Selasa, 25 Juni 2013

TEKNIK PENYIMPULAN KUALITAS HADITS

I. PENDAHULUAN Hadits yang berasal dari nabi sebagai sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an yang pada zaman dahulu oleh para sahabat Nabi ditulis tetapi jumlahnya sedikit dan matan hadits masih terbatas karena para sahabat lebih fokus pada pemeliharaan Al-Qur’an yang belum dibukukan dalam bentuk mushhaf. Setelah 90 tahun wafatnya Nabi baru ada usaha penghimpunan hadits dengan melakukan perlawatan ke berbagai daerah karena terjadi pemalsuan hadits oleh beberapa golongan dengan berbagai tujuan. Hasil dari penghimpunan tersebut menghasilkan bermacam-macam jenis dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hadits nabi yang menjadi objek penelitian adalah hadits ahad yang diteliti secara historis dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya berasal dari nabi atau tidak untuk mengingat kedudukan kualitas hadits yang dijadikan hujjah agama dengan kaedah dan ilmu pengetahuan hadits yang akhirnya dapat membagi berdasarkan kualitas haditsnya. Untuk mengetahui kualitas hadits dengan penelitian hadits yang tidak dapat mengabaikan penelitian sanad dan matan hadits. Dimana sanad dan matannya harus terhindar dari syadz dan ‘illat. Dengan itu, pada makalah ini akan dibahas kaedah keshahihan sanad dan matan dalam hadits. II. PEMBAHASAN A. Langkah Penyimpulan Kualitas Hadits Kegiatan akhir yang mengacu pada tujuan final dari penelitian hadits yaitu penyimpulan hadits dalam memilih dan memilah apakah hadits tersebut shahih, hasan atau dhaif dilihat dari kualitasnya. Secara umum metode penelitian hadits terfokus dalam dua segi yakni sanad dan matan yang terbagi dalam tujuh langkah yaitu: Pertama, melakukan i’tibar sanad yang sebelumnya diperkuat dengan kegiatan takhrijul hadits. Gunanya untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung (corroboration) berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau syahid. Kedua meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya (naqdus sanad) yang sebelumnya melacak himpunan perawi dalam sanad melalui kegiatan jam’ur ruwah dengan penelusuran rijalul hadits. Gunanya untuk mengetahui persambungan sanad dalam hadits tersebut. Ketiga, menyimpulkan hasil penelitian sanad, yakni menarik kesimpulan (natijah) dari pembahasan diatas, disertai argumen-argumen yang jelas : sebelum atau sesudah natijah itu. Selanjutnya, dalam penelitian segi matan, langkah-langakah nya meliputi pentahapan berikut ini. Keempat, meneliti matan dengan melihat kualitas sanad-nya. Keshahihan matan dapat diukur ketika hadits tersebut terhindar dari syudzudz (kejanggalan) dan illah (cacat), namun kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya. Kelima, meneliti susunan lafal matan yang semakna dengan memperhatikan ziyadah dan idraj yang berupa penambahan kata atau pernyataan dalam matan hadits. Keenam, meneliti kandungan matan dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan dan membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentantangan. Ketujuh, menyimpulkan hasil penelitian matan dengan didasari pada argumen-argumen yang jelas. Setelah langkah-langkah yang dikemukakan diatas, maka langkah terakhir yang dilakukan peneliti adalah menyimpulkan hasil penelitian matan hadis, yang berkisar pada dua macam kesimpulan saja, yakni : shahih atau sebaliknya dlaif. Dengan demikian, kesimpulan penelitian hadis yang berkenaan dengan matan itu hanya akan berkisar pada salah satu dari pilihan dua pilihan itu. Dalam menentukan keshahihan matan hadits kriteria penentuannya antara lain: a. Sanadnya shahih, b. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir atau hadits ahad yang shahih, c. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an, d. Sejalan dengan alur akal sehat, e. Tidak bertentangan dengan sejarah, f. Susunan pernyataan menunjukkan kenabian. B. Praktik Menilai Kualitas Hadits عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَ عَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُ الهِلَالَ وَلَا تَفْطِرُوْا تَرَوْهُ, فَاِنَّ غُمُّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُ رُوْا لَهُ. Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Umar, bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda:”Janganlah kamu berpuasa (puasa Ramadhan) sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’Idul Fitri) sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya (bilangannya). Langkah-langkah penelitian kualitas hadits: 1. Melakukan i’tibar sanad yang sebelumnya diperkuat dengan kegiatan takhrijul hadits. Hadits nabi tersebut tentang keharusan memulai ibadah puasa Ramadhan dan mengakhirinya dengan melihat hilal. Diantara hadits yang menunjukkan adanya ketentuan untuk melihat hilal dalam rangka memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari dua orang gurunya yaitu Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar. Ketika ditelusuri lafal hadits tersebut berdasarkan awal kosa katanya dengan menggunakan kitab Mu’jam Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-rasul, ditemukan lima riwayat hadits, tetapi dengan melakukan takhrij al-hadits bi’al-lafaz berdasarkan kata-kata pada matan hadits dengan mempergunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits al-Nabawi, dengan menelusuri kosa kata shawana ditemukan enam riwayat hadits, yaitu dengan tambahan riwayat Ahmad atas kelima riwayat yang terdapat dalam Jami’al-Ushul. Keenam riwayat tersebut terdapat pada: a. Kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik, halaman 177: hadits nomor 633, 634. b. Kitab Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 62-63: hadits nomor 16-17. c. Kitab Shahih Muslim, juz 3, halaman 133: hadits nomor 3. d. Kitab Sunan Abu Dawud, juz 6, halaman 435-436: hadits nomor 2302. e. Kitab Sunan an-Nasa’i, juz 6, halaman 108: hadits nomor 2. f. Kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz 2, halaman 337: hadits nomor 5294. Untuk kepentingan kegiatan i’tibar, sebagai langkah berikutnya dalam penelitian ini, dengan ini dikutipkan matan dan sanad yang di-takhrij oleh Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Nasa’i, dan Ahmad ibn Hanbal. Dibawah ini akan dituliskan salah satu hadits pembanding dari Abu Daud: حَدَّ ثَنَا سُلَيْمَا نُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ حد ثنا حَمَّا دٌ حَدَّ ثَنَا اَيُّوْبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ قَالَ:قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:اَلشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ فَلَا تَصُوْمُوْا حَّتَى تَرَوْهُ االْهِلَالَ وَلَا تَفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَاِنْ غُمُّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ ثَلَاثَيْنَ Artinya: telah diceritakan kepada kami Sulaiman ibn Daud Al-Attaki, telah menceritakan kepada kami Khammad telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Nafi’dari ‘Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: dalam satu bulan dua puluh hari maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu meliat hilal dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihatnya, jika timbul keraguan atas kalian maka sempurnakanlah menjadi 30 hari. I’tibar hadis di atas dengan cara mengombinasikan antar sanad yang satu dan yang lainnya sehingga terlihat dengan jelas seluruh jalur hadis yang ditelitinya, demikian juga dengan seluruh perawinya dan metode periwayatannya. Dengan dilakukan i’tibar tersebut, akan dapat diketahui apakah ada unsur muttabi’ atau syahid pada hadis tersebut atau tidak. Berikut ini adalah skema sanad hadits pertama: Dari skema di atas menjelaskan bahwasannya Abdullah bin Ummar meriwayatkan hadits kepada kedua muridnya yakni Nafi’ Bin Jubair dan Abdullah bin Dinnar namun dalam penulusuran Rijalulhadits yang kami lakukan pada kitab Tahdibuttahdib bahwasannya Abdullah bin Ummar tidak menyebutkan Abdullah bin Dinnar sebagai muridnya. Tetapi Abdullah menyebutkan Abdullah bin Dinnar adalah gurunya. Dari kedua perawi itu meriwayatkan hadits kepada Malik bin Annas. Dan berikut ini adalah skema sanad hadits kedua dari Abu Daud (pembanding): 2. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya ((naqdus sanad) yang sebelumnya melacak himpunan perawi dalam sanad melalui kegiatan jam’ur ruwah dengan penelusuran rijalul hadits. Kolom 3. Menyimpulkan hasil penelitian sanad, yakni menarik kesimpulan (natijah) dari pembahasan diatas, disertai argumen-argumen yang jelas. Uraian mengenai sanad hadits tentang ketentuan memulai dan mengakhiri puasa dengan melihat bulan yang ditahkrij oleh Malik di atas menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut: a. Dari segi kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para perowinya terlihat bahwa seluruh perowi yang terlibat dalam periwayatan hadits tersebut adalah tsiqoh. b. Dari segi hubungan periwayatan maka seluruh sanad hadits tersebut adalah bersambung. c. Dari segi mata rantai sanad, maka rangkaian periwayatan Malik, Nafi’, dinyatakan sebagai ashash al asanid. d. Dari segi lambang-lambang periwayatan hadits tersebut diatas tergolong mu’an’an dan mu’anan, yang diperselisihkan tentang kebersambungan sabnadnya pleh para ulama hadits. Namun setelah dilakukan penelitian tentang kualitas pribadi para periwayatannya dan hubungan periwayat tersebut dengan periwayat sebelumnya maka seluruh sanadnya dinyatakan dalam keadaan bersambung. e. Sanad Malik Ibn Annas ini juga didapati pada sanad Bukhori dan Muslim, yang keduanya telah diakui oleh ulama hadits sebagai dua kitab shohih. Berdasarkan beberapa catatan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadits yang ditakhrij oleh Malik hukumya adalah Shohih Lidzatini. 4. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad-nya. Dari penilaian sanad diatas disebutkan bahwa sanad tersebut tersambung. Satu hal yang dipertegas bahwa hasil penelitian matan tidak selalu sejalan dengan hasil penelitian sanad. 5. Meneliti susunan lafal matan yang semakna. Dari kedua hadits diatas susunan lafal matan tersebut berbeda tetapi dalam satu makna. Terlihat pada hadits dari balik yang artinya: Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Umar, bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda:”Janganlah kamu berpuasa (puasa Ramadhan) sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’Idul Fitri) sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya (bilangannya). Sedangkan hadits kedua dari Sunan Abu Daud yang artinya: telah diceritakan kepada kami Sulaiman ibn Daud Al-Attaki, telah menceritakan kepada kami Khammad telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Nafi’dari ‘Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: dalam satu bulan dua puluh hari maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu meliat hilal dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihatnya, jika timbul keraguan atas kalian maka sempurnakanlah menjadi 30 hari. Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matan hadits yang semakna adalah karena dalam periwayat hadits telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil ma’na). Perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna asallkan sanadnya sama-sama sahih maka hadits tersebut tetap dapat ditoleransi menjadi hadits shahih. 6. Meneliti kandungan matan dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan. Dari perbandingan hadits diatas yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqat tersebut terdapat perbedaan lafal matan. Dan disitulah salah satu kelemahan, bila penelitian hadits hanya difokuskan pada penelitian sanad saja. Perbedaan lafal matan hadits yang dapat ditoleran bahwa hadits tersebut adalah shahih lidzatini, hanya hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqat, sementara hadits yang diriwayat oleh periwayat yang tidak tsiqat makan hadits tersebut tidak termasuk riwayat bil ma’na yang tidak dapat ditoleran. Penelitian ini menggunakan pendekatan Al-Qur’an yang dilatar belakangi oleh pemahaman Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama dalam islam untuk melaksanakan berbagai ajaran baik yang ushul maupun yang furu’, maka Al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadits yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Kedua hadits tersebut sejalan dengan QS. Al-Baqarah: 185 yang berbunyi: Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. 7. Menyimpulkan hasil penelitian matan hadis, yang berkisar pada dua macam kesimpulan saja, yakni : shahih atau sebaliknya dlaif. Dari beberapa langkah diatas sanadnya tsiqah dan bersambung serta matannya shahih dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum islam maka dapat dikatakan bahwa hadits tersebut shahih lidzatini. III. KESIMPULAN Dalam penelitian hadits maka langkah yang harus dilakukan adalah melakukan i’tibar sanad yang sebelumnya diperkuat dengan kegiatan takhrijul hadits, meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya (naqdus sanad) yang sebelumnya melacak himpunan perawi dalam sanad melalui kegiatan jam’ur ruwah dengan penelusuran rijalul hadits, menyimpulkan hasil penelitian sanad, meneliti matan dengan melihat kualitas sanad-nya, meneliti susunan lafal matan yang semakna dengan memperhatikan ziyadah dan idraj yang berupa penambahan kata atau pernyataan dalam matan hadits, meneliti kandungan matan dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan dan membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentantangan, dan yang terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan dengan didasari pada argumen-argumen yang jelas. IV. PENUTUP Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. DAFTAR PUSTAKA Al-Sajstani, Abi Daud Sulaiman Asy-‘ats. Kitab Sunan Abu Dawud. Libanon: Darul Fikri. 1994. Bustamin. Metodologi Kritik Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004 Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1998. Soebahar, M.Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah Kritik Mushthafa al Siba;i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al Islam. Bogor : Kencana. 2003. Zurqani, Imam. Syarah Zurqani ‘Al-Muwaththa’ Imam Malik. Kairo: Darul Hadits. 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar