I. PENDAHULUAN
Dalam sejarah telah tertulis bahwa semenjak Rasulullah meninggal perselisihan terkait dengan kekuasaan politik atau yang disebut dengan persoalan al-Imamat. Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah, namun waktu itu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali kedalam lingkungan umat Islam.
Kenyataannya sejarah umat Islam dan perkembangan pemikiran mereka ternyata menghasilkan konsepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan pendekatan yang dipergunakan.
Penelitian terhadap kitab-kitab Tafsir Al-Quran menunjukkan adanya kecenderungan perkembangan pemikiran politik diantara paramusafir. Penggalian konsepsi diatas tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Islam di Indonesia.
Sistem perpolitikan Islam tidak sama antara satu Negara dengan Negara yang lain. Ada bentuk Negara yang menyatukan antara agama dan Negara, ada yang berdampingan adapula yang memisahkan antara keduanya.
Oleh karena itu, kelompok kami akan memberikan penjelasan bagi kawan-kawan terkait prinsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an?
B. Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits?
C. Bagaimana istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh?
III. PEMBAHASAN
A. Dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an
Fiqh lebih popular di definisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris Islam. Menurut abu al-Wafa Ibnu Aqil siyasah adalah suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, kendatipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya.
Setiap disiplin ilmu mempunyai sumber-sumber dalam pengkajiannya. Dari sumber-sumber ini disiplin ilmu tersebut dapat berkembang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Demikian juga dengan fiqh siyasah. Sebagai salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqh, fiqh siyasah mempunyai sumber-sumber yang dapat dirujuk dan dijadikan pegangan. Al-Qur’an menjadi sumber rujukan utama dalam menentukan hukum dalam fiqh siyasah. Dasar–dasar fiqh siyasah dalam al-Qur’an adalah:
1. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an (Q.S. al-Mukminun: 52)
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.
2. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah. Al-qu’an mengisyaratkan bahwa umat Islam terkait keharusan menyelesaikan persoalan. (Q.S. asy-Syuro: 38)
Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka
3. Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, sebagaimana tertuang dalam Q.S. an-Nisa: 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah, dan ulil amri (pemegang kekuasaan). (Q.S. an-Nisa:59)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
5. Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S. al-Hujurat:9)
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
6. Kemestian mempertahankan kedaulatan negara, dan larangan melakukan agresi dan infasi (Q.S. al-Baqarah: 190)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu
7. Kemestian mementigkan perdamaian dari pada permusuhan (Q.S al-Anfal: 61)
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
8. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S. al-Anfal: 60)
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
9. Keharusan menepati janji (Q.S. an-Nahl:91)
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)
10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat: 13)
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr: 7)
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
B. Dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits
1. Keharusan mengangkat pemimpin
عن ابى هر يرة قال النبى صلى الله عليه وسلم : اذا خرج ثلا ثة فى السفر فا ليؤ مرو ا احمدهم (رواه ابو داود)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin diantara mereka.”
2. Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
عن عبد الله بن عمرو ان النبى صلى الله عليه وسلم قا ل : كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته ولا ما م على الناس راع وهو مسؤل عن رعيته والر جا ل راع على اهل بية وهو مسؤل عنهم (متفق عليه)
“Dari Ibnu Umar r.a., bersabda Nabi SAW, setiap kamu itu adalah pamimpin dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggung jawab atas rumah tangganya”
3. Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
عن عوف بن ما لك عن النبى صلى ا لله عليه وسلم قا ل : خيا ر ائمتكم الذين تحبو نهم ويحبو نكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرائر ائمتكم الذين تبغضو نهم ويبغونكم تلعنو نهم ويلعنو نكم (رواه مسلم)
“Dari Auf bin Malik, telah bersabda Rasulullah SAW, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.”
4. Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai; tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : انما الا ما م جنة يقاتل من ورائه ويتقى به فا ذا امر بالتقو ى الله عز وجل وعد كان له بذ لك اجر وان يامر بغيره كان عليه منه (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya pemimpin itu ibarat perisai yang dibaliknya digunakan berperang dan berlindung. Apabila pemimpin memerintah berdasarkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil, maka baginya ada pahala, apabila memerintah dengan dasar selain itu, maka dosanya akan dibalas.”
5. Kemestian pemimpin untuk berlaku adil dan dengan itu kemuliaannya tidak hanya dihormati manusia dalam kehidupan dunia, tetapi juga dihormati Allah dalam kehidupan akhirat
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : سبعة يظلهم ا لله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل (متفق عليه)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, ada tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT, dibawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama adalah imam yang adil…”
C. Istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh
Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’. Kesepakatan-kesepakatan tersebut terangkum dalam pernyataan ibn al-Qayyim:
لاسياسةالاماوافقالشرع
Artinya: “Tidak ada siyasah kecuali yang sesuai dengan syara.”
Akan tetapi, kesepakatan terakhir bukan tanpa masalah. Masalahnya paling tidak, apakah kemestian penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan syara’, berarti harus sesuai dengan mantuq-nya syara’, atau berarti kewajiban penyelenggaraan semangat siyasah syar’iyyah atau berarti ke-mafhum-an syara’.
Dalam mengatasi masalah tersebut, jawaban yang paling layak tentu tidak mempertentangkan kedua alternatif kedua jawaban, tetapi menggabungkan kedua alternatif yang tersedia. Dengan demikian, jawabannya adalah menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah dengan dalil-dalil yang tersurat dalam syara’ secara manthuq suatu keharusan. Akan tetapi, jika keharusan tersebut tidak terpenuhi, bukan berarti tidak ada kemestian untuk menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan dalil-dalil yang tersirat dalam syara’ secara mafhum.
Bertolak dari pemahaman bahwa “dunia merupakan ladang bagi akhirat”, Al-Ghazali menyatakan bahwa, “agama tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama bersaudara kembar. Agama merupakan asal tujuan, sedangkan sulthan merupakan penjaga. Yang tidak berasal atau beragama akan hancur, dan tidak berpenjaga atau bersulthan akan hilang”. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menempatkan ilmu siyasah khalq sebagai alat. Sebagaimana dikatakannya, “tidak sempurna agama, kecuali dengan kehadiran siyasah khalq”.
Lebih lanjut, Al-Ghazali berpendapat bahwa seorang ahli hukum Islam (faqih) seharusnya berpengetahuan tentang siyasah, sebab menurutnya, ia tidak hanya berperan sebagai sulthan, tetapi juga pembimbing ke arah siyasah khalq. Pada gilirannya, Al-Ghazali pun berpendapat ilmu fiqh berarti pengetahuan tentang cara-cara perekayasaan dan pengendalian. Oleh karena itu, bagi Al-Ghazali, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah.
“Arti pengetahuan siyasah dalam kehidupan umat Islam, yang tidak memisahkan agama dan negara. Terlihat dari adanya sejumlah ilmuan Muslim yang tertarik untuk membuat karangan khusus mengenai siyasah. Sebagian pengarang dan karangan yang tercatat hasanah kepustakaan fiqh siyasah.”
Menurut beberapa pendapat ulama dalam berbagai kitab yang dikarangnya tentang arti penting fiqh siyasah, adalah
1. Ali Ibn Ismail al Tamar pengarang kitab Al Imamah dan Al Istihqaq
2. Hisyam Bin Al Hakam, pengarang kitab Imamah dan Imamah al Imamah al Mahfudz
3. Yaman Ibn Rahab, pengarang kitab Itsbat al Imamah Abu Bakar
4. Abu Yusuf, pengarang Al-Kharaj
5. Al Mawardi, pengarang kitab Al Ahkam Al Sulthaniyyah wa al Wilayah Al Diniyyah.
Perhatian ulama terhadap persoalan fiqh siyasah tidak pernah terhenti. Pada paruh pertama dan kedua abad ke 20, dikenal beberapa penulis siyasah syariyyah, antara lain: Jamaluddin Al Afgani, Rasyid Ridho, Yusuf Musa, Abdul Karim Zaidan, Abu Al A’la Al Maududi, dll. Di Indonesia, dikenal pula nama-nama, seperti: T. M. Khasby Asshidiqi, H. M. Rosidi, Muhammad Nasir, Z. A. Ahmad, Munawir Sazali, dll.
Sekalipun jumhur ulama menerima kemestian pelaksanaan siyasah syariyyah, namun bukan berarti tidak ada ulama yang menolak keharusan tersebut. Sejak dahulu sampai sekarang, terdapat ulama yang tidak mau berbicara tentang siyasah, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu pembicaraan diluar bidang agama. Abu Bakar Al-Asham, dari golongan mu’tazilah dan sebagian golongan khawarij merupakan ulama-ulama yang berpandangan seperti itu. pada masa kini, pandangan demikian terwakili oleh Ali Abd Al Raziq pengarang kitab Al Islam Wa Ushul Al Hukm.
Menurut Ibn Khaldun, penyebab Abu Bakar Al Asham dan pengikutnya cenderung menghindari persoalan siyasah adalah sebagai upaya mereka untuk menghindarkan diri dari gaya hidup raja yang terlena oleh kemewahan duniawi, dan dalam pandangan mereka, hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut Abd al-Raziq ada tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara agama dan negara. Pertama, Paradigma sekularistik, Paradigma ini memberikan garis disparitas antara agama dan negara. Kedua, Paradigma integralistik, dalam perspektif ini, relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga, Paradigma simbiotik, Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbal-balik. Artinya, agama tidak harus diformalkan dalam institusi negara.
IV. SIMPULAN
1. Dasar-dasar siyasah dalam al-Qur’an diantaranya:
A. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
B. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah
C. Kemestian menunaiakn amanat dan menetapkan hukum secara adil
D. Kemestian menaatia Allah dan Rasulullah dan Ulil amri
E. Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam
F. Kemetian memepertahankan kedaulatan Negara, dan laranagn melakukan agresi dan infasi
G. Kemestian mementingkan perdamaain dari pada permusuhan
H. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan
I. Keharusan menepati janji
J. Keharusan mengutamakan perdamamian bangsa-bangsa
K. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat
2. Dasar-dasar as-Sunnah
A. Keharusan mengangkat pemimpin
B. Kekemstian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
C. Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
D. Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai
E. Kemestian premimpin untuk berlaku adil
3. Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Jakarta .Kencana.
Iqbal, Muhammad. 2007. Fiqh Siyasah: Kontestualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta. Jaya Medi Pratama
Salim, Abdul Muin. 1994. Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Syarif, Mujar Ibnu. 2008. Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta. Erlangga
http://politik.kompasiana.com/2013/03/24/agama-dan-negara-tiga-aliran-besar-tentang-hubungan-islam-dan-politik-539750.html# pada Senin, 27 Mei 2013 07.46
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>
Dalam sejarah telah tertulis bahwa semenjak Rasulullah meninggal perselisihan terkait dengan kekuasaan politik atau yang disebut dengan persoalan al-Imamat. Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah, namun waktu itu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali kedalam lingkungan umat Islam.
Kenyataannya sejarah umat Islam dan perkembangan pemikiran mereka ternyata menghasilkan konsepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan pendekatan yang dipergunakan.
Penelitian terhadap kitab-kitab Tafsir Al-Quran menunjukkan adanya kecenderungan perkembangan pemikiran politik diantara paramusafir. Penggalian konsepsi diatas tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Islam di Indonesia.
Sistem perpolitikan Islam tidak sama antara satu Negara dengan Negara yang lain. Ada bentuk Negara yang menyatukan antara agama dan Negara, ada yang berdampingan adapula yang memisahkan antara keduanya.
Oleh karena itu, kelompok kami akan memberikan penjelasan bagi kawan-kawan terkait prinsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an?
B. Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits?
C. Bagaimana istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh?
III. PEMBAHASAN
A. Dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an
Fiqh lebih popular di definisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris Islam. Menurut abu al-Wafa Ibnu Aqil siyasah adalah suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, kendatipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya.
Setiap disiplin ilmu mempunyai sumber-sumber dalam pengkajiannya. Dari sumber-sumber ini disiplin ilmu tersebut dapat berkembang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Demikian juga dengan fiqh siyasah. Sebagai salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqh, fiqh siyasah mempunyai sumber-sumber yang dapat dirujuk dan dijadikan pegangan. Al-Qur’an menjadi sumber rujukan utama dalam menentukan hukum dalam fiqh siyasah. Dasar–dasar fiqh siyasah dalam al-Qur’an adalah:
1. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an (Q.S. al-Mukminun: 52)
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.
2. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah. Al-qu’an mengisyaratkan bahwa umat Islam terkait keharusan menyelesaikan persoalan. (Q.S. asy-Syuro: 38)
Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka
3. Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, sebagaimana tertuang dalam Q.S. an-Nisa: 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah, dan ulil amri (pemegang kekuasaan). (Q.S. an-Nisa:59)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
5. Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S. al-Hujurat:9)
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
6. Kemestian mempertahankan kedaulatan negara, dan larangan melakukan agresi dan infasi (Q.S. al-Baqarah: 190)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu
7. Kemestian mementigkan perdamaian dari pada permusuhan (Q.S al-Anfal: 61)
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
8. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S. al-Anfal: 60)
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
9. Keharusan menepati janji (Q.S. an-Nahl:91)
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)
10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat: 13)
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr: 7)
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
B. Dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits
1. Keharusan mengangkat pemimpin
عن ابى هر يرة قال النبى صلى الله عليه وسلم : اذا خرج ثلا ثة فى السفر فا ليؤ مرو ا احمدهم (رواه ابو داود)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin diantara mereka.”
2. Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
عن عبد الله بن عمرو ان النبى صلى الله عليه وسلم قا ل : كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته ولا ما م على الناس راع وهو مسؤل عن رعيته والر جا ل راع على اهل بية وهو مسؤل عنهم (متفق عليه)
“Dari Ibnu Umar r.a., bersabda Nabi SAW, setiap kamu itu adalah pamimpin dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggung jawab atas rumah tangganya”
3. Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
عن عوف بن ما لك عن النبى صلى ا لله عليه وسلم قا ل : خيا ر ائمتكم الذين تحبو نهم ويحبو نكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرائر ائمتكم الذين تبغضو نهم ويبغونكم تلعنو نهم ويلعنو نكم (رواه مسلم)
“Dari Auf bin Malik, telah bersabda Rasulullah SAW, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.”
4. Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai; tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : انما الا ما م جنة يقاتل من ورائه ويتقى به فا ذا امر بالتقو ى الله عز وجل وعد كان له بذ لك اجر وان يامر بغيره كان عليه منه (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya pemimpin itu ibarat perisai yang dibaliknya digunakan berperang dan berlindung. Apabila pemimpin memerintah berdasarkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil, maka baginya ada pahala, apabila memerintah dengan dasar selain itu, maka dosanya akan dibalas.”
5. Kemestian pemimpin untuk berlaku adil dan dengan itu kemuliaannya tidak hanya dihormati manusia dalam kehidupan dunia, tetapi juga dihormati Allah dalam kehidupan akhirat
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : سبعة يظلهم ا لله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل (متفق عليه)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, ada tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT, dibawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama adalah imam yang adil…”
C. Istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh
Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’. Kesepakatan-kesepakatan tersebut terangkum dalam pernyataan ibn al-Qayyim:
لاسياسةالاماوافقالشرع
Artinya: “Tidak ada siyasah kecuali yang sesuai dengan syara.”
Akan tetapi, kesepakatan terakhir bukan tanpa masalah. Masalahnya paling tidak, apakah kemestian penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan syara’, berarti harus sesuai dengan mantuq-nya syara’, atau berarti kewajiban penyelenggaraan semangat siyasah syar’iyyah atau berarti ke-mafhum-an syara’.
Dalam mengatasi masalah tersebut, jawaban yang paling layak tentu tidak mempertentangkan kedua alternatif kedua jawaban, tetapi menggabungkan kedua alternatif yang tersedia. Dengan demikian, jawabannya adalah menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah dengan dalil-dalil yang tersurat dalam syara’ secara manthuq suatu keharusan. Akan tetapi, jika keharusan tersebut tidak terpenuhi, bukan berarti tidak ada kemestian untuk menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan dalil-dalil yang tersirat dalam syara’ secara mafhum.
Bertolak dari pemahaman bahwa “dunia merupakan ladang bagi akhirat”, Al-Ghazali menyatakan bahwa, “agama tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama bersaudara kembar. Agama merupakan asal tujuan, sedangkan sulthan merupakan penjaga. Yang tidak berasal atau beragama akan hancur, dan tidak berpenjaga atau bersulthan akan hilang”. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menempatkan ilmu siyasah khalq sebagai alat. Sebagaimana dikatakannya, “tidak sempurna agama, kecuali dengan kehadiran siyasah khalq”.
Lebih lanjut, Al-Ghazali berpendapat bahwa seorang ahli hukum Islam (faqih) seharusnya berpengetahuan tentang siyasah, sebab menurutnya, ia tidak hanya berperan sebagai sulthan, tetapi juga pembimbing ke arah siyasah khalq. Pada gilirannya, Al-Ghazali pun berpendapat ilmu fiqh berarti pengetahuan tentang cara-cara perekayasaan dan pengendalian. Oleh karena itu, bagi Al-Ghazali, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah.
“Arti pengetahuan siyasah dalam kehidupan umat Islam, yang tidak memisahkan agama dan negara. Terlihat dari adanya sejumlah ilmuan Muslim yang tertarik untuk membuat karangan khusus mengenai siyasah. Sebagian pengarang dan karangan yang tercatat hasanah kepustakaan fiqh siyasah.”
Menurut beberapa pendapat ulama dalam berbagai kitab yang dikarangnya tentang arti penting fiqh siyasah, adalah
1. Ali Ibn Ismail al Tamar pengarang kitab Al Imamah dan Al Istihqaq
2. Hisyam Bin Al Hakam, pengarang kitab Imamah dan Imamah al Imamah al Mahfudz
3. Yaman Ibn Rahab, pengarang kitab Itsbat al Imamah Abu Bakar
4. Abu Yusuf, pengarang Al-Kharaj
5. Al Mawardi, pengarang kitab Al Ahkam Al Sulthaniyyah wa al Wilayah Al Diniyyah.
Perhatian ulama terhadap persoalan fiqh siyasah tidak pernah terhenti. Pada paruh pertama dan kedua abad ke 20, dikenal beberapa penulis siyasah syariyyah, antara lain: Jamaluddin Al Afgani, Rasyid Ridho, Yusuf Musa, Abdul Karim Zaidan, Abu Al A’la Al Maududi, dll. Di Indonesia, dikenal pula nama-nama, seperti: T. M. Khasby Asshidiqi, H. M. Rosidi, Muhammad Nasir, Z. A. Ahmad, Munawir Sazali, dll.
Sekalipun jumhur ulama menerima kemestian pelaksanaan siyasah syariyyah, namun bukan berarti tidak ada ulama yang menolak keharusan tersebut. Sejak dahulu sampai sekarang, terdapat ulama yang tidak mau berbicara tentang siyasah, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu pembicaraan diluar bidang agama. Abu Bakar Al-Asham, dari golongan mu’tazilah dan sebagian golongan khawarij merupakan ulama-ulama yang berpandangan seperti itu. pada masa kini, pandangan demikian terwakili oleh Ali Abd Al Raziq pengarang kitab Al Islam Wa Ushul Al Hukm.
Menurut Ibn Khaldun, penyebab Abu Bakar Al Asham dan pengikutnya cenderung menghindari persoalan siyasah adalah sebagai upaya mereka untuk menghindarkan diri dari gaya hidup raja yang terlena oleh kemewahan duniawi, dan dalam pandangan mereka, hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut Abd al-Raziq ada tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara agama dan negara. Pertama, Paradigma sekularistik, Paradigma ini memberikan garis disparitas antara agama dan negara. Kedua, Paradigma integralistik, dalam perspektif ini, relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga, Paradigma simbiotik, Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbal-balik. Artinya, agama tidak harus diformalkan dalam institusi negara.
IV. SIMPULAN
1. Dasar-dasar siyasah dalam al-Qur’an diantaranya:
A. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
B. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah
C. Kemestian menunaiakn amanat dan menetapkan hukum secara adil
D. Kemestian menaatia Allah dan Rasulullah dan Ulil amri
E. Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam
F. Kemetian memepertahankan kedaulatan Negara, dan laranagn melakukan agresi dan infasi
G. Kemestian mementingkan perdamaain dari pada permusuhan
H. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan
I. Keharusan menepati janji
J. Keharusan mengutamakan perdamamian bangsa-bangsa
K. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat
2. Dasar-dasar as-Sunnah
A. Keharusan mengangkat pemimpin
B. Kekemstian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
C. Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
D. Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai
E. Kemestian premimpin untuk berlaku adil
3. Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Jakarta .Kencana.
Iqbal, Muhammad. 2007. Fiqh Siyasah: Kontestualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta. Jaya Medi Pratama
Salim, Abdul Muin. 1994. Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Syarif, Mujar Ibnu. 2008. Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta. Erlangga
http://politik.kompasiana.com/2013/03/24/agama-dan-negara-tiga-aliran-besar-tentang-hubungan-islam-dan-politik-539750.html# pada Senin, 27 Mei 2013 07.46
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar