Selasa, 25 Juni 2013

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KLASIK



PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KLASIK

I.    PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam mencatat bahwa munculnya persoalan kalam justru bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik. Mungkin sebagian orang merasa aneh kenapa di dalam Islam, sebagai agama, masalah pertama muncul justru persoalan politik bukan persoalan keagamaan, seperti persoalan kalam atau persoalan fiqh.
Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern- bahkan orientalis sekalipun juga mempunyai cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya. Bermula sejak Nabi telah memiliki konsep dasar dalam bernegara, terbukti dengan adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep diantaranya, Hak Azazi Manusia, serta penanaman sikap tenggang rasa antar sesama umat beragama. Diakatakan demikian, karena pada saat itu umat Yahudi juga berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Pada fase setelah wafat Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara mengalami berbagai perubahan, seperti pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system negara memakai pola Khilafah, namun setelah terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan berubah menjadi monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa pemikiran politik Islam zaman klasik.

II.    Pemikiran Politik Khowarij, Syi’ah, Mu’tazilah, dan Sunny
Sesudah kholifah Usman bin Affan meninggal kemudian kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh Jamhur Madinah yang dipelopori oleh para pemberontak. Baiat ini pada saat itu tidak meletakkan batas tindak yang layak bagi pemberontakan hingga timbul api yang dapat dinamakan fitnah. Pada dasarnya keadaan ini telah menimbulkan dua kelompok yang masing-masing mempunyai benteng pertahanan yang besar, yaitu: kelompok yang menyokong khalifah Ali dan kelompok yang berpihak pada Muawiyah.
Tidaklah kita disini akan membentangkan rincian dari pertikaian yang timbul, namun itu adalah kepentingan politik. Memang dapat kita katakan, bahwa soal pertikaian ini pada dasarnya adalah semata soal politik seseorang yang berhak menjadi kepala negara. Berikut merupakan pemikiran politik yang timbul atas dasar kepentingan politik.  
A.    Khowarij
Generasi pertama Khowarij lahir waktu sejumlah pengikut Ali bin Abi Thalib, kholifah ke empat, menolak keputusan dua Arbitrator Amr bin Ash yang mewakili kubu Muawiyah dan Abu Musa Asy’ari yang mewakili kubu Ali bin Abi Thalib pada pertempuran shiffin. Seusai shiffin Ali dan para pendukungnya kembali ke Iraq, dan Muawiyah juga disertai para pendukungnya kembali ke Syuria. Tetapi bedanya, kubu Muawiyah meninggalkan shiffin dalam keadaan padu dan bersatu, sedangkan kubu Ali pulang ke Iraq dalam keadaan pecah. Di sepanjang jalan mereka bertengkar. Barisan yang masih setia kepada Ali dan mereka yang meninggalkan kubu Ali saling salah menyalahkan. Ketika Ali masuk Kuffah kelompok yang meninggalkan dia, yang jumlahnya sekitar 12.000 orang berhenti di satu desa dekat Kuffah bernama Harura. Mereka kemudian dikenal dengan nama Khowarij. Karena mereka keluar (kharaja) dari kubu Ali (kharij = seseorang yang keluar, khawarij = orang-orang yang keluar). Khawarij, yang semula merupakan pendukung-pendukung Ali, meninggalkannya karena berkeyakinan bahwa sungguh tidak dibenarkan Ali sebagai kholifah atau imam yang telah dibaiat oleh rakyat secara sah bersedia tunduk kepada keputusan dua arbitrator dalam penyelesaian sengketa antara dia dan pihak pemberontak Muawiyah.    
Kaum khawarij ini kemudian mengembangkan paham dan pemikiran di bidang teologi dan politik. Paradigma pemikiran dan paham mereka di dua bidang ini didasarkan pada peristiwa tahkim. Jadi pemikiran mereka sebagai reaksi atas hasil tahkim dan perkembangan berikutnya. Pemikiran politik mereka yang pokok adalah mengenai eksistensi khilafah, masalah siapa yang berhak menjadi khalifah dan persyaratannya, masalah mekanisme pengangkatan dan pemakzulan khalifah.
 Pembentukan lembaga khilafah atau pemerintahan, menurut khawarij, bukanlah merupakan suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada kehendak umat apakah suatu pemerintahan perlu dibentuk atau tidak. Semua sekte khawarij mempunyai kesamaan pendapat tentang tidak adanya keharusan membentuk suatu pemerintahan. Bahkan salah seorang pemuka khawarij, Najdah bin Amr al-Hanafi dari sekte an-Nadjad berpendapat bahwa imam atau kepala negara itu tidak perlu sama sekali. Imam atau kepala negaradiperlukan hanya jikamashlahat umat menghendaki demikian. Pada hakikatnya, menurut Nadjad umat tidak membutuhkan adanya khalifah, imam atau kepala negara untuk memimpin mereka. Jelasnya khawarij berpendapat bahwa membentuk pemerintah dan mengangkat seorang imambukan wajib syar’i, melainkan keadaanlah yang mengharuskan ada.
Pemikiran politik khawarij yang cemerlang dan bercorak demokratis adalah mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam, dan atau kepala negara kalau memang dibutuhkan oleh umat Islam. Golongan ini berpendapat, masalah ini berkaitan dengan kemashlakhatan umat, dan karena itu bukanlah hak monopoli suku tertentu. Siapapun, apakah itu orang Quraisy atau bukan, atau apakah ia orang Arab atau bukan Arab, boleh menjadi khalifah selama ia mempunyai kemampuan untuk memegang jabatan itu. Bahkan seorang budak sekalipun, boleh dipilih menjadi pemimpin masyarakat muslim jika ia memenuhi kualifikasi untuk itu.
Kaum khawarij lebih mengutamakan orang non Quraisy untuk menduduki jabatam khalifah. Alasan yang dikemukakan agar mudah dimakzulkan apabila ia menyimpang dari ketentuan syariat. Sebabtidak ada ashabiyat yang melindunginya, atau keluarga besar yang akan membelanya. Karena itu, ketika mereka memakzulkan Ali sebagai khalifah, mereka menggantikannnya dengan mengangkat Abdullah bin Wahab al-Rasibi, non Quraisy. Itulah sebabnya para peneliti sepakat mengatakan kaum khawarij adalah para pemegang prinsip demokrasi yang tulen.
Patut pula dicatat bahwa mereka mengambil sikap opposan terhadap pemerintah yang diakui sah oleh mayoritas umat Islam, seperti dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah. Bahkan mereka menghalalkan darah para penguasanya, karena mereka telah keluar dari Islam dan telah berdosa besar serta boleh dibunuh. Karenanya baik para kholifah Umayah, maupun para khalifah Abasiyah mereka menganggap tidak sah. Mereka tidak dipilih rakyat dan karena itu pula mereka harus dimakzulkan, bila perlu dibunuh. Sejarahpun mencatat bahwa kaum khawarij tampil sebagai salah satu gerakan yang merongrong dua dinasti itu. Sikap radikal mereka tentu dipengaruhi oleh prinsip teori politik mereka mengenai imamah.
Adapun mengenai kualifikasi bagi khalifah disamping tidak disyaratkan harus berasal dari suku tertentu, menurut khawarij sang calon harus punya kekuatan, berilmu, berlaku adil, punya keutamaan, dan wara’. Sedangkan mekanisme pemilihinnya diserahkan kepada kehendak kaum muslim. Yang penting dipilih secara bebas dan benar dan pembaiatannya dilakukan secara sempurna oleh seluruh kaum muslimin pula.   
Kelompok muslim yang berpaham demokrat ini, tapi radikal dalam politik praktis, tidak menetapkan masa jabatan seorang khalifah. Ini berarti khalifah boleh memangku jabatannya seumur hidup.  Tentu saja ada persyaratan yang berat, yaitu selama ia tidak melanggar syariat Islam. Tapi apabila ia menyimpang dari prinsip-prinsip al-Quran dan Sunah nabi, kaum muslimin wajib memakzulkannya atau membunuhnya apabila keadaan memungkinkan.          
Tentang sikap dan pandangan politik Khowarij secara umum dapat dikemukakan bahwa mereka mengakui keabsahan kekholifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman pada tahun-tahun pertama dia memerintah, dan Ali sampai dia menerima keputusan arbitrator. Dalam hal jabatan khalifah mereka berhaluan sangat demokratis. Menurut mereka jabatan kholifah itu terbuka bagi tiap orang laki-laki Muslim yang berkebangsaan Arab dan merdeka dan bukan monopoli bagi suku atau keluarga tertentu. Selanjutnya, menurut mereka kalau seorang khalifah telah dipilih dan di baiat maka tidak dibenarkan ia untuk turun tahta. Tetapi kalau dia menyeleweng dan bila dirasa perlu dapat diturunkan dari jabatannya dan bahkan dapat dibunuh.
Setelah banyak orang Islam bukan Arab menggabungkan diri dengan barisan Khawarij maka diadakan perubahan terhadap syarat yang pertama untuk dapat menduduki jabatan khalifah. Calon khalifah tidak lagi harus laki-laki muslim yang berbangsa arab dan merdeka. Tiap laki-laki muslim yang mampu berlaku adil dapat menduduki kursi khalifah. Dengan adanya perubahan tersebut, menurut khawarij jabatan kholifah terbuka bagi tiap laki-laki muslim, baik yang merdeka atau budak.
B.    Syiah
Ketika Nabi Muhammad saw wafat dan apabila sebagian besar sahabat Nabi menyetujui dan berbaiat kepada Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama terdapat sejumlah sahabat yang berpendirian bahwa yang lebih berhak menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Itulah titik awal dari lahirnya golongan Syi’ah atau golongan pengikut dan pendukung Ali. Golongan itu makin berkembang pada tahun-tahun terakhir dari pemerintahan Usman, karena ketidak mampuan khalifah ketiga ini mengelola negara, dan golongan itupun naik daun ketika Ali bin abi Thalib menjabat sebagai khalifah ke empat. 
Patut pula diberi suatu analisis bahwa terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah, tidak bisa lepas dari pendapat kaum Khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim. Para pengikut Ali yang setia jelas tidak dapat menerima pengkafiran itu. Untuk itu mesti ada suatu doktrin yang mengimbanginya, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrinkan bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai Imam untuk menggantikan Nabi.
Kelompok Syiah merupakan gerakan keagamaan yang mendapatkan bentuk sempurnanya pada masa dinasti Abbasiyah serta berkembang menjadi kelompok besar dan memainkan peran penting dalam sejarah Islam.  Mereka menolak Abbasiyah sebagai pemimpin yang sah. Sebelumnya, mereka juga menolak Umayyah sebagai pemimpin yang sah. Sehingga, mereka lebih cenderung menjadi oposisi dari pemerintah dibanding berkompromi dengan pemerintah yang berkuasa. Tetapi, madzhab-mazhab Syiah yang ada, memiliki argumen yang berbeda, seperti tentang siapa yang seharusnya menjadi imam pada masa tertentu dan bagaimana memilih seorang imam. Satu-satunya persamaan diantara mereka ialah tentang keyakinan bahwa imamah merupakan suatu keniscayaan dalam keyakinan dan perilaku muslim.
Kepemimpinan Syiah dimulai dari Ali, imam pertama mereka, diteruskan oleh anaknya Hasan, kemudian oleh Husayn yang garis keturunannya lebih dimuliakan oleh para pengikutnya. Buktinya, sembilan imam terakhir dari dua belas imam yang diakui oleh Kelompok Dua Belas, yang merupakan kelompok utama Syiah, semuanya adalah keturunan Husayn. Kisah paling misterius sekaligus paling menarik dari imam-imam yang diakui oleh Syiah ialah tentang imam terakhir, Muhammad al-Muntazhar. Sejak masa kanak-kanak, Muhammad menghilang di sebuah gua di dekat masjid agung Samarra. Karena itu, ia dianggap menjadi imam yang disembunyikan dan ditunggu. Pada suatu saat nanti ia akan muncul sebagai Mahdi yang akan menegakkan Islam. Meskipun tersembunyi, imam kedua belas ini tetap menjadi penguasa masa.  Dengan demikian, konsep Imam Mahdi menjadi bagian penting dalam Syiah, sekaligus menjadi garis pemisah yang tegas antara madzhab Syiah dengan madzhab Sunni. Sekalipun madzhab Sunni menunggu dan mengharap datangnya penyelamat agama, mereka tidak menjadikannya sebagai dasar keyakinan.
Para ulama Syiah, khususnya para fuqaha, tidak hanya menjadi legal-moral, namun juga merupakan wakil imam yang tersembunyi. Karena itu, para fuqaha Syiah muncul untuk menjalankan otoritas yang secara signifikan lebih besar daripada sejawat mereka, fuqaha Sunni. Pandangan ini membangkitkan cara pandang yang luar biasa terhadap politik. Bagi mereka Abbasiyah dan Sunni adalah perampas kekuasaan. Karena merekalah, imam sejati terpaksa bersembunyi. Mereka menyerukan, “Sepanjang para perebut kekuasaan masih memerintah dan kaum beriman terus dianiaya, imam sejati dicegah untuk menjalankan haknya, dan nyawanya dalam bahaya. Karena itu, ia tidak dibolehkan, bahkan wajib menarik diri dari cengkraman pimpinan palsu yang tiran”. Karena sebab inilah, Syiah memisahkan diri dari negara dan menarik diri dari kehidupan komunal. Realitas kekuasaan politik, yang tentangnya Syiah punya banyak pengalaman, membuat penundaan aktivitas politik menjadi pilihan yang tepat. Di bawah pimpinan di luar Syiah, semua perjanjian dalam urusan-urusan publik, pada prinsipnya terlarang. Keseluruhan sikap mereka ini didasari oleh keyakinan bahwa mereka harus menunggu takdir Allah. Artinya, mereka harus bersikap non-partisipasi dan berserah diri.
Karena banyaknya sekte-sekte dalam Syi'ah, penulis hendak menyebutkan empat saja dari keseluruhan sekte tersebut berdasarkan analisa Al Imam Ash sahrastani yang menganggap kelima sekte tersebut sebagai al umm (induk). Al Imam Ash Sahrastani dalam Al Milal wa an Nihal menyebutkan bahwa perpecahan dalam tubuh syi'ah dapat dikelompokkan kedalam empat aliran pokok diantaranya; Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ismailiyah, dan Ghullah.
1. Syiah Kaisaniyah
Kaisaniyah adalah sekte syi'ah yang mempercayai keimamahan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma. Muhammad bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu. Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah Ali yang juga dipanggil Kaisan. Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok ini adalah al Karabiyah, pengikut Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam. Bahkan menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti Abbasiyah pertama yaitu Abu Abbas As Saffah dan Abu Ja'far Al Mansur merupakan pecahan dari pengikut Hasyimiyah itu. Karena setelah meninggalnya Abi Hisyam, jabatan imamah berpindah kepada Muhammad bin Ali Abdullah, kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim al Imam, as Saffah dan al Mansur.
Kaisiniyah di pimpin oleh Kaisan bin Abu Amroh. Ia telah mendirikan golongan ini setelah meninggalnya Husayn. Aliran ini pernah mendapatkan kedudukan hingga terkenal bahkan sanggup mendirikan negara yang dipimpin oleh Al-Mukhtar bin Abi Ubaid el-Tsaqofi yang muncul di arena politik pada tahun 66 H. Ia dari waktu ke waktu berpindah aliran hingga ia tidak dipercayai. El-Mukhtar dapat membunuh Ubaidillah ibnu Zayad, tetapi ia pun terbunuh di tangan Mus’ab bin Zubair untuk memeranginya. Dengan berdirinya golongan Kaisiniyah dapat dikatakan bahwa madzhab Syi’ah telah berdiri dengan penuh kepribadiannya. Gerakan ini berjalan dan bertindak sebagai satu partai yang sudah lengkap dan dewasa hingga akhir abad pertama hijriyah. Syiah Kaisiniyah tetap dalam kesatuan hingga meninggalnya Abu Hasyim ibnu Muhammad bin Hanafiyah tahun 98 H. Atas keadaan ini berdiri pula golongan baru yang bernama “El Hasyimiyah” sebagai cabang dari yang pertama. Kemudian ia pun menyerahkan pimpinan kepada sepupunya Muhammad Ali al-Abbasyi yang akhirnya berdiri kerajaaj Abbasyiyah yang menjadi sebab golongan ini yaitu golongan Kaisiniyah.      
2. Syi'ah Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin. Beliau  merupakan tokoh alhul biat yang terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi.
Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu' ia menganut paham Hanafiyah. Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah. Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh dengan al Qur'an dan sunnah Nabi
Sekte-sekte yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah. Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin al Mundziry al 'Abdi. Sekte ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali sebagai imam setalahnya, namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya dengan Isyarat (secara tidak langsung) atau dengan al washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali dibandingkan lainnya). Sementara itu, sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah dapat ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini ummat telah melakukan sesalahan dalam berbai'at kepada Abu Bakar dan Umar, karena sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi bai'at mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma'a wujud al afdhal. Akan tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul Mu'minin Utsman bin Affan karena dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka juga mengkufurkan Ummul Mu'minin A'isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah berperang terhadap Ali. Sekte ini juga dikenal dengan al Jaririyah.
Pecahan lain dari sekte Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan Katsir an Nu'man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara umum, pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja mereka bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan. Menurut Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni.
Zaidiyah, yang mempunyai banyak pengikut di Yaman dan pernah lama berkuasa disana. Diantara pokok pendiriannya adalah:
a.    Imam seharusnya dari keturunan Ali-Fatimah, tetapi tidak menolak jika jabatan itu diduduki oleh orang lain asal memenuhi syarat. Oleh karenanya mereka mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Meskipun urutan prioritas seharusnya Ali yang menjadii kholifah.
b.    Imam tidak ma’sum. Dia dapat saja berbuat salah dan dosa seperti manusia yang lain.
c.    Tidak ada ada imam dalam kegelapan atau persembunyian. Yang diliputi oleh berbagai misteri. 
 3. Syi'ah Ghulat
Syi'ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi, bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah Ghulat telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide Syi'ah awal yaitu Abdullah bin Saba'. Nama Abdullah bin Saba' diakui oleh pembesar Syi'ah sebagai seseorang yang pertamakali menobatkan keimamahan Ali dan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya. Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal Abdullah bin Saba' sendiri merupakan tokoh penyusup dari kalangan Yahudi dari penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim. Kelompok saba'iyah juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam melainkan seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut mereka Ali telah naik kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya dan Kilat adalah senyumnya.
Kelompok lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak seekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya.
 4. Syi'ah Imamiyah dan syiah Ismailiyah
Secara garis besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhamamd telah melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah beliau wafat. Oleh karena itu, mereka betul-betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami perpecahan menjadi beberapa golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah Dua Belas adalah yang tebesar, disusul Isma'iliyah. Di zaman kehilafahan Abbasiyah, keduanya memerankan perpolitikan yang cukup signifikan.
Pokok-pokok pendirian syiah Imamiyah adalah:
a.    Abu Bakar dan Umar telah meraqmpas jabatan khalifah dari pemiliknya, Ali.
b.    Kedudukan Ali satu tingkat lebih tinggii dari pada manusia biasa, dan dia merupakan perantara dari manusia dan Tuhan.
c.    Imam itu ma’shum, terjaga dari segala kesalahan, baik besarmaupun kecil.
d.    Ijma’atau kesepakatan ulama’ Islam baru dapat dianggap sebagai salah satu dasar hukum Islam kalau direstui oleh imam.
e.    Imam mereka yang kedua belas, yang menghilang pada usia 4 atau 5 tahun sebelas setengah abad yang lalu akan muncul kembali di dunia padaakhir zaman untuk menegakkan dan meratakan keadilan serta memberantas kedzaliman. 
Syi'ah Isma'iliyah misalnya, kelompok ini berhasil mendirikan dinasti Fathimiyah di Mesir dan Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah tandingan Abbasiyah setelah berhasil mengadakan beberapa pemberontakan. Pemimpin pergerakan Isma'iliyah yang mewujudkan khilafah Fathimiyah adalah Ubaidillah al Mahdi (Nama asli: Sa'id Ibn Husain/Abu Muhammad Ubaidillah Al Mahdi) yang juga mengaku sampai kepada keturunan Ali'.
Dinasti Fathimiyah, sebagaimana dinasti Abbasiyah mengkalim sebagai pemimpin yang sebenarnya. Tidak hanya itu, Mereka menegaskan bahwa merekalah imam-imam yang sebenarnya, yakni imam-imam al Mahdi pengganti keturunan Ali radhiyallahu'anhu. Mereka mengklaim sebagai penerus siklus ke 6 dari para imam. Al Hakim bin Amrillah, salah seorang raja dinasti Fathimiyah di Mesir ini bahkan diklaim sebagai Tuhan oleh pengikut Agha Khan. Prof. Dr, Ali Abdul Wahid Wafi dalam risalah Ghurbah al Islam menyebut mereka sebagai gerakan Syi'ah ghullat (berlebihan) yang keluar dari Islam. Adonis menganalisa, bahwa gerakan syi'ah Isma'iliyah ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengorganisasian gerakan Qaramithah (syi'ah) yang disebarluaskan oleh Hamdan Qaramith pada 264 H di desa Kuffah dengan banyak modifikasi. Demikian halnya dengan kelompok Syi'ah Dua Belas. Dinasti Buwaihi merupakan penjelmaan dari gerakan syi'ah ini. Mereka berhasil menggulingkan dinasti Abbasiyah selama kurang lebih satu abad lamanya. Bahkan hingga kini, mereka tetap eksis dengan Republik Iran sebagai basis gerakannya.
C.    Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai gerakan atau sikap politik lahir pada awal pemerintahan kholifah Ali bin Abi Thalib. Diantara Tholkhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin abi Waqas, Abdullah bin Umar, dan Zaid bin Tsabit. Tholkhah dan Zubair kemudian dengan terang-terangan memberontak terhadap Ali, sedangkan yang lain tetap bersikap netral. Penduduk Madinah pada umumnya, dan sebagian suku dari Tamini mengikuti sikap netral tersebut, yakni meskipun tidak mendukung Ali tetapi tidak pula memihak musuh-musuh Ali, seperti Muawiyah. Mereka tidak melibatkan diri dalam bentrokan antara pihak-pihak yang bertengkar, dan banyak di antara mereka berpaling pada pendalaman pengetahuan agama. Dengan otak dan hati mereka. Kelompok itu disebut Mu’tazilah karena telah i’tazala (memisahkan diri).   Demikian pula Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid bersikap netral terhadap pembunuhan Usman  dan peperangan antara Ali dan Talkhah, Zubair dan Aisyah dalam perang jamal. 
Konsepsi politik mu’tazilah pada umumnya menegaskan bahwa imamah atau kepemimpinan negara ini merupakan pilihan rakyat, menurut mereka, karena Allah tidak memberikan penegasan tentang siapa yang harus memimpin umat sepeninggal Nabi. Maka hak menjadi khalifah tidak merupakan hak istimewa bagi satu keluarga atau suku tertentu. Bagi mu’tazilah, hak memilih kepala negara itu berada di tangan rakyat, yang kemudian mengangkatnya untuk melaksanakan hukum, tanpa memandang suku, dari suku Quraisy atau bukan, asalkan beragama Islam, mukmin dan adil, serta tidak pula mempertimbangkan suku.
Pemimpin tidak harus dari suku Quraisy selain merupakan doktrin mu’tazilah juga dianut sekelompok Syi’ah Zaidiyah dan sebagian besar dari golongan Khowarij. Mu’tazilah juga sepaham dengan Khawarij bahwa pengangkatan imam atau pemimpin bukan merupakan kewajiban (agama).  Tetapi bagi Mu’tazilah pengangkatan imam atau pemimpin negara itu tidak lagi wajib hanya kalau keadilan betul-betul sudah merata pada seluruh rakyat, dan sudah tidak ada lagi ancaman terhadap jiwa, harta benda, dan kehormatan rakyat oleh orang-orang fasiq.    
Dalam sejarah, kaum mu’tazilah tidak pernah membentuk pemerintahan. Bahkan dalam politik praktispun tampaknya tidak begitu menarik perhatian mereka. Barangkali hal itu disebabkan oleh sikap netral mereka terhadap kasusu-kasus yang berbau politik. Mereka lebih suka memilih jalan yang ditempuh pendahulu mereka, seperti Hasan al-Bashri.
Dimasa dinasti Umayyah, mereka menunjukkan sikap tidak senang terhadap penguasa dinasti ini. Namun demikian, mereka tidak melakukan kegiatan politik praktis, apabila melakukan pembelotan dan pemberontakan seperti yang dilakukan oleh khawarij. Alasannya adalah dinasti Umayah tidak menyukai kebebasan berkehendak dan kebebasan berpendapat (salah satu paham Mu’tazilah) tumbuh di dalam masyarakat baik di bidang agama maupun di bidang politik.
Aliran muktazilah mulai tumbuh dan berkembang di akhir pemerintahan Umaya. Masa yang terpenting dalam sejarah adalah dari tahun 100 – 225 H, di masa dinasti Abasiyah terutama pada periode pemerintahan Al-Makmun, Al-Muktashim, dan Al-Wasiq. Bahkan al-Makmun menjadikannya sebagai madzhab resmi dinasti Abasiyah.   
D.    Sunny
Ahlu sunnah atau yang dikenal dengan sunny pada mulannya merupakan sekelompok ulama’ yang berpendirian bahwa orang-orang dalam syi’ah, khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah telah banyak menyeleweng dari ajaran agama, atau lebih tegas lagi telah menyeleweng dari “sunnah nabi” dan “sunnah para salaf”. Sunny merupakan sebuah kelompok besar dalam Islam yang tetap teguh untuk mengikuti sunnah-sunnah nabi, yang itu berbeda dengan aliran-aliran lain dalam Islam seperti syi’ah, khawarij ataupun mu’tazilah dan murji’ah.
Ajaran utama dari ahlu sunnah adalah mengakui akan adanya khulafaur rasyiddin yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, dan Ali Bin Ali Thalib. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah nama lembaga khilafah tetap dipertahankan dalam pemerintahan, tetapi sebenarnya khilafah Islam tersebut telah berubah menjadi kerajaan Arab. Dalam sejarah pemikiran Sunni, meskipun terdapat perbedaan yang umum di antara madzhab-madzhab fiqih mereka, ahli fiqih Sunny secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal sebagai teori khalifah, sebuah doktrin baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang signifikan. Teori tersebut telah mendominasi komunitas Islam untuk waktu yang cukup lama. Apabila teoritikus politik Sunny membicarakan teori khilafah, biasanya yang mereka perbincangkan adalah suatu imamah atau lembaga di mana seseorang bertugas mengawasi pelaksanaan syariah dan bertindak sebagai hakim. Tetapi karena istilah ini biasanya dipakai secara khusus di kalangan Syi'ah, maka digunakan pemakaian istilah lembaga khilafah untuk kalangan Sunny dan istilah imamah untuk kalangan Syi'ah untuk menghilangkan kebingungan. Seorang khalifah bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang terdahulu, tetapi juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah menunjuknya.
Meskipun banyak penguasa baik dari dinasti Ummayah berupaya mengaitkan status Ilahiyah kepada para penerus (khalifah), para ulama fiqih Sunny pada umumnya menganggap khalifah sebagai penguasa yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya.

III.    Politik Sunny Zaman Klasik dan Pertengahan
Masa Khulafaur Rasyidin dan era dinasti Umayah belum dikenal pemikiran politik Islam yang dirumuskan secara sistematis. Ia baru muncul pada periode bani Abbasyiah. Namun prosedur pengangkatan Khulafaur Rasyidin secara ijma’ oleh sahabat dan kaum muslimin, sebagian telah dikemukakan, menjadi dasar bagi teori politik para juris Sunny.
Sehubungan dengan itu, secara umum didasarkan pada empat prinsip umum. Pertama, berdasarkan keutamaan keturunan. Khalifah atau imam (kepala negara) harus dari keturunan Quraisy. Kedua, baiat sebagai syarat yang disepakati oleh umat Islam dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh ahl al hall wa al-‘aqd. Dengan baiat itu mereka mengadakan kontrak sosial dengan kepala negara terpilih baik disukai atau tidak, selama ia tidak melakukan perbuatan maksiat. Kesetiaan dan ketaatan yang mereka berikan berkaitan dengan tugas kepala negara melaksanakan undang-undang, kewajiban-kewajiban dan mewujudkan keadilan sesuai dengan ketentuan kitab Allah dan Rasulnya. Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), yakni pemilihan khalifah melalui musyawarah atau konsultasi. Keempat, prinsip keadilan. Keadilan menurut Islam bersifat universal baik dalam perundang-undangan maupun dalam praktek, bahkan terhadap musuh sekalipun dapat berlaku adil.
Walaupun mayoritas kaum sunny menerima prinsip-prinsip umum tersebut, namun perbedaan-perbedaan dalam banyak detail dalam masalah politik dan pemerintahan ini tetap tak terhindarkan. Boleh dikatakan mereka tidak mencapai kesepakatan kecuali dalam dua hal, yaitu: keharusan adanya kepala negara dan pemerintahan itu sendiri guna mencegah kekacauan, dan keinginan mereka untuk menjalankan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Melihat begitu beragamnya akar dan dasar bagi perumusan teori-teori politik mereka, yaitu tradisi politik umat Islam generasi pertama, menginterpretasikan terhadap wahyu yang berkaitan dengan tata kehidupan bermasyarakat, dan serangan intelektual mereka terhadap gerakan agama, dan politik serta intelektual non sunny, mestinya mereka memiliki pemikiran politik yang komprehensif. Akan tetapi nyatanya tidak demikian. Hal itu disebabkan pemikiran dan gagasan mereka tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap gerakan-gerakan tersebut dalam rangka mempertahankan status quo kekuasaan politik yang ada.       

IV.    Pemikiran Politik Tentang Proses Terbentuknya Negara dan Unsur-unsur Negara
A.    Mawardi
Nama lengkap dari Mawardi adalah Abu Hhasan Ali Bin Habib Al-Mawardi al-Basyri (364 H/975 M- 450 H/1059 M).  Dia seorang pemikir Islam  yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Dia berpindah-pindah dari kota ke kota menjadi hakim kemudian menetap di Baghdad dan mendapat kedudukan yang terhormat pada pemerintahan kholifah Qodir. Situasi politik di dunia Islam pada masa Mawardi, sejak menjelang abad X sampai pertengahan abad XI, tidak lebih baik dari masa Al-farabi, dan bahkan lebih parah. Mawardi termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, tafsir, fikh dan ketatanegaraan.
Pendapat Mawardi tentang Manusia yakni bahwa manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain, oleh karena banyak binatang yang misalnya hidup sendiri dan mandiri tetapi manusia selalu memerlukan manusia lain dan ketergantungan satu sama lain merupakan suatu yang tetap dan langgeng. Mawardi juga berpendapat bahwa perbedaan bakat, pembawaan dan kemampuan antara manusia lah yang merupakan pendorong bagi mereka yang saling membantu.
Menurut Mawardi, segi politik negara itu memerlukan enam sendi utama:
1.    Agama yang dihayati
2.    Penguasa yang berwibawa
3.    Keadilan yang menyeluruh
4.    Keamanan yang merata
5.    Kesuburan tanah yang berkesinambungan
6.    Harapan kelangsunagan hidup.
Menurut Al-Mawardi, Imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dan dengan demikian Mawardi juga memberikan baju agama kepada jabatan keppala negara disamping baju politik. Tentang cara pemilihan atau seleksi imam, ada dua hal dalam cara pemilihan atau seleksi imam diantaranya: pertama, Ahl al-Ikhtiyar atau mereka yang berwenang untuk memilik imam bagi umat. Kedua, Ahl al-Imamah atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mawardi dengan jelas mengemukakan bahwa seorang imam dapat digeser dari kedudukannya sebagai kholifah kalau ternyata sudah menyimpang dari, keadilan, kehilangan panca indera atau organ-organ tubuh yang lain, atau kehilangan kebebasan bertindak karena telah menjadi tawanan orang-orang dekatnya.
Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi ialah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik.  
B.    Ghozali
Nama lengkapnya adalah Abu hamid Al-Ghozali atau Imam Ghozali, seorang teolog terkemukan, ahli hukum, pemikir yang original, ahl tasawuf yang terkenal dan mendapat julukan hujjah al-Islam. Al-Ghozali dilahirkan dikota Thus, yang termasuk wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M, dan wafat di Thus dapa tahun 505 H atau 1111 M.
Dia mendapatkan pendidikan awalnya di Thus, dibawah asuhan seorang pendidik dan ahli tasawuf, sahabat karib ayahnya yang telah meninggal. Kemudian dia pindah ke Naisabur dan berguru tentang ilmu kalam atau teologi pada imam Haramain Juwaini. Tampaknya pada waktu itu dia sudah mulai menulis dan mengajar. Tetapi kiranya pada waktu itu pula sudah mulai timbul kebimbangan pada pikirannya tentang kebenaran apa yang didapatkannya dari gurunya. Selain berguru kepada imam Haramain, Ghozali juga belajar kepada sejumlah ulama’ lain, tetapi umumnya kurang begitu terkenal. Kemudian dia menggabungkan diri dengan kelompok Nizam Al-Mulk, wazir sultan (Saljuk) A. Arsalan, suatu kelompok yang waktu itu sangat menarik bagi para cendekiawan muda Islam. 
Teori kenegaraan Ghozali tentang asal mula timbulnya negara, sebagaimana ilmuan-ilmuan politik sebelumnya berpendapat bahwa manusi itu makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian, yang disebabkan oleh dua faktor, pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia. Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak. Menurut Ghazali, tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan material dan duniawi yang tidak mungkin ia penuhi sendirian, tetapi lebih dari itu untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang sejahtera di akhirat nanti melalui pengalaman dan penghayatan ajaran agama secara betul, sedangkan yang demikian itu tidak mungkin tanpa keserasian kehidupan duniawi.
Menurut Ghazali kewajiban mengangkat seorang kepala atau pemimpin negara tidak berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Hal ini disebabkan karena persiapan untuk kesejahteraan ukhrawi harus dilakukan melalui pengamalan dan penghayatan ajaran agama secara betul. Dan hal itu baru mungkin dalam suasana dunia yang tertib, aman dan tentram, dan untuk menciptakan dunia yang demikian diperlukan pemimpin negara yang ditaati, atau dengan kata lain, tidak mungkin mengamalkan ajaran agama secara baik dalam kondisi dan situasi duniawi yang tidak mendukung. Oleh karenanya Ghazali meminjam suatu ungkapan bahwa agama dan raja ibarat dua anak kembar, agama sebagai suatu fondasi sedangkan sultan sebagai penjaganya, suatu yang tanpa pondasi akan runtuh, dan suatu tanpa pondasi tanpa penjaga akan hilang. 
Dalam teori Ghazali tentang tata negara bahwa kekuasaan kepala negara itu datang dari Tuhan dan bukan dari rakyat, maka dapat pula dimengerti bahwa Ghazali tidak menyinggung soal dapat atau tidaknya seorang kepala negara digeser dari singgasananya.   
C.    Ibnu Khaldun
Abdurrahman ibnu Khaldun lahir di Tuniasia pada tahun  1332 M dan wafat di Kairo pada Tahun 1406 M. Beliau menjalani kehidupan yang bergejolak bahkan untuk ukuran para intelektual muslim sekalipun. Kedua orang tuanya meninggal pada tahun 1349 M. Meskipun begitu beliau mendapat pendidikan konvensional dan bisa mempelajari filsafat secara ekstensif, membaca karya-karya Plato, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, yang melaluinya beliau mengenal Aristoteles.
Ibnu Khaldun bekerja pada pemerintahan di bawah beberapa pemimpin kecil di Maroko dan Granada. Beliau menjalin hubungan akrab dengan Ibnu al-Khatib, wazir Granada. Ibnu Khaldun sangat cerdik, tahu kapan harus mengubah aliansi. Beliau mempunyai bakat khusus untuk memahami dan bernegosiasi dengan suku-suku nomad negeri itu.
Perselisihan Politik yang muncul pada zamannya memaksanya pindah ke Kairo. Kota ini sangat mengesankan Ibnu Khaldun. Di sana, beliau menjadi ahli hukum Islam yang terkenal dan dihormati cukup baik sebagai kepala Madzhab Maliki. Lawan-lawannya di Kairo bersekongkol agar Ibnu Khaldun dipecat dari jabatannya. Beliau melewatkan 14 tahun berikutnya sebagai kepala sebuah pondok sufi. Beliau pernah diangkat kembali menjadi hakim, sebelum akhirnya dipecat lagi.Pengalaman politik Ibnu Khaldun menjadi latar yang baik bagi pemahaman mengenai masyarakat politik dan bagi pemanfaatan sumber-sumber historis. 
Menurut Ibnu khaldun adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup manusia yangmerupakan makhluk sosial. Ketika Allah menciptakan alam semesta dan membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, banyak binatang yang mendapatkan kekuatan yang lebih sempurna dari pada yang diberikan manusia. Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dari peradaban merupakan suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara para anggota masyarakat.
Menurut ibnu Khaldun, kehadiran raja sebagai penengah dan pemisah dan sekaligus hakimyang merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama manusia dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan kata lain jabatan negara adalah suatu lembaga yang alami bagi kehidupan bernegara. Adapun syarat untuk menduduki jabatan kepala negara adalah imam harus dipilih oleh ahl al-halli wa al-aqdi, disamping syarat-syarat lain, yaknia: berpengetahuan luas, adil, mampu, sehat badan serta utuh semua panca indranya, dan dari keturunan Quraisy. 
A.    Pemikiran Politik Tentang Proses Terbentuknya Negara
Tidak semua pemikir membahas tentang proses terbentuknya negara. Hanya ibnu Abi Rabi’, al Mawardi, al Ghazali, dan Ibn Khaldun yang membicarakannya. Tiga yang pertama hidup pada abad klasik dan satu yang terakhir hidup pada abad tengah.
Rabi’ memulai pembahasannya tentang negara atau kota berdasarkan kenyataan sosial, bahwa manusia adalah jenis makhluk yang saling memerlukan sesamanya untuk mencukupi segala kebutuhannya tidak mungkin seorang diri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada bantuan atau berdampingan dari dan dengan orang lain. Karena itu, satu sama lain saling membutuhkan untuk mendapat kebutuhan hidup. Keinginan mencukupi kebutuhan agar bertahan hidup, dan untuk memperolehnya memerlukan kerja sama, mendorong mereka berkumpul di suatu tempat, agar mereka bisa saling tolong-menolong dan memberi. Proses itulah yang membawa terbentuknya kota-kota, dan akhirnya menjadi negara.
Al-Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tidak mungkin seseorang mampu mencukupi hajat hidupnya sendiri, kecuali berhubungan dengan orang lain. Manusia itu, kata al Ghazali, diciptakan oleh Allah tidak bisa hidup seorang diri, ia butuh berkumpul bersama yang lain, makhluk jenisnya itu. Itulah sebabnya Ibnu Khaldun berpendapat bahwa organisasi kemasyarakatan bagi umat manusia adalah suatu keharusan dan menurutnya karena kemampuan manusia seorang diri terbatas, memaksanya untuk kerjasama dengan orang lain. 
Lebih lanjut Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ketika umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan sebagaimana yang dimaksudkan, dan ketika peradaban manusia telah menjadi kenyataan, merekapun memerlukan seseorang yang akan melaksanakan kewibawaan untuk memelihara mereka.    
B.    Unsur-unsur Negara
Syarat-syarat yang diperlukan untuk mendirikan suatu negara yang diperlukan untukmendirikan negara adalah:
1.    Umat: yakni sekelompok manusia yang mempunyai satu bentuk (unit) yang merupakan satu bangsa yang memiliki syarat-syarat tertentu seperti satu sejarah hidup yang sama, satu bumi tempat tinggal, satu cita-cita, satu ras, dan satu bahasa, serta satu agama.
2.    Satu tempat/kawasan/daerah yang dapat menampung bangsa itu untuk hidup bersama-sama dalam satu kawasan.
3.    Undang-undang Dasar yang mengikat bangsa itu dalam tindak tanduknya, tingkah lakunya, cara hidupnya, dan lain sebagainya.
4.    Pimpinan/Imam/Kepala negara yang memegang tampuk kekuasaan, menjalankan hukum dan menjatuhkan hukuman.
Negara adalah suatu “entitas”,suatu “yang ada” atau suatu kenyataan yang bersifatpolitik dan juridis, yang terdiri dari suatu masyarakat manusia yang merupakan suatu golongan yang bebas dalam suatu daerah bersama yang kompak (bersatu padu), dan yang tunduk kepada suatu penguasa tertinggi.
Jika kita menganilisis pengertian itu lebih lanjut, maka ada tiga yang menarik perhatian kita.
Pertama, adalah ada suatu corak hakiki dari pada suatu negara, bahwa di dalamnya ada suatu organisasi yang mempunyai kekuasaan dan wibawa yang memelihara serta mempertahankan hukum dengan alat-alat yang ada padanya.
Kedua, adalah suatu corak hakiki pula dari pada suatu negara bahwa ada padanya suatu daerah yang mempunyai batas yang dapat ditunjukkan dengan jelas dan di dalam daerah itu berlakulah kuasa dan wibawanya.
Ketiga, adalah suatu corak hakiki pula dari pada suatu negara bahwa ada suatu masyarakat yang tinggal di daerah itu dan mengakui serta mengalami kewibawaan itu. 
Menurut Rabi’ untuk mendirikan negara diperlukan beberapa unsur dan sendi, pertama, harus ada wilayah. Kedua, harus ada raja atau penguasa sebagai pengelola negara yang akan menyelenggarakan segala urusan negara dan rakyat. Ketiga, rakyat. Keempat, keadilan. Kelima, pengelola negara, unsur ini merupakan perwujudan hubungan kuat antara raja dan masa rakyat.    

D.    ANALISIS
No.    Madzhab/Tahun    Pemikiran Politik Islam    Tokoh
1    Syiah 36 H/656 M    a.    Kaisiniyah (66 H)    Mukhtar bin Abi Ubaid,
        b.    Zaidiyah    Zaid bin Ali Zainal Abidin
        c.    Imamiyah (itsna asyariyah)    Abu  Ja’far Muhammad al-Baqir.
        d.    Ismaailiyah     Ismail bin Ja’far
2    Khowarij 36 H/656 M    Menghalalkan darah para penguasanya, karena mereka telah keluar dari Islam dan telah berdosa besar serta boleh dibunuh. Karenanya baik para kholifah Umayah, maupun para khalifah Abasiyah mereka menganggap tidak sah. Mereka tidak dipilih rakyat dan karena itu pula mereka harus dimakzulkan, bila perlu dibunuh.   
3    Mu’tazilah 36 H/656 M tumbuh dan berkembang tahun 100 – 225 H     Mengikuti sikap netral, yakni meskipun tidak mendukung Ali tetapi tidak pula memihak musuh-musuh Ali, seperti Muawiyah. imamah atau kepemimpinan negara ini merupakan pilihan rakyat, menurut mereka, karena Allah tidak memberikan penegasan tentang siapa yang harus memimpin umat sepeninggal Nabi.    Washil bin ‘Athak
4    Sunny 132 H    Pertama, berdasarkan keutamaan keturunan. Kedua, baiat sebagai syarat yang disepakati oleh umat Islam dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan oleh ahl al hall wa al-‘aqd. Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), Keempat, prinsip keadilan.     Al-Baqillani,
Al-Baghdadi, Ibn Abi Rabi, Al-Mawardi, Al-Juwaini Al-GhazaliIbn Taimiyah, dan Ibnu Khaldun

No.    Pemikir/Tahun    Hasil Pemikiran Politik Islam    Masa Pemerintahan
1    Al-Mawardi 364 H/975 M- 450 H/1059 M    Kebutuhan untuk meneruskan roda-roda kehidupan, adapun mekanismenya manusia menggunakan akalnya.
Seorang kepala negara mempunyai kredibilitas dalam bernegara dan agama.    kholifah Qodir
2    Al-Ghozali 450 H atau 1058 M 505 H atau 1111 M.    Kepala negara adalah bayang-bayang Tuhan di Bumi jabatan kepala negara adalah sesuatu yang suci/Muqaddas.
Agama dan raja adalah ibarat dua anak kembar, agama adalah fondasi dan raja adalah penjaganya.    Nizam Al-Mulk,
3    Ibnu Khaldun 1332 M- 1406 M.    Kodrat manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Keefektifan dalam pelaksanaan syari’at Islam.    Abu Abdullah Muhammad

E.    KESIMPULAN
A.    Segala pemikiran politik yang timbul baik pemikiran politik khowarij, syiah, mu’tazilah, dan sunny, timbul karena pertikaian politik. Memang dapat kita katakan, bahwa soal pertikaian ini pada dasarnya adalah semata soal politik seseorang yang berhak menjadi kepala negara.
B.    Prosedur pengangkatan Khulafaur Rasyidin secara ijma’ oleh sahabat dan kaum muslimin, sebagian telah dikemukakan, menjadi dasar bagi teori politik para juris Sunny. Sehubungan dengan itu, secara umum didasarkan pada empat prinsip umum. Pertama, keturunan, Kedua, baiat Ketiga, prinsip syura (musyawarah atau konsultasi), Keempat, prinsip keadilan.
C.    Pada proses terbentuknya negara, Rabi’ memulai pembahasannya tentang negara atau kota berdasarkan kenyataan sosial sebagai proses yang membawa terbentuknya kota-kota, dan akhirnya menjadi negara. Al-Mawardi berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, hal yang serupa juga dikatakan oleh al Ghazali bahwa manusia diciptakan oleh Allah tidak bisa hidup seorang diri, ia butuh berkumpul bersama yang lain, makhluk jenisnya itu. Itulah sebabnya Ibnu Khaldun berpendapat bahwa organisasi kemasyarakatan bagi umat manusia adalah suatu keharusan dan menurutnya karena kemampuan manusia seorang diri terbatas, memaksanya untuk kerjasama dengan orang lain. Sedangkan unsur-unsur negara secara umum terdiri dari wilayah, ada penguasa, rakyat, dan pengelola negara.

F.    PENUTUP
Makalah yang dapat kami buat, sebgai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin......

DAFTAR PUSTAKA
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006
Fachruddin, Fuad Muhd., Pemikiran Politik Islam, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1988
Hitti, Philip, History of the Arabs, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008
Pulungan, J. Suyuti, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Saifuddin, Negara Islam Menurut konsep Ibnu Khaldun, Yogyakarta: Gema Media, 2007
Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990
Choirul Anam, “Konsep Politik Syi’ah dan Sunny”, dalam http://indonesia-anam.blogspot.com/2009/11/konsep-politik-syiah-dan-sunny.html, diakses 30 April 2013

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar