Selasa, 25 Juni 2013

PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH PADA MASA ORDE BARU DI INDONESIA

PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH PADA MASA ORDE BARU DI INDONESIA
I.    PENDAHULUAN
Sejarah dan perkembangan politik hukum di Indonesia dimulai pada saat diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh sang proklamator Ir. Soekarano dan Muh. Hatta. Dari kemerdekaan itulah mulai dijalankannya suatu roda pemerintahan dengan menciptakan hukum–hukum yang baru yang terlepas dari hukum-hukum para penjajah yang selama hampir 3,5 abad menjajah negeri ini.
Perkembangan politik di Indonesia sendiri tentunya tidak bisa terlepas dari peran serta para pelakunya yang didalamnya juga terdapat para aktifis muslim yang ikut memeriahkan dunia perpolitikan di Indonesia. Walaupun terjadi berbagai macam polemik namun tidak bisa dipungkiri bahwa peran serta  para ulama’ sangatlah besar dalam kemajuan perpolitikan di Indonesia.
Dalam hal  ini  akan dijelaskan mengenai perkembangan fiqih siyasah yang ada di Indonesia khususnya di era orde baru.  Tentunya berbeda dengan apa yang telah  terjadi di Negara timur tengah layaknya arab pada masa Nabi serta para penerusnya. Fiqih siyasah di Indonesia tentunya sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sebagaimana yang akan di jelaskan pada makalah ini.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Kondisi dan Situasi Politik Pemerintahan di Indonesia Pada Masa  Orde baru?
B.    Bagaimana Perkembangan  Partai - Partai Islam Pada Masa Orde Baru?
C.    Bagaimana KonflikPartai Islam dan Pemerintah Orde Baru  ?
D.    Bagaimana Nasib Orang Muslim dan Partai Islam Masa Orde Baru ?
E.    Bagaimana Analisis Fiqih Siyasah Pemerintahan Orde Baru ?





III.    PEMBAHASAN
A.    Kondisi Dan Situasi Politik Pemerintahan Di Indonesia Pada Masa  Orde Baru
Stabilitas politik di Indonesia sebenarnya  sudah mulai goyang sejak tahun 1963, namun mulai masuk pada puncak fase ketegangan ketika tahun 1965 yang pada kala itu  pertentangan  antara PKI dan TNI sedang berapi-api.  Bermuara pada adanya pemberontakan G30S PKI, politik di Indonesia mengalami pergolakan yang  cukup kuat. Tiga orang jenderal Angkatan Darat mendesak presiden Soekarno untuk mengeluarkan “Surat Perintah Sebelas Maret” yang pada intinya ingin menggulingkan kekuasaan Soekarno pada masa itu. Dan akhirnya Bulan Juni 1966,  MPRS mengadakan Sidang Umum IV yang menetapkan  Surat Perintah Sebelas Maret, sehingga secara hukum surat perintah itu menjadi  sah dan otomatis dengan  dikeluarkanya super semar ini pula sebagai indikator dimulainya orde baru.
Dari hal ini, dapat kita fahami peran serta militer terhadap lahirnya Orde Baru dikatakan sangat signifikan.  Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru telah menampilkan militer sebagai pelaku  utama dalam pentas perpolitikan di Indonesia.  Sebagai contoh dalam bidang ekonomi, lahirnya konsep Dwifungsi ABRI pada masa Demokrasi Liberal bermaksud bahwa disamping bertugas sebagai pengaman negara juga bertugas menciptakan dan menjaga kehidupan masyarakat agar terbina dengan baik.
Dengan berbekal surat perintah tersebut Soeharto  mengambil beberapa tindakan. Diantaranya adalah dengan membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret, menangkap sejumlah menteri yang diduga berindikasi PKI ( Soebandrio, Chaerul Saleh, Yusuf Muda Dalam,  dan Panglima AU Oemar Dhani).  Orde Lama menjadi  simbol penyelewengan konstitusi dan demokrasi, tidak ada upaya mensejahterakan rakyat, komunis merajalela, serta keadaan  serba buruk pada  zaman Demokrasi Terpimpin. Orde Baru menunjuk kepada tatanan dengan tujuan kehidupan social, politik, ekonomi, kultural yang dijiwai oleh moral pancasila. Dengan demikian Soeharto meraih kekuasaan berdasarkan  sebuah koalisi  para perwira militer, organisasi-organisasi Muslim dan golongan Kristen.
Politik pada masa Orde Baru mengalami banyak perubahan, dalam hal ini juga terjadi penyederhanaan partai. Penyederhanaan ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
a.    Kelompok Nasionalis ( PKI,IPKI,  Murba )
b.    Kelompok Spiritual ( NU,  PMI, PSII, Perti, Parkindo dan Katholik
c.    Golongan Karya
Setelah Soeharto secara sah menjadi presiden menggantikan Soekarno, Soeharto memegang  secara penuh kekuasaan. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Soeharto lebih terkesan otoriter dalam memimpin. Selain itu untuk menguatkan keotoriteranya pada massa ini sistem berubah drastis menjadi non demokratis dengan berbagi hal misalnya pembatasan pemberitaan, kebebasan pers yang tertekan, dan arogansi pihak-pihak pemerintahan yang memegang kekuasaan. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya sebuah rancangan UU mengenai pers yang diajukan ke DPR-GR tahun 1966 menjadi sumber kekhawatiran baru.  Menurut rancangan tersebut, semua surat kabar  harus mendukung pancasila, UUD 1945 dan harus tunduk terhadap “hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif.  Tidak cukup hanya itu, kritik-kritik juga banyak dilontarkan terhadap kebijakan di bidang ekonomi. Kebijakan pada masa ini dirasa  terkesan mematikan pengusaha kecil. Watak ini dinamakan dengan watak dirigits. Dirigisme adalah kecenderungan Negara untuk melakukan intervensi pada pengelolaan kegiatan-kegiatan  social dan ekonomi.  Hal ini dikarenakan pemodal asing secara bebas diijinkan untuk melakukan penanaman modal di Indonesia berseberangan dengan itu, para pengusaha kecil mengalami diskriminasi.
B.    Perkembangan  Partai-Partai Islam Pada Masa Orde Baru
Setelah pada awal era kepemimpinan Soeharto partai  disederhanakan  menjadi tiga bagian, kaitanya  dalam hal  ini  wadah sebagai media persatuan umat Islam kala itu belum ada. Partai Islam masih terpecah menjadi tiga yaitu NU, Perti dan PSII. Tuntutan rehabilitasi Masyumi sebagai wadah yang dimaksudkan berujung pada penolakan pihak pemerintah, kecuali adanya satu wadah baru yang dibuat diluar dari ketiga partai tersebut. Oleh karena itu, Dr. Moh.Hatta tampil dengan gagasan berdirinya Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Namun tindakan ini tidak mendapatkan respon bahkan ditentang oleh suara kaum  muda. Akhirnya pada 7  Mei 1967 diumumkan deklarasi berdirinya Partai Muslimin Indonesia  (Parmusi) sebagai wadah baru politik  Islam oleh 18 organisasi  Islam  yang terhimpun dalam Federasi Amal  Muslimin. Partai ini mengambil “Bulan Bintang” sebagai lambangnya.  Dengan  ini jelas bahwa kuantitas partai  Islam mengalami peningkatan.
Momen kebangkitan partai Islam tidak berhenti sampai disini, akhirnya berselang satu tahun KUII (Kongres  Umat  Islam Indonesia) berencana untuk diselenggarakan, namun dikarenakan hal ini disinyalir sebagai kebangkitan umat Islam pemerintah tidak memberikan izin. Pada masa ini NUlah yang menjadi partai muslim yang mampu mendapatkan banyak suara dalam pemilu. Terbukti 58 kursi didapatkan oleh NU dibandingkan dengan Parmusi yang hanya 24 buah, serta PSII dan Perti mengikuti dibelakangnya. Dan kemudian keempat fraksi Islam dalam DPR RI tahun1973 melebur menjadi satu dalam Fraksi Persatuan Pembangunan yang kemudian menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).  Namun adanya fusi partai ini sebenarnya juga memiliki banyak sekali kelemahan, dengan meleburnya tradisionalis modernis ini semakin menghilangkan identitas masing-masing. Dengan demikian partai Islam PPP meninggalkan asas Islamnya dan menjadi partai Nasionalis tanpa ciri Islam .  Ini sebagai strategi politik agar kaum muslimin masih bias ikut andil dalam perpolitikan kala itu, karena pemerintah mewajibkansemua partai berasaskan pancasila.
Konflik internalpun menjadi salah satu faktor mengapa NU sering mengalami pergolakan, dikarenakan jumlah kursi yang diterima oleh NU tidak senada dengan apa yang sebenarnya telah direncanakan. Terlepas dari itu semua pergolakan juga terjadi ketika kala itu Kiai Bishri Syansuri ikut dalam pergolakan rancangan UU Perkawinan. Perundingan ini lebih tepatnya dipelopori oleh ABRI dan NU. Jelas sekali betapa besarnya pengaruh Ulama’ baik didalam maupun diluar PPP. Terlena dengan kegiatan politik NU malah lupaakan perjuanganya di dunia pendidikan, sehingga para aktivis NU kecewa akan hal itu dan pada akhirnya NU memberanikan diri untuk keluar dari tubuh PPP.

C.    KonflikPartai Islam dan Pemerintah Orde Baru 
Selama masa Orde Baru setidaknya setiap 5 tahun sekali mulai dari 1955 pemilu diadakan, dan banyak partai politik yang ikut serta memeriahkanya dan tak kurang dari partai Islampun ikut didalamnya. Partai politik Islam yang ikut adalah partai politik yang secara tegas mencantumkan asasnya adalah Islam. Pada pemilu tahun 1999, paling tidak ada delapan partai yang berasaskan Islam, antara lain yang mendapatkan kursi di DPR pada saat ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan lain-lain.
Sejak pemilu tahun 1955  sampai dengan tahun 1997 yaitu selama 20 tahun terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia. Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun 1982 memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari 400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi yang diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 16%.
Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu memperoleh kursi diatas 62% sampai 75% yang merupakan alat politik pemerintah Orde Baru. Karena itu perolehan suara partai Islam pada masa ini bukan merupakan indikasi sebenarnya atas sikap pemilih yang dilakukan secara terbuka dan demokratis dalam pemilu. Orde Baru memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan Karya sehingga partai politik Islam seakan terbelenggu oleh Birokrasi dan ABRI untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaannya, yang Kemenangan Golkar didukung penuh oleh kekuatan birokrasi dan ABRI. Jelas sekali pada masa  ini partai Islam semakin mengalami diskriminasi  dan gerakanya dibatasi  oleh gerakan-gerakan pemerintah Soeharto kala itu.
Kelicikan pemerintah Soeharto untuk menekan laju dari partai Islam khususnya NU adalah dengan membuat organisasi tandingan yaitu GUPPI ( Gabungan usaha Perbaikan Pendidikan). Kemunculan GUPPI ini meresahkan NU karena tersaingi dalam peningkatan program-program sosial, dan pendidikan.  Keresahan ini tidak tanpa alasan karena dengan jelas  GUPPI mendukung Golkar dan tentunya mendukung pemerintah. Para Kyai seperti Hj.Ani dari jombang berhasil ditarik ke Golkar. Geram dengan hal itu sampai-sampai Pada bulan April 700 ulama berkumpul di Tebuireng dan mengeluarkan fatwa yang menharuskan seluruh umat Islam untuk mencoblos satu partai Islam.

D.    Nasib Orang Muslim dan Partai Islam Pada masa Orde Baru
Secara garis besar nasib umat Islam serta partai Islam pada masa Orde Baru layaknya jerami di ujung tanduk kerbau, tak tentu nasibnya mau bagaimana. Disatu sisi para cendekiawan muslim serta aktivis muslim lain berjuang mempertahankan peranan politiknya dalam pemilu demi kepentingan umat. Disisi lain juga harus mempertahankan agar tetap pada Khittahnya.
Partai Islam mengalami tekanan yang sangat keras terutama oleh pemerintahan Soeharto yang dalam hal ini menggunakan kekuasaanya serta Golkar sebagai alat. Mulai dari pembentukan badan tandingan seperti GUPPI yang disinyalir digunakan pemerintah untuk memecah suara dari partai Islam.  Dan terbukti pada pemilu pemilu berikutnya suara partai Islam mengalami penurunan, seperti yang terjadi  pada tahun 1977 NU  kehilangan 5 kursi di DPR.
Pada perkembangnya perbaikan-perbaikan dalam segala hal dilakukan demi kepentingan umat. Seperti halnya perbaikan hubungan NU dengan pemerintah yang melahirkan Program Wajib belajar dan beriringan dengan itu pula 5000 sekolah telah bekerja sama dengan pemerintah khususnya LP ma’arif. Hal ini juga dirasakan pada perkembangan di dunia dakwah. Selain ormas NU  dan para superstar, masyarakat luas  juga semakin banyak yang ikut ambil bagian dalam pertumbuhan dakwah yang meluas  hingga keluar masjid, ke kantor-kantor dan tempat lain.

E.    Analisis Fiqih Siyasah Pada Pemerintahan Orde Baru
Permasalahan politik di Indonesia sangatlah pelik. Perkembangan siyasah pada masa Orde Barupun mengalami berbagai macam kemajuan tentunya. Islam yang notabene agama  terbesar dan otomatis memiliki massa besarpun ikut andil di daamnya. lslam adalah agama yang tidak hanya mendukung pembangunan, pengembangan, dan kemajuan di berbagai bidang, tetapi ia pun menuntut setiap hari yang dilalui umat manusia lebih baik dari hari sebelumnya. Begitu juga dengan kehadiran partai politik Islam di Indonesia yang sangat berpengaruh dalam pembangunan Indonesia dimulai dari sebelum terbentuknya Negara ini maupun setelah terbentuknya Negara Indonesia baik masa Orde Lama, Orde Baru maupun Reformasi.
Lahirnya partai berasaskan Islam dan partai yang berbasiskan massa Islam, pada masa Orde Baru, bersatu padu memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara.  Pada masa Orde Baru yaitu yang dimulai pada pemilu tahun 1971 (pada saat itu ada 4 partai politik Islam yaitu Partai NU, PSII, PARMUSI dan PERTI), serta Partai Persatuan Pembangunan untuk pemilu selanjutnya sampai dengan pemilu tahun 1997, tidak menunjukan pembedaan yang demikian.
Tanpa keikut sertaan Islam dalam perpolitikan di Indonesia  tentunya politik Indonesia tidak akan mengalami pencapaian seperti sekarang. Jadi antara Negara, Politik dan Islam tidak dapat terpisahkan. Adanya berbagai macam permasalahan justru yang menjadikan bangsa ini semakin besar.  Semua lini  memberikan sumbangsihnya demi kemajuan Negara Indonesia.  “Bukanlah bertanya mengenai apa yang bisa dilakukan oleh negara untuk anda, tetapi apa yang bisa anda lakukan untuk negara anda” Begitulah kiranya John. F. Kennedy mengeluarkan pendapatnya tentang Negara.
Berikut adalah analisis tabel partai polik sejak tahun 1966-1998
TABEL PEMERINTAHAN INDONESIA
NO    TAHUN    PARTAI ISLAM DAN NON MUSLIM    TOKOH
1.    1966    Partai Nasional Indonesia (PNI)    Dr. Tjipto Mangun Kusumo
        Nahdatul Ulama (NU)    Moh. Natsir
        Partai Katolik    F.S. Hari Jadi
        Partai Murba    Tanmalaka, Khairul Saleh, Sukarni, Adam Malik
        Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)    Amir Syarifudin
        Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)    Kolonel A.H. Nasution
        Partai Kristen Indonesia (Parkindo)    Domine (Ds) Probo Winoto
        Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)    H. Faizal Baasyir, SH.
        Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)    Syekh Sulaiman ar-Rasuly
           
2.    1971    Golongan Karya (Golkar)    Yasin Limpo
        Partai Nasional Indonesia (PNI)    Dr. Tjipto Mangun Kusumo
        Nahdatul Ulama (NU)    Moh. Natsir
        Partai Katolik    F.S. Hari Jadi
        Partai Murba    Tanmalaka, Khairul Saleh, Sukarni, Adam Malik
        Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)    Amir Syarifudin
        Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)    Kolonel A.H. Nasution
        Partai Kristen Indonesia (Parkindo)    Domine (Ds) Probo Winoto
        Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)    H. Faizal Baasyir, SH.
        Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)    Syekh Sulaiman ar-Rasuly
3.    1976    PPP    H.M.S. Mintaredja, SH.
        Golongan Karya (Golkar)    Akbar Tanjung
        PDI    Ir. Soekarno
4.    1981    PPP    H.M.S. Mintaredja, SH.
        Golongan Karya (Golkar)    Akbar Tanjung
        PDI    Ir. Soekarno
5.    1986-1998    Golongan Karya (Golkar)    Akbar Tanjung
        PPP    H.M.S. Mintaredja, SH.
        PDI    Ir. Soekarno





IV.    KESIMPULAN
A.    Kondisi dan situasi politik pemerintahan di Indonesia pada masa  Orde Baru mulai goyang sejak tahun 1963, bermuara pada adanya pemberontakan G30S PKI, politik di Indonesia mengalami pergolakan yang  cukup kuat. Tiga orang jenderal Angkatan Darat mendesak presiden Soekarno untuk mengeluarkan “Surat Perintah Sebelas Maret” yang pada intinya ingin menggulingkan kekuasaan Soekarno pada masa itu. Dan akhirnya Bulan Juni 1966,  MPRS mengadakan Sidang Umum IV yang menetapkan  Surat Perintah Sebelas Maret, sehingga secara hukum surat perintah itu menjadi  sah dan otomatis dengan  dikeluarkanya super semar ini pula sebagai indikator dimulainya Orde Baru.
B.    Perkembangan  partai-partai Islam pada masa Orde Baru pada awal era kepemimpinan Soeharto partai  disederhanakan  menjadi tiga bagian, yaitu NU, Perti dan PSII. Tuntutan rehabilitasi Masyumi sebagai wadah berujung pada penolakan pihak pemerintah, kecuali adanya satu wadah baru yang dibuat diluar dari ketiga partai tersebut. Oleh karena itu, Dr. Moh.Hatta tampil dengan gagasan berdirinya PDII. Namun tindakan ini tidak mendapatkan respon bahkan ditentang oleh suara kaum muda. Akhirnya pada 7 Mei 1967 diumumkan deklarasi berdirinya PARMUSI sebagai wadah baru politik. Partai ini mengambil “Bulan Bintang” sebagai lambangnya. Dengan  ini jelas bahwa kuantitas partai  Islam mengalami peningkatan.
C.    Pada masa Orde Baru setidaknya setiap 5 tahun sekali mulai dari 1955 pemilu diadakan, pada pemilu tahun 1999, ada delapan partai yang berasaskan Islam, antara lain yang mendapatkan kursi di DPR pada saat ini adalah Partai: (PPP), (PBB), (PK), (PNU), (PKU), Partai Masyumi, (PSII). Sejak pemilu tahun 1955-1997 terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru. Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun sejak pemilu tahun 1977-1997. Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi GOLKAR yang selalu memperoleh kursi diatas  yang merupakan alat politik pemerintah Orde Baru. Kelicikan pemerintah Soeharto untuk menekan laju dari partai Islam khususnya NU adalah dengan membuat organisasi tandingan GUPPI. Kemunculan GUPPI ini meresahkan NU karena dengan jelas  GUPPI mendukung Golkar dan tentunya mendukung pemerintah.
D.    Pada masa Orde Baru partai Islam mengalami tekanan yang sangat keras terutama oleh pemerintahan Soeharto. Mulai dari pembentukan badan tandingan seperti GUPPI yang disinyalir digunakan pemerintah untuk memecah suara dari partai Islam.  Dan terbukti pada pemilu-pemilu berikutnya suara partai Islam mengalami penurunan, seperti yang terjadi  pada tahun 1977 NU  kehilangan 5 kursi di DPR. Pada perkembangnya perbaikan-perbaikan dalam segala hal dilakukan demi kepentingan umat. Seperti halnya perbaikan hubungan NU dengan pemerintah yang melahirkan Program Wajib belajar dan beriringan dengan itu pula 5000 sekolah telah bekerja sama dengan pemerintah khususnya LP ma’arif. Hal ini juga dirasakan pada perkembangan di dunia dakwah. Selain ormas NU  dan para superstar, masyarakat luas  juga semakin banyak yang ikut ambil bagian dalam pertumbuhan dakwah yang meluas  hingga keluar masjid, ke kantor-kantor dan tempat lain.

V.    PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis buat. penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.








DAFTAR PUSTAKA
Lesmana, NU Vis  a Vis Negara, Yogyakarta : LKiS, 1999
Mahfud MD, Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003
Rais, M. Amin, Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986
Sahidi, Zaim,  Soeharto Menjaring Matahari, Bandung: Mizan, 1998
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010
_________________, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,2010
http://ninkrukhster.blogspot.com/2012/06/perbandingan-peran-partai-politik-islam.html

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar