Selasa, 25 Juni 2013

PERKEMBANGAN SEJARAH FIQH SIYASAH PADA MASA DAULAH ABBASIYAH

I.    PENDAHULUAN
Pemerintahan dinasti Abbasiyah dinisbatkan pada Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, sementara khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib.
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas ash-Shaffah dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan bani Abbasiyah berlangsung dalam rentan waktu yang panjang yaitu selama 5 abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M) berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.
II.    PEMBAHASAN
A.    Sistem Khalifah / Pemerintahan pada Masa Daulah Abbasiyah
Pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah bertumpu pada banyak sistem yang pernah dipraktekan oleh bangsa-bangsa sebelumnya baik yang muslim maupun yang non muslim. Dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan oleh khalifah kedua, Abu Ja’far al-Mansur yang dikenal sebagai pembangun khalifah tersebut. Sedangkan sebagian pendiri Abbasiyah ialah Abdul Abbas as-Saffah. Dukungan dan sumbangan bangsa Persia kentara sekali ketika Abbasiyah berdiri dengan munculnya Abu Muslim al-Khurrasani, dan memang wilayah operasional bangsa ini berada dibekas reruntuhan kerajaan Persia. Kebangkitan orang-orang Persia itu antara lain juga karena sudah bosannya mereka terhadap kebijakan pemerintahan Umayyah yang diskriminatif terhadap bangsa non-Arab yang menjadikan mereka warga negara kelas dua yang disebut dengan kaum mawalli. Maka, tidak mengherankan bila kekhalifahan Abbasiyah mengambil nilai-nilai Persia dalam sistem pemerintahannya.
Bani Abbasiyah mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada  4 aspek, yaitu:
1.    Aspek Khilafah (Pemimpin)
Berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah sebelumnya, Bani Abbas menyatukan kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk memperkuat posisi dan melegitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat. Pemanfaatan bahasa agama dalam pemerintahan ini terlihat pertama kali dalam pernyataan al-Mansur bahwa dirinya adalah wakil Allah dibumi-Nya. Pernyataan al-Mansur diatas menunjukkan bahwa khalifah memerintah berdasarkan mandat Tuhan, bukan pilihan rakyat. Oleh karenanya, kekuasaannya adalah suci dan mutlak serta harus dipatuhi oleh umat. Para khalifah Bani Abbasiyah akhirnya mengklaim diri mereka sebagai bayang-bayang Tuhan dimuka bumi dan khalifah Tuhan, bukan khalifah Nabi.
Berdasarkan prinsip ini, kekuasaan khalifah bersifat absolut dan tidak boleh digantikan kecuali setelah ia meninggal. Ironisnya, absolutisme kekuasaan khalifah didukung pula oleh pemikiran-pemikiran tokoh sunni yang hidup pada masa daulah Bani Abbasiyah berkuasa. Ibn Abi Robbi’, Al Ghozali dan Ibn Taimiyah adalah beberapa tokoh sunni yang mendukung gagasan kekuasaan mutlak khalifah dan sakralnya kedudukan mereka. Al Ghozali bahkan berpendapat bahwa sumber kekuasaan adalah dari Tuhan dan diberikan-Nya kepada sebagian kecil hamba-Nya. Karenanya kekuasaan khalifah yang mendapat mandat dari Tuhan tidak boleh diganggu apalagi diturunkan.
2.    Aspek Wizarah (Tangan Kanan Khalifah)
Wizarah adalah salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas kepala negara. Sedangkan wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan. Sebelum Bani Abbasiyah, wizarah memang telah ada, tetapi belum terlembaga. Pada masa Bani Abbas, dibawah pengaruh kebudayaan Persia, wazir ini mulai dilembagakan. Dalam pemerintahan al-Saffah, wazir yang diangkatnya adalah Abu Salamah al-Khallal ibn Sulaiman al-Hamadzani. Wazir ini bertugas sebagai tangan kanan khalifah. Dia menjalankan urusan-urusan kenegaraan atas nama khalifah. Dia berhak mengangkat dan memecat pegawai pemerintahan, kepala daerah bahkan hakim. Wazir juga berperan megkoordinir departemen-departemen (Diwan), seperti departemen perpajakan (Diwan al-Kharaj), departemen pertahanan (Diwan al- Jaisy) dan departemen keuangan (Diwan Bait al-Mal).  Kepala departemen (shohih al-diwan) ini kadang-kadang disebut juga dengan wazir. Akan tetapi mereka tetap mengikuti dan berada dibawah kontrol kekuasaan wazir koordinator. Departemen-departemen yang dikepalai oleh masing-masing wazir ini merupakan kabinet dalam pemerintahan Bani Abbasiyah yang disebut dengan Diwan al-‘Aziz.        
Berdasarkan hal ini, Al-Mawardi, ahli tata negara pada masa Bani Abbasiyah, membagi wazir menjadi dua bentuk. Pertama, wazir tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departemen. Wazir ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri. Kedua, wazir tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana terhadap kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tanfidz. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.
3.    Aspek Kitabah (Sekretaris Negara)
Besarnya pengaruh wazir-wazir dalam pemerintahan membutuhkan tenaga-tenaga untuk membantu tugas-tugasnya dalam mengkoordinir masing-masing departemen. Untuk itu, wazirpun mengangkat para katib untuk menempati pos-posnya. Diantara jabatan katib ini adalah katib al-rasa’il, katib al-khoroj, katib al-jund, katib al-syurthah dan katib al-kodhi. Sesuai dengan namanya, para katib (kitab) bertugas dalam bidang masing-masing. Namun yang paling strategis dan penting adalah jabatan katib al-rasa’il. Ia bertugas mengumumkan keputusan atau undang-undang, menyusun dan mengkonsep surat-surat politik dengan bahasa yang baik dan indah sebelum disahkan oleh khalifah serta mengeluarkan surat-surat resmi negara. Itulah sebabnya khalifah memilih katib al-rasa’il ini dari kalangan ahli sastra. Katib al-rasa’il ini dapat disebut juga asisten pribadi khalifah atau Menteri Sekertaris Negara, karena dia duduk berdampingan dengan khalifah dalam menentukan kebijaksanaan negara dan mengumumkannya dalam masyarakat.
4.    Aspek Hijabah (Pengawal Khalifah)
Hijab berarti pembatas atau penghalang. Dalam sistem politik Bani Abbasiyah, hajib (petugas hijab) berarti pengawal khalifah, karena tugas dan wewenang mereka adalah menghalangi dan membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan khalifah Bani Abbasiyah. Mereka bertugas menjaga keselamatan dan keamanan khalifah.
Adanya hajib  ini nampaknya merupakan suatu kebutuhan dalam pemerintahan. Kompleksnya permasalahan kenegaraan dan kemasyarakatan serta luasnya daerah pemerintahan Bani Abbas menuntut perlunya khalifah bersikap ekstra hati-hati terhadap segala kemungkinan buruk yang dapat menimpa diri mereka. Jadi dapat dipahami bahwa hajib ini kurang lebih sama dengan pasukan pengawal pengamanan presiden pada masa sekarang.
Selain empat aspek tersebut diatas untuk urusan daerah (provinsi), khalifah Bani Abbasiyah mengangkat kepala daerah (amir) sebagai pembantu mereka. Ketika khalifah masih kuat, sistem pemerintahan ini bersifat sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang diwakili oleh wazir. Namun setelah kekuasaan Islam lemah masing-masing amir berkuasa penuh mengatur pemerintahannya sendiri. Pada masa al-Saffah pemerintah daerah (amir) dibagi menjadi 3 keamiran, yaitu: imarah istikfa’, imarah istila’, imarah khashshah. Masing-masing  imarah  mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Imarah istikfa’ bertugas antara lain mengatur dan menggaji tentara, memungut pajak, menjadi imam dan menegakkan pelaksanaan hukum. Imarah istila’ bertugas dalam bidang politik, yaitu semacam kepala kepolisian daerah (polda). Mereka bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban daerah. Sedangkan imarah khashshah bertugas menangani masalah ketentaraan.
B.    Daftar Raja-raja Daulah / Kerajaan Abbasiyah
Para khalifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 khalifah, mereka adalah:
1.    Abul Abbas As-Shaffah (Pendiri)            749-754 M
2.      Abu Ja’far Al-Manshur                    754-775 M
3.    Abu Abdullah Muhammad Al Mahdi            775-785 M
4.    Abu Muhammad Musa Al-Hadi                785-786 M
5.    Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid                786-809 M
6.    Abu Musa Muhammad Al-Amin                809-813 M
7.    Abu Ja’far Abdullah Al-Ma’mun                813-833 M
8.    Abu Ishaq Muhammad Al-Mu’tashim            833-842 M
9.    Abu Ja’far Harun Al-Watsiq                842-847 M
10.    Abu Fadl Ja’far Al-Mutawakil                847-861 M
11.    Abu Ja’far Muhammad Al-Muntashir            861-862 M
12.    Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in                862-866 M
13.    Abu Abdullah Muhammad Al-Mu’taz            866-869 M
14.    Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi            869-870 M
15.    Abu Abbas Ahmad Al-Mu’tamid            870-892 M
16.    Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tadid            892-902 M
17.    Abul Muhammad Ali Al-Muktafi            902-905 M
18.    Abul Fadl Ja’far Al-Muqtadir                905-932 M
19.    Abu Mansur Muhammad Al-Qahir            932-934 M
20.    Abul Abbas Ahmad Ar-Radi                934-940 M
21.    Abu Ishaq Ibrahim Al-Muttaqi                940-944 M
22.    Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi            944-946 M
23.    Abul Qasim Al-Fadl Al-Mu’ti                946-974 M
24.    Abul Fadl Abdul Karim At-Thai                974-991 M
25.    Abul Abbas Ahmad Al-Qadir                991-1031 M
26.    Abu Ja’far Abdullah Al-Qaim                1031-1075 M
27.    Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi            1075-1094 M
28.    Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir            1094-1118 M
29.    Abu Manshur Al-Fadl Al-Mustarsyid            1118-1135 M
30.    Abu Ja’far Al-Mansur Ar-Rasyid            1135-1136 M
31.    Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi            1136-1160 M
32.    Abu Mudzafar Al-Mustanjid                1160-1170 M
33.    Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi            1170-1180 M
34.    Abu Al-Abbas Ahmad An-Nasir                1180-1225 M
35.    Abu Muhammad Az-Zahir                1225-1226 M
36.    Abu Ja’far Al-Mansur Al-Mustansir            1226-1242 M
37.    Abu Ahmad Abdullah Al-Mu’tashim Billah        1242-1258 M.

C.    Dinamika Sosial dan Politik
1.    Kondisi Sosial Politik

Kondisi Bani Abbasiyah dalam Bidang Sosial
Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia Islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Persi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-memiliki seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai keahlian.
Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan terhadap kaum Mawalli dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat (Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan meletakan ibu kota kerajaannya di Baghdad, wilayah yang dikelilingi oleh bangsa dan agama yang berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen, dan Majusi.
Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau kesukuan, melainkan berdasarkan jabatan seseorang seperti menurut jarzid Zaidan. Masyarakat Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok besar, kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim), para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima), kaum bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya, para petugas khusus, tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama, pujangga fuqaha, saudagar dan penguasa buruh dan petani.

Kondisi Bani Abbasiyah dalam Bidang Politik
Sistem pemerintahan pada masa daulah Abbasiyah terbagi menjadi 4 periode, yaitu:
1)    Periode I atau periode pengaruh Arab dan Persia I, terjadi pada tahun 132-232 H/750-847 M. Berakhirnya tahap (periode) ini seiring meninggalnya khalifah Al-Wasiq.
2)    Periode II atau periode pegaruh Turki I, yakni tahun 232-334 H /847-945 M dimana Khalifah Al-Mutawakkil memegang kekhalifahan.
3)    Periode III atau periode  pengaruh Persia II (334-447 H /945-1055 M), yakni  kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah.
4)    Periode IV atau periode pengaruh Turki II (447-590 H/1055-1194 M), yakni masa kekuasaan daulat Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah sampai datangnya pengaruh lain seperti invasi dari bangsa Tartar dan ekspansi bani Utsmani.

    Adapun perpolitikan yang dijalankan dalam sistem pemerintahan dinasti Abbasiyah periode I  adalah sebagai berikut:
a.    Kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh khalifah yang mempertahankan keturunan Arab murni dibantu oleh Wazir, Menteri, Gubernur dan para Panglima beserta pegawai-pegawai yang berasal dari berbagai bangsa dan pada masa ini yang sedang banyak di angkat dari golongan Mawali turunan Persia.
b.    Kota Bagdad sebagai ibukota negara, menjadi pusat kegiatan politik, sosial dan kebudayaan, dijadikan kota internasional yang terbuka untuk segala bangsa dan keyakinan sehingga terkumpullah di sana bangsa-bangsa Arab, Turki, Persia, Rumawi, Qibthi, Hindi, Barbani, Kurdi, dan sebagainya.
c.    Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia. Para khalifah dan para pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
d.    Kebebasan berpikir diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taqlid, hal mana menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang termasuk bidang aqidah, filsafat, ibadah dan sebagainya.
e.    Para menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina tamadun Islam.
Adapun perpolitikan yang dijalankan dalam sistem pemerintahan dinasti Abbasiyah periode II-III-IV adalah sebagai berikut:
a.    Kekuasaan khalifah sudah lemah bahkan kadang-kadang hanya sebagai lambang saja. Kekuasaan sebenarnya ditangan wazir atau panglima atau sultan yang berkuasa di Bagdad sehingga kadang-kadang nasib khalifah tergantung pada selera penguasa di angkat, diturunkan atau bahkan dibunuh.
b.    Kota Bagdad bukan satu-satunya kota internasional dan terbesar, sebab masing-masing kerajaan berlomba-lomba untuk mendirikan kota yang menyaingi Bagdad. Di Barat tumbuh kota Cordon, Toledo, Sevilla. Di Afrika kota Koiruan, Tunisisa dan Kairo. Di Syiria kota Mush dan Halab, di Timur tumbuh kota Bukhara.
c.    Keadaan politik dan militer merosot, ilmu pengetahuan tambah maju dengan pesatnya. Hal itu disebabkan masing-masing kerajaan, masing-masing amir atau khalifah atau sultan berlomba-lomba untuk memajukan ilmu pengetahuan, berlomba-lomba untuk mendirikan perpustakaan, mengumpulkan para ilmuwan para pengarang, penterjemah, memberi kededudukan terhormat kepada ulama dan pujangga.

Selain itu Konflik Politik juga terjadi pada Masa Daulah Abbasiyah, yakni :
Jatuhnya dinasti bani Umayyah yang menelan korban jiwa besar dari kalangan dinasti Umayyah sekaligus sebagai tonggak awal berdirinya dinasti Abbasiyyah. Sebagai kekuatan baru yang mulai tumbuh dan di tegakkan di atas puing-puing kehancuran dinasti umayyah, menjadikan langkah awal yang dijalankan oleh pemerintahan bani Abbas adalah upaya kemantapan dan stabilitas daulat abbasiyah yang mewarisi seluruh wilayah luas bekas wilayah dinasti Umayyah. Beberapa langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintahan Abbasiyah diantaranya:

a.    Melenyapkan kekuatan dinasti Umayyah yang tersisa
Pembaiatan khalifah pertama dinasti Abasiyyah, Abul Abbas Al-Safah, dilaksanakan pada tanggal 28 November 749 M di masjid Kufah. Pembaiatan ini sekaligus formalisasi berdirinya daulat Abasiyyah. Pada saat itu kekuasaan bani Umayyah yang berpusat di Damaskus masih ada di bawah pemerintahan khalifah Marwan II, khalifah terakhir dari dinasti Umayyah karenanya, pada waktu itu sebenarnya terdapat dualisme kekuasaan. Pertama, kekuasaan dinasti Umayyah yang tengah berada dalam keadaan lemah namun tetap dipandang ancaman serius bagi kekuatan Abbasiyah. Kedua, kekuasaan Abbasiyah yang sudah kuat. Semua kekuatan-kekuatan yang tersisa dan dianggap ancaman oleh dinasti Abbasiyah dilumpuhkan. Upaya-upaya itu dilakukan biar tidak ada lagi gangguan-gangguan yang akan muncul dalam perjalanan pemerintahan Abbasiyah, dan Abbasiyah terbebas dari ancaman dalam bentuk apapun.
b.    Memadamkan upaya-upaya gerakan pemberontakan
Upaya keras telah dilakukan oleh kelompok Abbasiyah untuk menghabisi semua yang dianggap berbahaya, tetapi tidak berarti kemudian pemerintahan Abbasiyah kuat buktinya beberapa pemberontakan dan ancaman kemudian muncul yang sewaktu-waktu mengancam kelangsungan daulat Abbasiyah. Sekurang-kurangnya ada tiga bentuk ancamanyang dihadapi oleh khalifah Al-Mansur, khalifah kedua yang dipandang sebagai pembina dinasti ini. Ketiga gerakan tersebut adalah
a)    Abdullah ibn Ali
Beliau adalah orang yang berjasa besar dan membunuh Marwan II didalam menumbangkan kekuasaan Umayyah. Dia pernah dijanjikan oleh Abu Abbas untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalannya nanti seandainya ia berhasil membunuh khalifah Marwan II. Dia membuat gerakan pemberontakan karena tidak puas terhadap penunjukkan Abu Ja’far al-mansur sebagai khalifah, bukan menunjuk dirinya. Abul Abbas memerintahkan Abu Muslim al-khurasani untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Dengan kehebatan pasukan al-khurasani akhirnya pasukan Abdullah mengalami kekalahan berat dan ia sendiri terpaksa melarikan diri setelah berhasil ditangkap dan dipenjarakan, akhirnya ia sendiri dibunuh. Sehingga pemberontakan yang hampir saja mengoyahkan kedaulatan Abbasiyah tersebut dengan cepat diatasioleh khalifah Al-Mansur.
b)    Abu Muslim al-Khurasani
Sebagaimana Abdullah ibn Ali beliau adalah salah seorang yang sangat berjasa dalam pendirian daulat Abbasiyah. Dialah yang memiliki kemampuan menggalang kekuatan didaerah Khurasan untuk menggulingkan kekuatan Umayyah yang pada akhirnya bermuara pada terbentuknya daulat Abbasiyah, disatu pihak telah terbukti betapa besar potensi dan pengaruh yang dimiliki oleh beliau, namun dipihak lain hal tersebut sekaligus telah menimbulkan pula kekhawatiran bagi khalifah terhadap kemungkinan ia bakal tampil sebagai rival politik yang sewaktu-waktu dapat mengancam kekuasannya memimpin Abbasiyah. Agaknya ada keinginan Abul Muslim memainkan peranan besar dalam kekuasaan Abbasiyah ditandai dengan perselisihannya dan keengganannya yang sering terjadi untuk menjalankan perintah khalifah dimasa Abul Abbas al-Safah. Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebutakhirnya beliau tidak segan-segan menjalankan politik kejinya. Beliau diundang ke istana untuk menghadap khalifah. Setelah terjadi dialog yang panjang akhirnya pada bulan Sya’ban 137 H ia dibunuh oleh para algojo istana.
c)    Gerakan Syi’ah
Dalam upaya menggulingkan kekuasan bani Umayyah golongan memainkan peran yang penting. Mereka bergabung kedalam gerakan Abbasiyah karena tidak suka terhadap pemerintahan Umayyah. Kedua kelompok terjalin kerjasama dimana selain didorong oleh perasaan senasib, yakni sama-sama mendapat tekanan dari pihak Umayyah, juga karena kecerdikan bani Abbas yang mengakomodir pemikiran Syi’ah di dalam gerakan mereka. Gerakan bani Abbas mengusung pernyataan bahwa gerakan mereka dilakukan atas nama dari keluarga Muhammad yang didukung. Karenanya, gerakan ini sekaligus akan melegitimasi hak ahlu al bait terhadap jabatan khalifah sebagaiman yanyang dianut oleh kalangan Syi’ah. Upaya politik bani Abbas ini ternyata angkuh untuk merekrut kekuatan Syi’ah. Dengan menguatnya struktur Persi dalam pemerintahan bani Abbas menyebabkan munculnya rasa kecemburuan dikalangan orang Arab sendiri. Supremasi Persi tersebut berlanjut sampai akhirnya datang orang-orang Turki memasuki bidang ketentaraan berkat kebijaksanaan jendral Tahir (820 M) orang0orang Turki ini kemudian menjadi satu kekuatan yang patut diperhitungkan dalam percaturan politik Abbasiyah, dan lebih dari itu juga menjatuhkan supremasi dan dominasi Persi di pemerintahan Abbasiyah.

2.    Perundangan dan Hukum
Pada periode Abbasiyah, lembaga hukum disebut juga dengan al-nidham al-madhalim, yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.
Lembaga ini terdiri dari tiga macam bagian, antara lain:
a.    Al-Qadha
Badan ini bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, sunnah Rasul, atau ijma’ dan atau berdasarkan ijtihad. Badan ini juga dipimpin oleh qadhi, yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisiham bahkan sampai dengan masalah waqaf. Pada masa ini, di setiap wilayah diangkat beberapa hakim, dan setiap perkara diselesaikan sesuai dengan mazhab yang dianut oleh masyarakat.
b.     Wilayatul Hisbat
Pejabat badan al-hisbat disebut juga dengan al-muhtasib, disini al-muhtasib bertugas mengatur ketertiban umum, mengawasi hukum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang butuh penanganan segera. Mereka juga bertugas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, mengawasi ketertiban pasar, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum syari’at.
c.    Wilayatul Madhalim
Pejabat badan al-madhalim disebut dengan qadhi al-madhalim atau shahib al-madhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.  Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.

3.    Adiministrasi Negara
Pada masa khalifah al-Mansyur perbendaharaan negara penuh dan berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara.
Kemudian pada masa khalifah al-Mahdi, beliau melakukan upaya untuk meningkatkan uang kas negara, yakni dengan mempermudah transportasi jalur perdagangan yaitu dengan dibangunnya stasiun kafilah dagang dan tersedianya air yang cukup pada tempat tersebut. Adanya kuda-kuda yang tangguh untuk mempermudah dan mempercepat layanan pos. Ditingkatkannya armada dagang dari teluk Persia dan teluk Aden ke pesisir India dan wilayah Asia Tenggara, sehingga perdagangan eropa sangat tergantung sekali pada pedagang-pedagang muslim yang berkedudukan di pesisir Laventine dan pesisir Afrika Utara. Perbaikan tidak hanya pada penyediaan fasilitas fisik saja namun fasilitas keamanan dan kenyamanan juga, sehingga mendukung kelancaran lalu lintas pedagang dan tentunya menambah pemasukan yang sangat besar bagi perbendaharaan negara (bait a-mal). Dengan banyaknya uang kas negara tentunya dapat meningkatkan bidang lainnya seperti perindustrian pertanian dan lain sebagainya.
a.    Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
b.    Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
c.    Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti: Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang, membangun armada-armada dagang untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.

4.    Peradilan
Keberadaan peradilan pada masa daulah Abbasiyah sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Umaiyah. Sebagaimana Umaiyah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat. Pemerintahan daerah yang didirikan itu antara lain bertugas mengelola secara administratif kawasan-kawasan yang baru ditaklukkan.
Para pemegang kekuasaan pemerintahan daerah itu disebut Amir. Pada awalnya, sistem pemerintahan ini bersifat sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang di wakili oleh wazir, pada awalnya kedua pemegang kekuasaan ini bertugas melakukan segala bidang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.  Namun, dalam perkembangan selanjutnya pada setiap bidang ditunjuk pejabat yang menanganinya. Dan Penunjukan ini dilakukan oleh khalifah. Salah satu dari pejabat daerah yang diangkat oleh khalifah adalah pejabat qadli atau hakim. Para Qadli tersebut dipilih diantara para fuqaha’ yang berpengaruh, dan mereka menerapkan hukum Islam bagi permasalahan sipil warga muslim dan diserahi tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan umat Islam kepada badan peradilan tersebut.
Terdapat beberapa hal yang tumbuh dalam perkembangan peradilan di periode Abbasiyah, antara lain:
a.    Munculnya mazhab-mazhab
Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umaiyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad ketujuh masehi yaitu Abu Hanifah (w. 767 M) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq dan mazhab ini telah melahirkan al-Auza’i (w.774 M) dan al-Zahiri (w.883 M). Kemudian Imam Malik bin Anas (w.795 M)  sebagai ulama mazhab Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqaha’ dengan karya monumentalnya al-Mutawattha’.  Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.820 M) yang muncul sebagai jalan tengah antara mazhab Irak yang liberal dan Mazhab Madinah yang konservatif dan mendominasi daerah Mesir. Selanjutnya lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.855 M) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya. Selain masalah peradilan, para ulama tersebut juga menjelaskan tentang aturan hukum yang mengatur seorang muslim dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, politik dan sosialnya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya, para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah.  Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara.

b.    Menjauhnya fuqaha’ dari jabatan hakim
Ada satu keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan mereka diwarnai dengan celupan agama. Karena itu mereka membimbing hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah.
Karena dasar itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim. Sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sangat sering merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang Muslim Iran yang pernah menjadi sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat Islam.
c.    Lahirnya istilah qadhil qudha
Istilah qadhil qudha pada masa sekarang ini dapat kita katakan sebagai menteri kehakiman. Qadhil qudhah ini berkedudukan di ibu kota negara. Dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Tokoh pertama yang mendapat gelar qadhil qudhah  adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan  al-Mahdi dan dua orang putranya al-Hadi dan Harun al-Rasyid.
Qadhil qudhah (Mahkamah agung) di Abbasiyah memiliki peran yang sangat sentral bagi qadhi-qadhi di daerah, hal ini dikarenakan mereka sangat dekat dengan para khalifah dan menjadi pimpinan para qadhi di seluruh negeri.pada masa ini qadhil qudhah juga mempunyai hak untuk mengangkat pejabat-pejabat peradilan yang memiliki kompetensi, baik yang berada di pusat maupun yang berada di daerah. Dan mereka juga diberi wewenang untuk memberhentikan pejabat bawahannya. Selain itu juga mereka mempunyai tugas meneliti tingkah laku qadhi bahkan sampai pada putusan-putusan yang diambil oleh para qadhi dalam mengambil fatwa dan putusan hukum.

5.    Hubungan Internasional
Di abad ke-9, Raja Harun Al-Rasyid sudah menjalin hubungan diplomasi dengan raja Frank, Raja Charlemagne. Mereka menjalin persekutuan ini memiliki maksud masing-masing. Charlemagne menjalin hubungan dengan Harun untuk menghadapi Bizantium. Hal ini dimanfaatkan Harun untuk menghadapi Umaiyah di Spanyol. Kedekatan hubungan ini ditandai dengan pertukaran duta besar dan hadiah berupa bahan pakaian gajah, dan rempah-rempah.
Berbeda dalam hubungan diplomasi, penguasa Abbasiyah dengan Bizantium berseteru dalam kurun waktu lebih dari satu abad lamanya. Di antaranya raja Al-Mahdi pertama yang mengumandangkan perang suci melawan Bizantium dan dilanjutkan oleh anaknya, Harun. Di bawah komando Harun lah pasukan Arab telah mencapai Bosporus yang menyebabkan Ratu Irene dipaksa menandatangani perjanjian memalukan dan  membayar upeti sebanyak 70-90 ribu dinar yang pada akhirnya pun perjanjian ini diingkari oleh penerus Ratu Irene, Nicephorus I.  Selain itu, Harun melancarkan penyerbuannya dari kota Raqqah dan perbatasan Suriah. Masa pemerintahan Harun inilah merupakan masa kegemilangan (keemasan) yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah. Hanya pada tahun 838M terjadi upaya penguasaan daerah di seberang Taurus yang dilancarkan oleh al-Mu’tashim dengan persenjataan yang lebih lengkap, berhasil mencapai pusat daratan Romawi.

D.    Kemajuan yang Dicapai Pada Masa Daulah Abbasiyah
1.    Bidang Ke Ilmuan dan Teknologi
Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid hidup banyak tokoh ilmuwan, yakni Qadi Abu Yusuf, keluarga Barmaki, Abu Atahiyah, seorang penyair, Ishak al-Mausuli, penyanyi, dan al-Asma’orang ahli riwayat. Ia menyukai syair, menghormati para ulama, menyantuni para nara pidana dengan memberinya pakaian untuk musim panas dan musim dingin yang dianggarkan dari dana Baitul Mal. Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan dunia kala itu.
Pada masanya hidup pula para filsuf, pujangga, ahli baca Al-Qur’an dan para ulama dibidang agama. Didirikan pula perpustakaan yang diberi nama  Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat membaca, menulis, dan berdiskusi. Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Al-Qur’an, qira’at, hadis, fiqh, Ilmu kalam, bahasa dan sastra.
Selain itu ada empat madzhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa dinasti Abbasiyah, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Disamping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia.
Pada masa khalifah Harun berkumpul pula para seniman di Bagdad, seperti Abu Nawas salah seorang penyair yang terkenal dan dihasilkan pula banyak karya seni sastra yang indah seperti Afi Lailah wa Lailah, “Seribu Satu Malam” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Arabian Night. Pelabuhan-pelabuhan Abbasiyah disinggahi oleh kapal-kapal dari seluruh penjuru dunia, seperti jung-jung dari Cina, yang membawa barang dagangannya (porselen, sutera, dan minyak kesturi), kapal-kapal dari India dan Nusantara yang membawa barang-barang tambang, rempah-rempah dan cat, sedangkan batu manikam, lazuardi dan budak datang dari Turki di Asia Tengah. Madu, lilin, kulit putih datang dari Skandavia dan Rusia, sementara itu gading, emas-bubuk dan budak kulit hitam datang dari Afrika Timur. Dari bandar-bandar itu diekspor barang-barang hasil industri, perhiasan, kaca-logam, mutiara-gelas dan rempah-rempah ke Timur Jauh, Afrika dan Eropa. Dan juga Industri kertas, sebagaimana yang dibuat oleh Cina, telah dapat diusahakan pada masa Harun al-Rasyid.
Kemudian dalam masa pemerintahan al-Makmun pengaruh Yunani sangat kuat. Diantara para penterjemah yang masyhur saat itu ialah Hunain ibn Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani ke bahasa Arab. Ia terjemahkan kitab Republik dan Plato, dan kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles. India juga mengihami perkembangan filsafat, kesusasteraan dan ilmu pasti dalam Islam. Al-Khawarizmi (wafat kira-kira 850 M) menyusun ringkasan astronomi berdasarkan ilmu Yunani dan India. Penulisan sejarah berkembang pula pada saat itu, di antara para penulis sejarah ialah Ibn Ishak, Ibn Hisyam dan at-Tabari, al-Maqrizi dan lain-lain. Ilmu bumi memudahkan perjalanan kaum Muslimin ke penjuru dunia, antara lain ke India, Srilangka dan Melayu.

2.    Bidang Ekonomi dan Perpajakan
Ekonomi Imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Barang-barang kebutuhan pokok dan mewah dari wilayah timur imperium diperdayangkan dengan barang-barang, hasil dari wilayah bagian barat. Di kerajaan ini, sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarqand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma dari Irak. Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan barat (termasuk wilayah yang kini bernama Mali dan Niger) melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara timur dan barat juga banyak membawa kekayaan. Bahsrah menjadi pelabuhan yang penting.
Selain itu salah satu sumber pemasukan negara yang menunjang keeksistensinya didapat dari pajak berupa zakat yang dibebankan atas tanah produktif, hewan ternak, emas dan perak, barang dagangan, dan harta lainnya yang bisa berkembang.


3.    Bidang Perdagangan, Industri dan Pertanian
Perdagangan dan industri
Sejak masa khalifah kedua Abasiyah, Al Mansyur, sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan maritim Arab dan Persia dengan India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulaiman At-Tajir dan para pedagang muslim lainya pada abad ke 3 H. Tulang punggung perdagangan ini adalah sutra, kontribusi orang Cina kepada dunia barat. Biasanya, jalur perdagangan yang disebut “jalan sutra”, menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina, sebuah wilayah yang kini tidak banyak dilalui dibanding wilayah-wilayah dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadaban.
Pada masa Abbasiyah, orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur barus, dan sutra. Dari kawasan asia yang lebih jauh, juga mengimpor gading, kayi eboni, dan budak kulit hitam dari afrika.

Perkembangan bidang pertanian
Bidang pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahnnya berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan negara dan pengolahan tanah hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli yang statusnya mengalami peningkatan pada masa rezim baru . lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa yang hancur diberbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap.

4.    Bidang Militer dan Pertahanan
Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan.
Pembentukan lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemberontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Dimana organisasi militer terdiri pengawal khalifah (haras), pasukan tetap (jund), pasukan sukarela (thawwi’ah), dan pasukan reguler yang terdiri dari pasukan infanteri (harbiyyah), pasukan pemanah (ramiyah), dan pasukan kavaleri (fursan). Semua pasukan ini didominasi oleh orang-orang Persia, bukan bangsa Arab.
Kemudian pada masa Al-Mansur membangun basis militer sebagai markas. Basis militer yang berada di perbatasan ini dikenal dengan Shawaif dan Syawati’. Tujuannya adalah untuk menjaga wilayah perbatasan.

E.    Perluasan Wilayah Pada Masa Daulah Abbasiyah
Pada masa Abbasiyah I usaha perluasan wilayah kekuasaan tidak banyak dilakukan karena difokuskan untuk melakukan pembinaan dan penataan terhadap wilayah-wilayah yang telah dikuasai, terutama pembinaan dalam sektor politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Mesir yang telah menjadi salah satu wilayah kekuasaan dan aktifitas dakwah Islam semenjak zaman Khulafaurrasyidin, dikembangkan menjadi basis dakwah untuk wilayah bekas jajahan kerajaan Romawi Timur di sekitar Laut Tengah.
Pada masa ini kota Baghdad, Basrah dan Kuffah merupakan pusat-pusat kegiatan dakwah dalam arti yang luas. Penguasa kekhalifaan Abbasiyah I adalah para pecinta ilmu dan sangat memuliakan ulama-ulama serta para pujangga. Para putera khalifah diberikan pendidikan khusus oleh ulama dan pujangga dengan harapan mendapat pengetahuan keagamaan yang luas dan kelak akan menjadi ulama dan pujangga.
Pada masa ini juga dilakukan pengembangan dakwah kedaerah-daerah India yang beragama Hindu yang pernah dilakukan pada masa sebelumnya. Dan pada masa khalifah Mansur, Hisyam bin Amru diangkat menjadi gubernur di Sind dengan tugas melanjutkan pengembangan dakwah ke daerah-daerah lain, sehingga pada masa ini wilayah dakwah Islam telah sampai di Kasymir. Sementara pada masa al-Mahdi (158-169 H/775-785 M) angakatan dakwah dan angakatan perang Islam melakukan kampanye besar ke daerah-daerah India lainnya. Dakwah Islam terus meluas ke India pada masa al-Makmun, sementara pada masa al-Muktasim, dakwa Islam terus berkembang di negeri-negeri yang terletak antara Kabul, Kasymir, dan Miltan.

F.    Kemunduran Daulah Abbasiyah
1.    Faktor Internal
a.    Persaingan antar Bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbasiyah yang lebih memilih bersekutu dengan orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Persekutuan itu dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah, yakni sama-sama tertindas. Sedangkan orang-orang Arab pada masa itu merupakan orang-orang yang dirasa sulit melupakan Bani Umayyah, karena merupakan warga kelas satu dan orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah.
Setelah khalifah Abbasiyah berdiri, Dinasti Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu, akan tetapi semakin lama orang-orang Persia merasa tidak puas dengan pemerintahan tersebut. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah yang pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit, kecuali Islam yang pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya disamping fanatisme kearaban muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah.
Penyebab adanya fanatisme kebangsaan ini adalah karena luasnya wilayah kekuasaan yang dimiliki dinasti Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan yang bersamaan dengan tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah. Hal ini tercermin karena sikap para khalifah Abbasiyah justru mendahulukan menjalankan sistem perbudakan baru, yakni budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara, dan merekapun diberi nasab dinasti serta mendapat gajian. Dan membiarkan berkembangnya fanatisme kebangsaan.

b.    Kemerosotan Ekonomi
Pada periode pertama, pemerintah Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khalifah memasuki zaman kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan  yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.



c.    Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Kesukuan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka memprogandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Konflik anatara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

2.    Faktor Eksternal
a.    Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
b.    Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.


III.    KESIMPULAN

Para khalifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 khalifah. Bani Abbasiyah mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada  4 aspek, yaitu:
1.    Aspek Khilafah
2.    Aspek Wizarah
3.     Aspek Kitabah
4.    Aspek Hijabah.
Sistem pemerintahan pada masa daulah Abbasiyah terbagi menjadi 4 periode, yaitu:
1.    Periode I tahun 132-232 H/750-847 M.
2.    Periode II tahun 232-334 H /847-945 M.
3.    Periode III tahun 334-447 H /945-1055 M.
4.    Periode IV tahun 447-590 H/1055-1194 M.

 Kemajuan yang Dicapai Pada Masa Daulah Abbasiyah dalam berbagai bidang, yaitu:
1.     Bidang Ke Ilmuan dan Teknologi
2.     Bidang Ekonomi dan Perpajakan
3.     Bidang Perdagangan, Industri dan Pertanian
4.     Bidang Militer dan Pertahanan

Penyebab Kemunduran Daulah Abbasiyah meliputi dua faktor, yakni:
1.    Faktor Internal
a.    Persaingan antar Bangsa
b.    Kemerosotan Ekonomi
c.    Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Kesukuan.
2.    Faktor Eksternal
a.     Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban
b.    Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.


IV.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Maka dari itu, kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan guna memperbaiki makalah ini selanjutnya.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003).
Cet. I
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2009)
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). Cet. II
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007). Cet. I
Mufrodi, Ali. Islam diKawasan Kebudayaan Arab. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Cet.I
Sunanto, Musrifah. Sejarah Islam Klasik. (Bogor: Kencana, 2003). Cet. I
Syaefudin, Machfud. Dinamika Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013). Cet. I
http://abdullatif16.blogspot.com/2012/12/kondisi-sosial-politik-dan-budaya-pada_8661.html
http://alleicya.blogspot.com/2010/12/perkembangan-hukum-dan-peradilan-pada.html
http://asadul-azzam.blogspot.com/2011/02/peradilan-pada-masa-dinasti-bani.html
http://adha-inspirasi.blogspot.com/2011/05/makalah-dinasti-abbasiyah.html
http://reynasusanty.blogspot.com/2012/11/dinasti-abbasiah.html
http://sejarah.kompasiana.com/2013/01/30/kekhalifaan-abbasiyah-minat-intelektual-dan-perkembangan-mazhab-hukum-530013.html

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar