Selasa, 25 Juni 2013

POLITIK PEMERINTAHAN DAULAH FATIMIYAH

POLITIK PEMERINTAHAN DAULAH FATIMIYAH

I.    PENDAHULUAN
Silih bergantinya kepemimpinan dalam umat islam yang terjadi semenjak wafatnya Rasulullah memberikan banyak gambaran yang jelas bahwa islam secara periodesasi memiliki beberapa kedaulatan yang begitu gemilang. Berawal dari Khulafaur Rasyidin, yang kemudian digantikan dengan kedaulatan Bani Umayyah, setelahnya diteruskan dengan kedaulatan Dinasti Abbasiyah, yang akhirnya direbut oleh kedaulatan Fatimiyah.
Melemahnya kekuatan Dinasti Bani Abbasiyah pada abad ke-4 H karena pengaruh yang sangat kuat dari penganut madzhab Syi’ah memberikan kesempatan bagi golongan Syi’ah untuk lebih leluasa untuk mengembangkan madzhabnya. Salah satunya adalah Syi’ah Ismailiyah yang dengan leluasanya menyebarkan dan mengembangkan madzhab Syi’ah Ismailiyah nya di daerah Mesir pada tahun 296-527 H hingga berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar disana dengan Kedaulatan Fatimiyah nya.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai sejarah awal berdirinya Daulah Fatimiyah sampai beralihnya kedaulatan tersebut ke tangan Daulah Ayyubiyah di bawah kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana sistem pemerintahan Daulah Fatimiyah?
B.    Siapa saja raja dari Daulah Fatimiyah?
C.    Bagaimana dinamika sosial politik Daulah Fatimiyah?
D.    Apa saja kemajuan yang dicapai pada masa Daulah Fatimiyah?
E.    Bagaimana perluasan wilayah yang terjadi pada masa Daulah Fatimiyah?
F.    Apa saja faktor yang melatarbelakangi kemunduran Daulah Fatimiyah?
G.    Bagaimana analisis politik Daulah Fatimiyah?



III.    PEMBAHASAN
A.    Sistem Pemerintahan Daulah Bani Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah berkuasa pada tahun 297-567 H/ 909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir dan di Syiria. Awalnya kelompok ini di bentuk dengan sistem agama dan politik oleh Abdullah bin Maimun, namun mengalami perubahan menjadi gerakan kekuatan dengan tokohnya Said bin Husain yang menyebar dan menjadi landasan munculnya dinasti ini.
Dinasti Fatimiyah pertama kali berdiri di Raqqodah daerah Al-Qairawan dengan khalifah pertamanya Al-Mahdi. Konsep yang digunakan adalah syi’ah radikal isma’iliyah yang pada mulanya berbasis di Ifkriyah kemudian berpusat di Maroko dengan alasan keamanan maka dipindahkan ke Mesir setelah dapat menaklukan Dinasti Ikhsyidiyah dan mendirikan ibukota baru di Qahirah. 
Sejak awal berdirinya daulah fatimiyah dapat membangun imperium yang kuat dan berbagai penyokong (pembangunan fisik) yang menandakan bahwa Daulah Fatimiyah secara politis sudah memiliki suatu konsep pemerintahan dan menunjukkan suatu kondisi politik yang cukup stabil. Kestabilan itu cukup dinamis walaupun terjadi pergantian kepemimpinan di Daulah Fatimiyah. Pergantian kepemimpinan ini berdasarkan keturunan, kekuasaan khalifah silih berganti secara turun temurun kepada putra mahkotanya. Sekalipun pergantian dan pengangkatan khalifah yang masih muda karena alasan keturunan kerajaan merupakan model pergantian khalifah secara garis keturunan yang akhirnya menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh para wazir. Peranan wazir menjadi sangat penting dan kompetetif pada masa ini sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak terhindarkan lagi demi ambisi terhadap jabatan dan pengaruh di istana. Mereka saling menjatuhkan dengan berusaha mengangkat khalifah padahal khalifah terakhir sudah menunjuk pengganti dirinya.
Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sistem pemerintahan Dinasti Fatimiah dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala bidang. Selain ada beberapa kebijakan Daulah Fatimiyah yang sejalan dengan Daulah Umayyah dan Abbasiyah terlihat dari pemerintahan dapat berjalan dengan baik hampir ke seluruh Afrika Utara dan terhentinya gerakan yang membahayakan posisi khalifah.
Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syi’ah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syi’ah. Ini karena penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik. Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat sentralistis seperti pada bidang ekonomi, perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama dua setengah abad.  

B.    Daftar Raja Daulah Fatimiyah
NO    NAMA    TAHUN
1    Al-Mahdi    909-934 M
2    Al- Qaim    934-946 M
3    Al-Manshur    925-952 M
4    Mu’iz Lidinillah    952- 975 M
5    Al-Aziz    975-996 M
6    Al-Hakim    996-1021 M
7    Al-Dzahir    1021-1036 M
8    Al-Mustansir    1036-1095 M
9    Al-Musta’li    1095-1101 M
10    Al-Amir    1101-1130 M
11    Al-Hafidz    1130-1149 M
12    Al-Zafir    1149-1154 M
13    Al-Faiz    1154-1160 M
14    Al-Azid    1160-1171 M

C.    Dinamika Sosial dan Politik
1.    Kondisi Sosial dan Politik (Masyarakat)
Secara politis Dinasti Fatimiyah sudah memiliki salah satu konsep pemerintahan. Kekuasaan Fatimiyah yang demikian luas didukung oleh kondisi politik yang stabil dan perekonomian yang bagus serta pembangunan sarana dan prasarana. Masjid Al-Azhar yang berkembang menjadi Universitas Al-Azhar merupakan bukti bahwa mesir sebagai ibu kota pemerintahan Fatimiyah dibangun dengan megah dan indah.
Para penguasa awal khilafah Fatimiyah menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sietem pemerintahan Dinasti Fatimiah dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala bidang. Khilafah Al-Mahdi, hal yang pertama dalam usaha pemerintahannya adalah pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang pemerintahannya termasuk tokoh-tokoh penting meski sangat besar jasa dalam pembentukan khilafah fatimah.
Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syi’ah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syi’ah. Ini karena penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik.
Dalam masa pemerintahan Daulah Fatimiyyah terjadi konflik politik yang melebar menjadi konflik aqidah antara kaum Syiah dan Non Syiah. Tak dan satu agama pun yang berkembang di muka bumi ini yang dalam sejarahnya tak terbelah, sekali pun Islam sebagai agama samawi yang terpecah belah menjadi Sunni dan Syi’ah. Pada dasarnya transendentalnya agama, pemahaman dan penghayatanya tak lepas dari fitrah manusia dalam menerimanya. Dan keterbelahan Sunni-Syi’ah adalah bukti gamblang tentang hal itu. Penganut dari satu belahan yang ekstrim akan mengaku bahwa kelompoknya lah yang benar dan menganggap yang lain kafir. Kecurigaan kalangan Sunni terhadap Syi’ah, dan sebaliknya tak berkurang dan mungkin tidak akan pernah berkurang sampai ke masa depan karena dasar dari keterbelahan tersebut adalah emosional. Kecintaan yang besar kalangan Syi’ah terhadap Ahlu Bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luar biasa di kalangan Sunni terhadap para sahabat Rasul, dan hal itu yang mengakibatkan perbedaan sumber hukum islam. Kalau hanya karena perbedaan visi religius sikisma Sunni-Syi’ah tidak akan meruncing menjadi suatu perpecahan. Malangnya sikisma tersebut kemudian berhimpitan pada sikisma politis.  Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah belah dalam ranah politik sehingga muncul Aqidah Syi’ah tentang Taqiyah dimana mereka memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan golongan Sunni nya mempunyai rival dari golongan Syi’ah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga akhirnya salah satu golongan Syi’ah yaitu Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan Fatimiyah. Namun, dengan sistem underground nya golongan Sunni mencoba meruntuhkan Dinasti Fatimiyah dengan perantara Shalahudin Al-Ayyubi yang kelak menjadi perdana menteri di Mesir dengan di bawah kedaulatan Bani Abbasiyah.
Khalifah Al-Adhid dalam kemelut pemerintahannya mengambil kebijakna poltiknya dengan meminta bantuan Shalahudin Al-Ayyubi untuk mempertahankan Mesir dari tentara salib yang kemudian peperangan dimenangkan Shalahudin dan berakibat pada berpindah tanganya kekuasaan ke tangan Bani Ayyubiyah. 
Segi sosial kemasyarakatan Dinasti Fatimiyah dapat nersikap liberal dan memberikan kebebasan agama untuk berkembang dan terjaganya toleransi agama. Menurut kaum Ismaili seseorang harus dibujuk untuk dapat memeluk agama Islam dan karenanya sejarah telah memperlihatkan bagaimana Al-Mu’izz telah secara terbuka memperbolehkan umat Kristen beradu pendapat dengan para ahli Islam dan di luar dana yang tersedia beliau membangun kembali gereja St. Mercurius yang rusak di Fustat yang sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi.

2.    Perundangan dan Hukum
Dalam bidang pemerintahan Kaum Fatimiah melakukan kebijakan seperti Bani Umayyah dari Spanyol dan Bani Abbasiyah seperti penanggulangan kejahatan dan pelaksanaan sangsi. Para Qadli menyelenggarakan bidang kehakiman menurut hukum-hukum agama. Khalifah Al-Mu’izz menyelenggarakan pengadilan untuk menampung pengaduan terhadap para pejabat pemerintahan. Al-Mu’izz mengeluarkan perintah-perintah kepada pengadilan untuk memutuskan perkara menurut hukum Syi’i dan juga turut mengarahkan Mu’adzdzin untuk mengumandangkan adzan di masjid-masjid menurut keyakian Isma’ili. Kepala Qadli di Mesir mempunyai yurisdiksi terhadap semua wilayah kekuasaan Fatimiah meskipun pengadilan tinggi reguler hingga masa Nurudin Mahmud. Al-Mu’iz selalu berusaha memelihara keadilan yang terpisah dan merdeka dari perangkat negara lainya serta bekerja bagi kesejahteraan masyarakat umum dan bebas dari sifat penyelewengan. Guna pengembangan pemerintahanya beliau mengeluarkan perintah yang mengarahkan para pejabat Bait al-Mal untuk membeli semua barang dan komoditi yang berguna bagi pemerintah sesuai dengan harga pasar tanpa memperlihatkan bahwa semua itu dibeli oleh pemerintah guna kepentingan sendiri. 

3.    Administrasi Negara
Dalam pemerintahannya seorang Khalifah di bantu oleh seorang Wazir yang secara administrasi membantu dalam penyelesaian urusan strategis, militer, birokrasi, lembaga keuangan dan lembaga peradilan. Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat centralistis seperti pada bidang ekonomi, perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama dua setengah abad. Khalifah Al-Muiz dengan usaha peningkatan bidang pertanian dan hubungan dagang dengan negara lain sampai pembuatan pelabuhan Iskandariah demi kemakmuran rakyatnya.
Dan dalam bidang sistem ekonomi dan sosial terlihat dengan menghasilkan produk industri dan seni Islam yang baik hingga ke India. 

4.    Peradilan
Dalam pemerintahan daulah fatimiyyah dapat diketahu mengenai peradilannya bahwa pranata hukum berlaku seoerti dalam madzhab syiah pada umumnya dan ismailiyyah pad khususnya. Sumber hukum ditentukan oleh Al Quran dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam dan dibantu oleh juresprodence yang pernah diberikan oleh imam dan orang yang mendapat izin dari imam. Begitu pula halnya orang yang bertindak sebagi propogandis. 

5.    Hubungan Internasional
Dalam hungunan internasionalnya pada kekahalifahan ke-4 yaitu Al-Aziz memberi kebijakan dengan merekrut orang-orang Turki dan Negro untuk mengimbangi kekuasaan para pengawal istana yang telah terlanjur membesar dan sebagian besar berasal dari suku Barbar yang keras. Sama halnya dengan konflik politik diatas, rekruitmen seperti ini menimbulkan kemelut dalam tubuh militer dan secara terus-menerus menjadi perselisihan yang melemahkan kekuasaan Fatimiah. Beliau juga merekruitmen orang non-muslim yang dipercaya untuk menjadi menteri, petugas pajak, dan bahkan penasehat dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan serta para dokter dan para pejabat yang mengendalikan kerja operasional kekhalifahan. Namun dengan kebijakan ini menmbulkan keemburuan dimasyarakat yang ahirnya menimbulkan konflik dalam pemerintahan.

D.    Kemajuan yang dicapai:
1.    Keilmuan
Pendidikan merupakan salah satu perhatian khusus yang tidak luput dari pemerintahan dinasti Fatimiyah, terbukti dengan adanya universitas Al-Azar di Kairo yang awalnya hanyalah sebuah masjid sebagai lembaga pendidikan tinggi yang masih eksis sampai sekarang. Perpustakaan Darul Hikmah yang didirikan oleh Kholifah Al-Hakim (1004 M) yang ahirnya mengembangkan beberapa bidang keilmuan seperti Bahasa dan Sastra, Filsafat, Matematika, Astronomi, Fisika, Optika, Kedokteran yang diikuti dengan munculnya beberapa Ulama’.  Pada bidang filsafat sendiri menggunakan filsafat yunani dan mengembangkanya dengan salah satu tokohnya Abu hatim Al-Razi.
2.    Ekonomi dan Perpajakan
Kekuasaan Fatimiyah yang demikian luas didukung oleh kondisi politik yang stabil dan perekonomian yang bagus serta pembangunan sarana dan prasarana. Masjid Al-Azhar yang berkembang menjadi Universitas Al-Azhar merupakan bukti bahwa mesir sebagai ibu kota pemerintahan Fatimiyah dibangun dengan megah dan indah.

3.    Perdagangan, Industri dan Pertanian
Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syi’ah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syi’ah. Ini karena penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik. Dalam pemerintahannya seorang Khalifah di bantu oleh seorang Wazir yang secara administrasi membantu dalam penyelesaian urusan strategis, militer, birokrasi, lembaga keuangan dan lembaga peradilan. Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat centralistis seperti pada bidang ekonomi, perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama dua setengah abad. Khalifah Al-Muiz dengan usaha peningkatan bidang pertanian dan hubungan dagang dengan negara lain sampai pembuatan pelabuhan Iskandariah demi kemakmuran rakyatnya.

4.    Militer dan Pertahanan
Sejak awal berdirinya daulah fatimiyah dapat membangun imperium yang kuat dengan dukungan militer yang tangguh di sekitar Laut Tengah membentang dari Samudra Atlantik di sebelah barat dan Sungai Euphrat di sebelah Timur, Pulau Sisilia di sebelah utara dan Yaman di sebelah selatan. Ini membuktikan secara politis Dinasti Fatimiyah sudah memiliki salah satu konsep pemerintahan.
Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sistem pemerintahan Dinasti Fatimiah dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala bidang. Khilafah Al-Mahdi, hal yang pertama dalam usaha pemerintahannya adalah pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang pemerintahannya termasuk tokoh-tokoh penting meski sangat besar jasa dalam pembentukan khilafah fatimah. Selain kebijakan tersebut dilkukan pula pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerintahan.  Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal khalifah dan keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Qur’an), kebijakan penukaran duta (persahabatan) dengan Dinasti Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan pusat dan daerah). 

E.    Perluasan Wilayah Daulah Fatimiyah
Dalam  kebijakan pemerintah dilkukan pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerintahan.  Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal khalifah dan keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Qur’an), kebijakan penukaran duta (persahabatan) dengan Dinasti Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan pusat dan daerah).  Hal lain dapat dilihat dari pembangunan kota Mahdiyah yang terletak sebelah selatan kota Qoiruwan, dan menjadikan kota ini sebagai pangkalan armada laut khilafah fatimah. Dan tidak terkecuali dalam usaha mengembangkan wilayah kekuasaan, dan uasaha ini berkaiatan erat dengan kemiliteran. Dengan adanya perluasan kekuasaan tersebut mengarahkan untuk dapat menguasai daerah-daerah strategis dan mengantisipasi gerakan-gerakan yang dapat menbahayakan posisi khalifah. Maka dari itu stabilitas politik Daulah Fatimiyah tetap terjaga dengan terlihatnya  pemerintahan yang berjalan dengan baik karena hampir seluruh Afrika Utara wilayah barat dapat dikuasai. Salah satu wilayah yang dikuasai Khilafah Fatimiah adalah bekas kekuasaan Bani Aghlab yang berpusat di Tunisia, Rustamiah Khariji di Tabart, Indrisiah di Fez dan Pulau Sisilia juga termasuk daerah kekuasaan Daulah Fatimiah. Sedangkan pada puncak kejayaannya wilayah kekuasaanya mencakup seluruh daerah-daerah Afrika Utara, Sisilia, Mesir, Syiria, dan Arabia Barat yang tidak bisa dilepaskan dari penguasaan awal wilayah Mesir yang cukup strategis dalam melakukan ekspansi-ekspansi selanjutnya.

F.    Kemunduran Daulah Fatimiyah
1.    Internal
Konflik politik Daulah Fatimiyah antara kaum syi’ah dan non syi’ah memiliki kesinambungan dengan konflik aqidah antara Kum Syi’ah dan non-Syi’ah. Seperti pada pengangkatan khalifah yang masih muda yang merupakan konsekuensi logis dari model pergantian khalifah secara garis keturunan yang akhirnya menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh para wazir. Seperti pada masa Al-Hakim dengan sikap labilnya karena umurnya masih 11 tahun. Dia dikenal sebagai khalifah sewenang-wenang, keras, sikapnya yang cenderung dipengaruhi hawa nafsu, sikap bencinya terhadap orang-orang Mesir sendiri dengan bertindak sewenag-wenang dan merendahkan mereka dan merampas harta dan nyawa. Sementara itu dia memberikan tempat bagi orang-orang asing dan tidak jelas moralnya untuk mengurusi maslah-masalah pemerintahan. Semua itu berakibat pada buruknya keamanan pemerintahan, menurunya ketentraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap yang amoral.

2.    Eksternal
Kecintaan yang besar kalangan Syi’ah terhadap Ahlu Bait mempunyai pasangan berupa kehormatan yang luar biasa di kalangan Sunni terhadap para sahabat Rasul, dan hal itu yang mengakibatkan perbedaan sumber hukum islam. Kalau hanya karena perbedaan visi religius sikisma Sunni-Syi’ah tidak akan meruncing menjadi suatu perpecahan. Malangnya sikisma tersebut kemudian berhimpitan pada sikisma politis.  Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah belah dalam ranah politik sehingga muncul Aqidah Syi’ah tentang Taqiyah dimana mereka memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan golongan Sunni nya mempunyai rival dari golongan Syi’ah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga akhirnya salah satu golongan Syi’ah yaitu Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan Fatimiyah. Namun, dengan sistem underground nya golongan Sunni mencoba meruntuhkan Dinasti Fatimiyah dengan perantara Shalahudin Al-Ayyubi yang kelak menjadi perdana menteri di Mesir dengan di bawah kedaulatan Bani Abbasiyah.

G.    Analisis Politik Daulah Fatimiyah
1.    Tabel Daftar Raja dan Kemajuan yang Dicapai
2.    Kritik Kemajuan dan Kelemahan sistem Pemerintahan

IV.    KESIMPULAN
Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syi’ah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syi’ah. Ini karena penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat yang beraliran Sunni. Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik.
Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah belah dalam ranah politik sehingga muncul Aqidah Syi’ah tentang Taqiyah dimana mereka memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan golongan Sunni nya mempunyai rival dari golongan Syi’ah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga akhirnya salah satu golongan Syi’ah yaitu Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan Fatimiyah.

V.    PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.











































DAFTAR PUSTAKA


Azzabi’, Mahmud. Sunni yang Sunni, Trj. Al-Bayyinat fi Ar-Radh ‘ala Abatil al-Muraja’at. Bandung: Pustaka. 1989.
Fuadi, Imam. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Yogyakarta: Teras. 2012.
Karim, M Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007.
Khoiriyah. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam dari Arab Sebelum Islam Hingga Dinasti-Dinasti Islam. Yogyakarta: Teras. 2012.
Mustaqim, Ahmad. Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan. Bandung: PT. Fajar Aksara. 1998























<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar