H/1055-1194 M.<br /><br /> Kemajuan yang Dicapai Pada Masa Daulah Abbasiyah dalam berbagai bidang, yaitu:<br />1. Bidang Ke Ilmuan dan Teknologi<br />2. Bidang Ekonomi dan Perpajakan<br />3. Bidang Perdagangan, Industri dan Pertanian<br />4. Bidang Militer dan Pertahanan<br /><br />Penyebab Kemunduran Daulah Abbasiyah meliputi dua faktor, yakni:<br />1. Faktor Internal<br />a. Persaingan antar Bangsa<br />b. Kemerosotan Ekonomi<br />c. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Kesukuan.<br />2. Faktor Eksternal<br />a. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban <br />b. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.<br /><br /><br />IV. PENUTUP<br />Demikian makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Maka dari itu, kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan guna memperbaiki makalah ini selanjutnya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003).<br />Cet. I<br />Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2009)<br />Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). Cet. II<br />Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007). Cet. I<br />Mufrodi, Ali. Islam diKawasan Kebudayaan Arab. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Cet.I<br />Sunanto, Musrifah. Sejarah Islam Klasik. (Bogor: Kencana, 2003). Cet. I<br />Syaefudin, Machfud. Dinamika Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013). Cet. I<br />http://abdullatif16.blogspot.com/2012/12/kondisi-sosial-politik-dan-budaya-pada_8661.html<br />http://alleicya.blogspot.com/2010/12/perkembangan-hukum-dan-peradilan-pada.html<br />http://asadul-azzam.blogspot.com/2011/02/peradilan-pada-masa-dinasti-bani.html<br />http://adha-inspirasi.blogspot.com/2011/05/makalah-dinasti-abbasiyah.html<br />http://reynasusanty.blogspot.com/2012/11/dinasti-abbasiah.html<br />http://sejarah.kompasiana.com/2013/01/30/kekhalifaan-abbasiyah-minat-intelektual-dan-perkembangan-mazhab-hukum-530013.html<br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-26259118506631629362013-06-25T17:22:00.005-07:002013-06-25T17:22:58.593-07:00POLITIK ISLAM KONTEMPORER<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN<br />Islam dan politik, demikian dua kata ini tidak habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. Banyak dari para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), modern dan neo modern, yang mencoba memberikan sebuah penjelasan hubungan antara Islam dan politik, dengan beragam cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.<br />Diskursus agama dan politik, khususnya pengelolaan kekuasaan (religio-political power) sebenarnya telah berkembang sejak abad tengah. Smith membagi pemikiran agama dan politik tersebut secara dikotomis ke dalam tipologi religio-political power organic di satu pihak dan sekuler di lain pihak. Para eksponen perspektif organik, mengklaim perlunya penyatuan agama dan kekuasaa karena jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.<br />Sementara itu eksponen perspektif sekuler, cenderung mengklaim perlunya pemisahan antara agama dan kekuasaan, antara lain untuk tujuan menjaga ke “pari-purna”an agama. <br />Perkembangan pemikiran tersebut juga masuk dalam diskursus intelektual muslim kontemporer, sehingga kita kemudian mencatat eksponen intelektual muslim memilih menjadi penganut perspektif organik, dan ada pula yang memilih perspektif sekular. Oleh karena itu, tidak ada klaim tunggal atau hanya ada satu perspektif dalam Islam.<br /><br />II. RUMUSAN MASALAH<br />A. Bagaimana Pemikiran politik Islam Kontemporer?<br />B. Bagaimana Pokok-pokok pemikiran para tokoh Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal, dan Abdul Wahab Kholaf?<br /><br />III. PEMBAHASAN<br />A. Pemikiran politik Islam Kontemporer<br />Periode modern ditandai kolonialisme yang melanda negeri-negeri muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah penjajahan barat. Dunia islam tidak mampu bangkit dari kemunduraan yang berkepanjangan. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer:<br />1. Kemunduran Islam disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.<br />2. Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam yang berakhir dengan penjajahan.<br />3. Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.<br />Kecenderungan yang seperti itu membuat sebagian pemikir ada yang mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme.<br />Kelompok pertama memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah menyatu dan tidak terpisahkan. Karena tugas negara adalah menegakkan sehingga negara Islam menjadi cita-cita bersama.karena itu syariat Islam menjadi hukum negara yang dipraktikkan oleh seluruh umat Islam.<br /> Kelompok ini diwakili oleh:<br />1. Muhammad Rasyid Ridha, yang menulis Al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzhma dan tafsir Al-Manar.<br />2. Hasan Al-Bana, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.<br />3. Abu al- A’la al-Maududi, yang menulis Al-Khilafah wal Mulk dan Islamic Law and Constitution.<br />4. Sayyid Quthb, ideolog gerakan Ikhwanul Muslimin yang menulis Al’adalah al-ijtima’iyah fi al-islam.<br />5. Imam Khomeini, pemimpin revolusi islam Iran 1979. <br />Kelompok kedua berpendapat bahwa agama dan politik melakukan hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara untuk menegakkan syariat. sementara negara membutuhkan agama untuk mendapat legitimasi. Kelompok ini diwakili oleh:<br />1. Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Mesir<br />2. Muhammad Iqbal, bapak pendiri negeri Pakistan.<br />3. Muhammad Haykal, yang menulis Al-Humumat al-Islamiyat.<br />4. Fazlur Rahman, bapak pembaharu Pakistan yang mnulis Islam and Modernity.<br />Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya faktor alamiah dan histois dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu mendirikan negara Islam.<br />Kelompok ini diwakili oleh:<br />1. Ali Abd al-Raziq, yang menulis Al-Islam wa Ushul al-Hukm.<br />2. Thaha Husein yang menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr.<br />3. Mustafa Kemal Attaturk, pendiri republic Turki Modern. <br />B. Pokok-pokok pemikiran para tokoh Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal, dan Abdul Wahab Kholaf<br />1. Ali Abdul Raziq dalam masalah Pemerintahan<br />Ali Abdul Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm menyebutkan bahwa seluruh apa yang dibawa oleh Rasulullah hanyalah semata-mata syariat keagamaan yang murni untuk Allah. Ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan masalah yang bersifat keduniaan sama sekali. Akan halnya masalah masyarakat, politik maupun pemerintahan. Semuanya itu adalah persoalan dunia. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad Saw. menurutnya hanya mengemban tugas dan misi rasul dan tidak membawa misi untuk membentuk negara.<br />Persoalan kemudian adalah apakah pendirian negara di Madinah oleh Nabi berikut pengawasannya yang dapat diartikan sebagai tugas pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas kerasulannya? Pertanyaan seperti ini dijawabnya dengan mengemukakan bahwa pemerintahan Nabi bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dan berada di luar dari misi yang diembannya. Pemerintahan yang pernah dibentuk oleh Nabi, kata Ali Abdul Raziq adalah urusan dunia yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ali Abdul Raziq mengutip beberapa ayat Alquran, antara lain sebagai berikut:<br /> 1. Surat Ali Imran (3): 144, yang artinya, Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul yang kelak didahului oleh wafatnya rasul-rasul yang lain.<br /> 2. Surat al-Ghasyiah (88): 21, yang maksudnya, Rasulullah hanyalah bertugas menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia.<br />Di samping mengutip ayat-ayat Alquran, ia juga menggunakan argumen hadis nabi riwayat Muslim.(Hadis tersebut berbunyi: انتم اعلم بأمور دنياكم (Kamulah yang paling tahu tentang urusan duniamu) Dari ayat-ayat dan hadis, Ali Abdul Raziq memahami bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah kepada manusia dengan cara apa dan bagaimana mengaturnya.<br />Sehubungan dengan pikiran-pikiran Ali Abdul Raziq ini, kembali Dhiyauddin memberikan kritikan yang tajam. Menurutnya, Ali Abdul Raziq memulai pokok-pokok pikiran dan keyakinannya yang keliru, yakni suatu keyakinan atau motivasi yang sepenuhnya menafikan hakikat sistem, syariat dan tujuan Islam. Dengan demikian, maka Islam dipahami hanyalah seruan keagamaan belaka tanpa ada pelaksanaannya. Argumentasi yang digunakan Ali Abdul Raziq adalah ayat-ayat Alquran periode Mekah, sedangkan pada periode ini kaum muslimin masih berada di bawah tekanan pemerintah kafir Quraisy, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan syariat dalam kehidupan nyata. Akan halnya periode sesudah itu, negara Islam sudah terbentuk dan syariat pun telah sempurna diturunkan, sehingga Rasulullah Saw. dan kaum muslimin dapat melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan Allah yang dibuktikan oleh sejarah. Selanjutnya, Dhiyauddin mengutip beberapa ayat Alquran yang memerintahkan Rasulullah Saw. untuk merealisasikan risalahnya, seperti QS. al-Tahrim (66) : 9, QS. al-Anfal (8) : 57 dan QS. al-Maidah (5) : 58.<br />Pendirian penulis, kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Salah satu doktrin Alquran yang memperkuat doktrin ini adalah hablun min Allah wa hablun hablun min al-nas (QS. Ali Imran (3): 112), artinya hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia merupakan satu kesatuan. Untuk itu, masalah hubungan agama (Islam) dan negara harus ditempatkan dalam konteks ini. Meskipun Alquran dan sunnah Rasul tidak menentukan bagaimana bentuk pemerintahan Islam, tetapi prinsip-prinsip umumnya sudah digariskan. Karena itu, manusia diberikan kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk pemerintahan apa yang paling baik bagi mereka.<br />Pemikiran Ali Abdul Raziq, tampaknya mendapat kritikan keras dari kalangan ulama Mesir, khususnya al-Azhar. Tantangan dan protes keras itu terjadi dalam rapat Majelis Ulama Besar al-Azhar pada tanggal 12 Agustus 1925, yang dihadiri sebanyak 24 orang ulama al-Azhar. Di sinilah diputuskan bahwa isi buku al-Islam wa Ushul al-Hukm telah bertolak keluar dari seorang muslim, apalagi dari seorang ulama. Ali Abdul Raziq akhirnya dikeluarkan dari jajaran ulama al-Azhar. <br />2. Muhammad Husain Haikal dalam masalah Pemerintahan<br />Husein Haikal termasuk dalam paham kelompok yang berpendapat bahwa Islam tidak menentukan sistem dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti oleh Umat. Kalaupun ingin mengetahui sistem pemerintahan Islam, menurut Haikal kita harus kembali kepada prinsip-prinsip utama yang telah ditetapkan dan yang dijadikan sebagai landasan kehidupan manusia. Manakala kita sudah mengetahui dan mencamkan prinsip-prinsip tersebut, tidak ada lagi keraguan bahwa sesungguhnya Islam dan demokrasi sinkron dalam semua hal yang esensial. Kita juga tidak meragukan bahwa sesungguhnya sistem mana saja yang tidak mengakui kebebasan individu, solidaritas sosial, dan pengambilan keputusan berdasrkan suara mayoritas adalah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Singkatnya, setiap sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan oleh Islam. <br />Haikal sendiri menyatakan sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan. model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan, persaudaraan dan persamaan bagi manusia- sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem-sistem demokrasi dalam pengertian sekarang. <br />1.Prinsip-prinsip Negara Islam Demokrasi <br />a) Prinsip persaudaraan<br />Dalam menetapkan prinsip ini, wawasan Islam luas sekali. Islam tidak memasang rintangan dan batasan apapun. Persaudaraan dalam Islam tidak hanya merupakan pemanis bibir atau sekadar basa-basi, melainkan suatu prinsip yang sangat esensial. Persaudaraan Islam juga suatu akidah yang harus ditumbuhkan dalam jiwa setiap muslim dan tercermin dalam tindakan manusia. Atau, kalau tidak, ia akan menjadi orang yang lemah imannya. <br />Sebenarnyalah, selama ini arti solidaritas manusia yang kita semua dambakan dan kita kampanyekan dengan sungguh-sungguh, sampai beberapa hal berikut ini terwujud. Yaitu, persaudaraan di antara sesama manusia dan di antara bangsa-bangsa. Sampai setiap individu dan setiap bangsa benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kewajiban persaudaraan menuntut seseorang merasa bahagia melihat saudaranya mendapat kebahagiaan yang sama seperti apa yang ia rasakan.<br />b) Persamaan Dalam Islam<br />Adapun persamaan dalam Islam merupakan contoh yang tertinggi yang patut diteladani. Bagi Islam, persamaan tidak hanya sebatas yang ditetapkan undang-undang, tetapi lebih dari itu juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Persamaan Islam sama sekali tidak memperhitungkan keterpautan rezeki, keterpautan ilmu, dan berbagai keterpautan lain yang bersifat duniawi. Apabila kepercayaan terhadap konser persamaan di depan undang-undang adalah salah satu sendi demokrasi, apalagi kepercayaan terhadap konsep persamaan di hadapan Allah. Allah adalah sumber setiap hukum dan segala sesuatu, kekuatan satu-satunya yang menciptakan dan mengatur alam.<br />c) Kebebasan, Prinsip Islam Yang Termulia<br />Dewasa ini, kebebasan bisa berarti mempunyai hak dan boleh menggunakan sekehendak anda, asal Anda tidak merugikan dan tidak mengganggu kebebasan orang lain. Dalam kenyataannya, Islam memang memberikan kebebasan penuh kepada manusia, kecuali, tentu dalam hal-hal yang dikenai sanksi dan syara’nya.<br />Hanya saja, menurut Haikal bentuk kebebasan yang tersurat dan tersirat dalam semboyan Revolusi Perancis adalah yang terpenting, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Orang mungkin tidak percaya bahwa kebebasan ini juga telah ditetapkan dalam ajaran Islam, justru dalam bentuk dan makna yang lebih luas. Secara historis kebebasan ini lebih banyak dipraktekkan dalam dunia Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Pada masa-masa itu, tulis Haikal tidak dikenal adanya batasan bagi kebebasan berpikir, selama kebebasan berpikir itu tetap berada dalam jalur benar. Kita lihat misalnya bagaimana di kalangan kaum muslimin Ahli Sunnah terdiri dari empat madzhab. Seluruh kaum Muslimin menghormati keempat madzhab tersebut, kendati di antara mereka ada perbedaan dalam berpikir dan berpendapat. Madzhab-madzhab ini ditetapkan oleh para imam yang diakui kelebihannya oleh segenap kaum musllimin, dalam tingkat keimanan dan kedudukan mereka yang tinggi.<br />2.Implementasi Prinsip-Prinsip Negara Islam Demokrasi<br />a) Tasyri’ (Perbuatan Undang-undang) dan Hukum<br />Kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang merupakan semboyan demokrasi dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama Islam. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi dasar terciptanya solidaritas sosial dan bagi tegaknya sistem pemerintahan demokrasi atau pemerintahan Islam.<br />Prinsip-prinsip ini secara nyata menuntut suatu bangsa melakukan pengambilan keputusan melalui suatu lembaga perwakilan yang benar, perdebatan yang bebas dan menerima prinsip suara mayoritas. Dalam hal pengambilan keputusan ini gejala pertama yang tampak adalah tentang masalah tasyri’ (legislation) dan masalah hukum. Karenanya, seseorang, betapa tinggi kedudukannya, tidak berhak menetapkan sesuatu keputusan secara paksa. Atau menetapkan undang-undang suatu Negara yang tidak dikehendaki oleh kehendaknya yang bebas.<br />Hakim yang adil di Negara Islam selalu memiliki kekuasaan dan tidak memihak, seperti yang juga dimiliki oleh hakim adil di semua Negara demokrasi. Tak seorangpun dapat menguasai atau mendikte hakim semacam ini, yang kekuasaannya menjangkau seluruh masyarakat. Dan selama masyarakat dapat menerima keadilannya, sang hakim dibenarkan melakukan ijtihad kalau memang menemukan caranya. <br />b)Islam, dan Bentuk-bentuk Pemerintahan Demokrasi<br />Haikal menyatakan secara jelas, bahwa ada sementara orang yang mencoba menggambarkan Islam dengan cara yang berbeda. Dan untuk menopang pendapatnya, ia mengatakan bahwa sesungguhnya tasyri’ dan hukum Islam sangat terikat oleh al-Qur’an. Dan itu, katanya, merupakan kendala bagi perkembangan yang amat tidak disukai oleh sistem demokrasi.<br />Sebenarnya menurut Haikal apabila kita menyimak kembali pemerintahan islam dari era-era permulaan, tepatnya dari 1.400 tahun lebih yang lalu, kita akan menemukan bahwa prinsip utama demokrasi sebenarnya prinsip milik Islam. Boleh jadi bentuk sistem pemerintahannya berbeda dengan yang kita kenal sekarang, namun dan tujuan dan prinsipnya tetap sama. Kalau menengok kembali peristiwa pembai’atan Abu Bakar, Umar dan Utsman kita akan menemukan secara gamblang maknanya yang hakiki. Dimana para khalifah hanya memiliki kekuasaan eksekutif, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Boleh jadi kekuasaan eksekutif itu tidak memiliki lembaga pengawasa, yang memungkinkan mereka bertindak sebagai dictator tanpa harus mempertanggung jawabkannya kepada siapa pun. Atau harus mempertanggungjawabkannya, mereka diawasi oleh sebuah lembaga pengawasan seperti fungsi parlemen seperti di Negara-negara Eropa, atau lembaga legislative seperti di Amerika. Jika tindak-tanduk khalifah diawasi, apapun bentuknya, tak perlu diragukan lagi bahwa pemerintahan Islam itu juga menerapkan sistem demokrasi. Meskipun bentuknya tidak sama seperti yang kita kenal sekarang, namun prinsip dan dasarnya sungguh ideal. <br />c)Masa Jabatan Pemimpin Islam<br />Masa-masa pertama masa jabatan seorang pemimpin Islam tidak dibatasi seperti yang berlaku pada pemimpin republik sekarang. Yang jelas pemikiran kea rah itu belum dirasakan penting oleh orang-orang Islam terdahulu, lantaran adanya pertimbangan yang cukup penting. Kemudian mengenai kehidupan Internasional yang jelas, Islam tidak melalaikan hubungan dengan dunia internasional, yang telah dikenalnya sejak awal pertumbuhannya. Hubungan internasional ini dikenal ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Islam. Akan tetapi yang mengherankan sementara orang adalah seruan Islam menjalin hubungan dan kerjasama internasional. Inilah kemudian diwujudkan oleh Negara-negara demokrasi pada tahun 1919.<br />Salah satu prinsip penting yang ditetapkan oleh Islam adalah menghormati perjanjian dan tidak merusaknya. Prinsip ini sangat esensial dalam kehidupan internasional Islam. Begitu pentingnya, sampai kaum muslim terdahulu rela berkorban besar demi menghormati perjanjian. Bagaimana Islam dan demokrasi bertemu dalam segala hal yang mendasar. Dalam pembahasan terdahulu sudah ditegaskan, bahwa keduanya bertemu dalam prinsip-prinsip umum. Juga dalam asas legislative (tasyri’) dan hukum, dalam sistem pemerintahan, serta dalam aturan tentang hubungan internasional. <br />3. Abdul Wahab Kholaf dalam masalah Pemerintahan<br />Abd al-Wahhab Khallaf seorang pakar hukum Islam pada fakultas hukum Universitas Kairo di Mesir, sejauh ini kita mengenal Prof. Abd al-Wahhab Khallaf sebagai ahli dalam bidang hukum Islam terutama kajian ushul al-Fiqh (dasar-dasar hukum Islam) bukan yang lain. Akan tetapi, disanalah uniknya, ternyata Prof. Abd al-Wahhab Khallaf juga banyak mengamati persoalan hukum tata negara Islam dan aliran politik Islam. Hal itu dapat dilihat dalam bukunya berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyyah, beliau membahas dasar-dasar politik dan pemerintahan dalam perspektif Islam. Pembahasan beliau dalam buku tersebut banyak berkaitan dengan upaya pelaksanaan prinsip-prinsip syariat Islam dan kemaslahatan umat. Artinya, untuk melaksanakan dua aspek ini dari segi siyasah syar’iyah memerlukan adanya lembaga sebagai instrument pelaksanaannya, yaitu pemerintahan.<br />Menurut Khallaf, pembagian kekuasaan adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari pemerintahan konstitusional yang bersendikan musyawarah. Kewenangan kepala negara berasal dari rakyat dan adanya pertanggung jawaban kepala negara. Lebih lanjut Khallaf menegaskan bahwa kekuasaan negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan membuat undang-undang (al-sulthat at-tasyri‟iyat), kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman (al-sulthat al-qadhaiyat), dan kekuasaan melaksanakan undang-undang (al-sulthat al-tanfiziyat) masing-masing istilah dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan legislatif, eksekutif dan kekuasaan yudikatif.<br />Adapun sumber hukum bagi pemerintahan Islam terdiri dari hukum dasar Ilahi yang disyariatkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan yang ditetapkan oleh lisan Rasul-Nya. Sumber ketiga menurut Khallaf adalah hukum produk ijtihad penguasa (wulat al-amr) yang tidak bertentangan dengan hukum dasar untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. <br /><br /><br />IV. KESIMPULAN<br />Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer:<br />1. Kemunduran Islam disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.<br />2. Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam yang berakhir dengan penjajahan.<br />3. Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.<br />Dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme.<br />Kelompok pertama memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah menyatu dan tidak terpisahkan, Kelompok kedua berpendapat bahwa agama dan politik melakukan hubungan timbal balik yang saling bergantung, Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan mendirikan negara.<br />Pemikiran para tokoh tentang politik islam kontemporer:<br />1. Ali Abdul Raziq <br />Merupakan tokoh yang paling kontroversial, terutama dengan terbitnya buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang berisi tentang penolakannya terhadap adanya hubungan antara syariah Islam dengan negara. Tugas nabi Muhammad menurutnya hanya sebagai penyampai ajaran agama murni dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Lebih dari itu, Alquran dan hadis dianggapnya tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang masalah khilafah dan negara.<br />Faktor-faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi munculannya ide kenegaraan Ali Abdul Raziq adalah: 1) Kondisi kerapuhan dan kemunduran umat Islam, 2) persentuhan dengan pendidikan Barat yang walau ditekuninya hanya setahun, tetapi memberi nuansa yang luas kepada pemikirannya, 3) pengaruh ide pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.<br />2. Muhammad Husain Haikal<br />Menurut Haikal sendiri menyatakan sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan. model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan, persaudaraan dan persamaan bagi manusia- sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem-sistem demokrasi dalam pengertian sekarang.<br />Ada beberapa prinsip dalam Negara islam demokrasi diantaranya yaitu:<br />• Prinsip persaudaraan<br />• persamaan dalam islam<br />• kebebasan prinsip islam yang mulia<br />Salah satu prinsip penting yang ditetapkan oleh Islam adalah menghormati perjanjian dan tidak merusaknya. Prinsip ini sangat esensial dalam kehidupan internasional Islam. Bagaimana Islam dan demokrasi bertemu dalam segala hal yang mendasar dan bahwa keduanya bertemu dalam prinsip-prinsip umum. Juga dalam asas legislative (tasyri’) dan hukum, dalam sistem pemerintahan, serta dalam aturan tentang hubungan internasional.<br />3. Abdul Wahab Khollaf<br />Menurut Khollaf kekuasaan negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan membuat undang-undang (al-sulthat at-tasyri‟iyat), kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman (al-sulthat al-qadhaiyat), dan kekuasaan melaksanakan undang-undang (al-sulthat al-tanfiziyat) dapat disebut juga kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.<br /><br />V. PENUTUP<br />Demikian makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami harap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, supaya pada penyusunan makalah di quarter selanjutnya bias lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi berbagai pihak Amin…<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Dahlan, Abd. al-Azis. et. el. (editor). Ensiklopedi Islam. Jilid I. Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1996.<br />Al-Rais, Dhiyauddin. al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq. Bandung: Pustaka, 1985<br />Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Surabaya: Risalah Gusti, 1995<br />Mulia, musdah, negara islam : pemikiran politik husain haikal , Jakarta: paradima, 2001<br />A.Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, cet.1 Yogyakarta: Jendela, 2003.<br />Haikal, Muhammad husain, al-hukamatul islamiyah, terj. Oleh tim pustaka firdaus, pustaka firdaus, Jakarta, Cet II, 1993.<br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-43529139400417408072013-06-25T17:20:00.001-07:002013-06-25T17:20:15.885-07:00PERKEMBANGAN SEJARAH FIQH SIYASAH PADA ERA REFORMASI DI INDONESIA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN<br /> Reformasi (islah) adalah perubahan sesuatu menuju kondisi yang lebih baik. Lawan kata reformasi adalah deformasi (ifsad). Gerakan reformasi adalah gerakan yang mengajak seluruh segmen masyarakat untuk memperbaiki apa yang telah rusak di berbagai bidang dan membawa kehidupan ke tingkat yang lebih tinggi dalam kemajuan manusia.<br />Dan, reformasi merupakan satu-satunya kunci pembuka jalan bagi demokrasi saat ini. ada yang mengatakan bahwa reformasi adalah proses redemokratisasi. Partai-partai politik, kekuasaan sosial, dan para aktor politik kini tengah berlomba untuk menawarkan beragam konsep dan program demokrasi dalam memasuki era Indonesia baru. Lebih-lebih dalam memasuki area pemilihan yang kini mulai menghangat aroma politiknya. Semua itu merupakan dinamika politik yang niscaya dalam kehidupan bangsa dan negara terasa semakin terbuka. <br />Namun, dibalik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi itu, agaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi sebagai kunci utama pembuka jalan bagi terwujudnya reformasi yang sesungguhnya. Sementara itu, kekuatan politik dan para elite politik justru mulai tergoda kemenangan dengan melakukan sejumlah manuver politik yang terkesan berseberangan dengan semangat demokrasi. <br />Untuk itu, dalam makalah ini akan kami paparkan tentang keadaan politik di era reformasi beserta peran Islam didalamnya. <br /><br />II. RUMUSAN MASALAH <br />A. Bagaimana kondisi dan situasi politik pemerintahan di Indonesia di era reformasi ? <br />B. Bagaimana munculnya pertumbuhan partai-partai Islam pada era reformasi?<br />C. Bagaimana nasib orang muslim dan kebijakan politik oleh kepemimpinan di era reformasi ? <br />D. Bagaimana analisis fiqh siyasah pada era reformasi ? <br /><br /><br /><br /><br />III. PEMBAHASAN <br />A. Kondisi dan Situasi Politik Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi<br />Sejarah konsepsi reformasi, berakar pada perubahan kehidupan agama di abad ke-16, dimana kekolotan ulama’ penguasa agama Katolik ditentang oleh kalangan sendiri yang melihat berbagai kejanggalan untuk kemudian melancarkan reformasi agama dalam bentuk aliran Protestan. Sejak itu, reformasi di praktikkan dalam berbagai aspek kehidupan dalam rangka menata ulang atau memperbaharui proses kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Sebagai konsepsi tentang program kehidupan reformasi tentunya dibedakan dengan evolusi dan revolusi. <br />Reformasi merupakan perubahan kehidupan masyarakat jalan tengah. Dalam rangka itu, pengertian dan proses reformasi bergerak diantara kemiripan atau kedekatan cirinya kepada evolusi dan revolusi. Mendekati evolusi, reformasi dimaknai sebagai perubahan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh semua pihak, berkenaan dengan perubahan seluruh aspek kehidupan, berlangsung secara perlahan atau dalam jangka panjang, dan berproses secara alami, dalam artian tanpa didasarkan kepada suatu rencana yang dipercepat. <br />Salah satu isu politik yang sering menempatkan Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara berdasarkan Pancasila. Umat islam mempunyai andi besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan. Namun, untuk mengisi negara merdeka, kelompok Islam tidak selalu berada pada posisi yang menentukan. <br />Sekarang di era reformasi ini, gejala demikian mungkin terulang kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Namun pada perkembangan selanjutnya gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam. Pengendalian reformasi dan kehidupan politik nasional akan berada pada pihak tau kelompok kepentingan politik yang menguasai sumber-sumber kekuatan politik (political resource). Di masa modern sekarang ini, sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada massa (M-1), tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik Islam mungkin mempunyai kekutan politik pada M-1 dan I-1, tetapi kurang apda M-2 dan I-2. Dua terakhir ini yang justru dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan politik lain.<br />Situasi politik Islam sering diperburuk oleh ketidak mampuan untuk keluar dari dilema itu sendiri hal ini diantara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik. <br /> Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problema mendasar dalam lehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis seperti menyangkut hubungan antara agamadan politik Islam, tetapi ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik yang majemuk. <br />B. Munculnya Pertumbuhan Partai-Partai Islam Pada Era Reformasi<br />Di era reformasi ini terdapat banyak partai Islam maupun partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti : Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Nahdhatul Ummat (PNU).<br />Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah euforia politik yang tidak terelekkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun lebih terkurung oleh kekuasaan absolut sentralistik. <br />Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup membawa harapan munculnya pemerintahan pasca Orde Baru yang demokratis. Hal itu tercermin dari kebebasan mendirikan partai politik. Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti pemilu 1999, termasuk di dalamnya partai-partai Islam. Keadaan ini juga mempengaruhi ulama’ untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai denngan posisinya.<br />Politik memang mampu membuat ulama’-ulama’ terpolarisasi sedemikian rupa. Kampanye pemilu tahun 1999 misalnya, diwarnai dengan menghamburnya para kyai untuk membela partai politiknya masing-masing sesuai dengan basisi keulama’annya. Ulama’ NU terdapat pada partai PKB, yang merupakan satu-satunya partai yang direstui PBNU. Secara individu, para kyai NU mendirikan partai-partai seperti PKU yang didirikan KH. Yusuf Hasyim, PNU oleh KH. Syukron Ma’mun, dan yang terpenting tentu PPP yang banyak didukung ulama’ NU seperti KH. Alawi Muhammad, KH. Maimun Zubair, serta kebanyakan ulama’ Betawi yang sangat berpengaruh pada kemenangan PPP di Jakarta. Selain ulama’-ulama’ NU ulama’ yang berasal dari Muhammadiyah dan generasi muda Masyumi turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada yang bergabung dalam PAN dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari Muhammadiyah, sedangkan PBB ingin membangkitkan kembali perjuangann Masyumi. Para mahasiswa dan halaqah-halaqah kampus turut mendirikan partai Islam Yaitu, Partai Keadilan yang menarik sebagian ulama’ yang merupakan alumnus Timur Tengah. <br />Belakangan dua partai PKB dan PAN menyatakan diri sebagai partai yang berasaakan Pancasila dan bersifat nasionalis tetapi basisnya adalah masa Islam. Oleh karena itu, menimbulkan pertanyaan apakah PKB dan PAN ini masuk sebaga partai beraliran nasionalisme atau Islamisme. Kehadiran ulama’ dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama’ adalah simbol moral. Namun, ketika ulama’ itu terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama’ dengan ulama’ lain saling berhadapan dalam membela partainya masing-masing. Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan dan dampaknya membingungkan rakyat, paling tidak akan memperlemah kekuatan Islam sendiri yang akhirnya sering dimanfaatkan oleh golongan (partai) lain. <br />C. Nasib Orang Muslim dan Kebijakan Politik oleh Kepemimpinan di Era Reformasi<br />1. Pada Masa Habibie<br />Pengangkatan Habibie sebagai presiden menandai berawalnya era baru bangsa Indonesia. Untuk menyahuti berbagai aspirasi yang berkembang, habibie menempuh berbagai kebijakan penting. Presiden Habibie membuka selebar-lebarnya peran demokrasi yang selama ini tersumbat. Ia memberi kesempatan yang luas berdirinya partai-partai dengan beragam ideologi dan membuka kebebasan pers. Habibie juga membebaskan tahanan-tahanan politik selama masa Soeharto dan membatalkan pencekalan atas tokoh-tokoh vokal selama ini. Ia juga mengarahkan kebijakan ekonomi pada kepentingan rakyat kecil dengan program jaring pengaman sosiai (JPS). <br />Menanggapi perjalanan B.J. Habibie yang menonjol dalam pemerintahan, Hal Hill, seorang sarjana pemerhati politik ekonomi di Indonesia dari Australian Nasional University, menulis : “Adalah sebuah kesalahan jika seorang menganggap Habibie melesat maju hanya karena dukungan presiden Soeharto, visi Habibie tentang Indonesia modern dan dinamis, yang telah membuat status Indonesia sebagai negara berkembang terbesar ketiga di dunia, telah menimbulkan getaran responsif dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sedangkan tekonokrat menyodorkan program pembangunan yang hati-hati, yang hany menekankan keunggulan komparatif Indonesia dalam industri-industri yang padat karya dan yang resource-processing. <br />2. Pada Masa Abdurrahman Wahid<br />Dalam sidang umum MPR 20 Oktober 1999 Abdurrahman wahid berhasil didudukkan sebagai presiden RI pertama dalam masa reformasi mengalahkan megawati. Keberhasilan Abdurrahman Wahid menjadi presiden dapat dipandang sebagai kemenangan sementara politik Islam atas kelompok nasionalis sekuler. <br />Bulan-bulan pertama pemerintahan Abdurrahman Wahid menunjukkan gabungan dari harapan, janji, visi, kebingungan, dan kekecewaan. Mengingat kondisi kesehatannya yang buruk dan kekuatan-kekuatan politk yang bersatu menentangnya, orang selalu dilanda kebimbangan dari minggu ke minggu mengenai dari apakah Gus Dur bisa bertahan baik secara kesehatan fisik maupun sebagai kepala negara terpilih. Namun, menampilkan energi yang luar biasa, tekat untuk menggulingkan unsur-unsur sentralistis semasa pemerintahan Soeharto, dan kesediaan untuk berpikir kreatif sehingga banyak pihak yang mengaguminya. Jadwal ketat kunjungan ke luar negeri menghasilkan banyak mitra luar negeri, serta berhasil mengurangi dukungan bagi kaum separatis GAM di Aceh, meskipun kunjungan yang sama juga menuai kritik bahwa Abdurrahman mengabakan isu-isu dalam negeri. <br />Abdurrahman memberikan suasana segar, tetapi juga menimbulkan pertayaan-pertanyaan kebijakan publik yang gegabah. Diantara sekian kritik yang ditujukan kepadanya adalah bahwa dia membingungkan rakyatnya. Abdurrahman juga mendorong pluralisme dan keterbukaan. Dia membolehkan umat Cina konfusius untuk melakukan perayaan secara terbuka. Dia mengatakan bahwa rakyat Aceh harus diberikan referendum seperti Timur Timor, namun kemudian menegaskan bahwa pilihan yang disediakan tidak termasuk pemisahan diri dari Indonesia. <br />Disamping itu, kesempatan untuk menyalah gunakan kekuasaan begitu melimpah. Koruptor-koruptor kaya merubung rezim Abdurrahman bagaikan sekawan ikan hiu yang mencium daging segar. Kemudian timbul tuduhan adanya perjanjian-perjanjian kotor yang melibatkan pejabat-pejabat utama bangsa, termasuk presiden. Pada pertengahan 2001, tampak jelas bahwa pola perilaku warisan masalalu tidak akan mudah diubah. Tidak ada yang mengatakan secara yakin apakah presiden dan orang-orang yang memilki taggung jawab publik yang besar dalam Indonesia baru, negara demokratis terbesar ketiga di dunia akan mampu mengendalikan, menyelidiki, menghapuskan, dan bahkan menolak kesempatan-kesempatan korupsi yang ada di sekeliling mereka. Masa kepresidenan Abdurrahman berakhir pada bula Juli 2001.<br />Gus Dur dihadapkan realitas masa bawah dari segi keamanan, Gus Dur harus mampu menciptakan stabilitas politik baru yang aman, damai dan menyejukkan rakyat di tengah pergulatan masa PDI P yang terlanjur fanatik, emosional dan bergerak secara masif di berbagai daerah Jawa. Akibatnya, kekalahan megawati dalam kondisi inilah Gus Dur dituntut arif, bijaksana dan akomodatif terhadap pergolan politik arus bawah. Karena Gus Dur InsyaAllah akan bisa mengayomi kelompok dengan beragam kepentingan. Jika ini tercatat dia akan menjadi presiden santri yang akomodatif di tengah pluralitas ide dan syarat politik. <br />Gus Dur menjadi head line utama dalam sikap keberagaman inklusif dalam perbedaan pendapat dan pluralitas tetapi juga mendukungnya. Jika selama ini muslim seringkali dipersiapkan Amerika dan Eropa sebagai militan fanatik dan anti Barat maka kunjungan Gus Dur tersebut menjungkirkan Amerika. <br />3. Pada Masa Megawati Soekarno Putri <br />Pada periode Juli 2001 sampai 2004 Presiden Indonesia adalah Megawati Soekarnoputri. Pemerintahannya harus menghadapi tantangan yang berat sekali. Dalam keadaan ekonomi dan politik siapa saja yang menjadi Presiden pasti menghadapi kesulitan yang besar. Secara umum, presiden Megawati bukan seorang yang mengilhami rakyat seperti ayahnya Bung Karno. Dia juga tidak memperlihatkan keterampilan dalam urusan-urusan pemerintahan seperti perekonomian, keamanan, politik luar negeri, administrasi umum, dan sebagainya. Diantara persoalan-persoalan yang belum diatasi adalah KKN dan suatu perkembangan yang sangat menganggu harapan banyak orang adalah terorisme.<br />Megawati naik ke pucuk pimpinan RI membawa tiga masalah besar dalam kaitannya dengan politik Islam, sehingga belum dapat sepenuhnya diterima umat Islam. Pertama, Megawati dipandang masih “belum jelas” keislamannya. Media massa pernah memuatnya berada di pura di Bali dalam suatu acara keagamaan. Foto ini dijadikan serangan oleh umat Islam terhadap agama Megawati. Kedua, megawati ditengarai banyak dikelilingi oleh tokoh-tokoh yang kurang bersahabat dengan Islam. PDI-P dicitrakan sebagai partai kaum abangan dan kelompok non muslim radikal. Ketiga, Megawati juga bermasalah secara teologis. Ia harus berjuang melepas bias gender yang dikaitkan dengan agama. Dalam pandangan Islam, presiden wanita masih menjadi kontroversi. Dengan kata lain, keberadaannya masih belum sepenuhnya dapat diterima dari sudut agama. <br />Sewaktu Indonesia menghadapi banyak sekali tantangan seperti yang dibicarakan di atas, demokrasi mengakar dengan cara yang mengesankan. Perkembangan yang paling menonjol adalah: dukungan untuk PDIP turun drastis, dukungan untuk Golkar relatif stabil, PKB turun tapi masih kekuatan politik yang berarti, munculnya partai-partai baru, terutama partai Demokrat yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono. <br />4. Pada Masa Susilo Bambang Yudhoyono <br />Dari pemilihan presiden terdapat perkembangan baru yang menarik. Pemilihan presiden 2004, sesuai dengan amanat UUD 1945 yang telah diamandemen, dilakukan oleh seluruh rakyat yang berhak, bukan lagi oleh MPR. Dalam pemilu langsung yang pertama ini muncul lima pasangan calon presiden-wakil presiden, yaitu Susilo bambang Yudhoyono, Megawati-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, dan hamzahaz-Agum Gumelar. Dari pasangan-pasangan tersebut NU terpecah dengan bersaingnya Hasjim Muzadi dan Sholahuddin Wahid di posisi wakil presiden. Sementara di sisi lain, meskipun ke-10 calon tersebut semuanya beragama Islam, dari sudut kepentingan politik Islam tersebut semuanya beragama Islam, dari sudut kepentingan politik Islam terdapat persaingan antara M. Amien Rais dan Hamzah Haz. <br />Pemilu ini berlangsung dua putaran. Pada putaran pertama keluar dua pemenang, yaitu pasangan SBY-Kalla dan Mega –Hasyim. Selanjutnya, pada putaran kedua pasangan SBY-Kalla akhirnya dapat memenangkan pertarungan menuju kursi RI 1 dan 2. Dalam putaran kedua pemilu presiden langsung ini, partai-partai Islam lebih suka merapat pada pasangan SBY-Kalla. Sebagai imbalan, dalam penyusunan kabinet Indonesia bersatu, partai-partai pendukung SBY-Kalla memperoleh jatah menteri. <br />Pasangan SBY-Kalla melakukan hal-hal yang signifikan dalam upaya perbaikan kehidupan rakyat. Diantara capaian mereka adalah rekonsiliasi Aceh berdasarkan perjanjian Halsinki antara Indonesia gerakan Aceh Merdeka. SBY-Kalla juga mengucurkan program bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin. Setelah menaikkan harga BBM sebanyak tiga kali, presiden SBY akhirnya secara bertahap menurunkan kembali harga minyak.<br />Ini dianggap sebagai program yang membantu rakyat, sehingga dalam pemilihan presiden 2009, SBY yang kemudian berpasangan dengan Boediono dapat memenangi kembali pertarungan mengalahkan pasangan megawati-prabowo dan Yusuf Kalla-Wiranto. Berbeda dengan pemilu lima tahun sebelumnya, pemilu 2009 berlangsung hanya satu putaran, karena pasangan SBY-Boediono berhasil mengumpulkan lebih dari 60% suara. Kemenangan SBY-Boediono dalam pemilu 2009 sebagian besar mendapat dukungan dari partai-partai Islam seperti PKS, PPP, PBB dan PAN. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />IV. ANALISIS <br />Dalam konteks ke Indonesian, hubungan Islam dan negara mengalami dinamika dan perkembangan. Umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia berusaha memberi kontribusi berharga bagi perkembangan kenegaraan Indonesia. <br />Di era reformasi awal para ulama kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk memenangkan partainya sesuai dengan basis keulamaannya. Inilah yang menimbulkan beragam partai-partai Islam muncul di Indonesia. <br />Kehadiran para ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral. Namun ketika para ulama itu terpolarisasi sedemikian rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan ulama lain saling berhadapan dalam membela partainya masing-masing. Inilah reformalisasi politik Islam di Indonesia yang mengambil bentuk menjadikan Islam sebagai simbol dan asas partai. <br />Fenomena maraknya partai Islam dan partai dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai Islam merupakan buah euforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul, yang selama 30 tahun lebih terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.<br />A. DAFTAR PARTAI POLITIK TAHUN 2004<br /><br /><br /><br />NO. TAHUN PARPOL ISLAM/ NON ISLAM TOKOH<br />1. 2004 PARTAI NASIONAL INDONESIA MARHAENISME DM Sukmawati Soekarnoputri<br />2. 2004 PARTAI BURUH SOSIAL DEMOKRAT Muchtar Pakpahan<br /><br />3. 2004 PARTAI BULAN BINTANG Yuzril Ihza Mahendra<br />4. 2004 PARTAI MERDEKA Adi Sasono<br />5. 2004 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN Hamzah Haz<br />6. 2004 PARTAI PERSATUAN DEMOKRASI KEBANGSAAN M Ryaas Rasyid<br />7. 2004 PARTAI PERHIMPUNAN INDONESIA BARU Sjahrir<br />8. 2004 PARTAI NASIONAL BANTENG KEMERDEKAAN Eros Djarot<br />9. 2004 PARTAI DEMOKRAT S Budhisantoso<br />10. 2004 PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA Jend TNI (Purn) Edi Sudrajat<br />11. 2004 PARTAI PENEGAK DEMOKRASI INDONESIA H Dimmy Haryanto<br />12. 2004 PARTAI PERSATUAN NADLATUL UMMAH INDONESIA KH Syukron Ma'mun<br />13. 2004 PARTAI AMANAT NASIONAL HM Amien Rais<br />14. 2004 PARTAI KARYA PEDULI BANGSA Jend TNI (Purn) HR Hartono<br />15. 2004 PARTAI KEBANGKITAN BANGSA Alwi Abdurrahman Shihab<br />16. 2004 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA Hidayat Nur Wahid<br />17. 2004 PARTAI BINTANG REFORMASI KH Zainuddin MZ<br />18. 2004 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN Megawati Soekarnoputri<br />19. 2004 PARTAI DAMAI SEJAHTERA Ruyandi Hutasoit<br />20. 2004 PARTAI GOLONGAN KARYA Akbar Tandjung<br />21. 2004 PARTAI PATRIOT PANCASILA KRMH Japto S Soerjosoemarno<br />22. 2004 PARTAI SARIKAT INDONESIA H Rahardjo Tjakraningrat<br />23. 2004 PARTAI PERSATUAN DAERAH Oesman Sapta<br /><br />24. 2004 PARTAI PELOPOR Rachmawati Soekarnoputri<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />A. DAFTAR PARTAI POLITIK TAHUN 2009<br /><br />NO. TAHUN PARPOL ISLAM/ NON ISLAM TOKOH<br />1. 2009 PARTAI HATI NURANI RAKYAT<br />Wiranto<br />2. 2009 PARTAI KARYA PEDULI BANGSA <br />Jenderal. TNI (Purn) H. HARTONO<br />3. 2009 PARTAI PENGUSAHA DAN PEKERJA INDONESIA<br />DANIEL HUTAPEA<br />4. 2009 PARTAI PEDULI RAKYAT NASIONAL<br />AMELIA ACHMAD YANI<br />5. 2009 PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA<br />Prof. Dr. Ir. SUHARDI , M.Sc<br />6. 2009 PARTAI BARISAN NASIONAL<br />Vence Rumangkang<br />7. 2009 PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA<br />Meutia Hatta Swasono<br />8. 2009 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA<br />Ir. H. Tifatul Sembiring.<br />9. 2009 PARTAI AMANAT NASIONAL<br />Soetrisno Bachir<br />10. 2009 PARTAI PERJUANGAN INDONESIA BARU<br />Dr. Nurmala Kartini Sjahrir<br />11. 2009 PARTAI KEDAULATAN<br />H. Ibrahim Basrah, SH<br />12. 2009 PARTAI PERSATUAN DAERAH<br />DR. OESMAN SAPTA<br />13. 2009 PARTAI KEBANGKITAN BANGSA<br />H. A. Muhaimin Iskandar, M.Si.<br />14. 2009 PARTAI PEMUDA INDONESIA<br />HASANUDDIN YUSUF<br />15. 2009 PARTAI NASIONAL INDONESIA MARHAENISME<br />DM SUKMAWATI SUKARNOPUTRI<br />16. 2009 PARTAI DEMOKRASI PEMBARUAN<br />H. Roy BB Janis, SH, MH<br />17. 2009 PARTAI KARYA PERJUANGAN<br />Jackson A Kumaat<br />18. 2009 PARTAI MATAHARI BANGSA<br />IMAM ADDARUQUTNI<br />19. 2009 PARTAI PENEGAK DEMOKRASI INDONESIA<br />Mentik Budiwiyono<br />20. 2009 PARTAI DEMOKRASI KEBANGSAAN<br />Muhammad Ryaas Rasyid<br />21. 2009 PARTAI REPUBLIKA NUSANTARA<br />Letjen (Purn) Syahrir, MS,SH, MM<br />22. 2009 PARTAI PELOPOR<br />Eko Suryo Sancoyo<br />23. 2009 PARTAI GOLONGAN KARYA<br />Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla<br />24. 2009 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN<br />Suryadharma Ali<br />25. 2009 PARTAI DAMAI SEJAHTERA<br />dr. Ruyandi Hutasoit, Sp.U<br />26. 2009 PARTAI NASIONAL BENTENG KERAKYATAN INDONESIA<br />Erros Djarot<br />27. 2009 PARTAI BULAN BINTANG<br />MS KABAN<br />28. 2009 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN<br />Megawati Soekarnoputri<br />29. 2009 PARTAI BINTANG REFORMASI<br />BURSAH ZARNUBI, SE<br />30. 2009 PARTAI PATRIOT<br />Japto S Soemarno<br />31. 2009 PARTAI DEMOKRAT<br />Hadi Utomo, S.H., M.M.<br />32. 2009 PARTAI KASIH DEMOKRASI INDONESIA<br />Stefanus Roy Rening, SH.,MH.<br />33. 2009 PARTAI INDONESIA SEJAHTERA<br />Budiyanto Darmastono<br />34. 2009 PARTAI KEBANGKITAN NASIONAL ULAMA<br />Choirul Anam<br />35. 2009 PARTAI MERDEKA<br />Rosmawi Hasan<br />36. 2009 PARTAI PERSATUAN NAHDLATUL UMMAH INDONESIA<br />KH Syukron Makmun.<br />37. 2009 PARTAI SARIKAT INDONESIA<br />Mardinsyah<br />38. 2009 PARTAI BURUH<br />DR. Muchtar Pakpahan, SH. MA <br /><br /><br /><br />B. DAFTAR PARTAI POLITIK TAHUN 2014<br />NO. TAHUN PARPOL ISLAM/ NON ISLAM TOKOH<br />1. 2014 PARTAI NASDEM Surya Paloh<br />2. 2014 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) <br /> Muhammad Anis Matta<br />3. 2014 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (PDIP) Megawati Soekarnoputri<br />4. 2014 PARTAI GOLONGAN KARYA (GOLKAR) H. Aburizal Bakrie<br />5. 2014 PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA (GERINDRA) Prof. Dr. Ir. Suhardi, M.Sc.<br />6. 2014 PARTAI DEMOKRAT Dr. Susilo Bambang Yudhoyono<br />7. 2014 PARTAI AMANAT NASIONAL (PAN) M. Hatta Rajasa<br />8. 2014 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP) Drs. H. Suryadharma Ali, M.Si.<br />9. 2014 PARTAI HATI NURANI RAKYAT (HANURA) H. Wiranto<br />10. 2014 PARTAI BULAN BINTANG (PBB) <br /> Dr. H. MS. Kaban, SE, M.Si<br />11. 2014 PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA (PKPI) Letjen TNI (Purn) Dr. (Hc) H. Sutiyoso, SH y<br /><br />12. 2014 PARTAI KEBANGKITAN BANGSA<br />Letjen TNI (Purn) Dr. (Hc) H. Sutiyoso, SH <br /> <br /><br />V. KESIMPULAN <br />Gerakan reformasi adalah gerakan yang mengajak seluruh segmen masyarakat untuk memperbaiki apa yang telah rusak di berbagai bidang dan membawa kehidupan ke tingkat yang lebih tinggi dalam kemajuan manusia.<br />Di era reformasi ini terdapat banyak partai Islam maupun partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti : PPP, PSII, PUI, PBB, PAN, PKB, PKU, dan PNU<br />Kondidi kepemimpinan presiden Indonesia era reformasi yaitu: Pertama, Presiden Habibie membuka selebar-lebarnya peran demokrasi yang selama ini tersumbat. Kedua, Keberhasilan Abdurrahman Wahid menjadi presiden dapat dipandang sebagai kemenangan sementara politik Islam atas kelompok nasionalis sekuler. Ketiga, persiden Megawati Soekarno Putri, Diantara persoalan-persoalan yang belum diatasi adalah KKN dan terorisme. Keempat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan hal-hal yang signifikan dalam upaya perbaikan kehidupan rakyat, seperti adanya BLT, dan kebijakan lainnya.<br /><br />VI. PENUTUP <br />Demikianlah makalah yang dapat kami susun dengan judul “perkembangan sejarah fiqh siyasah pada era reformasi di indonesia”. Kami menyadari banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapan demi evaluasi makalah kami selanjutnya. Semoga apa yang dijelaskan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca yang budiman.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.<br /><br />Abuddin Nata, editor, Problematika Politik Islam Di Indonesia, Jakarta: Grasindo 2002.<br /><br />Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.<br /><br />Muhammad Iqbal, Amin Husain Nasution, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana 2010.<br /><br />Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra 2010.<br /><br />M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Satrio Wahono, Dkk, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.<br /> <br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-70198889074090715272013-06-25T17:18:00.000-07:002013-06-25T17:18:04.307-07:00PERKEMBANGAN SEJARAH FIQH SIYASAH PADA MASA KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA II<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Fiqh siyasah merupakan salah satu kajian dalam ilmu fiqh. Maka dengan mempelajarinya meperkaya khazanah keilmuan Islam. Dimana kita dapat belajar dari masa lalu terkait dengan situasi politik yang terjadi ketika itu. Serta mengambil nilai-nilai positif demi kemajuan umat Islam di masa mendatang.<br />Indonesia merupakan bagian dari negara-negara di dunia yang banyak menganut ajaran Islam. Bahkan, sekarang negara kita ini menjadi negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan melihat sejarah Indonesia, kita akan menemukan banyak kerajaan-kerajaan di masa lalu yang merupakan kerajaan Islam.<br />Maka pada makalah ini, akan kami bahas tentang beberapa kerajaan Islam yang ada di nusantara ini, khususnya yang ada di Kalimantan, Sulawesi dan NTT.<br /><br />II. KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN<br />A. Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan<br />1. Sistem pemerintahannya kerajaan yang berdiri tahun 1526 dan merupakan penerus dari Kerajaan Daha yaitu kerajaan yang bercorak Hindu.<br />2. Daftar raja-raja (Lihat tabel.)<br />3. Dinamika sosial dan politik<br />a. Kondisi sosial politik<br />Ketika Belanda datang pada masa kekuasaan Sultan Musta’inullah, terjadi kericuhan yang mengakibatkan ibu kota kerajaan ini harus berpindah-pindah tempat hingga beberapa kali, yaitu: dari Amuntai ke Tambangan, kemudian ke Batang Banju, dan akhirnya kembali ke Amuntai. <br />b. Perundangan dan hukum<br />Tidak ditemukan adanya perundangan yang tertulis, sebab langsung diperintah oleh Sultan.<br />c. Administrasi Kerajaan/Sistem Pemerintahan<br />1) Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan<br />2) Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda<br />3) Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.<br />4) Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti pada masa Hindia Belanda.<br />5) Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keratin.<br />6) Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng.<br />7) Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur.<br />8) Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.<br />9) Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dan lain-lain.<br />10) Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu.<br />11) Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman/istana.<br />12) Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu.<br />13) Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan.<br />14) Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan.<br />15) Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.<br />16) Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara.<br />17) Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.<br />18) Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah.<br />19) Singabana : Kepala ketenteraman umum.<br />d. Peradilan<br />Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.<br />Pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah ada perubahan jabatan, yaitu:<br />1) Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum<br />2) Qadi : kepala urusan hukum agama Islam<br />3) Penghulu : hakim rendah<br />e. Hubungan internasional<br />Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.<br />4. Kemajuan yang dicapai<br />a. Keilmuan dan teknologi<br />Tidak ditemukan data yang menyebutkan tentang kemajuan keilmuan dan teknologi di sini.<br />b. Ekonomi dan perpajakan<br />Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.<br />c. Perdagangan, industri dan pertanian<br />Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. <br />d. Militer dan pertahanan<br />Kerajaan Banjar telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain.<br />5. Perluasan wilayah Kerajaan<br />Karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari Kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636. Kesultanan Pasir juga ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.<br />6. Kemunduran Kerajaan<br />Kerajaan Banjar sempat dikuasai oleh Belanda, namun pada akhirnya dapat direbut kembali oleh rakyat Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. <br />a. Internal<br />Pengangkatan pangeran Tamjid (1857-1859 M) sebagai pengganti Sultan Adam (1825-1857 M), memicu timbulnya kericuhan di kalangan masyarakat, karena ia adalah cucu dari selir, yang menurut tradisi tidak berhak menduduki jabatan Sultan. Serta akhlak pangeran Tamjid yang kurang baik dan hubungannya dengan Belanda yang sangat dekat sehingga tidak disenangi oleh rakyat.<br />b. Eksternal<br />Setelah pengangkatan itu, Belanda kembali memasuki persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Kolonel Andersen sengaja didatangkan dari Batavia untuk meneliti kericuhan itu. Hingga ia berkesimpulan bahwa pangeran Tamjid adalah sumber kericuhan tersebut. Ia kemudian diturunkan dari tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda. <br />Pengambilan kekuasaan itu justru menimbulkan protes dari rakyat yang kemudian bersatu untuk merebut kembali kekuasaan yang diambil oleh Belanda.<br /><br /><br />7. Analisis<br />Dari pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa di kerajaan Banjar telah ada suatu sistem politik pemerintahan dengan adanya pejabat-pejabat yang membantu Sultan dalam mengatur tatanan pemerintahannya serta ada juga jabatan yang khusus mengatur masalah hukum dalam lingkup kerajaan dan masyarakatnya.<br />Namun kurangnya kewaspadaan terhadap masuknya pengaruh luar, yang dalam hal ini khususnya adalah Belanda, bisa kita ambil pelajaran.<br /><br />B. Kesultanan Kutai (1300-1960 M)<br />1. Sistem pemerintahannya kerajaan yang dipimpin oleh seorang Sultan. Merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.<br />2. Daftar Sultan (Lihat tabel.)<br />3. Sistem politik<br />Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:<br />a. Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan.<br />b. Aji Ratu : gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.<br />c. Aji Pangeran : gelar bagi putera Sultan.<br />d. Aji Puteri : gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.<br />e. Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.<br />f. Aji Bambang : gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.<br />g. Aji : gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.<br />Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).<br />Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:<br />a. Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.<br />b. Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.<br />Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.<br />4. Ekonomi<br />Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar.<br /><br />C. Kerajaan Pontianak<br />1. Sistem pemerintahannya kerajaan monarki absolut islam yang dipimpin oleh seorang Sultan. Kesultanan Kadriah Pontianak didirikan pada tahun 1771 oleh al-Sayyid Syarif 'Abdurrahman al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan Banjarmasin (Ratu Syarif Abdul Rahman, puteri dari Sultan Sepuh Tamjidullah I). Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadariah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.<br />2. Daftar Sultan (Lihat tabel.)<br />3. Sistem politik<br />4. Ekonomi<br />5. Hukum<br /><br />III. KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI<br />A. Kerajaan Gowa-Tallo<br />1. Sistem pemerintahannya kerajaan. Kerajaan Gowa dan Tallo ini adalah dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan saling berbatasan serta berhubungan baik. Banyak orang kemudian mengenal keduanya sebagai kerajaan Makassar.<br />2. Daftar raja-raja (Lihat tabel.)<br />a. Raja Alauddin (1591-1636) <br />Beliau masuk Islam pada tahun 1605 dan menjadi raja pertama yang beragama Islam di kerajaan Makasar ini. Kebijakan politiknya yaitu menolak bekerja sama dengan Belanda yang hendak memaksakan sistem monopoli perdagangan. Alauddin wafat pada tahun 1639. <br />b. Muhammad Said (1639-1653)<br />Beliau meneruskan kebijakan politik Ayahnya yang anti Belanda. Berkali-kali Belanda menyodorkan tawaran kerja sama perdagangan tapi selalu ditolak. Muhammad Said wafat pada tahun 1653.<br />c. Sultan Hasanuddin (1654-1669)<br />Masa pemerintahannya menjadi masa pemerintahan yang gemilang bagi kerajaan Makassar. Selain memajukan perdagangan, ia juga mengadakan ekspansi wilayah. Di bawah pemerintahnnya, Kerajaan Makassar berhasil menguasai kerajaan-kerajaan kecil di sulawesi selatan, yaitu Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. <br />Dalam menghadapi Belanda, Sultan Hasanuddin bersikap lebih tegas dengan menyerang benteng Belanda hingga membuat Armada laut Belanda kewalahan.<br />3. Politik<br />Politik yang digunakan adalah politik bebas, yang artinya bebas berhubungan dengan pihak manapun atas dasar kerja sama yang saling menguntungkan. <br />Makasar memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan kerajaan Ternate di Maluku. <br />Sejak pertengahan abad ke-16, Gowa memiliki saingan politik yang saling bersaing dalam hal pengaruh dan berambisi memperluas kekuasaan, yaitu Kerajaan Bone. Dan terus terjadi konflik diantara keduanya.<br />4. Hukum di kerajaan Gowa-Tallo <br />Sebelum Islam sudah ada 4 unsur yang mengawasi negara, yaitu: <br />a. Ade, yang mengawasi rakyat.<br />b. Rampang, yang memperkuat negara.<br />c. Wari, yang memperkuat ikatan keluarga.<br />d. Bicara, yang mengawasi perbuatan yang sewenang-wenang.<br />Setelah Islam, unsur itu ditambah satu lagi, yaitu Sara’; kewajiban agama. Untuk itu dibentuk lembaga yang dinamakan Parewa Sara’; pejabat agama, sebagai pendampin Parewa Ade; pejabat adat.<br />Hal ini dilakukan untuk menciptakan aturan-aturan sosial yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama.<br />5. Ekonomi <br />Kerajaan Makasar merupakan Kerajaan Maritim yang terkenal serta penghasil rempah-rempah. Pelaut Makasar mengembangkan perahu-perahu layar jenis Pinisi dan Lambo. Masyarakatnya sejahtera berkat majunya perdagangan di sana.<br />Sebagaimana disebutkan oleh Nur Huda dalam bukunya “Islam Nusantara”, bahwa corak kerajaan yang pusat pemerintahannya di pesisir-pesisir merupakan kerajaan maritim lebih menitikberatkan kehidupan ekonominya pada perdagangan dan kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan laut. <br />6. Analisis<br />Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makasar merupakan kerajaan yang sudah baik dalam sistem perpolitikannya, hal ini bisa kita lihat dari telah adanya unsur badan-badan pengawas negara, yaitu Ade, Rampang, Wari, Bicara dan Sara’.<br />Namun selain politik yang mengatur ke dalam kerajaan, perlu juga sistem politik yang berkaitan dengan hubungan ke luar. Hal ini sudah cukup diperlihatkan dengan baik oleh kerajaan Makassar ini, dimana ia telah mampu menguasai kerajaan-kerajaan kecil di sulawesi selatan, yaitu Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. juga melakukan ekspansi ke daerah-daerah sekitarnya.<br /><br />IV. KERAJAAN ISLAM DI MALUKU<br />A. Kerajaan Ternate<br />1. Sistem pemerintahannya kerajaan, yang dipimpin oleh seorang raja. Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17.<br />2. Daftar raja (Lihat tabel.)<br />3. Sistem politik<br />Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.<br />Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll.<br />4. Ekonomi<br />Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Perdagangan yang maju di Maluku adalah rempah – rempah Pala dan Cengkih. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.<br /><br />V. ANALISIS FIQH SIYASAH PADA KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA<br />Kerajaan Islam di Indonesia, khususnya yang ada di Kalimantan dan Sulawesi, sudah menggunakan sistem perpolitikan baik yang kaitannya dengan sistem pemerintahan yang mengatur ke dalam, maupun yang ke luar.<br />Hal ini dibuktikan dengan adanya jabatan-jabatan yang diberikan rajanya untuk membantu mengatur sistem kerajaan yang ada. Meski kami belum menemukan sistem perundangan yang mengatur secara resmi sistem pemerintahannya, namun dengan adanya Raja atau Sultan sebagai kepala pemerintahannya, dapat kita simpulkan bahwa Raja-lah yang mengatur dan memerikan instruksi secara langsung. <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Huda, Nur, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007) cet.I<br />T. Ibrahim, dan Darsono, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009) <br />Tim Abdi Guru, Ayo Belajar Agama Islam SMP Jilid 3 (Jakarta: Erlangga, 2007) <br />Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) cet.23<br />http://Wikipedia/KesultananBanjar.com diakses pada selasa, 23 april 2013<br />http://Wikipedia/nusatenggaratimur.com diakses pada sabtu 27 April 2013<br />http://Wikipedia/KesultananGowa.com diakses Pada Selasa 23 April 2013<br />http://Wikipedia/KesultananKutai.com diakses pada sabtu, 25 Mei 2013<br />http://Wikipedia/KesultananPontianak.com diakses pada sabtu, 25 Mei 2013<br />http://Wikipedia/KesultananTernate.com diakses pada sabtu, 25 Mei 2013<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />TABEL DAFTAR RAJA-RAJA KALIMANTAN<br />I. Kerajaan Banjar<br />No. Raja (Tahun Pemerintahan) Kemajuan yang dicapai<br />1. Pangeran Samudera / Sultan Suryanullah / Suriansyah (1520-1546 M) <br />2. Sultan Rahmatullah (1547-1570 M) <br />3. Sultan Hidayatullah (1571-1595 M) <br />4. Sultan Musta’inullah / Sultan Mustain Billah/Marhum Panambahan (1596-1641 M) <br />5. Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah (1642-1646 M)<br /><br />6. Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah (1647-1660 M)<br /><br />7. Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah (1661-1663 M)<br /><br />8. Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah (1664-1679 M)<br /><br />9. Sultan Agung/Pangeran Suryanata II bin Sultan Inayatullah (1664-1679 M)<br /><br />10. Sultan Amrullah Bagus Kasuma/Suria Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah (1679-1700 M)<br /><br />11. Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning bin Sultan Amrullah (1700-1717 M)<br /><br />12. Panembahan Kasuma Dilaga/Tahlilullah (1717-1730 M)<br /><br />13. sultan il-hamidullah/Sultan Kuning bin Sultan Tahmidullah I (1730-1734 M)<br /><br />14. Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahmidullah I (1734-1759 M)<br /><br />15. Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan Kuning (1759-1761 M)<br /><br />16. Sunan Nata Alam bin Sultan Tamjidullah I (1761-1801 M)<br /><br />17. Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II (1801-1825 M)<br /><br />18. Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah (1825-1857 M)<br /><br />19. Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1857-1859 M)<br /><br />20. Sultan Hidayatullah Halilillah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1859-1862 M)<br /><br />21. Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1862 M)<br /><br />22. Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (1862-1905 M)<br /><br />23. Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah bin Gusti Jumri bin Gusti Umar bin Pangeran Haji Abubakar bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah (2010 M)<br /><br /><br />II. Kesultanan Kutai<br />No. Raja (Tahun Pemerintahannya) Kemajuan yang dicapai<br />1. Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)<br />Raja pertama Kutai Kartanegara yang mendirikan kerajaannya di Kutai Lama.<br /><br />2. Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)<br /><br />3. Aji Maharaja Sultan (1360-1420)<br /><br />4. Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)<br /><br />5. Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)<br /><br />6. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (abad ke-16) sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya.<br /><br />7. Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)<br />Raja Kutai Kartanegara pertama yang memeluk agama Islam, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara.<br />8. Aji Dilanggar (1610-1635)<br /><br />9. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)<br />Raja yang menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.<br />10. Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)<br /><br />11. Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)<br /><br />12. Aji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)<br />Ratu pertama yang memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara<br />13. Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1710)<br /><br />14. Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1710-1735)<br /><br />15. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778)<br />Merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura<br />16. Sultan Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)<br />Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.<br /><br />17. Aji Imbut/Sultan Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)<br /><br />18. Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)<br /><br />19. Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)<br /><br />20. Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)<br /><br />21. Aji Muhammad Parikesit (1920-1960) <br />*Sultan terakhir setelah pemerintahan kesultanan berakhir pada tahun 1960<br /><br />22. Haji Aji Muhammad Salehuddin II (1999-kini) *Ditetapkan sebagai Sultan Kutai pada tahun 1999 setelah Kesultanan Kutai dihidupkan kembali. Namun upacara penobatan baru dilaksanakan pada 22 September 2001<br /><br /><br />III. Kesultanan Pontianak<br />No. Raja (Tahun Pemerintahannya) Kemajuan yang dicapai<br />1. Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie bin Habib Husein Alkadrie (1 September 1778 – 28 Februari 1808) <br />2. Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (28 Februari 1808 – 25 Februari 1819) <br />3. Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (25 Februari 1819 – 12 April 1855) <br />4. Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie (12 April 1855 – 22 Agustus 1872) <br />5. Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie (22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895) <br />6. Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie (15 Maret 1895 – 24 Juni 1944) <br />7. Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie) (29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978) <br />8. Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (15 Januari 2004 – Sekarang) <br /><br /><br />TABEL DAFTAR RAJA-RAJA SULAWESI<br />Kerajaan Gowa-Tallo/Makassar<br />No. Raja (Tahun Pemerintahan) Kemajuan yang dicapai<br />1. Raja Alauddin (1591-1636) <br />2. Muhammad Said (1639-1653) <br />3. Sultan Hasanuddin (1654-1669) <br />4. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'<br />Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.<br /><br />5. I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna <br />6. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara<br />Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681<br /><br />7. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)<br /><br />8. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)<br /><br />9. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi <br />10. I Manrabbia Sultan Najamuddin <br />11. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)<br /><br />12. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)<br /><br />13. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)<br /><br />14. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)<br /><br />15. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)<br /><br />16. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)<br /><br />17. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)<br /><br />18. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)<br /><br />19. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)<br /><br />20. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)<br /><br />21. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)<br /><br />22. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na (18 Mei 1895-13 April 1906)<br />Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906.<br /><br />23. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)<br /><br />24. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.<br /><br /><br />TABEL DAFTAR RAJA-RAJA MALUKU<br />Kerajaan Ternate<br />No. Raja (Tahun Pemerintahan) Kemajuan yang dicapai<br />1. Kolano Marhum (1465-1486) penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana.<br />2. Zainal Abidin (1486-1500) Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate.<br />3. Sultan Bayanullah (1500-1521)<br />Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate.<br />4. Sultan Dalayu/ Hidayatullah (1522 – 1529)<br /><br />5. Sultan Abu Hayat II (1529 – 1533)<br /><br />6. Sultan Tabariji 1533 - 1534 <br /><br />7. Khairun Jamil 1535 – 1570<br />sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal.<br />8. Babullah Datu syah 1570 – 1583<br />setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575.<br />Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau”.<br />9. Said Barakat syah 1583 - 1606 <br />10. Mudaffar Syah I 1607 – 1627 tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol.<br />11. Hamzah 1627 – 1648 Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah.<br />12. Mandarsyah 1648 - 1650 (masa pertama) Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda.<br />13. Manila 1650 – 1655 <br />14. Mandarsyah 1655 - 1675 (masa kedua) <br />15. Sibori 1675 - 1689 Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.<br />16. Said Fatahullah 1689 – 1714 <br />17. Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin 1714 – 1751 <br />18. Ayan Syah 1751 – 1754 <br />19. Syah Mardan 1755 – 1763 <br />20. Jalaluddin 1763 - 1774 <br />21. Harunsyah 1774 – 1781 <br />22. Achral 1781 – 1796 <br />23. Muhammad Yasin 1796 – 1801 <br />24. Muhammad Ali 1807 – 1821 <br />25. Muhammad Sarmoli 1821 - 1823 <br />26. Muhammad Zain 1823 – 1859 <br />27. Muhammad Arsyad 1859 – 1876 <br />28. Ayanhar 1879 – 1900 <br />29. Muhammad Ilham (Kolano Ara Rimoi) 1900 – 1902 <br />30. Haji Muhammad Usman syah 1902 – 1915 tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak – abrik. <br />Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.<br />31. Iskandar Muhammad Jabir syah 1929 – 1975 <br />32. Drs. Haji Mudaffar Syah (Mudaffar II) 1975 – sekarang <br /><br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-70251027374831868032013-06-25T17:13:00.002-07:002013-06-25T17:13:51.240-07:00AR-RIDDAH ( MURTAD)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. PENDAHULUAN<br />Asas negara pada abad pertengahan berbeda dengan asas negara modern. Pada abad pertengahan pemikiran tentang suatu negara belum jelas dan tertata, ketika itu agama merupakan pondasi negara, sebagaimana agama merupakan lambang kebangsaan atau nasionalisme. Di daerah Timur, Islam merupakan negara sedangkan di Barat, Kristen adalah negara. Seorang muslim akan menjadi warga negara di setiap masyarakat muslim atau kelompok muslim, sebagaimana seorang nasrani yang menjadi warga negara atau anggota di masyarakat atau kelompok kristen. Dan kelompok minoritas selalu mendapat perlindungan dari kelompok mayoritas. Maka ketika seseorang yang keluar dari agama ia dianggap telah melakukan pengkhianatan, karena ia dianggap telah bergabung dengan agama musuh mereka, yaitu negara mereka. Karena itu hukuman bagi seorang yang keluar dari Islam adalah sangat berat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. bahwa beliau bersabda: Artinya: Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku Rasulullah kecuali dengan tiga cara yaitu: janda yang berzina, menghilangkan nyawa, dan meninggalkan agamanya untuk memisahkan dari kelompok.<br />Namun negara memberikan kebebasan warganya dalam beragama dan kebebasan dalam melaksanakan syi’ar agama masing-masing. Tidak ada perbedaan warganya hanya karena perbedaan agama dan keyakinan. Hal tersebut dikarenakan negara didirikan bukan berasaskan agama, tetapi berdasarkan negara yang terdiri dari tanah dan warga (masyarakat) yang memiliki sejarah tersendiri. Namun, hal tersebut bukan berarti negara menghindari penerapan hukum agama dan warisannya –apalagi jika negara tersebut memiliki sejarah agama yang beragam seperti Indonesia karena hal tersebut tidak terlepas dari sejarah agama, yang dalam penerapannya tidak terlepas dari sistem politik.<br />Untuk lebih jelasnya dimakalah ini akan dibahas tentang bagaimana Pengertian Ar-ridah, Apa saja macam-macam Ar-ridah, bagaimana hukum bagi orang yang melakukan Ar-ridah mari kita pelajari bersama-sama.<br />II. RUMUSAN MASALAH<br />A. Bagaimana Pengertian Ar-ridah? <br />B. Apa Saja Macam-Macam Ar-ridah? <br />C. Bagaimana Hukuman Bagi Orang yang Melakukan Ar-ridah?<br /><br />III. PEMBAHASAN<br />A. Pengertian Ar-ridah<br />Ar-riddah secara harfiah berarti kembali. Ar-riddah dalam pembahasan ini adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan. Dari pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan memilih agama berbeda dengan agama orang tuanya tidak termasuk murtad, begitu pula orang gila. Orang yang karena terpaksa harus meninggalkan keyakinan lantaran diancam dan membahayakan diri dan keluarganya dengan ancaman berat sehingga ia harus menyelamatkan diri memelik agama lain, juga tidak termasuk golongan ar-riddah. Dengan alasan walaupun dia hidup dan berada pada sisten yang berlaku dilingkungan pemeluk agama lain dan secara formal menjadi anggota yang sah dari masyarakatnya namun besar kemungkinan keyakinannya tetap tidak tergoyahkan. Jika pada suatu saat ada peluang untuk mewujudkan keyakinan yang diyakininya, yaitu keyakinan yang sesuai dengan ajaran islam ia akan berupaya untuk mewujudkannya. <br /><br />B. Macam-Macam Ar-ridah<br />1. Riddah dengan sebab ucapan<br />Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.<br />2. Riddah dengan sebab perbuatan<br />Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan prkatek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.<br />3. Riddah dengan sebab keyakinan<br />Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.<br />4. Riddah dengan sebab keraguan<br />Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini. <br /><br />C. Hukuman Bagi Orang yang Melakukan Ar-ridah<br />Hukuman bagi orang yang murtad disebutkan dalam hadis nabi SAW sebagai berikut :<br />عن ابن عباس رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, من بدل دينه فاقتلوه<br />“ diriwayatkan dari ibnu abbas bahwa rasulullah SAW telah bersabda : “ barang siapa yang menukar agamanya ( dari islam kepada agama yang lain) msks bunuhlsh dia.” ( Hr. bukhari).<br /><br />Hukuman mati dalam kasus pemurtadan telah disepakati tanpa keraguan lagi oleh keempat mazhab hukum islam. Namun kalau seseorang dipaksa menguc=apkan sesuatu yang bearti murtad sedangkan hatinya tetap beriman maka dalam keadaan demikian itu dia tidak akan dihukum murtad. Firman allah dalam al-quran surat al-annahal ayat 106 menyebutkan: <br /><br /><br /><br />Artinya : Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.<br /><br /><br />Meski demikian ada pendapat pakar hukum islam tentang hukuman bagi pelaku ar-riddah ini. Syekh Mahmud syaltut menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada allah, tidak ada sanksi didunia atasnya. Allah swt bersabda:<br /><br /><br />Artinya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya ( qs. Al-baqarah:217)<br /><br />Alasannya pertama, dalam qur-an surat al-baqoroh ayat 217 diatas hanya menunjukan kesia-siaan amal kebaikan orang murtad dan sanksi akhirat yaitu kekal dalam neraka.<br />Alasan lainnya adalah kekafiran sendiri tidak menyebabkan bolehnya orang dihukum mati, sebab membolehkan hukuman mati bagi orang yang kafir, itu adalah karena memerangi dan memusuhi orang islam. <br />Mohammad hasyim kamali juga mempertanyakan masalah hukuman hadd<br />Bagi pelaku murtad ini dengan menyatakan bahwa karena dalam al-quran hukuman pidana bagi pelakunya tidak dinyatakan, maka sebenarnya sanksi atas perbuatan ini masuk dalam jenis ta’zir bukan hudud. <br />Ada juga yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum setelah terjadinya riddah adalah:<br />1. Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman.<br />2. Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)<br />3. Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum.<br />4. Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.<br />5. Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33) <br /><br /><br /><br /><br /><br />IV. KESIMPULAN<br />Ar-riddah secara harfiah berarti kembali. Ar-riddah dalam pembahasan ini adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh untuk memmilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan.<br />Macam-macam ar-riddah:<br />1. Riddah dengan sebab ucapan<br />2. Riddah dengan sebab perbuatan<br />3. Riddah dengan sebab keyakinan<br />4. Riddah dengan sebab keraguan<br />Mengenai hukuman bagi pelaku murtad ( ar-riddah) ada berbagai pendapat:<br />1. Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman.<br />2. Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya.<br />3. Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.<br />4. Diserahkan sepenuhnya kepada allah ( pendapat dari Syekh Mahmud syaltut )<br />5. Ta’zir ( pendapat dari Mohammad hasyim kamali <br /><br />V. PENUTUP<br />Demikianlah makalah ini kami buat, uraian singkat mengenai pembahasan “Ar-riddah ( murtad )”. Besar harapan kami makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah kami masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami senantiasa mengharapkan masukan dan kritik yang membangun untuk kemajuan bersama.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007 ).<br /><br />Abdur rahman, Tindak Pidana dalam Sariat Islam, ( Jakarta: PT. Melton Putra, 1992 ).<br /><br />Santoso Topo, membumikan hukum pidana islam, ( Jakarta: Gema Insan press, 2003). <br /><br />http://remajaislam.com/islam-dasar/aqidah/163-apa-yang-bisa-membuat-murtad.html.<br /><br />http://ike-strowberi.blogspot.com/2009/02/pengertian-dan-macam-macam-riddah.html.<br /><br /><br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-4189223427257294662013-06-25T17:04:00.002-07:002013-06-25T17:04:47.423-07:00NATIJAH SANAD<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />I. PENDAHULUAN<br />Setelah kita membahas dan mendiskusikan beberapa metode dalam penelitian hadits pada pertemuan sebelumnya. Kini kita sampai pada langkah kelima dalam penelitian hadits dan bisa dikatakan langkah terakhir dalam proses penelitian sanad, yakni teknik menyimpulkan kualitas sanad (natijah sanad). Menyimpulkan dari sekian cara yang telah dikaji seperti takhrijul Hadits dan I’tibarus Sanad. <br />Untuk meneliti suatu sanad dalam hadits ada beberapa langkah yang harus kita tempuh. Pertama, melakukan Takhrijul Hadits yakni menguraikan, mengeluarkan atau memisahkan hadits dari kitabnya atau sumbernya, dan juga untuk mengetahui darimana hadits yang akan kita teliti itu berasal. Kedua, melakukan I’tibarus Sanad yakni menyertakan sanad-sanad yang lain dari hadits yang hendak diteliti, untuk melihat ada atau tidaknya mutabi’. Ketiga, melakukan penelitian sanad yakni meneliti kualitas periwayat hadits (jam’ur ruwah). Keempat, meneliti persambungan antar sanad dari suatu hadits. Kelima, membuat kesimpulan tentang kualitas sanad.<br />Setelah menyelesaikan keempat pekerjaan itu, kini untuk menyimpulkan apakah sanad yang ada dalam hadits tersebut shohih dengan mutawwatir, atau shohih yang ahad dan bahkan dho’if karena para sanadnya tidak memenuhi kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh rawi-rawi hadits, akan kita pelajari natijah sanad. <br />II. PEMBAHASAN<br />A. Pengertian Natijah Sanad (نتيجة السند)<br />Kata (نتيجة ج نتائج) mempunyai arti hasil , dengan penjabaran hasil dari penelitian sanad yang telah dilakukan. Hasil penelitian yang dikemukakan harus berisi kongklusi. Dalam mengemukakan natijah harus disertai dengan argument-argumen yang jelas. Semua argument dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah dikemukakan.<br />Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berstatus mutawattir atau ahad. Kemudian untuk hasil penelitian hadits ahad, maka natijahnya berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berkualitas shahih, atau hasan, atau da’if sesuai dengan apa yang telah diteliti . <br />Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwasannya periwayat yang yang dapat diterima riwayatnya adalah seorang yang bersifat adil dan dhabith. Menurut kaedah keshohihan sanad hadits yang telah disepakati oleh mayoritas ulama’ hadits, jumlah periwayat tidak menjadi persyaratan. Ini berarti, periwayatan yang hanya seorang saja, asalkan dia bersifat adil dan dhabith, maka dapat diterima riwayatnya. Sedangkan adanya syahid atau mutabi’ tidak menjadi syarat utama keabsahan periwayat. Karena fungsi syahid atau mutabi’ adalah sebagai penguat saja. Namun, meskipun begitu jelaslah bahwa menurut ketentuan ilmu hadits bahwa hadits yang diriwayatkan oleh dua orang itu lebih didahulukan dari pada yang diriwayatkan oleh satu orang . <br />“رِوَايَةُ اثْنَيْنِ تُقَدٌّمُ عَلَى رِوَايَةِ وَاحِدٍ” <br /> Hal ini berlaku untuk periwayat yang mendapatkan suatu hadits langsung dari Nabi saw, seperti para sahabat. Artinya periwayat ini dinamakan sebagai saksi primer.<br />B. Teknik Menyimpulkan Kualitas Sanad<br />Untuk mendapatkan kesimpulan yang valid, maka hendaknya seorang peneliti melakukan langkah-langkah berikut, yang kemudian baru diambil natijahnya. Adapun teknik-teknik atau langkah-langkah untuk menyimpulkan suatu kualitas sanad adalah sebagai berikut :<br />1. Melakukan Takhrijul Hadits<br />Takhrijul Hadits dilakukan untuk mengetahui dari mana hadits yang akan diteliti itu berasal. Artinya seorang peneliti harus mencari dan mendapatkan hadits tersebut dari sumber aslinya, yakni dari berbagai kitab hadits yang ada.<br />Kegiatan ini dilakukan supaya terbukti benar bahwa hadits yang akan diteliti itu benar-benar hadits atau bukan dan terdapat dalam kitab hadits atau tidak.<br />2. Melakukan I’tibarus Sanad<br />Yakni peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang sejenis. Dapat juga diartikan menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak, baik yang meriwayatkan secara lafdzi maupun maknawi, dalam jalur itu sendiri atau dari jalur sahabat yang lain, ataukah tidak ditemukan sama sekali dalam riwayat tersebut jalut lain yang meriwayatkan secara lafdzi maupun maknawi. ada untuk bagian sanad dari sanad hadits yang dimaksud. Mencari perbandingan dengan periwayat-periwayat lain untuk mengetahui apakah hadits yang akan diteliti itu mempunyai Mutabi’ ataukah tidak.<br />Dengan melakukan I’tibar ini, maka akan terlihat jelas seluruh jalur sanad hadits yang akan diteliti, kemudian peneliti juga akan mengetahui metode apa yang digunakan oleh perawi hadits dalam periwayatannya.<br />3. Melakukan penelitian sanad<br />Melakukan penelitian sanad ini berkisar tentang kualitas dari para perawi hadits atau dalam ilmu hadits disebut sebagai Rijalul Hadits. Meneliti apakah perawi-perawi dalam hadits tersebut sudah memenuhi kriteria-kriteria seorang periwayat. Seperti tentang keadilan dan kedhabithannya.<br />Kemudian tentang persambungan sanadnya, apakah antara periwayat satu dengan periwayat yang lainnya itu bersambung dengan mendengar langsung misalkan seorang murid terhadap gurunya, ataukah terputus yakni tidak ada kejelasan antara periwayat satu dengan periwayat yang lain.<br />Dalam penelitian sanad juga kita akan meneliti apakah ada syuzuz dan ‘illah dalam sanad tersebut.<br />4. Memaparkan natijah yang dihasilkan dari ketiga langkah sebelumnya<br />Sebenarnya hal yang terpenting dalam langkah ini yaitu melakukan penelitian atas kualitas perawi hadits, karena dari situlah kesimpulan akan keadaan perawi ini akan dihasilkan. Namun, untuk melakukan penelitian periwayat hadits juga harus menempu kedua langkah pertama.<br />Yakni pengambilan kesimpulan dari kualitas sanad yang telah diteliti dengan berbagai cara diatas. Apakah keadaan sanadnya dho’if ataukah Shohih. Pengambilan kesimpulan ini juga mencantumkan argument-argumen atau keterangan tentang perihal apa yang menjadikan sanad yang tersusun ini dho’if ataupun Shohih.<br />C. Praktek Pembuatan Kesimpulan Kualitas Sanad<br />Dalam praktek pengambilan kesimpulan penelitian sanad hadits ini, kami mengambil contoh hadits dari Mu’adz bin Jabal yang ketika itu hendak dikirim ke Yaman, kemudian ditanya oleh Rosul tentang bagaimana pengambilan hukum yang akan dia tempu ketika dia menemui permasalahan. <br />1. Melakukan Takhrijul Hadits, mencari hadits dari sumber aslinya.<br />حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (اخرجه الترمذي) <br /><br />Artinya: (At-Tirmidzi mengatakan), telah menyampaikan (riwayat)kepada kami Hannad, telah menyampaikan (riwayat) kepada kami waki’, dari Su’bah, dari Abi ‘Aun Atsaqafi, dari haarits bin ‘amr, dari orang-orang hims dari kalangan sahabatnya Mu’adz (bin jabal) bahwa Rasulullah saw ketika akan mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya (keapada Mu’adz), “Bagaimana kemu mengadili perkara, jika dihadapkan kepadamu suatu perkara pengadilan?” (Mu’adz) menjawab,” saya mengadili (perkara itu) dengan kitab Allah (Al-Qur’an)”. (Rasulullah) bertanya lagi, “maka bagaimana jika kamu tidak menjumpai (petunjuk) dalam kitab Allah (Al-Qur’an)?” (Mu’adz) menjawab, “maka (saya mengadilinya) dengan sunnah Rasulullah saw.” (Rasulullah) bertanya lagi, “maka (bagaimana bila) kamu tidak menjumpai (petunjuk) dalam sunnah Rasulullah saw dan (tidak menjumpai juga) dalam kitab Allah (Al-Qur’an)?” (Mu’adz) menjawab, “saya berijtihad sekuat akal fikiran saya”. Maka Rasulullah saw menepuk dada Mu’adz sambil bersabda,”segala puji bagi milik Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusannya Rasulullahterhadap apa yang Rasulullah berkenan terhadapnya. <br />(HR. At-Tirmidzi)<br /><br />2. Melakukan I’tibar, mencari adakah periwayat lain yang meriwayatkan tentang hadits tersebut.<br />Dalam Maktabah Syamilah dan sesuai dengan buku karangan Syuhudi Ismail, bahwa terdapat beberapa rawi yang meriwayatkan hadits ini. Yaitu: <br />a. Dalam sunan at-Turmudzi<br />b. Dalam sunan Ahmad bib Hanbal<br />c. Dalam sunan Abu Daud<br />d. Dalam sanad Ad-Darimi<br />Namun, kami hanya mengambil sanad yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan dari Ahmad bin Hanbal.<br />(At-Tirmidzi)<br />- حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم<br /> (اخرجه الترمذي) <br /><br />- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ لِلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "نَحْوَهُ".....(اخرجه الترمذي)<br /><br />(sunan Ahmad bin Hanbal) <br /><br />- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ…<br /><br />- حدثنا عبدالله حدثنى أبى ثنا وكيع َثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثقفى عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو عن رجال من اصحاب معاذ أَنَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لما بعثه الى اليمن فقال...<br /><br />- حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنِي أَبُو عَوْنٍ قَالَ سَمِعْتُ الْحَارِثَ بْنَ عَمْرٍو ابْنَ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ يُحَدِّثُ عَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ…<br /><br />Hasil skema sanad dapat dilihat pada lampiran. <br /><br />3. Melakukan Penelitian Terhadap Kualitas Sanad dan Perawi<br />Dapat dilihat pada gambar sekema sanad yang ada, dari keseluruhan perawi kebanyakan beliau dinilai tsiqoh dalam periwayatannya. Namun jika dilihat lebih teliti lagi, sanad dari Ahmad bin Hanbal yang melalui Waki’ itu terputus dengan perawi pertama yakni Mu’adz bin Jabal. <br />Kemudian keadaan perawi yang kedua yang hanya disebutkan dengan “beberapa orang dari kelompok himsh”, hal ini akan menjadikan pertanyaan siapakah orangnya, pribadinya. Hal itu pula menjadi suatu ketidakjelasan dalam sanad atau didalam ilmu hadits disebut dangan Mubham (tersembunyi) yakni beberapa orang dari himsh. Shuhudy Ismail mengatakan bahwa: “ke-mubham-an periwayat yang ada pada seluruh sanad tersebut tidak dapat “tertolong” karena pada periwayat yang mubham itu tidak terdapat mutabi’. Sekiranya mutabi’nya ada, maka pribadi mutabi’ beserta seluruh periwayat berikutnya sampai mukhorrij masih perlu diteliti juga”.<br />Untuk mengetahui apakah masih ada lagi yang menambah kelemahan sanad-sanad tersebut, maka dapat diteliti keadaan sanad yang ketiga dan seterusnya. Dinyatakan demikian karena sekiranya periwayat selanjutnya itu berkualitas tsiqoh dan dalam sanadnya bersambung, maka hal itu tidak dapat juga menolong kelemahan sanad yang telah ada .<br />Kemudian keadaan periwayat ketiga, Al-Harits bin ‘amr dikatakan oleh Imam Bikhori dan Imam Tirmidzi dalam kitab tahdzib At-tahdzib, bahwa Al-harits ini tidak terkenal atau tidak diketahui orangnya dan pribadinya dan tidak sah serta tidak muttasil. Dengan begitu Harits ini tersebut majhul ‘ain, yakni seseorang yang tidak dikenal orangnya.<br />Dengan begitu maka bertambahlah kelemahan seluruh sanad hadits yang diteliti. Para kritikus hadits yang keadaan sanad dan minimal dua tingkat periwayatnya, yakni periwayat kedua dan ketiga, tidak memberikan isyarat bahwa riwayat yang dimaksud adalah dari Nabi saw. walaupun periwayat selainnya itu berkualitas tsiqoh dan masyhur. <br />4. Menyimpulkan Hasil Penelitian<br />Setelah menyelesaikan ketiga kegiatan diatas maka yang terakhir adalah menyimpulkan akan kualitas sanad yang ada dalam hadits yang telah diteliti. <br />Adapun hasil atau kesimpulan kualitas sanadnya yakni:<br />1) Seluruh sanad yang ada dalam hadits tersebut mengandung kelemahan, Karena semuanya mengandung periwayat yang mubham dan majhul (semua rawi melewati periwayat tersebut), yakni periwayat kedua dan periwayat ketiga. Dan untuk sanad dari Imam Ahmad yang melalui Waki’, periwayat tingkat pertama terputus.<br />2) Pada periwayat-periwayat mubham dan majhul, begitu juga pada sanad yang terputus, tidak terdapat mutabi’-nya. Dengan begitu, kelemahan-kelemahan tersebut tidak dapat ditolong lagi. Juga mukharrij yang empat orang dan jumlah periwayat tingkat keenam sama sekali tidak dapat menolongnya, karena semua melewati jalur sanad yang mengandung kelemahan yang parah tersebut .<br />Dengan demikian maka jelaslah bahwa kualitas seluruh sanad hadits tentang ijtihad Mu’adz bin jabal ini adalah Dha’if. tingkat ke-dho’if-annya termasuk parah, dan sulit terangkat. Dan adapun permasalahan mengenahi kemajhulan salah satu dari periwayat yang ada menurut pemakalah memang itu menjadi salah satu penyebab sanad ini dho’if adanya. Karena jika memang identitasnya dapat diketahui, mengapa tidak dituliskan namanya saja, bukan dengan kalimat yang tidak jelas “seseorang dari sahabatnya Mu’adz atau seseorang dari Humsh” yang pasti akan menimbulkan pertanyaan siapa dia?. <br />III. KESIMPULAN <br />Penyimpulan kualitas sanad merupakan kegiatan akhir penelitian sanad dalam proses penelitian hadits. Penyimpulan tersebut berisikan natijah (kongklusi) yang didukung dengan argumen-argumen yang menjelaskan keadaan sanad secara rinci.<br />Adapun teknik atau langkah-langkah dalam proses pengambilan kesimpulan adalah, melakukan Takhrijul Hadits, melakukan I’tibar Sanad, kemudian meneliti tentang keadaan rawi (Rijalul Hadits) dan persambungan antar rawinya, baru kemudian dari hasil pengamatan tersebut diambil kesimpulannya. Apakah sanad dalam hadits tersebut dho’if ataukah Shohih, mutawtir ataukah ahad.<br />Kesimpulan kualitas sanad yang terdapat dalam hadits tentang ijtihad Mu’adz bin Jabal setelah diteliti adalah dho’if dan parah tingkat ke-dho’i¬f-annya.<br />IV. PENUTUP<br />Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan mengenai pembahasan tentang natijah sanad (penyimpulan kualitas sanad) yang merupakan langkah ke-5 dalam penelitian Hadits. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya, besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pemakalah pada khusunya dan pembaca pada umumnya, Amin...<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Lampiran-lampiran:<br />Penelitian Rijalul Hadits<br />مراجع قول النقاد روى عنه روى عن توفٌي كنية او لقب نسب اسم رقم<br />ذ:خ 6:<br /> 310-311 من الانصارى ابن عباس, ابو موسى الاشعرى, جابر, انس...الخ النبى صلى الله عليه وسلم قال ابو مشهر: مات سنة سبع عشرة. وكان سعيد بن عبدالله العزيز:انه صحيحز<br />قال يحيى بن معين:سبع عشرة او ثمانى عشرة.<br /> ابو عبد الرحمن المدنى معاذ بن وجبل بن عمرو بن اوس بن عائذ بن عادى بن كعب بن عمرى بن آدى ابن سعد بن على بن أسد بن ساردة بن يزيد بن جسم بن الخزرج الانصرى الخزرجى معاذ 1<br /> - - - - - - - - 2<br />ذ:ج 1: 603-604 قال البخرى : لا يصح ولا يعرف<br />وقال الترمذى: لانعرفه الا من هذا الوجه, وليس اسناده عندى بمتصل أبو عون محمد بن عبيد الله الثقفى, ولايعرف إلا بهذا. ألناس من اهل حمص من اصحاب معاذ فى الاجتهاد. فى التارخ الكبير: مات بين مائة و عشر ومئة. - الحارث بن عمرو بن أخى المغيرة بن شعبة الثقفى الحارث 3<br />ذ. ج. 7 <br />ص. 455 - - - - - ابو عون الثقفى محمد بن عبيد الله بن ابى سعيد الكوفى تقدم 4<br />ذ. ج. 3<br />ص. 164-169 قال ابن سعد: ثقة وقال العجلى: ثقة. أيوب, الواكيع, محمد بن ابى عدى...الخ ابراهيم بن عامر بن مسعود, ابى عون الثقفى ...الخ قال ابن سعد: توفى اول سنة (160) بالبصرى.<br />وقال ابو بكر بن منجويه: ولد سنة (82), مات سنة (160). ابو بسطام الواسطى شعبة بن الحجاج بن الوردالعتكى الأزدى شعبة 5<br />ذ:ج 6: 720-726 قال عثمان الدارمى: قالت لابنمعين قال: ابو معاوية اعلم به ووكيع ثقة.<br />وقال ابن سعد : كان ثقة. ابناؤه سفيان ومليح وعبيد و عبد الرحمن بن مهدى...الخ سعيد بن عبيد الطاحي, وسفيان الثوري, وشعبة...الخ قال هارون بن حاتم: ولدت سنة ثمان وعشرين ومائة, او سبع او تسع. قال خليفة: مات سنة ست وتسعين, وقال محمد بن سعد وابو هشام: مات سنة سبع, وزاد ابو هشام يومالعشوراء. ابو سفيان الكوفى الحافظ وكيع بن الجراح بن مليح الرؤاسي وكيع 8<br />ذ:ح 4:<br /> 137-139 قال أبو حاتم: ثقه قال ابن سعد: كان ثقه ابن المبارك, وابنه موسى, يحيى بن معين أيمن بن نابل, و عكرمة بن عمار, و شعبة.... الخ قال ابن سعد : توفى سنة ثمان وتسعين وما ئة فى الجمدالاخرةز ابو سعيد البصرى عبد الرحمن بن مهدى بن حسان بن عبدالرحمن العنبرى عبد الرحمن 9<br />ذ: ج 9: 81-82 قال ابن حاتم سألت أبى عن غنذر فقال: صدوقا وكان مؤدبا وفي حديث شعبة ثقة. أبو موسى, واحمد بن حنبل...الخ شعبة, وسعيد بن ابى عروبة, وهشام بن حسان...الخ قال ابو داود وابن حبان: مات فى ذيالقعدة سنة ثلاث وتسعين ومائة. وقال ابن سعيد: اربع و تسعين. أبو عبدالله البصري محمد بن جعفر الهذلي مولاهم محمد 10<br />ذ: ج 4: 515-519 قال العجلى: عفان بصرى ثقه قال أبو الوليد ثبت ثقه البخارى, و عبدالله الدارمى داود بن أبى الفرات, و عبدالله بن بكر المزنى, و شعبة....الخ وقال ابن سعد: كان مولده سنة (134) ومات سنة (20) قال ابن ابى خيثمة: سنة (19) أبو عثمان البصرى عفّان بن مسلم بن عبد الله الصّفّار عفان 11<br />ذ: ج 6: 669 قال ابو حاتم: صدوق <br />وقال النسئي: ثقة البخارى, والباقون, ومحمد بن اسحاق السراج...الخ عبدالرحمن بن ابى الزناد, ووكيع, وعبدالله بن ادريس..الخ قال السراج: ولدت سنة اثنتين و خمسين و مائة, وقال مات فى ربيع الاخر ثلاث واربعون ومائتين أبو السري الكوفي هناد بن السري بن مصعب بن ابى بكر بن شبر بن صعفوق بن عمرو بن زرارة ابن عدس بن زيد بن عبدالله بن دارم التميمى الدارمى هناد 12<br />ذ: ج 5: <br />495-497 قال العجلى: ثقة وقال ابو حاتم: صدوق. الجمعة, و ابو حاتم,..الخ عبدالوهاب الثقفى, وابن أبى عدى, وبن مهدى... الخ قال السراح: مات (67) أبو بكر الحافظ محمد بن بشار بن عثمان بن داود بن كيسان العبدى محمد 13<br /> التر مذي 14<br /> احمد بن حنبل 15<br /><br />Keterangan:<br /> Untuk imam At-Turmudzi dan imam Ahmad bin Hanbal adalah dua Mukharij Hadits yang sudah terkenal dan kita Mafhum dengan keadaan mereka. Sementara kolom yang kosong memang tidak terdapat keterangan dari sumber yang tersedia.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Skema sanad hadits tentang ijtihad yang diriwayatkan <br />imam At-Turmudzi dan imam Ahmad bin Hanbal (Syuhudi Ismail) <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Ket: “untuk metode dalam periwayatannya dapat dilihat dalam haditsnya langsung”<br />DAFTAR PUSTAKA<br />Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, Bairut-Libanon: Daar Al-Fikr, TTh, juz 5.<br />Hasan, A. Asy’ari Ulama’I, Melacak Hadits Nabi SAW, Semarang: RaSail, 2006.<br />Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.<br /> ,Kaedah Keshohihan Sanad Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. <br />‘Isa, Imam Abi bin Muhammad Bin ‘Isa At-Tirmidzi, Jami’u Al-Shohih (Sunan Tirmidzi), Bairut-Libanon: Daar Al-Fikr, TTh, juz 3.<br />Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. <br />Munawwir , A.W., Al-Munawwir: kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1987.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-12673351629036004932013-06-25T17:02:00.000-07:002013-06-25T17:02:22.814-07:00PENILAIAN HADITS TENTANG KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />I. PENDAHULUAN<br />Menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusia tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinyapun tidak bisa menjadi lebih baik. Oleh karena itu, menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim.<br />Ilmu itu sangat penting bagi kehidupan manusia. Dengan ilmu manusia dapat mengetahui segala hal termasuk mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah, sehingga dengan begitu manusia dapat selalu dekat dengan Sang Maha Penciptanya. Karena dengan ilmu itu manusia dapat mengetahui kedudukannya di hadapan Allah dan bagaimana ia harus berbuat. <br />Penelitian ini memiliki rumusan masalah tentang naqd al-sanad, naqd al-matan dan fiqh al-hadits.<br />II. PEMBAHASAN<br />A. Naqd al-Sanad<br />1. Takhrijul Hadits<br />Dalam penelusuran hadits ini menggunakan cara takhrij bil lafdzi dengan menggunakan kitab Al-Mu’jam al Mufahras li Al-Fadh al-hadits dan kitab Jami’us Shaghir . <br />a. Dalam kitab Al-Mu’jam al Mufahras li Al-Fadh al-hadits, hadits tersebut bersumber dari Ibnu Majjah, dalam kitab Sunan Ibnu Majjah dengan satu sanad:<br />حدثنا هشام بن عمار حدثنا حفص بن سليمان حدثنا كثير بن شنظير عن محمد بن سيرين عن أنس بن مالك قال : قال رسول الله ص.م: طلب العلم فريضة على كل مسلم وواضع العلم عند غيرأهله كمقلدالخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب. <br />b. Dalam kitab Jami’us Shaghir, hadits ini bersumber dari Imam Baihaqi dalam kitab Syu’bul Iman dengan 4 sanad:<br />١. اخبرنا أبو عبدالله ثنا أبو العباس الأ صم ثنا العباس بن محمد ثنا أبو النضر ها شم بن القا سم ثنا المستلم بن سعيد عن زياد بن عامر عنن أنس بن مالك أن النبي ص.م. قال: طلب العلم فريضة على كل مسلم والله يحب إغاثة اللهفان<br />٢. أخبرنا أبوالحسن علي بن محمد بن علي المقرئ أنا الحسن بن محمد بن إسحاق ثنا يوسف بن يعقوب القاضي ثنا محمد بن أبي بكرثنا حسان بن سياه ثنا ثابت عن أنس بنمالك عن النبي ص.م.قال: طلب العلم فريضة على كل مسلم.<br />٣. اخبرنا أبومحمد بن يوسف ثناأبو سعيد بن الأعرابي ثنا العباس بن عبدالله الترقفي ثنا رواد بن الجراح عن عبدالقدوس عن حماد بن أبي سليمان عن إبراهيم.قال:لم أسمع من أنس بن مالك إلا حديثاواحدا سمعته يقول قال رسول الله ص.م.: طلب العلم فريضة علي كل مسلم<br />٤. أخبرنا أبوالحسن علي بن محمد بن علي الأ سفرايني ثنا أبو سهل بن زياد القطان ثنا الحسن بن مكرم ثنا يحي بن ها شم ثنا شهر عن عطية عن أبي سعيد قال: قال رسول الله ص.م. قال: طلب العلمم فريضة على كل مسلم. <br />2. I’tibar <br />Setelah melakukan takhrij hadits, maka langkah selanjutnya adalah I’tibar sanad. Dengan takhrij hadits di atas maka dapat dikemukakan skema sanad(lampiran).<br />3. Penelitian kualitas Sanad<br />Untuk Hafs bin sulaiman, ia dha’if karena tergolong perawi yang tingkatan jarh-nya parah. Ia termasuk tertuduh dan bahkan pemalsu hadits. Oleh karena itu hafs tidak layak untuk dijadikan hujjah. Sementara hadits yang diriwayatkannya juga tidak layak ditulis dan digunakan bahan perbandingan.<br />Sedangkan untuk khashir bin shindhir para ulama memiliki penilaian terhadap kualitas pribadi dan kapasitas intelektual khashir bin shindhir, yaitu martabat ta’dil dan martabat jarh, yang dengan demikian terjadi kontroversi penilaian. Dalam konteks ini penulis berpegang pada kaedah al-jarh muqaddam al al-ta’dil(penilaian negatif lebih didahulukan daripada penilaian positif). Dengan demikian khashir bin syinzhir dalam kapasitas pribadinya sebagai perawi hadits tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, namun hadist yang diriwayatkannya masih bisa ditulis sebagai bahan perbandingan.<br />Dengan mengacu kepada keshahihan hadits, penulis berkesimpulan bahwa walaupun sanad hadis ini bersambung namun terdapat beberapa kaedah keshahihan hadits yang tidak dipenuhi oleh sanad hadits ini, yakni aspek keadilan dan kedhabittan perawi. Karena itu penilaian akhir penulis bahwa sanad hadits tersebut tergolong lemah(dha’if al Isnad).<br />B. Naqd al-Matan<br />setelah kami mengamati dari seluruh hadits-hadits tentang kewajiban mencari ilmu dengan membandingkan setiap satu hadits dengan yang lainnya, dengan meneliti susunan matan yang semakna ternyata terdapat Ziyadah, yaitu:<br />1. Ziyadah pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah:<br />وواضع العلم عند غيرأهله كمقلدالخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب<br />2. Ziyadah pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam baihaqi melalui jalur Abu Abdullah:<br />والله يحب إغاثة اللهفان<br />Namun di kalangan masyarakat, populer matan hadis yang disertai dengan tambahan lafal “muslimatin”. Hal ini dikuatkan oleh statement A.Yazid bahwa penambahan kalimat وَمُسْلِمَةٍ (atas perempuan yang muslim), yang dimasukkan oleh sebagian pengarang dalam lanjutan riwayat tersebut, tetapi tambahan tersebut tidak ada dasarnya sama sekali. <br />Oleh karena dalam beberapa jalur hadits tidak ada tambahan muslimatin, maka hadits yang ada tambahan muslimatin bukan berasal dari Rasulullah. Menurut Dr. M. Syuhudi Ismail, hadits yang mendapat tambahan dari periwayat sendiri merupakan Idraj. <br />A. Fiqh al-Hadits<br />Ilmu bagaikan cahaya penerang, terutama bagi siapa saja yang memilikinya. Oleh karena itu menuntut ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, sampai-sampai Allah swt berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. <br />Meskipun hadits ini memiliki sanad dha’if yang tergolong berat, namun mengenai matannya sama sekali tidak bertentangan dengan dalil-dalil dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Motivasi yang disampaikan dalam hadits ini memiliki relevansi dengan hadits lainnya, yaitu dorongan untuk mencari ilmu, walaupun farridhatun ala kulli muslimin masih dipertanyakan.<br />Mengenai kandungan matan(Fiqh al-Hadits), maka dapat di pahami bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib, yaitu untuk menunjukkan jalan hidup yang lurus bagi seseorang. Untuk siapa saja baik laki-laki maupun perempuan, meski tidak disebutkan secara eksplisit. Dengan demikian Rasulullah juga berkeinginan untuk memperlakukan kaum perempuan bukan sebagai bawahan laki-laki tetapi merupakan mitra sejajar yang dapat menghapuskan perasaan superior pada diri laki-laki dan perasaan inferuor pada pihak perempuan yang selama masa jahiliyyah telah membudaya, mentradisi dan mendarah daging. <br />Oleh karena itu sangat jelas bahwa Islam memberikan peluang kepada umatnya baik laki-laki maupun perempuan agar lebih giat dalam menuntut dan menggali berbagai ilmu yang nantinya akan bermanfaat bagi hidupnya.<br />Menurut Shadr al-Din Syirazi yang dikutip Ghulsyani berkaitan dengan hadits kewajiban menuntut ilmu, terdapat beberapa kandungan, antara lain:<br />1. Ilmu mengandung makna general yang mencakup keseluruhan pemahaman bahwa pada tingkat ilmu apapun, seseorang harus berjuang untuk mengembangkannya lebih jauh. Artinya orang yang bodoh, pemula atau sarjana sekalipun harus merasa kurang , tidak lekas puas serta sadar bahwa masih banyak hal yang belum diketahuinya. <br />2. Hadits tersebut mengindikasikan bahwa seorang muslim tidak akan pernah bisa keluar dan terbebas dari tanggungjawabnya untuk mencari ilmu.<br />3. Ilmu laksana cahaya, tiada satupun lapangan pengetahuan yang tercela dan negatif pada dirinya. <br />III. KESIMPULAN<br /><br /><br />IV. PENUTUP<br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis,(Malang: UIN Malang-Press, 2008), cet. 1<br />Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992)<br />A. Yazid, Himpunan Hadits-Hadits Lemah dan Palsu, (Surabay: PT. Bina Ilmu, 1986),<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Skema sanad hadits:<br /><br /> <br /><br /><br /> قا ل<br /><br /><br /><br /> عن<br /><br /><br /><br /> عن<br /><br /><br /><br /> حدثنا <br /><br /><br /><br /> حدثنا <br /><br /><br /><br /> حدثنا<br /><br /><br /><br />1. Kritik sanad hadits<br />Hadits yang di takhrij oleh Ibnu Majjah ini melibatkan lima perawi yaitu Anas bin Malik, Muhammad bin Sirin, Khashir bin Syinzhir, Hafs bin Sulaiman, dan Hisyam bin Ammar.<br /><br />مراجع قول النقاد روى عنه روى عن توف<br />ى كنيةولقب نسب اسم مز<br />ذ،6،125 - قال الخليلي ثقة - - 273 مو لا هم أبو عبدالله بن مجة القزويني الحافظ محمد بن يزيد الربعي اِبْنُ مَا جَة<br /> ١<br />ك،19،270-273 أبوحاتم عن يحي بن معين:كيّس كيّس<br />العجليّ: ثقه<br />النّسا ئ: لا بأس به<br />الدّارقطنيّ: صدوق،كبيرالمحل البخاري و أبو داود والنسا ئ و ابن ماجه إبراهيم بن أعين، إسما عيل بن عيّاش، حفص بن سُلَيْمَانَ 245 يقال الظفري، أبو الوليد الدمشقي،خطيب المسجدالجامع هشام بن عمار بن نصير بن ميسره بن أبان السّلمي هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ<br /> ٢<br /> حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ<br /> ٣<br />ك،15،361-362 عباس الدوريّ:ليس بشئ<br />أبو زرعه:لين<br />النّسائّ: ليس بالقويّ<br />ابن خزم: ضعف جدّا آبان بن طارق،آبان بن يزيد العطا ر، حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ<br /> أنس بن سيرين،الحسن البصريّ،مخاهد،محمد بن سيرين الأ زديّ،أبو قرّة البصريّ كَثِيْرُ بْنِ شِنْظِيْرٍ<br />المازنيّ كَثِيْرُ بْنِ شِنْظِيْرٍ<br /> ٤<br /> مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنَ<br /> ٥<br />- - - - - - - أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ<br /> ٦<br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-86048262793032912002013-06-25T16:57:00.002-07:002013-06-25T16:58:36.356-07:00TEKNIK PENYIMPULAN KUALITAS HADITS
I. PENDAHULUAN
Hadits yang berasal dari nabi sebagai sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an yang pada zaman dahulu oleh para sahabat Nabi ditulis tetapi jumlahnya sedikit dan matan hadits masih terbatas karena para sahabat lebih fokus pada pemeliharaan Al-Qur’an yang belum dibukukan dalam bentuk mushhaf. Setelah 90 tahun wafatnya Nabi baru ada usaha penghimpunan hadits dengan melakukan perlawatan ke berbagai daerah karena terjadi pemalsuan hadits oleh beberapa golongan dengan berbagai tujuan. Hasil dari penghimpunan tersebut menghasilkan bermacam-macam jenis dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Hadits nabi yang menjadi objek penelitian adalah hadits ahad yang diteliti secara historis dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya berasal dari nabi atau tidak untuk mengingat kedudukan kualitas hadits yang dijadikan hujjah agama dengan kaedah dan ilmu pengetahuan hadits yang akhirnya dapat membagi berdasarkan kualitas haditsnya. Untuk mengetahui kualitas hadits dengan penelitian hadits yang tidak dapat mengabaikan penelitian sanad dan matan hadits. Dimana sanad dan matannya harus terhindar dari syadz dan ‘illat. Dengan itu, pada makalah ini akan dibahas kaedah keshahihan sanad dan matan dalam hadits.
II. PEMBAHASAN
A. Langkah Penyimpulan Kualitas Hadits
Kegiatan akhir yang mengacu pada tujuan final dari penelitian hadits yaitu penyimpulan hadits dalam memilih dan memilah apakah hadits tersebut shahih, hasan atau dhaif dilihat dari kualitasnya. Secara umum metode penelitian hadits terfokus dalam dua segi yakni sanad dan matan yang terbagi dalam tujuh langkah yaitu:
Pertama, melakukan i’tibar sanad yang sebelumnya diperkuat dengan kegiatan takhrijul hadits. Gunanya untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung (corroboration) berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau syahid.
Kedua meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya (naqdus sanad) yang sebelumnya melacak himpunan perawi dalam sanad melalui kegiatan jam’ur ruwah dengan penelusuran rijalul hadits. Gunanya untuk mengetahui persambungan sanad dalam hadits tersebut.
Ketiga, menyimpulkan hasil penelitian sanad, yakni menarik kesimpulan (natijah) dari pembahasan diatas, disertai argumen-argumen yang jelas : sebelum atau sesudah natijah itu. Selanjutnya, dalam penelitian segi matan, langkah-langakah nya meliputi pentahapan berikut ini.
Keempat, meneliti matan dengan melihat kualitas sanad-nya. Keshahihan matan dapat diukur ketika hadits tersebut terhindar dari syudzudz (kejanggalan) dan illah (cacat), namun kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya.
Kelima, meneliti susunan lafal matan yang semakna dengan memperhatikan ziyadah dan idraj yang berupa penambahan kata atau pernyataan dalam matan hadits.
Keenam, meneliti kandungan matan dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan dan membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentantangan.
Ketujuh, menyimpulkan hasil penelitian matan dengan didasari pada argumen-argumen yang jelas. Setelah langkah-langkah yang dikemukakan diatas, maka langkah terakhir yang dilakukan peneliti adalah menyimpulkan hasil penelitian matan hadis, yang berkisar pada dua macam kesimpulan saja, yakni : shahih atau sebaliknya dlaif. Dengan demikian, kesimpulan penelitian hadis yang berkenaan dengan matan itu hanya akan berkisar pada salah satu dari pilihan dua pilihan itu.
Dalam menentukan keshahihan matan hadits kriteria penentuannya antara lain:
a. Sanadnya shahih,
b. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir atau hadits ahad yang shahih,
c. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an,
d. Sejalan dengan alur akal sehat,
e. Tidak bertentangan dengan sejarah,
f. Susunan pernyataan menunjukkan kenabian.
B. Praktik Menilai Kualitas Hadits
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَ عَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُ الهِلَالَ وَلَا تَفْطِرُوْا تَرَوْهُ, فَاِنَّ غُمُّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُ رُوْا لَهُ.
Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Umar, bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda:”Janganlah kamu berpuasa (puasa Ramadhan) sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’Idul Fitri) sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya (bilangannya).
Langkah-langkah penelitian kualitas hadits:
1. Melakukan i’tibar sanad yang sebelumnya diperkuat dengan kegiatan takhrijul hadits. Hadits nabi tersebut tentang keharusan memulai ibadah puasa Ramadhan dan mengakhirinya dengan melihat hilal. Diantara hadits yang menunjukkan adanya ketentuan untuk melihat hilal dalam rangka memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari dua orang gurunya yaitu Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar. Ketika ditelusuri lafal hadits tersebut berdasarkan awal kosa katanya dengan menggunakan kitab Mu’jam Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-rasul, ditemukan lima riwayat hadits, tetapi dengan melakukan takhrij al-hadits bi’al-lafaz berdasarkan kata-kata pada matan hadits dengan mempergunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits al-Nabawi, dengan menelusuri kosa kata shawana ditemukan enam riwayat hadits, yaitu dengan tambahan riwayat Ahmad atas kelima riwayat yang terdapat dalam Jami’al-Ushul. Keenam riwayat tersebut terdapat pada:
a. Kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik, halaman 177: hadits nomor 633, 634.
b. Kitab Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 62-63: hadits nomor 16-17.
c. Kitab Shahih Muslim, juz 3, halaman 133: hadits nomor 3.
d. Kitab Sunan Abu Dawud, juz 6, halaman 435-436: hadits nomor 2302.
e. Kitab Sunan an-Nasa’i, juz 6, halaman 108: hadits nomor 2.
f. Kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz 2, halaman 337: hadits nomor 5294.
Untuk kepentingan kegiatan i’tibar, sebagai langkah berikutnya dalam penelitian ini, dengan ini dikutipkan matan dan sanad yang di-takhrij oleh Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Nasa’i, dan Ahmad ibn Hanbal. Dibawah ini akan dituliskan salah satu hadits pembanding dari Abu Daud:
حَدَّ ثَنَا سُلَيْمَا نُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ حد ثنا حَمَّا دٌ حَدَّ ثَنَا اَيُّوْبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ قَالَ:قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:اَلشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ فَلَا تَصُوْمُوْا حَّتَى تَرَوْهُ االْهِلَالَ وَلَا تَفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمُّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ ثَلَاثَيْنَ
Artinya: telah diceritakan kepada kami Sulaiman ibn Daud Al-Attaki, telah menceritakan kepada kami Khammad telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Nafi’dari ‘Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: dalam satu bulan dua puluh hari maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu meliat hilal dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihatnya, jika timbul keraguan atas kalian maka sempurnakanlah menjadi 30 hari.
I’tibar hadis di atas dengan cara mengombinasikan antar sanad yang satu dan yang lainnya sehingga terlihat dengan jelas seluruh jalur hadis yang ditelitinya, demikian juga dengan seluruh perawinya dan metode periwayatannya. Dengan dilakukan i’tibar tersebut, akan dapat diketahui apakah ada unsur muttabi’ atau syahid pada hadis tersebut atau tidak. Berikut ini adalah skema sanad hadits pertama:
Dari skema di atas menjelaskan bahwasannya Abdullah bin Ummar meriwayatkan hadits kepada kedua muridnya yakni Nafi’ Bin Jubair dan Abdullah bin Dinnar namun dalam penulusuran Rijalulhadits yang kami lakukan pada kitab Tahdibuttahdib bahwasannya Abdullah bin Ummar tidak menyebutkan Abdullah bin Dinnar sebagai muridnya. Tetapi Abdullah menyebutkan Abdullah bin Dinnar adalah gurunya. Dari kedua perawi itu meriwayatkan hadits kepada Malik bin Annas.
Dan berikut ini adalah skema sanad hadits kedua dari Abu Daud (pembanding):
2. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya ((naqdus sanad) yang sebelumnya melacak himpunan perawi dalam sanad melalui kegiatan jam’ur ruwah dengan penelusuran rijalul hadits.
Kolom
3. Menyimpulkan hasil penelitian sanad, yakni menarik kesimpulan (natijah) dari pembahasan diatas, disertai argumen-argumen yang jelas.
Uraian mengenai sanad hadits tentang ketentuan memulai dan mengakhiri puasa dengan melihat bulan yang ditahkrij oleh Malik di atas menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut:
a. Dari segi kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para perowinya terlihat bahwa seluruh perowi yang terlibat dalam periwayatan hadits tersebut adalah tsiqoh.
b. Dari segi hubungan periwayatan maka seluruh sanad hadits tersebut adalah bersambung.
c. Dari segi mata rantai sanad, maka rangkaian periwayatan Malik, Nafi’, dinyatakan sebagai ashash al asanid.
d. Dari segi lambang-lambang periwayatan hadits tersebut diatas tergolong mu’an’an dan mu’anan, yang diperselisihkan tentang kebersambungan sabnadnya pleh para ulama hadits. Namun setelah dilakukan penelitian tentang kualitas pribadi para periwayatannya dan hubungan periwayat tersebut dengan periwayat sebelumnya maka seluruh sanadnya dinyatakan dalam keadaan bersambung.
e. Sanad Malik Ibn Annas ini juga didapati pada sanad Bukhori dan Muslim, yang keduanya telah diakui oleh ulama hadits sebagai dua kitab shohih.
Berdasarkan beberapa catatan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadits yang ditakhrij oleh Malik hukumya adalah Shohih Lidzatini.
4. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad-nya.
Dari penilaian sanad diatas disebutkan bahwa sanad tersebut tersambung. Satu hal yang dipertegas bahwa hasil penelitian matan tidak selalu sejalan dengan hasil penelitian sanad.
5. Meneliti susunan lafal matan yang semakna. Dari kedua hadits diatas susunan lafal matan tersebut berbeda tetapi dalam satu makna. Terlihat pada hadits dari balik yang artinya: Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Umar, bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda:”Janganlah kamu berpuasa (puasa Ramadhan) sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’Idul Fitri) sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya (bilangannya).
Sedangkan hadits kedua dari Sunan Abu Daud yang artinya: telah diceritakan kepada kami Sulaiman ibn Daud Al-Attaki, telah menceritakan kepada kami Khammad telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Nafi’dari ‘Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: dalam satu bulan dua puluh hari maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu meliat hilal dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihatnya, jika timbul keraguan atas kalian maka sempurnakanlah menjadi 30 hari.
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matan hadits yang semakna adalah karena dalam periwayat hadits telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil ma’na). Perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna asallkan sanadnya sama-sama sahih maka hadits tersebut tetap dapat ditoleransi menjadi hadits shahih.
6. Meneliti kandungan matan dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan. Dari perbandingan hadits diatas yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqat tersebut terdapat perbedaan lafal matan. Dan disitulah salah satu kelemahan, bila penelitian hadits hanya difokuskan pada penelitian sanad saja. Perbedaan lafal matan hadits yang dapat ditoleran bahwa hadits tersebut adalah shahih lidzatini, hanya hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqat, sementara hadits yang diriwayat oleh periwayat yang tidak tsiqat makan hadits tersebut tidak termasuk riwayat bil ma’na yang tidak dapat ditoleran. Penelitian ini menggunakan pendekatan Al-Qur’an yang dilatar belakangi oleh pemahaman Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam islam untuk melaksanakan berbagai ajaran baik yang ushul maupun yang furu’, maka Al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadits yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Kedua hadits tersebut sejalan dengan QS. Al-Baqarah: 185 yang berbunyi:
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
7. Menyimpulkan hasil penelitian matan hadis, yang berkisar pada dua macam kesimpulan saja, yakni : shahih atau sebaliknya dlaif. Dari beberapa langkah diatas sanadnya tsiqah dan bersambung serta matannya shahih dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum islam maka dapat dikatakan bahwa hadits tersebut shahih lidzatini.
III. KESIMPULAN
Dalam penelitian hadits maka langkah yang harus dilakukan adalah melakukan i’tibar sanad yang sebelumnya diperkuat dengan kegiatan takhrijul hadits, meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya (naqdus sanad) yang sebelumnya melacak himpunan perawi dalam sanad melalui kegiatan jam’ur ruwah dengan penelusuran rijalul hadits, menyimpulkan hasil penelitian sanad, meneliti matan dengan melihat kualitas sanad-nya, meneliti susunan lafal matan yang semakna dengan memperhatikan ziyadah dan idraj yang berupa penambahan kata atau pernyataan dalam matan hadits, meneliti kandungan matan dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan dan membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentantangan, dan yang terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan dengan didasari pada argumen-argumen yang jelas.
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sajstani, Abi Daud Sulaiman Asy-‘ats. Kitab Sunan Abu Dawud. Libanon: Darul Fikri. 1994.
Bustamin. Metodologi Kritik Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004
Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1998.
Soebahar, M.Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah Kritik Mushthafa al Siba;i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al Islam. Bogor : Kencana. 2003.
Zurqani, Imam. Syarah Zurqani ‘Al-Muwaththa’ Imam Malik. Kairo: Darul Hadits. 2006.
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-25660397703303666592013-06-25T16:55:00.001-07:002013-06-25T16:55:10.252-07:00ITTISAL AL-SANAD (PERSAMBUNGAN SANAD)
I. PENDAHULUAN
Dalam bab-bab terdahulu telah diterangkan, bahwa untuk kepentingan penelitian hadits, ulama telah menciptakan berbagai kaedah dan ilmu (pengetahuan) hadits. Dengan kaedah dan ilmu hadits itu, ulama mengadakan pembagian kualitas hadits.
Diantara kaedah yang telah diciptakan oleh ulama adalah kesahihan sanad hadits, yakni segala syarat atau kriteria yang yang harus dipenuhi oleh suatu hadits yang berkualitas sahih. Sebelum ini telah diterangkan, bahwa segala syarat atau criteria kesahihan sanad hadits tersebut, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Segala syarat atau criteria itu melingkupi seluruh bagian sanad. Berbagai syarat atau criteria yang bersifat umum, dalam kajian ini, diberti istilah sebagai kaedah mayor, sedangkan yang bersifat khusus atau rincian dari kaedah mayor diberi istilah sebagi kaedah minor.
Berikut ini akan akan dijelaskan secara singkat mengenai kedua hal tersebut beserta istilah-istilah yang dipakai untuk hadits yang memenuhi dan yang tidak memenuhi kaedah yang dimaksud, khususnya dalam hal persambungan sanad (ittisal al-sanad).
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Persambungan Sanad
Kata إتّصل berasal dari kata وصل yang mempunyai arti sampai atau datang ke tempat.
السند هو سلسلة الرّواة الذين نقلواالحديث واحدا عن الاخرة حتى يبلغوا الى قائله
Sanad adalah rangkaian mata rantaipara rawi yang meriwayatkan hadits dari yang satu kepada yang lainnya hingga sampai kepada sumbernya.
Jadi Ittisal al-Sanad atau persambungan sanad atau sanad bersambung yaitu tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh al-Mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatan.
B. Karakter-karakter Persambungan Sanad
Ulama hadits berbeda pendapat tentang nama hadits yang sanadnya bersambung. Al-Khathib al-Baghdady (wafat 463 H=1072 M) menamainya sebagai hadits musnad. Sedang hadits musnad itu sendiri menurut Ibnu ‘Abd al-Barr (wafat 463 H=1071 M) ialah hadits yang disandarkan kepada Nabi, jadi disebut juga hadits marfu’; sedangkan sanad hadits musnad ada yang bersambung dan ada yang terputus.
Menurut penelitian al-Sakhawy (wafat 902 H=1497 M), pendapat yang banyak diikuti oleh para ulama adalah pendapat yang dikemukakan oleh al-Baghdady diatas. Dengan demikian, ulama hadits umumnya berpendapat, hadits musnad itu pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadits marfu’ itu belum tentu hadits musnad.
Disamping itu, dikalangan hadits dikenal juga istilah hadits muttasil atau mawsul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawy, yang dimaksud dengan hadits muttasil atau mawsul ialah hadits yang bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada sahabat Nabi saja. Jadi, hadits muttasil atau mawsul ada yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi) dan ada yang mawquf (disandarkan kepada sahabat Nabi). Apabila dibandingkan dengan hadits musnad maka dapat dinyatakan, bahwa hadits musnad pasti muttasil atau mawsul dan tidak semua hadits muttasil atau mawsul pasti musnad.
Untuk mengetahui bersambung (dalam arti Musnad) atau tidak bersambungnya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata-kerja penelitian sebagai berikut:
1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti;
2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat:
a. Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalany,dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby.
b. Dengan maksud untuk mengetahui :
1) Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis);
2) Apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan : kesezamanan pada masa hidupnya; dan guru-murid dalam periwayatan hadits.
3. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasany, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya.
Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa sanad hadits selain memuat nama-nama periwayat, juga memuat lambang-lambang atau lafadz-lafadz yang memberi petunjuk tentang metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Dari lambang-lambang itu dapat diteliti tingkat akurasi metode periwayatan yang digunakan oleh periwayat yang termuat namanya dalam sanad.
Periwayatan hadits, yakni kegiatan menerima dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik sanad maupun matannya, dikenal dengan istilah “Tahammul Wa Ada’ul Hadits”. Tahammul Hadits merupakan kegiatan menerima riwayat hadits, sedang Ada’ul Hadits merupakan kegiatan menyampaikan riwayat hadits.
Jadi, suatu sanad hadits barulah dapat dinyatakan bersambung apabila :
1. Seluruh periwayat dalam sanad hadits itu benar-benar siqath (adil dan dhabith);
2. Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut tahammul wa ada’ al- hadits.
Menurut Ilmu Hadits terdapat delapan cara dalam atau bentuk dalam periwayatan hadits yaitu :
1. As-sama’ ( mendengarkan hadits dari guru)
Yaitu suatu cara yang ditempuh oleh para muhaddisin periode perrtma untuk mendapatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW. Terminologi yang sering digunakan jenis periwayatan ini yaitu : sami’tu, haddatsani, akhbarana, atau anba’ani.
2. Al- Qiro’ah (membaca hadits dihadapan guru)
Yaitu membaca hadits dihadapan guru berdasarkan hafalan maupun dengan melihat kitab. terminologi yang sering digunakan ialah : akhbarana atau qara’tu ‘ala.
3. Al-Ijazah
Yaitu izin guru hadits kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab yang diriwayatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadits tersebut atau tidak membaca kitab tersebut dihadapannya. terminologi yang diunakan dalam hal ini adalah akhbarani atau ajazani.
4. Al-Munawalah
Yaitu seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadits kepada muridnya agar diriwayatkannya dengan sanad darinya. Istilah yang digunakan dalam jenis ini adalah akhbarani.
5. Al-Mukatabah
Yaitu seorang muhaddisin menulis suatu hadits lalu mengirimkannya kepada muridnya. Isti;ah yang digunakan adalah kataba ilayya atau min kitab.
6. Al-I’lam
Yaitu pemberitahuan oleh seorang muhaddis kepada seorang pencari hadits bahwa hadits atau kitab yang ditunjuknya adalah hadits atau kitab yag telah didengarnya dari seseorang tanpa disertai izin periwayatan kepadanya. Istilah yang digunakan dalam periwayatan ini adalah akhbarani atau ‘an.
7. Al-Wasiyat
Yaitu bahwa seorang muhaddits berwasiyat kepada seseorang agar kitab-kitabnya diserahkan kepadanya ketika muhaddits itu meninggal atau bepergian. Istilah yang digunakan adalah akhbarani wasiyyatan ‘an atau washani.
8. Al-Wijadah
Yaitu kasus dimana seseorang menemukan sesuatu hadits atau kitab hasil tulisan orang lain lengkap dengan sanad. lafadz yang digunakan adalah wajadtu , qala, ukhbirtu, dan hudditsu.
C. Aplikasi Persambungan Sanad
Contoh hadits.
حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ بنُ اِبْرَاهِيْمَ قَالَ : حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ : حَدَّثَنَا قَتَادَةٌ , عَنْ أَنَسٍ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ : لَااِلَهَ اِلَّااللهُ , وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيْرَةٍ مِنْ خَيْرٍ , وَ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ : لَااِلَهَ اِلّااللهُ , وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ , وَ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ : لَااِلَهَ اِلَّااللهُ , وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ.
Hadits tersebut kalau dibuat skema adalah sebagai berikut :
• Langkah Pertama yaitu mencatat semua periawayat yang ada dalam hadits.
Tabel Rijalul Hadits.
مراجع قول النقاد روى عنه روى عن توفي كنية و لقب نسب الاسم النمرة
ذ :
481-475
ج: 5
ك : ج
16: 84-87 قال مسلمة فى الصلة: كان ثقة
قال فيه ثقة لترمذي, وابرهيم بن اسحاق بن موسى الجَوْزِي, وأحمد بن سهل بن مالك عبيد الله بن موسى, وعفان, وأبى عاصم النبيل, وأبى المغيرة ......., قال بكير بن نمير : ولد سنة (194) وتوفي (256) البخارى مُحمّدُ بنُ اسماعيلُ بن اِبرَهِيم بن المُغِيرَة بن بَذْدِزْبَة البخارى
1
ذ :
250-249
ج : 6
ابن معين : ثقة , العجلى : ثقة البخاري, ابو داود, محمد بن يحي,... واخرون عبد السلام بن شداد, جرير بن حازم,..., هشام الدستوائ ......., واخرون قال البخاري : مات سنة اثنتين و عشرين و مائتين ابو عمرو البصري ابراهيم الازدي الفراهيدي مسلم 2
ذ :
246-244 ج : 6 العجلى : ثقة , محمد بن سعد : ثقة عبد الله و معاد ,...,مسلم بن ابراهيم, و اخرون قاتدة, يونس الاسكاف, شعيب بن الحبحب,..واخرون قال ابن حبان : مات سنة ثلاث او اربع وخمسين ابو بكر البصري ابى عبد الله الدستوائ هشام 3
ذ :
330-326
ج : 5
ابن سعد : ثقة
اسحاق بن منصور : ثقة أيوب اسحتياني,.., هشام الدستوائ...., ,..واخرون أنس بن مالك, عبد الله بن سرجس, ابي الطفيل, صفية بنت شيبة ....و اخرون قال : عمرو بن على : ولد سنة (61) و مات سنة سبعة عشرة و مائة (117) ابو الخطاب البصري دعامة بن قتادة بن عزيز بن عمرو بن ربيعة قاتدة 4
ذ :
357-355
ج : 1 صحابي الحسن, سليمان التيمي,...,قتادة,. ,...,.واخرون النبي صلعم , ابوبكر , عمر, عثمان ,...واخرون قال همام عن قتادة : مات سنة واحد و تسعون (91) ابو حمزة المدني مالك بن النضر بن ضمضم بن زيد بن حرام أنس 5
ذ : تهذيب التهذب ك: تهذيب الكمال ج : الجز
• Langkah Kedua dan Ketiga yaitu meneliti sejarah periwayat satu dengan lainnya dan kata-kata yang digunakan dalam melakukan periwayatan.
a. Nama Muslim bin Ibrahim dalam skema yang dimaksud adalah Muslim bin Ibrahim al-Azdy al- Farahidy (wafat pada tahun 22) . Dia dijuluki Abu Amr al-Basory. Dia menerima hadits tersebut dari Hisyam. Muslim adalah salah satu dari murid Hisyam dalam periwayatan. Ulama kritikus periwayat hadits menilai Muslim sebagai orang yang siqat. tidak ada seorangpun yang melontarkan celaan terhadap diri Muslim. Kemudian Muslim dalam menerima hadits dengan cara al-Sama’, kalau begitu, sanad dari Muslim kepada Hisyam itu bersambung.
b. Nama Muslim bin Ibrahim dalam skema yang dimaksud adalah Muslim bin Ibrahim al-Azdy al- Farahidy (wafat pada tahun 22) . Dia dijuluki Abu Amr al-Basory. Dia menerima hadits tersebut dari Hisyam. Muslim adalah salah satu dari murid Hisyam dalam periwayatan. Ulama kritikus periwayat hadits menilai Muslim sebagai orang yang siqat. tidak ada seorangpun yang melontarkan celaan terhadap diri Muslim. Kemudian Muslim dalam menerima hadits dengan cara al-Sama’, kalau begitu, sanad dari Muslim kepada Hisyam itu bersambung.
c. Nama Hisyam dalam skema diatas yang dimaksud ialah Hisyam bin Abi Abdillah ad-Dastuwaiy (wafat pada tahun 53) . Dia dijuluki Abu Bakar al-Basory Dia menerima hadits tersebut dari Hisyam. Muslim adalah salah satu dari murid Qotadah dalam periwayatan. Ulama kritikus periwayat hadits menilai Muslim sebagai orang yang siqat. tidak ada seorangpun yang melontarkan celaan terhadap diri Muslim. Kemudian Muslim dalam menerima hadits dengan cara al-Sama’, kalau begitu, sanad dari Muslim kepada Hisyam itu bersambung.
d.
III. KESIMPULAN
Persambungan sanad atau sanad bersambung yaitu tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.
Untuk mengetahui bersambung (musnad) atau tidak bersambungnya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata-kerja penelitian sebagai berikut:
1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti;
2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
3. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasany, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya yang ditelah dijelaskan dalam pembahasan tentang tahammul wa ada ‘al-hadits.
IV. PENUTUP
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan dan kekurangan untuk itu kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami, semoga makalah ini bias memberikan manfaat bagi pembaca umumnya dan pemakalah khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhary, Al-Imam, Hadits Sahih Bukhary, (Surabaya: Gita Media Press, 2009), cet. 1
Ichwan, Mohammad Noor, Ilmu-Ilmu Hadits, (Semarang : Rasail, 2013)
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992)
-----------------------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995)
Thahan, Mahmud, Intisari Ilmu Hadits, (Malang : UIN-Malang Press, 2007)
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-16410316379994713012013-06-25T16:50:00.001-07:002013-06-25T16:50:08.180-07:00LAPORAN PENELITIAN HADITS TENTANG MENCARI ILMU DI NEGERI CINA
A. Pendahuluan
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, serta ketetapan yang berasal dari Nabi SAW. dan merupakan sumber hukum atau pedoman yang kedua setelah Al-Quran dalam ajaran Islam. Dalam menunjukan dalil-dalil hukum, seringkali para Ulama khususnya para Da’i menggunakan Hadits dalam menerangkan dan menguatkan pernyataan yang disampaikannya.
Namun demikian, banyak perkataan-perkataan yang digunakan para Da’i yang sebetulnya bukan termasuk Hadits Nabi, tetapi mereka mengatakan bahwa itu adalah Hadits (dengan mengatakan: “Qoola Rasulullahi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam Qoola:....”). Mungkin salah satu sebabnya adalah karena sebagian dari mereka tidak atau belum mengetahui yang sebenarnya bahwa itu merupakan Hadits atau bukan. Memang seringkali banyak perkataan yang nampak seperti Hadits bahkan dianggap Hadits yang shahih karena memang sudah masyhur (umum dikenal), padahal bisa jadi itu bukan hadits shahih atau bahkan bukan Hadits Nabi (Hadits maudhu’/dibuat-buat/palsu).
Salah satu matan Hadits yang masyhur (terkenal) adalah “Uthlubul ‘ilma walau bisshin” (carilah ilmu walau ke Negeri Cina). Sebagian banyak orang menganggap bahwa perkataan ini adalah termasuk hadits, bahkan ada yang menganggap sebagai Hadits shahih. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai Hadits tersebut, dalam makalah ini akan dibahas mengenai penelitian dan kandungan makna (fiqh al-hadits) terhadap Hadits tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penelitian Hadits tentang Mencari Ilmu di Negeri Cina?
2. Bagaimana Fiqhul Hadits dari Hadits tentang Mencari Ilmu di Negeri Cina?
C. Pembahasan
1. Penelitian Hadits tentang Mencari Ilmu di Negeri Cina
Hadits. 1
Hadits tentang mencari Ilmu di negeri Cina dalam Kitab Syu’bul Iman
أخبرنا أبو عبد الله الحا فظ أنا أبو الحسن علي بن محمد بن عقبت الشيبا ني ثنا محمد بن علي بن عفان وأخبرنا أبومحمد الأ صبها ني أنا أبو سعيد بن زياد ثنا جعفر بن عا مر العسكري قالا ثناالحسن بن عطية عن أبي عاتكة عن أنس بن مالك قال: قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم:" اطلبوا العلم ولو بالصين فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم ".
Artinya: “Telah mengabarkan kepadaku Abu Abdullah Al Hafizh, telah mengabarkan kepadaku Abul Hasan Ali bin Muhammad bin ‘Uqbah Asy Syaibani, mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ali bin ‘Affan, mengabarkan kepadaku Abu Muhammad Al Ashbahani, mengabarkan kepadaku Abu Sa’id bin Ziyad, berkata kepadaku Ja’far bin ‘Amir Al ‘Askari, mereka berdua berkata: telah bercerita kepada kami Al Hasan bin ‘Athiyah dari Abu ‘Atikah, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: carilah ilmu walau ke Negeri Cina, sesungguhnya mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
Hadits. 2
Hadits tentang mencari Ilmu di negeri Cina dalam Kitab al-Maudhu’at
أنبأنا محمد بن نا صر قال أنبأ نا محد بن علي بن ميمون قال أنبأنا محمد بن علي العلوي قال أنبأنا علي بن محمد بن بيان قال حد ثنا أحمد بن خالد المرهبي قال حدثنا محمد بن علي بن حبيب قال حدثنا العباس بن إسما عيل قال حدثنا الحسن بن عطية الكوفي عن أبي عا تكة عن أنس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :"اطلبوا العلم ولو بالصين"
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Nashir, dia berkata telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ali bin Maimun, dia berkata telah mengabarkan kepada kami Muhammad bi n Ali al-Alawy, dia berkata telah mengabarkan kepada kami Ali bin Muhammad bin Bayyan dia berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Kholid al-Marohibi ia berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ali bin Khubaib dia berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Abas bin Ismail dia berkata telah menceritakan kepada kami al Hasan bin ‘athiyah al Kaufi dari Abi Atikah dari Anas dia berkata: Rasulullah SAW telah berkata: “carilah ilmu walau ke Negeri Cina”.
Skema Sanad Hadits. 1
رسول الله صلى الله عليه وسلم
أنس بن مالك
أبي عاتكه
الحسن بن عطيه
أبو سعيد بن زياد جعفر بن عامر
أبو محمد الأصبهاني
محمد بن علي بن عفان
أبو الحسن علي بن محمد بن عقبة
أبو عبد الله الحا فظ
Skema Sanad Hadits. 2 رسول الله صلى الله عليه وسلم
أنس بن مالك
أبي عاتكه
الحسن بن عطيه
العباس بن اسماعيل
محمد بن على بن حبيب
احمد بن خالد
على بن محمد بن بيان
محمد بن على
محمد بن على بن ميمون
محمد بن ناصر
Penelitian Kualitas Rijalul Hadits. 1:
قول النقا د روى عنه روى عن ولد/مات لقب اسم رقم
هومن أصحاب الرسول الحسن,ابن سر,الشعبى رسول الله, أبو بكر, عثمان ولد:10 قبل هجرية
مات: 93ه أبو همزة أنس بن ما لك 1
قال أبو حاتم: منكر الحديث الحسن بن عطيه,وحفص بن عمرالبخارى أنس - أبو عتكة طريف بن سلمان 2
وقال:صدوق يعقوب بن سفيان, أبو كريب,تمتام الحسن,وعلي ابني صالح, ابي عا تكه مات: 211 أبو علي الحسن بن عطيه 3
جعفر بن عامر 4
أبو سعيد بن زياد 5
أبو محمد 6
محمد بن علي بن عفان 7
أبوالحسن علي بن محمد بن عقبة 8
محمدبن اسحاق,عبدالله بن محمد يحي بن يحي النيسابورى,عبدان بن عثمن,أبى كامل الجحدرى ولد: 220ه أبو عبدالله الحا فظ محمدبن
نصر 9
Penelitian Kualitas Rijalul Hadits. 2
قول النقا د روى عنه روى عن ولد/مات لقب اسم رقم
هومن أصحاب الرسول الحسن,ابن سر,الشعبى رسول الله, أبو بكر, عثمان ولد:10 قبل هجرية
مات: 93ه أبو همزة أنس بن ما لك 1
قال أبو حاتم: منكرالحدث الحسن بن عطيه,وحفص بن عمر البخارى أنس - أبو عتكة طريف بن سلمان 2
وقال:صدوق يعقوب بن سفيان, أبو كريب,تمتام الحسن,وعلي ابني صالح, ابي عا تكه مات: 211 أبو علي الحسن بن عطيه 3
العباس بن اسماعيل 4
محمد بن على بن حبيب 5
احمد بن خالد 6
على بن محمد بن بيان 7
محمد بن على 8
قال النسائ : ثقة النسائ, ابو حاتم, ابن جرير ابيه,سعيد بن منصور, ابى داود الطيالسى ولد :193ه مات: 268 ه محمدبن على بن ميمون
9
محمدبن ناصر 10
Kualitas Sanad dan Perawinya
Suatu Hadits dimungkinkan menjadi shohih, dha’if, ataupun maudhu’ salah satunya dapat diketahui melalui penelitian sanad dan rawinya. Hadits maudhu’ dari sisi sanadnya antara lain dapat diketahui apabila periwayatnya adalah munafik atau seorang pendusta.
Tentang kritik terhadap sanad, telah kita kemukakan tentang apa yang telah disyaratkan para ‘Ulama berkenaan dengan rawi’, yaitu kejujuran, kekuatan ingatan, kekuatan hafalan, dan mendengar langsung yang harus ada pada setiap rawi dalam mata rantai sampai akhirnya bersambung dengan seorang sahabat.
Selain itu, periwayat yang dapat diterima riwayatnya adalah periwayat yang bersifat adil dan dhabith. Menurut kaedah kasahihan sanad Hadits yang telah disepakati oleh mayoritas Ulama Hadits, bahwa jumlah periwayat tidak menjadi persyaratan. Ini berarti, periwayat yang hanya seorang saja, asal dia bersifat adil dan dhabith, telah dapat diterima riwayatnya.
Dari gambaran skema yang ada (skema sanad hadits. 1), maka dapat dilihat bahwa periwayatan hadits yang pertama bersambungan, namun pada periwayat ke-3 (al-Hasan bin ‘Athiyah) meriwayatkan kepada dua orang, yaitu Ja’far bin ‘Amir dan Abu Sa’id bin Ziyad. Dan pada persambungan selanjutnya Abu Sa’id bin Ziyad juga memperoleh dari Ja’far bin ‘Amir yang kemudian meriwayatkan kepada periwayat berikutnya.
Demikian pula dengan kualitas para perawinya, untuk periwayat pertama (Anas bin Malik) memang tidak diragukan lagi ke-dhabitan-nya karena beliau termasuk salah satu Sahabat Nabi SAW. Dan untuk perawi ke-3 (al-Hasan bin ‘Athiyah) juga dikatakan Shaduq. Tetapi untuk periwayat ke-2 dinilai sebagai periwayat yang pendusta atau orang yang sering menghilangkan hadits (dzahibul hadits), dan periwayat ke-4 sampai seterusnya merupakan periwayat yang tidak dikenal, sehingga sanad yang ada pada Hadits tersebut dianggap dha’if al-isnad, dan dha’if-nya tergolong parah.
Sedangkan pada skema sanad hadits 2 periwayat yang ke-1, ke-2, dan ke-3 sama dengan skema sanad Hadits yang pertama. Maka dapat dilihat bahwa periwayatan hadits yang kedua ini sanadnya bersambungan menurut skema di atas. Namun untuk kualitas para perawinya banyak yang tidak dikenal dan sebagian lainnya ada yang dinilai sebagai pendusta. Untuk periwayat pertama (Anas bin Malik) memang tidak diragukan lagi ke-dhabitan-nya karena beliau termasuk salah satu Sahabat Nabi SAW. Dan untuk perawi ke-3 (al-Hasan bin ‘Athiyah) juga dikatakan Shaduq. Tetapi untuk periwayat ke-2 dinilai sebagai periwayat yang pendusta atau orang yang sering menghilangkan hadits (dzahibul hadits), dan periwayat ke-4 sampai periwayat ke-8 dan ke-10 merupakan periwayat yang tidak dikenal. Sedangkan untuk periwayat ke-9 (Muhamad bin ‘Ali bin Maimun) menurut imam an-Nasai adalah Tsiqah. Dengan demikian sanad yang ada pada Hadits tersebut dianggap dha’if karena banyak periwayat yang tidak dikenal dan sebagian lainnya ada yang dinilai sebagai pendusta atau orang yang sering menghilangkan hadits (dzahibul hadits), walaupun ada dua periwayat yang dinilai Shoduq dan Tsiqah (periwayat ke-3 dan ke-9). Dengan demikian, maka sanad yang pertama dan kedua sama-sama tergolong dha’if yang berat.
Kritik Matan
Dalam penyampaian lafal (matan) maupun makna suatu Hadits, maka ke-dhabit-an seorang rawi adalah syarat ke-shahih-an dari beberapa syarat yang harus dimiliki para rawi Hadits. Jika keadilan seorang rawi ditujukan dalam masalah moralitas, maka ke-dhabit-an rawi ditujukan dalam kapasitas kepahaman, kecerdasan, dan dalam penerimaan serta periwayatan Hadits, sehingga ia mampu menyampaikan kembali secara baik dan benar apa yang dimaksud Rasul Saw. dalam Haditsnya. Sehingga fiqh al-hadits (kandungan makna) yang ada dalam suatu Hadits dapat dipahami dengan benar tanpa adanya kekeliruan pemahaman orang yang menerima atau mendengarnya.
Penelitian terhadap matan Hadits ini (Hadits tentang mencari Ilmu di Negeri Cina) yang pemakalah ambil dari dua kitab yang telah ditulis di atas (Syu’bul Iman dan al-Maudhu’at) yang menjejelaskan tentang motivasi mencari Ilmu ini tidak pemakalah lakukan karena sanadnya berkualitas dha’if yang tergolong berat.
Memang terkadang suatu Hadits sanadnya dha’if tetapi matan-nya shahih karena diriwayatkan pula melalui jalur lain. Sebagaimana kadang-kadang suatu sanad shahih tetapi matan-nya dha’if karena rancu atau memiliki cacat.
Namun demikian, mengenai kandungan maknanya tetap diungkap karena mengingat bahwa semangat ataupun dorongan tentang mencari Ilmu yang terkandung dalam Hadits tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat baik dalam Al-Quran maupun Sunnah. Namun demikian, hendaknya Hadits tersebut tidak dipedomani sebagai sumber utama, karena sanadnya berkualitas lemah (dha’if).
Sebenarnya memang tidak mudah untuk mengambil keputusan ataupun garis kesimpulan mengenai kualitas Hadits tersebut. Tetapi dari beberapa kitab yang diambil untuk melakukan takhrij al-hadits dan kitab-kitab yang digunakan untuk meneliti kualitas para perawi maupun sanadnya telah menunjukan kepada kita bahwa hampir semua rawinya tidak dikenal. Ada sebagian yang dikenal tetapi dinilai sebagai periwayat yang dha’if (lemah). Memang ada periwayat yang dinilai tsiqah, bahkan ada yang termasuk salah satu dari Sahabat Nabi yang tidak diragukan lagi ke-dhabitan-nya, namun banyak sanad dan perawi yang menunjukan adanya kecacatan, sehingga hadits tersebut dinilai dha’if al-isnad (lemah sanadnya).
2. Fiqhul Hadits (Kandungan Makna) dari Hadits tentang Mencari Ilmu di Negeri Cina
Islam adalah Agama yang sistem aqidah dan syariatnya ditegaskan atas dasar Ilmu. Artinya, Islam merupakan Agama yang menampilkan diri berdasarkan atas Ilmu Pengetahuan dan menjadikan tuntunan mencari Ilmu sebagai salah satu bentuk ibadah yang paling besar nilainya. Tuntutan kewajiban mencari Ilmu ini diilustrasikan dalam QS. Al-‘Alaq: 1-5, wahyu yang pertama diturunkan Allah kepada Nabi Muhamad SAW. Demikian banyak pesan Al-Quran yang memuat semangat dan anjuran mencari Ilmu dan memperkuat kedudukan akal.
Mengenai pemahaman tentang hadis tersebut di kalangan Ulama belum ada kesepakatan pendapat, sehingga dalam memberikan interpretasi (penafsiran)-nya terdapat dua versi. Ada yang mengartikannya secara majazi (kiasan) yaitu, "Carilah ilmu walaupun berada di tempat yang amat jauh dan mendapatkan banyak kendala dan rintangan dalam mencarinya." Di antara ulama yang memiliki pemahaman yang demikian ialah Syaikhul Islam Muhammad bin Salim Al-Hifni (wafat 1081 H).
Namun banyak Ulama yang memberikan interpretasi terhadap hadis tersebut secara hakiki. Maksud hadits itu menurut mereka, janganlah hanya mempelajari Ilmu Pengetahuan yang berhubungan dengan urusan Agama atau ibadah saja, tetapi juga mencari dan mempelajari berbagai Ilmu pengetahuan lainnya, seperti ilmu kedokteran, matematika, kimia, biologi, sosiologi, astronomi, arsitektur, dan lain-lain. Kalau pengertiannya hanya menyangkut Ilmu yang berkaitan dengan Ilmu keagamaan, niscaya Nabi Saw. tidaklah memerintahkan umatnya supaya menuntut Ilmu walaupun sampai ke negeri Cina (Tiongkok), sebab keadaan penduduk negeri Cina pada masa itu umumnya masih menyembah berhala atau arca sehingga tidak mungkin dijadikan sebagai tempat atau sumber untuk mempelajari Ilmu keagamaan atau ibadah.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Hadits tentang motivasi untuk mencari Ilmu (uthlubul ilma walau bisshin) memang merupakan salah satu perkataan yang sudah masyhur atau sering kali kita dengar. Namun, setelah kita teliti bersama ternyata banyak sanad atau rawi Haditsnya yang dinilai dha’if yang berat dan bahkan banyak yang tidak dikenal. Meskipun ada beberapa yang dianggap tsiqah atau bahkan ada yang tidak diragukan lagi ke-dhabitan-nya karena merupakan salah satu Sahabat, akan tetapi kebanyakan dari rawinya tidak dikenal, sehingga Hadits tersebut dinilai sebagai Hadits maudhu’.
Sedangkan dilihat dari segi kandungan matan-nya, hadits ini memang tidak bertentangan dengan pesan-pesan yang ada atau diilustrasikan dalam Al-Quran seperti semangat atau dorongan untuk mencari Ilmu yang disampaikan dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 yang merupakan wahyu pertama.
Berkaitan dengan kandungan makna (fiqh al-hadits) yang terdapat dalam Hadits tersebut, pemakalah lebih setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa pemahaman terhadap Hadits ini lebih cocok jika dipahami secara hakiki. Hadits ini mempunyai maksud bahwa carilah Ilmu walau sampai atau di tempat yang amat jauh, dan dalam mencari Ilmu hendaknya jangan hanya mempelajari Ilmu keagamaan atau soal ibadah saja, tetapi juga Ilmu-ilmu yang lain seperti Ilmu kedokteran, fisika, matematika, astronomi, biologi, dan lain-lain. Karena kalau Ilmu yang dimaksudkan Nabi hanyalah Ilmu keagamaan atau ibadah saja, niscaya Nabi tidak menunjuk kepada Negeri Cina karena bukan merupakan tempat atau sumber Ilmu keagamaan atau ibadah.
2. Saran dan Penutup
Dalam penulisan makalah ini tentu penulis sebagai manusia biasa mempunyai kekurangan atau kesalahan yang belum penulis ketahui, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif senantiasa kami harapkan demi makalah selanjutnya agar lebih baik. Namun demikian, berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan telah menunjukan bahwa Hadits tentang motivasi mencari Ilmu (uthlubul ilma walau bisshin) yang sudah kita kenal ternyata merupakan Hadits yang dinilai dha’if oleh kebanyakan Ulama Hadits.
Dengan demikian, hendaknya kita dalam menyampaikan Hadits haruslah teliti atau mengetahui lebih dahulu apakah itu merupakan Hadits yang Shahih atau dha’if, atau bahkan bisa jadi itu bukan Hadits yang berasal dari Nabi atau hadits maudhu’ (Hadits yang dibuat-buat atau palsu). Kalau Hadits yang shahih tentunya sudah memenuhi kriteria ke-shahih-an sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Seandainya Hadits yang telah kita teliti di atas (uthlubul ilma walau bisshin) merupakan Hadits yang shahih, maka Negeri Cina yang diungkapkan dalam Hadits itu bukan merupakan petunjuk tentang keutamaan Negeri Cina karena pada masa Nabi hidup Cina masih merupakan wilayah yang penduduknya belum memeluk Agama Islam. Ingat, tetapi jika Hadits itu merupakan Hadits yang shahih. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
‘Itr, Nuruddin , Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012).
Abdur Rohman, Abi al-Faroj, al-Maudhu’at, (Bairut: Darul Kutubul Ilmiyah, 1997), Juz 1.
Abdurrahman, M, Metode Kritik Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011).
Ahmad, Abu Bakr, Syu’bul Iman, (Bairut: Darul Kutubul Ilmiyah, 1995), Juz 2.
al-Atsqolany, Ahmad bin ‘Aliy bin Hajar Tahdzib al-Tahdzib, (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2004), Juz 1.
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kasahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
Soebahar, M. Erfan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. 1.
Sumbulah, Umi, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008).
Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010).
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-66628253671680910482013-06-25T08:23:00.000-07:002013-06-25T08:23:05.869-07:00NAQDUS SANAD ASPEK KUALITAS RIJAL AL-HADITS<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /> I. PENDAHULUAN<br /><br />Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran. Dan selain berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Al-Quran, oleh karena itu otentisitas sumber Hadis adalah hal yang sangat penting.<br /><br />Selanjutnya, penulisan kritik hadits menjadi lebih sistematis dengan dilakukannya penelitian atas sanad secara terpisah dari matan. Hal ini digagas oleh pakar kritik hadits seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl”, dan ’Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya. Setelah sejumlah peninggalan ulama tersebut ditelaah kembAli oleh para ulama mutaakhirîn seperti al-Mizzi, Dzahabi, Ibnu Hajar dan lainnya, mereka kemudian meletakkan materi-materi kritikan dalam satu buku tersendiri tanpa memuat sanadnya secara lengkap. Kemudian mereka mendiskusikan (munaqasyah) komentar-komentar ulama hadits, hingga dapat memberikan penilaian akhir pada sebuah hadits.<br /><br />Maka dari itu, dalam makalah kami yang berjudul “Naqdus Sanad Aspek Kualitas Rijal Al-Hadits” akan kami paparkan mengenai Pengertian tsiqah, kaidah kritik tijal, dan praktek penilaian rijal hadits.<br /><br /> II. Pengertian Tsiqah<br /><br />Ke-tsiqat-an seorang rawi merupakan akumulasi dari ke-dhabit-an serta keadilannya. Jadi tsiqah merupakan gabungan dari sifat adil dan dhabit. ke-dhabit-an berkaitan dengan tingkat intlektualitasnya sedangkan keadilan berkaitan dengan moralitas rawi tersebut. Oleh karena itu ketika seorang rawi dikatakan tsiqat, artinya autentisitas hadits yang diriwayatkan bisa dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara intlektual. Dengan demikian, syarat kesahihan hadits salah satunya terukur dari tsiqat tidaknya rawi tersebut.[1]<br /><br />Dari uraian diatas tampak bahwa disyaratkannya ke-tsiqat-an (adil dan dhabit-nya) seorang rawi ditujukan dalam rangka mengejar autentisitas hadits secara maksimal, dimana dhabith diartikan seorang perawi yang wajib menghindari kesalahan dalam meriwayatkan hadits, baik ketika ia meriwayatkan melalui hafalan maupun dengan tulisan. Ketentuan ini bertujuan agar hadits yang diriwayatkan benar-benar dapat diyakini dan atau diduga keras penisbatannya langsung pada Nabi saw.<br /><br />Adapun mengenai adil, sebagaimana digambarkan dimuka, berkaitan erat dengan dhabith, yang bertujuan melengkapi ke-tsiqata-an rawi yang bersifat intelektual (dhabith) dengan unsur yang bersifat moral. Tujuannya agar riwayat yang disampaikan rawi, di samping bisa dinilai secara intelektual, sehingga tidak salah dalam meriwayatkannya yang dijamin secara moral, sehingga hadits yang diriwayatkannya jauh dari kedustaan dan praktek tadlis (manipulasi) lainnya.[2]<br /><br />Berikut ini kami jelaskan mengenai Kualitas Pribadi Periwayat (‘Adil) dan Kapasitas Intelektual Periwayat (Dhabith) ;<br /><br />A. Kualitas Pribadi Periwayat (‘Adil )<br /><br />Dalam kamus besar bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak berat sebelah (tidak memihak).[3]<br /><br />Secara istilah kata adil yaitu sifat yang tertanam kuat dalam diri yang membawa pelakunya pada ketetapan taqwa dan muru’ah. Adapun yang dimaksud takwa adalah menjauhnya seseorang terhadap perbuatan buruk berupa kefasikan dan kebid’ahan, sedangkan yang dimaksud dengan muru’ah adalah terpeliharanya manusia dari hal-hal yang tercela dari adat kebiasaan.[4]<br /><br />Menurut Nuruddin ‘Itr ada beberapa kriteria untuk periwayat dikatakan adil yaitu[5] :<br /><br />1. Beragama Islam<br /><br />Hal ini berdasarkan firman allah :<br /><br />Artinya : “... dari saksi-saksi yang engkau ridhai ....”. (QS. Al-Baqarah : 282)<br /><br />Sementara orang yang tidak beragama islam pasti tidak akan mendapatkan keridhaan seperti itu,<br /><br />2. Baligh<br /><br />Hal ini karena merupakan suatu paradigma akan kesanggupan memikul tanggung jawab mengemban kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang dilarang.<br /><br />3. Berakal sehat<br /><br />Sifat ini harus dimiliki seorang periwayat agar dapat berlaku jujur dan berbicara tepat.<br /><br />4. Taqwa<br /><br />Yaitu menjauhi dosa-dosa besar dan tidak membiasakan dosa-dosa kecil.<br /><br />5. Berperilaku yang sejalan dengan muru’ah (harga diri yang agamis) serta meninggalkan hal-hal yang mungkin merusaknya; meninggalkan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar.<br /><br />Apabila semua kriteria ini terpenuhi pada diri seseorang periwayat maka ia adalah orang yang adil dan jujur, karena ia akan senantiasa terpanggil untuk berperilaku jujur dan menghindari dusta, lantaran padanya telah tertanam norma-norma agama, sosial, dan susila, dengan pengetahuan yang sempurna tentanghak dan kewajibannya.<br /><br /><br /><br />B. Kapasitas Intelektual Periwayat (Dhabith)<br /><br />Menurut Nuruddin ‘Itr, yang dimaksud dengan dhabit adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan apabila hadits yang diriwayatkan berdasarkan hafalannya, benar tulisannya apabila hadits yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan, sementara apabila ia meriwayatkan hadits secara makna maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.[6]<br /><br />Sebagian ulama’ menyatakan, bahwa orang yang dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia hafal secara sempurna, dan dia memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat dia mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[7]<br /><br />Kriteria-kriteria periwayat dhabit yaitu :<br /><br />1. Kuat ingatan dan kuat pula hafalan, tidak pelupa<br /><br />2. Memelihara hadits, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, ketika ia meriwayatkan hadits berdasarkan buku catatannya atau sama dengan catatan ulama’ yang lain.[8]<br /><br /> III. Kaidah Kritik Rijal Al-Hadits<br /><br />Penilaian manusia terhadap manusia lainnya, baik terhadap aspek spiritual, seperti masalah iman, takwa, taat, maksiat, dan fasik, maupun terhadap aspek intelektual seperti dalam masalah pandai tidaknya, keliru tidaknya, banyak salah atau tidaknya, tidak kuat hafalannya dan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan social, seperti kejujurannya, amanahnya, khianat, tutur katanya, dan lain sebagainya selalu menghiasi kehidupan manusia. <br /><br />Penilaian seperti ini, dalam ilmu hadits dikenal dengan nama jarh dan ta’dil. Ilmu ini, sebagaimana telah dipaparkan, membahas secara khusus persoalan tersebut diatas. Misalnya ungkapan tsiqat, shuduq, ‘adil, dhabit, dan lain-lain, semuanya merupakan pujian dan celaan terhadap rawi hadits yang ada dalam kerangka ilmu itu. <br /><br />Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadits. Rawi yang “berat” timbangannya, diterima riwayatnya dan rawi yang “ringan” timbangannya, ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya dan kita dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.[9]<br /><br />Menurut Syuhudi Ismail dalam bukunya kaedah kesahihan sanad hadits yang mengutip pendapatnya Ibn Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwasannya sifat ketercelaan periwayat itu dibagi kedalam sepuluh peringkat. Sifat ketercelaan yang disebutkan lebih dahulu memiliki peringkat yang lebih buruk daripada sifat ketercelaan yang disebutkan berikutnya. Sifat-sifat ketercelaan tersebut diantaranya yaitu : (Lihat Lampiran Ikhtisar IV)<br /><br />1. Al-kadzib; dikenal suka berdusta.<br /><br />2. At-tuhmah bil kadzib; tertuduh telah berdusta.<br /><br />3. Fahusya ghalatuhu; riwayatnya yang salah lebih banyak daripada yang benar.<br /><br />4. Al-Ghaflah ‘an al-itqan; lebih menoncol sifat lupanya daripada hafalnya.<br /><br />5. Al-fisq; berbuat atau berkata fasik (dosa yang terus menerus) tetapi belum sampai menjadikannya kafir.<br /><br />6. Al-wahm; riwayatnya diduga mengandung kekeliruan.<br /><br />7. Al-mukhalafah ‘an ats-tsiqah; riwayatnya berlawanan dengan riwayat orang-orang yang tsiqah.<br /><br />8. Al-jahalah; tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan periwayat itu.<br /><br />9. Al-bid’ah; berbuat bid’ah yang mengarah ke fasik, tapi belum menjadikannya kafir.<br /><br />10. Su’ al-hifzh; hafalannya jelek sehingga riwayatnya banyak salah, tapi masih ada juga yang benar.[10]<br /><br />Adapun mengenai sifat-sifat keterpujian periwayat menurut Abdurrahman dan Elan yang mengutip pendapatnya Ibn Hajar Al-Asqalaniy menjelaskan bahwasannya sifat-sifat keterpujian periwayat itu dibagi kedalam enam perigkat. Sifat keterpujian yang disebutkan lebih dahulu memiliki peringkat yang lebih baik daripada sifat keterpujian yang disebutkan berikutnya. Sifat-sifat tersebut diantaranya yaitu : (Lihat Lampiran Iktisar VI)<br /><br />1. اوثق النا س artiya orang yang paling tsiqah<br /><br />2. ثقة ثقة artinya orang yang tsiqah (lagi) tsiqah<br /><br />3. ثقة artinya orang yang tsiqah<br /><br />4. صدوق artinya orang yang sangat jujur dan لاباس به ( ليس به باس ) artinya orang yang tidak cacat<br /><br />5. شيخ artinya guru dan صالح الحديث artinya orang yang baik hadisnya<br /><br />6. ارجو ان لا بأس به artinya orang yang diharapkan tsiqah atau tidak cacat.[11]<br /><br />Dalam bukunya metodologi penelitian hadits nabi karya Syuhudi Ismail menjelaskan bahwasannya ulama’ al-jarh wat ta’dil mengemukakan dalam kegiatan meneliti periwayat hadits ada beberapa teori yang perlu dijadikan bahan pertimbangan oleh peneliti hadits. Teori-teori tersebut diantaranya yaitu :<br /><br />1. اَلتَّعْدِيْلُ مُقَدَّمٌ عَلَى الْجَرْحِ<br /><br />Artinya : “at-Ta’dil didahulukan atas al-jarh.”<br /><br />Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercelah oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya.<br /><br />2. الْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ<br /><br />Artinya : “al-jarh didahulukan atas at-Ta’dil.”<br /><br />Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.<br /><br />Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimilikioleh periwayat yang bersangkutan.<br /><br />3. إِذَا تَعَارَضَ الْجَارِحُ وَ الْمُعَدِّلُ فَالْحُكْمُ لِلْمُعَدِّلِ إِلاَّ إِذَا ثُبِتَ الْجَرْحُ الْمُفَسَّرُ<br /><br />Artinya : “apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka harus dimenangkan adalah kritikus yang memuji, kecuali pada kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.”<br /><br /><br /><br />Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan.<br /><br />Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.<br /><br />4. إِذَا كَانَ الْجَارِحُ ضَعِيْفًا فَلاَ يُقْبَلُ جَرْحُهُ لِلثِّقَّةِ<br /><br />Artinya : “apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tegolong Dho’if, maka kritikannya terhadap orang yang Tsiqah tidak diterima.”<br /><br />Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak siqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang tidak siqah, maka kritikan orang yang tidak siqah tersebut harus ditolak.<br /><br />Alasannya, orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak siqah.<br /><br />5. لاَ يُقْبَلُ الْجَرْحُ إِلاَّ بَعْدَ التَّثَبُّتِ خَشْيَةَ الْأَشْبَاهِ فِي الْمَجْرُوْحِيْنَ<br /><br />Artinya : “al-jarh tidak diterima, kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) denga adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.”<br /><br /><br /><br />Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupu kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.<br /><br />Alasanya, suatu kritikan ahris jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan.<br /><br />6. الْجَرْحُ النَّاشِىءُ عَنْ عَدَاوَةٍ دُنْيَوِيَّةٍ لاَ يُعْتَدُّ بِهِ<br /><br />Artinya : “al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniaan tidak perlu diperhatiakan.”<br /><br /><br /><br />Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusushan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.<br /><br />Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlakuk tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.[12]<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> IV. Praktek Penilaian Rijal Al-Hadits<br /><br />Kami mencoba meneliti hadits tentang jihad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Berikut ini haditsnya :<br /><br />حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (لَغَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا) [13]<br /><br />Artinya : “telah menceritakan kepada kami mu’alla bin asad, telah menceritakan kepada kami wuhaib, telah menceritakan kepada kami humaid dari anas bin malik r.a. dari rasulullah saw. : (Berangkat di pagi hari atau di sore hari untuk (jihad) fi sabilillah lebih baik daripada dunia dan isinya)”(HR. Bukhari)<br /><br /><br /><br />Urutan nama periwayat hadits riwayat bukhari diatas ialah :<br /><br />1. Periwayat Pertama : Anas bin Malik<br /><br />2. Periwayat Kedua : Humaid<br /><br />3. Periwayat Ketiga : Wuhaib<br /><br />4. Periwayat Keempat : Mu’alla bin Asad<br /><br />5. Periwayat Kelima : Bukhari<br /><br /><br /><br /> V. KESIMPULAN <br /><br />Ke-tsiqat-an seorang rawi merupakan akumulasi dari ke-dhabit-an serta keadilannya. Jadi tsiqah merupakan gabungan dari sifat adil dan dhabit. ke-dhabit-an berkaitan dengan tingkat intlektualitasnya sedangkan keadilan berkaitan dengan moralitas rawi tersebut.<br /><br />Menurut Syuhudi Ismail dalam bukunya kaedah kesahihan sanad hadits yang mengutip pendapatnya Ibn Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwasannya sifat ketercelaan periwayat itu dibagi kedalam sepuluh peringkat. Sifat-sifat ketercelaan periwayat diantaraya yaitu ; Al-kadzib, At-tuhmah bil kadzib, Fahusya ghalatuhu, Al-Ghaflah ‘an al-itqan, Al-fisq, Al-wahm, Al-mukhalafah ‘an ats-tsiqah, Al-jahalah, Al-bid’ah, dan Su’ al-hifzh.<br /><br />Adapun mengenai sifat-sifat keterpujian periwayat menurut Abdurrahman dan Elan yang mengutip pendapatnya Ibn Hajar Al-Asqalaniy yang menjelaskan bahwasannya sifat-sifat keterpujian periwayat itu dibagi kedalam enam perigkat. Yang mana Sifat-sifat keterpujian periwayat tersebut yaitu ; اوثق النا س, ثقة ثقة, ثقة, صدوق dan لاباس به ( ليس به باس ), شيخ dan صالح الحديث, dan ارجو ان لا بأس به.<br /><br />Ada beberapa teori yang digunakan dalam meneliti kualitas periwayat dalam jarh wat ta’dil, diantaranya yaitu :<br /><br />1. اَلتَّعْدِيْلُ مُقَدَّمٌ عَلَى الْجَرْحِ<br /><br />2. الْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ<br /><br />3. إِذَا تَعَارَضَ الْجَارِحُ وَ الْمُعَدِّلُ فَالْحُكْمُ لِلْمُعَدِّلِ إِلاَّ إِذَا ثُبِتَ الْجَرْحُ الْمُفَسَّرُ<br /><br />4. إِذَا كَانَ الْجَارِحُ ضَعِيْفًا فَلاَ يُقْبَلُ جَرْحُهُ لِلثِّقَّةِ<br /><br />5. لاَ يُقْبَلُ الْجَرْحُ إِلاَّ بَعْدَ التَّثَبُّتِ خَشْيَةَ الْأَشْبَاهِ فِي الْمَجْرُوْحِيْنَ<br /><br />6. الْجَرْحُ النَّاشِىءُ عَنْ عَدَاوَةٍ دُنْيَوِيَّةٍ لاَ يُعْتَدُّ بِهِ<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> VI. PENUTUP<br /><br />Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayat, serta inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, semoga uraian-uraian yang saya sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan para pembaca.<br /><br />Kami menyadari makalah ini masih kurang sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat membantu dalam kesempurnaan makalah ini. Kami berdo’a kepada Allah semoga Allah meridhoi makalah ini. Amin . . . . . .<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />‘Itr, Nuruddin, ‘Ulumul Hadits, Bandung : PT. Remaja Rosada Karya, 2012, cet. 1<br /><br />Baddzizbah, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin, Shahih Bukhari, juz 3, Bairut : Darul Kutub Al-‘Ilmiah, 1992<br /><br />Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995, cet. 2<br /><br /> , Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet. 1<br /><br />Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Balai Pustaka, 2005<br /><br />Salam, Bustamin dan M. Isa. H. A., Metodologi Kritik Hadits, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, cet. 1<br /><br />Sumarna, M. Abdurrahman dan Elan, Metode Kritik Hadits, Bandung : PT. Rosdakarya, 2011, cet. 1<br /><br />[1] M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, (Bandung : PT. Rosdakarya, 2011), cet. 1, hlm. 16<br /><br />[2] Ibid <br /><br />[3] Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 8<br /><br />[4] M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, hlm. 28<br /><br />[5] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, (Bandung : PT. Remaja Rosada Karya, 2012), cet. 1, hlm. 70-71<br /><br />[6] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, hlm. 71<br /><br />[7] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), cet. 2, hlm. 135<br /><br />[8] Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet. 1, hlm. 43<br /><br />[9] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, hlm. 84<br /><br />[10] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, hlm. 178-179<br /><br />[11] M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, hlm. 158-159<br /><br />[12] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. 1, hlm. 77-81<br /><br />[13] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Baddzizbah, Shahih Bukhari, juz 3 (Bairut : Darul Kutub Al-‘Ilmiah, 1992), hlm. 274<br /></div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-16839618738493225492013-06-25T06:40:00.002-07:002013-06-25T06:44:05.639-07:00ruang lingkup naqd hadis<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />I. PENDAHULUAN<br />Hadis atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi SAW yang beredar pada masa nabi Muhammad SAW hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Quran dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW dan pengikut jejaknya, menggunakan Hadis sebagai hujjah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya.<br />Permasalahan yang dihadapi umat Islam disegala aspek sejak dahulu (masa Nabi) atau sekarang (pasca Nabi) sangat kompleks. Sedangkan Al-Qur’an sebagai sumber ajaran dan sumber hukum yang pertama tidak atau hanya memberikan keterangan yang bersifat mujmal (umum), oleh karena itu peranan Hadits sebagai sumber ajaran dan sumber hukum yang ke-dua sangat penting karena Hadis juga berasal dari Allah. Keyakinan ini yang membuat umat Islam mau mengamalkan Hadits dengan penuh semangat, patuh dan ikhlas.<br />Kondisi demikian bebeda pasca Nabi SAW wafat bukan hanya permasalahan kehidupan yang banyak muncul di tengah-tengah kehidupan umat, juga keshahihan sebuah Haditspun patut untuk dipertanyakan. Oleh karena itu umat Islam menyadari akan pentingnya melakukan penelitian Hadits (Naqd al-Hadits) untuk mengetahui keaslian sumber (Hadis) sehingga dapat diketahui tingkat kehujahannya dan dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi umat Islam. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian, urgensi, manfaat dan tujuan naqd al-hadits.<br />II. RUMUSAN MASALAH<br />A. Bagaimana Pengertian Naqd Al-Hadits ?<br />B. Bagaimana Urgensi Naqd Al-Hadits ?<br />C. Apa Tujuan Naqd Al-Hadits ?<br />D. Apa Manfaat Naqd Al-Hadits ?<br />III. PEMBAHASAN<br />A. Pengertian Naqd Al-Hadits<br />Kata naqd berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti meneliti dengan seksama. Selain itu kata kritik merupakan alih bahasa dari kata نقد (naqd) atau dari kata تمييز (tamyiz). Sekalipun kata tersebut tidak ditemukan, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits, namun tidak perlu diperdebatkan, apakah kegiatan kritikpantas diterapkan dalam kajian Hadits atau tidak, karena disiplin ilmu kritik memang muncul belakangan. Sedangkan menurut istilah, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran. Kritik yang dimaksud di sini adalah sebagai upaya mengkaji atau meneliti Hadits Rasulullah SAW. Untuk menentukan Hadits yang benar-benar datang dari nabi Muhammad SAW. <br />Kata Hadis berasal dari bahasa Arab الحديث (al-Hadits); jama’nya adalahالاحاديث (al-Ahadits). Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya: الجديد (al-Jadid) yang berati baru, lawan dari kata القديم (al-Qadim) berati lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. itu adalah Hadis (baru) sebagai lawan dari wahyu Allah (kalam Allah) yang bersifat Qadim. <br />Dalam terminologi ilmu Hadis, kritik Hadis atau Naqd Al-Hadits atau penelitian Hadis nabi merupakan upaya untuk menyeleksi Hadits agar dapat diketahui mana Hadits yang shohih dan mana Hadits yang tidak shohih. Karena Hadits terdiri dari sanad dan matan, maka obyek penelitian Haditspun mencakup penelitian sanad atau al-Naqd al-Khoriji/kritik ekstern/naqd al-Sanad dan penelitian matan atau naqd al-Matn/kriitik intern/ naqd al-Dakhili. <br />Dapat kita pahami bahwasanya kritik Hadis bukanlah untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah SAW, karena otoritas nubuwwah dan penerima mandat risalah dijamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma (yang biasanya disebut ma’shum), tetapi sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya.<br /><br />B. Urgensi Naqd Al-Hadits<br />Problem pemahaman Hadits nabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk diangkat. Hal demikian berangkat dari realitas Hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang dalam banyak aspeknya berbeda dengan Al-Quran. Perkembangan pemikiran terhadap Hadits memang tidak semarak yang terjadi dalam pemikiran terhadap Al-Qur’an. Problem utama Hadits yang senantiasa mencuat ke permukaan, mempersoalkan otentisitas Hadits. Untuk itu kritik Hadits dilakukan agar keaslian dari Hadits tersebut dapat teruji kebenarannya. <br />Tidak semua Hadits nabi secara eksplisit memiliki asbabul wurud yang menjadikan ketidakjelasan status Hadits apakah bersifat umum atau khusus. Dengan melihat kondisi yang melatarbelakangi munculnya suatu Hadits, sebuah Hadits terkadang dipahami secara tekstual dan secara kontekstual. Oleh karenanya penting sekali mendudukkan pemahaman Hadits pada tempat yang proporsional, kapan dipahami secara tekstual, kontekstual, universal, temporal, situasional maupun lokal. Karena bagaimanapun juga, pemahaman yang kaku, radikal dan statis sama artinya menutup keberadaan Islam yang shohih likulli zaman wa makan. <br />Menghadapi problematika memahami Hadits nabi, khususnya dikaitkan dengan konteks kekinian, maka sangatlah penting untuk melakukan kritik Hadits, khususnya kritik matan dalam artian mengungkap pemahaman, interpretasi, tafsiran yang benar mengenai kandungan matan Hadits. <br />Dalam hal lain, berangkat dari pemahaman bahwa nabi Muhammad SAW adalah manusia biasa, seorang suami, seorang ayah, seorang anggota keluarga, seorang teman, seorang pengajar, seorang pendidik, seorang mubaligh, seorang pemimpin masyarakat, seorang panglima perang, seorang hakim, dan seorang kepala negara, maka untuk mengetahui hal-hal yang harus diteladani yang berasal dari diri nabi, diperlukan penelitian. Dengan demikian, maka dapat diketahui Hadits nabi yang berkaitan dengan ajaran dasar Islam, praktik nabi dalam mengaplikasikan petunjuk Al-Quran sesuai dengan tingkat budaya masyarakat yang sedang dihadapi oleh nabi dan sebagainya. <br /><br />C. Tujuan Naqd Al-Hadits<br />Tujuan pokok penelitian Hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan, adalah untuk mengetahui kualitas Hadits yang diteliti. Kualitas Hadits sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujahan Hadits yang bersangkutan. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu diperlukan karena Hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Penggunaan Hadits yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. <br />Ulama Hadits sesungguhnya telah melakukan penelitian terhadap seluruh Hadits yang ada, baik yang termuat dalam berbagai kitab Hadits maupun yang termuat dalam berbagai kitab non-Hadits. Kalau begitu, apakah penelitian Hadits masih diperlukan juga pada saat sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu perlu diperjelas beberapa hal sebagai berikust:<br />1. Hasil penelitian yang telah dikemukakan oleh para ulama pada dasarnya tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu ijtihad tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar dan salah. Jadi, Hadis tertentu yang dinyatakan berkualitas sahih oleh seorang ulama Hadits masih terbuka kemungkinanan diketemukan kesalahannya setelah dilakukan penelitian kembali secara lebih cermat.<br />2. Pada kenyataannya, tidak sedikit Hadits yang dinilai shahih oleh ulama Hadits tertentu, tetapi dinilai tidak shahih oleh ulama lainnya. Padahal, suatu berita itu tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Dengan begitu, penelitian kembali masih perlu dilakukan, minimal untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan hasil penelitian itu.<br />3. Pengetahuan manusia berkembang dari masa ke masa. Perkembangan pengetahuan itu sudah selayaknya dimanfaatkan untuk melihat kembali hasil-hasil penelitian yang telah ada lama.<br />4. Ulama Hadits adalah manusia biasa, yang tidak terlepas dari berbuat salah. Karenanya tidak mustahil bila hasil penelitian yang telah mereka kemukakan, masih dapat diketemukan letak kesalahannya setelah dilakukan penelitian kembali. <br />5. Penelitian Hadits mencakup penelitian sanad dan matan. Dalam penelitian sanad, pada dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayatan itu. Menilai seseorang tidaklah semudah menilai benda mati. Dapat saja seseorang dinyatakan baik pribadinya, padahal kenyataannya adalah sebaliknya. Kesulitan menilai pribadi seseorang ialah karena pada diri seseorang terdapat berbagai dimensi yang mempengaruhi pribadinya. Karenanya tidaklah mengherankan bila dalam menilai periwayat Hadits, tidak jarang ulama berbeda pendapat. Ini berarti, penelitian memang tidak hanya diperlukan kepada periwayat saja, tetapi juga kepada ulama yang menilai para periwayat tersebut.<br />Tidak dapat dipungkiri bahwa kegunaan dari penelitian ini sangat besar, terutama bagi orang yang mempelajari Hadits dan ilmunya. Penelitian Hadits (naqd al-Hadits) klasik, yang sering disebut kritik Hadits, pada umumnya diarahkan pada penelitian kualitas Hadits-hadits dalam kitab induk, yaitu “kitab induk Hadits” yang enam (al-kutub al-sittah), yang sembilan (al-kutub al-tis’ah), atau yang terbaru nanti, atau “kitab nukilan Hadits” dibawahnya seperti: Riyadhl al-Sholikhin, Bulugh al-Maram, serta Hadits yang tersebar diberbagai kitab dan buku. Tujuannnya, untuk mengetahui apakah Hadits yang menjadi sasaran penelitian atau yang ditelaah itu benar asli berasal dari nabi SAW ataukah tidak. Jika benar, maka ia akan diteladani dan dijadikan hujjah dalam beramal, dan ditinggalkan bila sebaliknya. Jadi, penelitian Hadits dengan tujuan itu adalah bersifat kedalam dan untuk kepentingan menjadi dan menggali kembali hasanah Hadits yang dimiliki untuk kebutuhan hujjah keagamaan, dan tentu saja tidak akan terlepas dari sifat yang dapat dikategorikan sebagai pasif. <br /><br />D. Manfaat Naqd Al-Hadits<br />Dengan berbagai alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapatlah dinyatakan bahwa penelitian ulang terhadap Hadits yang telah pernah dinilai sebelumnya tetap saja memiliki manfaat. Penelitian ulang merupakan salah satu upaya untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian ulama terhadap Hadits yang mereka teliti, juga untuk menghindari diri dari penggunaan dalil Hadits yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujjahan.<br />Sehingga harus segera dinyatakan bahwa dengan adanya manfaat untuk mengadakan penelitian ulang tersebut tidaklah berarti bahwa seluruh hasil penelitian ulama terhadap Hadits harus diragukan. Kenyataan sering menunjukkan bahwa setelah penelitian ulang dilakukan, ternyata banyak hasil penelitian yang telah dilakukan oleh ulama pada masa lalu memiliki tingkat akurasi yang tinggi, bahkan sangat tinggi. Yang menentukan tingkat akurasi hasil penelitian tidak hnya berkaitan dengan masalah metodologi saja, tetapi juga masalah kecerdasan dan penguasaan pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti. <br />Menurut Abd Al-Mahdi ada beberapa manfaat dalam penelitian Hadits (naqd al-Hadits) antara lain:<br />1. Memperkenalkan sumber-sumber Hadits, kitab-kitab asal dari suatu Hadits beserta ulama’ yang meriwayatkannya.<br />2. Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah munqathi’ atau lainnya.<br />3. Memperjelas hukum Hadits dengan banyaknya riwayatnya, seperti Hadits dhi’if melalui suatu riwayat.<br />4. Memperjelas perawi Hadits yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.<br />5. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.<br />6. Dapat memperkenalkan periwayatnya yang tidak terdapat dalam satu sanad.<br />7. Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh perawi.<br />8. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz dan yang dilakukan dengan makna saja.<br />9. Dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya Hadits.<br />10. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya Hadits melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.<br />11. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada. <br /><br />IV. KESIMPULAN <br />Kritik Hadits atau Naqd Al-Hadits atau penelitian Hadits nabi merupakan upaya untuk menyeleksi Hadits agar dapat diketahui mana Hadits yang shohih dan mana Hadits yang tidak shohih. Kritik Hadits bukanlah untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah SAW, karena otoritas nubuwwah dan penerima mandat risalah dijamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma (yang biasanya disebut ma’shum), tetapi sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya. <br />Kritik Hadits dilakukan agar keaslian dari Hadits Nabi dapat teruji kebenarannya. Tujuan pokok penelitian Hadits adalah untuk mengetahui kualitas Hadits yang diteliti. Hadits yang tersebar diberbagai kitab dan buku tujuannnya, untuk mengetahui apakah Hadits yang menjadi sasaran penelitian atau yang ditelaah itu benar asli berasal dari nabi SAW ataukah tidak. Jika benar, maka ia akan diteladani dan dijadikan hujjah dalam beramal, dan ditinggalkan bila sebaliknya. Manfaat naqd al-Hadits untuk menghindari diri dari penggunaan dalil Hadits yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujjahan.<br /><br />V. PENUTUP<br />Makalah yang dapat kami buat, sebgai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin......<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. 1<br />------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992, Cet. 1<br />Sahrani, Sohari, Ulumul Hadis, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, Cet. 1<br />Salam, Bustamin dan M. Isa H. A., Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. 1<br />Soebahar, M. Erfan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunah, Bogor: Kencana, 2003, Cet. 1<br />Suryadi, Metode Kontemporer: Memehami Hadits Nabi, Yogyakarta: Teras, 2008, Cet. 1 <br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br /><br /></div><br /></div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-47046622636657381782013-06-08T03:16:00.001-07:002013-06-25T06:28:11.099-07:00kata-kata mutiara tentang kebahagiaan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<span itemprop="description"></span><br />
<div style="text-align: left;">
Sebenarnya sangatlah mudah menjadi Bahagia. Kebahagiaan akan datang
saat kita memaafkan diri kita sendiri, memaafkan orang lain, dan hidup
dengan penuh rasa syukur. Tidak pernah ada orang egois dan tidak tahu
berterima kasih mampu merasakan bahagia, apalagi membuat orang lain
bahagia. Hidup ini memberi, bukan meminta."<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Kebahagiaan adalah pengalaman spiritual dimana setiap menit hidup dilalui dengan cinta, dan rasa syukur.</blockquote>
</div>
<div style="text-align: left;">
Jangan takut akan bayangan, karena bayangan berarti ada suatu cahaya yang bersinar di dekatnya.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Masa-masa terbaik dalam hidup adalah saat kita mampu menyelesaikan
masalah sendiri, Masa-masa suram kehidupan adalah saat kita menyalahkan
orang lain atas masalah yang kita hadapi.</blockquote>
<br />
"Manusia seperti puluhan kolam, masing-masing memantulkan cahaya dari bulan yang sama."<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
"Kebijaksanaan adalah pemahaman nilai-nilai abadi dan nilai-nilai hidup."</blockquote>
<br />
"Kebaikan adalah lebih penting daripada kebijaksanaan, dan menyadari hal ini adalah awal dari kebijaksanaan."<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Bijaksana adalah kumpulan dari perjalanan hidup kita. Kebijaksanaan
tidak bisa dicari, tidak bisa diberikan, dan tidak bisa dibagikan.
Kebijaksaan adalah diri kita sendiri.</blockquote>
<br />
Jika anda merasa pendapat anda tidak didengar, ketahuilah, sebenarnya anda tengah belajar untuk menghargai.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Setiap kejadian-kejadian kecil hidup kita adalah bagian dari harmoni
total alam semesta, semuanya sudah ada yang mengatur dengan sempurna.
Jalanilah hidup apa adanya.</blockquote>
<br />
Orang Bijak adalah orang yang menyimpan kebijakannya untuk dirinya sendiri.</div>
<div style="text-align: left;">
Bicaralah dari hati dan dengan hati, karena hati bisa mendengar lebih tajam daripada telinga.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Jangan terlemahkan oleh angin permasalahan. Layang-layang mampu terbang
tinggi karena berani melawan angin. Hanya layang-layang yang putus
benang yang hanyut oleh angin.</blockquote>
<br />
Jika anda merasa tidak memiliki hal yang berharga, ketahuilah, anda memiliki hal yang tak ternilaikan, yaitu senyuman.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Jika anda melalui hidup anda tanpa masalah, ketahuilah, anda melewatkan masa terindah hidup anda.</blockquote>
<br />
Berjalan lah seperti kau tak membutuhkan uang, mencintailah seperti kau
tak pernah terluka, berdansalah seperti tak ada orang yang
memperhatikan.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Saat kau berpikir tentang orang yang cantik dan tampan, pikirkanlah bahwa kau adalah bagian dari mereka.</blockquote>
</div>
Berbuat baik pada orang lain lebih sulit daripada berperang melawan penjajah.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Mengucapkan Maaf hanya mampu dilakukan oleh orang-orang pemberani.</blockquote>
<br />
Anda harus jadi ulat terlebih dahulu jika ingin menjadi kupu-kupu<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Kekuatan bukanlah tentang memukul sekuat tenaga, tetapi tentang ketepatan sasaran.</blockquote>
<br />
Kemenangan adalah bagian terkecil dari sebuah pertandingan.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Pemenang bukannya tak pernah gagal, tetapi tidak pernah menyerah.</blockquote>
</div>
Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-942858928420334308.post-25886636547361074112012-02-01T07:26:00.000-08:002012-02-01T07:26:15.718-08:00SEJARAH KOTA TASIKMALAYASEJARAH KOTA TASIKMALAYA <img align="left" border="0" src="http://tasikmalayakota.go.id/galeri/kantorWalikotaAdministratif.gif" />Sejarah
berdirinya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonomi tidak terlepas
dari sejarah berdirinya kabupaten Tasikmalaya sebagai daerah kabupaten
induknya. Maka rangkaian sejarah ini merupakan bagian dari rangakaian
perjalanan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sampai terbentuknya
Pemerintah Kota Tasikmalaya. <br /><br /> Pada waktu A. Bunyamin menjabat
sebagai Bupati Tasikmalaya tahun 1976 sampai dengan 1981 tonggak
sejarah lahirnya kota Tasikmalaya dimulai denngan diresmikannya Kota
Administratif Tasikmalaya melalui peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
1976 oleh Menteri Dalam Negeri H. Amir Machmud. Periwtiwa ini di
tandai dengan penandatangan Prasasti yang sekarang terletak di depan
gedung DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Pada waktu yang sama dilantik pula
Walikota Administratif Pertama yaitu Drs. H. Oman Roosman oleh
Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat H. Aang Kunaefi. <br /><br /> Pada awal
pembentukannya, wilayah kota Administratif Tasikmalaya meliputi 3
Kecamatan yaitu Cipedes, Cihideung dan Tawang dengan jumlah desa
sebanyak 13 desa. <br /><br /> Berikut ini urtutan pemegang jabatan
Walikotatif Tasikmalaya dari terbentuknya kota administratif sampai
menjelang terbentuknya pemerintah Kota Tasikmalaya :
<br />
<div style="text-align: justify;">
<table border="0" cellpadding="3" cellspacing="3">
<tbody>
<tr>
<td align="center" valign="top"><img border="0" src="http://tasikmalayakota.go.id/galeri/DrsHOmanRoesman.gif" /></td>
<td align="center" valign="top"><img border="0" src="http://tasikmalayakota.go.id/galeri/HYengDsPartawinataSH.gif" /></td>
<td align="center" valign="top"><img border="0" src="http://tasikmalayakota.go.id/galeri/DrsRYWahyu.gif" /></td>
</tr>
<tr>
<td align="center" valign="top"><img border="0" src="http://tasikmalayakota.go.id/galeri/HEdiHardhiana.gif" /></td>
<td align="center" valign="top"><img border="0" src="http://tasikmalayakota.go.id/galeri/DrsHBubunBunyamin.gif" /></td>
<td><br /></td>
</tr>
</tbody>
</table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Berkat perjuangan unsur Pemerintahan
Kabupaten Tasikmalaya yang dipimpin Bupati saat itu H. Suljana WH
beserta tokoh masyarakat Kabupaten Tasikmalaya dirintislah pembentukan
Kota Tasikmalaya dengan lahirnya tim sukses pembentukan Pemerintahan
Kota Tasikmalaya yang diketuai oleh H. Yeng Ds. Partawinata SH.
bersama tokoh - tokoh masyarakat lainnya. Melalui proses panjang
akhirnya dibawah pimpinan Bupati Drs. Tatang Farhanul Hakim, pada
tanggal 17 Oktober 2001 melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001,
Kota Tasikmalaya diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden RI di Jakarta bersama-sama dengan kota Lhoksumawe, Langsa,
Padangsidempuan, Prabumulih, Lubuk Linggau, Pager Alam, Tanjung
Pinang, Cimahi, Batu, Sikawang dan Bau-bau. <br /><br /> Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya, telah
mengantarkan Pemerintah Kota Administratif Tasikmalaya melewati pintu
gerbang Daerah Otonomi Kota Tasikmalaya untuk menjadi daerah yang
mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri. <br /><br />
Pembentukan Pemerintah Kota Tasikmalaya tak lepas dari peran serta semua
pihak maupun berbagai steakholder di daerah Kota Tasikmalaya yang
mendukung pembentukan tersebut. Tentunya dengan pembentukan Kota
Tasikmalaya harus ditindak lanjuti dengan menyediakan berbagai prasarana
maupun sarana guna menunjang penyelenggaraan Pemerintah Kota
Tasikmalaya. <br /><br /> Berbagai langkah untuk mempersiapkan prasarana,
sarana maupun personil serta komponen-komponen lainnya guna menunjang
penyelengaraan Pemerintahan Kota Tasikmalaya telah dilaksanakan sebagai
tuntutan dari pembentukan daerah otonom itu sendiri. <br /><br /> <img align="left" border="0" src="http://tasikmalayakota.go.id/galeri/DrsHWahyuSuradiharja.gif" />Pada
tanggal 18 Oktober 2001 pelantikan Drs. H. Wahyu Suradiharja sebagai
PJ Walikota Tasikmalaya oleh Gubernur Jawa Barat dilaksanakan di
Gedung Sate Bandung. Sesusuai Undang-Undang No. 10 Tahun 2001 bahwa
wilayah Kota Tasikmalaya terdiri dari 8 Kecamatan dengan jumlah
Kelurahan sebanyak 15 dan Desa sebanyak 54, tetapi dalam perjalanannya
melalui Perda No. 30 Tahun 2003 tentang perubahan status Desan
menjadi Kelurahan, desa-desa dilingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya
berubah statusnya menjadi Kelurahan, oleh karena itu maka jumlah
kelurahan menjadi sebanyak 69 kelurahan, sedangkan kedelapan kecamatan
tersebut antara lain :</div>
<ol style="text-align: justify;" type="a">
<li>Kecamatan Tawang </li>
<li>Kecamatan Cihideung </li>
<li>Kecamatan Cipedes </li>
<li>Kecamatan Indihiang </li>
<li>Kecamatan Kawalu </li>
<li>Kecamatan Cibeureum </li>
<li>Kecamatan Mangkubumi </li>
<li>Kecamatan Tamansari </li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai salah satu syarat Pemerintah
Daerah Otonom diperlukan alat kelengkapan lainnya berupa Lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Melalui surat keputusan No. 133 Tahun 2001
Tanggal 13 Desember 2001 Komisi Pemilihan Umum membentuk Panitia
Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat KotaTasikmalaya
(PPK-DPRD). Melalui proses dan tahapan-tahapan yang dilaksanakan
PPK-DPRD Kota Tasikmalaya yang cukup panjang, maka pengangkatan
anggota DPRD Kota Tasikmalaya disyahkan melalui Keputusan Gubernur
Jawa Barat No. 171/Kep.380/Dekon/2002 Tanggal 26 April 2002,
selanjutnya tanggal 30 April 2002 diresmikannya keanggotaan DPRD Kota
Tasikmalaya yang tetama kali. <br /><br /> <img align="right" border="0" src="http://tasikmalayakota.go.id/galeri/pelantikanWalidanWakilkota.gif" />Pada
tanggal 14 November 2002 dilantiknya Bp. Drs. H. Bubun Bunyamin
sebagai Walikota Tasikmalaya, pelantikan Walikota tersebut adalah
segabai puncak momentum dari pemilihan Kepala Daerah pertama di Kota
Tasikmalaya sebagai hasil dari Tahapan proses pemilihan yang
dilaksanakan oleh Legislatif.</div>
<span class="modifydate">
</span>
<span class="article_separator"><br /></span>Nur Rohman atasikiyyuhttp://www.blogger.com/profile/02091446240499884845noreply@blogger.com0Tasikmalaya, Indonesia-7.3333333 108.2-7.4593238 108.0420715 -7.2073427999999993 108.3579285