Selasa, 25 Juni 2013

POLITIK ISLAM KONTEMPORER

I.    PENDAHULUAN
Islam dan politik, demikian dua kata ini tidak habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. Banyak dari para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), modern dan neo modern, yang mencoba memberikan sebuah penjelasan hubungan antara Islam dan politik, dengan beragam cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.
Diskursus agama dan politik, khususnya pengelolaan kekuasaan (religio-political power) sebenarnya telah berkembang sejak abad tengah. Smith membagi pemikiran agama dan politik tersebut secara dikotomis ke dalam tipologi religio-political power organic di satu pihak dan sekuler di lain pihak. Para eksponen perspektif organik, mengklaim perlunya penyatuan agama dan kekuasaa karena jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.
Sementara itu eksponen perspektif sekuler, cenderung mengklaim perlunya pemisahan antara agama dan kekuasaan, antara lain untuk tujuan menjaga ke “pari-purna”an agama.
Perkembangan pemikiran tersebut juga masuk dalam diskursus intelektual muslim kontemporer, sehingga kita kemudian mencatat eksponen intelektual muslim memilih menjadi penganut perspektif organik, dan ada pula yang memilih perspektif sekular. Oleh karena itu, tidak ada klaim tunggal atau hanya ada satu perspektif dalam Islam.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Pemikiran politik Islam Kontemporer?
B.    Bagaimana Pokok-pokok pemikiran para tokoh Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal, dan Abdul Wahab Kholaf?

III.    PEMBAHASAN
A.    Pemikiran politik Islam Kontemporer
Periode modern ditandai kolonialisme yang melanda negeri-negeri muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah penjajahan barat. Dunia islam tidak mampu bangkit dari kemunduraan yang berkepanjangan. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer:
1.    Kemunduran Islam  disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
2.    Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam yang berakhir dengan penjajahan.
3.    Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.
Kecenderungan yang seperti itu membuat sebagian pemikir ada yang mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini ada tiga kecenderungan  pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme.
Kelompok pertama memiliki pandangan  bahwa agama dan politik adalah menyatu dan tidak terpisahkan. Karena tugas negara adalah menegakkan sehingga negara Islam menjadi cita-cita bersama.karena itu syariat Islam menjadi hukum negara yang dipraktikkan oleh seluruh umat Islam.
            Kelompok ini diwakili oleh:
1.    Muhammad Rasyid Ridha, yang menulis Al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzhma dan tafsir Al-Manar.
2.    Hasan Al-Bana, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
3.    Abu al- A’la al-Maududi, yang menulis Al-Khilafah wal Mulk dan Islamic Law and Constitution.
4.    Sayyid Quthb, ideolog gerakan Ikhwanul Muslimin yang menulis Al’adalah al-ijtima’iyah fi al-islam.
5.    Imam Khomeini, pemimpin revolusi islam Iran 1979. 
Kelompok kedua berpendapat bahwa agama dan politik melakukan hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara untuk menegakkan syariat. sementara negara membutuhkan agama untuk mendapat legitimasi. Kelompok ini diwakili oleh:
1.    Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Mesir
2.    Muhammad Iqbal, bapak pendiri negeri Pakistan.
3.    Muhammad Haykal, yang menulis Al-Humumat al-Islamiyat.
4.    Fazlur Rahman, bapak pembaharu Pakistan yang mnulis Islam and Modernity.
Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya faktor alamiah dan histois dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu mendirikan negara Islam.
Kelompok ini diwakili oleh:
1.    Ali Abd al-Raziq, yang menulis Al-Islam wa Ushul al-Hukm.
2.    Thaha Husein yang menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr.
3.    Mustafa Kemal Attaturk, pendiri republic Turki Modern.
B.    Pokok-pokok pemikiran para tokoh Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal, dan Abdul Wahab Kholaf
1.    Ali Abdul Raziq dalam masalah Pemerintahan
Ali Abdul Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm menyebutkan bahwa seluruh apa yang dibawa oleh Rasulullah hanyalah semata-mata syariat keagamaan yang murni untuk Allah. Ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan masalah yang bersifat keduniaan sama sekali. Akan halnya masalah masyarakat, politik maupun pemerintahan. Semuanya itu adalah persoalan dunia. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad Saw. menurutnya hanya mengemban tugas dan misi rasul dan tidak membawa misi untuk membentuk negara.
Persoalan kemudian adalah apakah pendirian negara di Madinah oleh Nabi berikut pengawasannya yang dapat diartikan sebagai tugas pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas kerasulannya? Pertanyaan seperti ini dijawabnya dengan mengemukakan bahwa pemerintahan Nabi bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dan berada di luar dari misi yang diembannya. Pemerintahan yang pernah dibentuk oleh Nabi, kata Ali Abdul Raziq adalah urusan dunia yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya.  Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ali Abdul Raziq mengutip beberapa ayat Alquran, antara lain sebagai berikut:
     1.      Surat Ali Imran (3): 144, yang artinya, Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul yang kelak didahului oleh wafatnya rasul-rasul yang lain.
     2.      Surat al-Ghasyiah (88): 21, yang maksudnya, Rasulullah hanyalah bertugas menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia.
Di samping mengutip ayat-ayat Alquran, ia juga menggunakan argumen hadis nabi riwayat Muslim.(Hadis tersebut berbunyi:  انتم اعلم بأمور دنياكم  (Kamulah yang paling tahu tentang urusan duniamu) Dari ayat-ayat dan hadis, Ali Abdul Raziq memahami bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah kepada manusia dengan cara apa dan bagaimana mengaturnya.
Sehubungan dengan pikiran-pikiran Ali Abdul Raziq ini, kembali Dhiyauddin memberikan kritikan yang tajam. Menurutnya, Ali Abdul Raziq memulai pokok-pokok pikiran dan keyakinannya yang keliru, yakni suatu keyakinan atau motivasi yang sepenuhnya menafikan hakikat sistem, syariat dan tujuan Islam. Dengan demikian, maka Islam dipahami hanyalah seruan keagamaan belaka tanpa ada pelaksanaannya.  Argumentasi yang digunakan Ali Abdul Raziq adalah ayat-ayat Alquran periode Mekah, sedangkan pada periode ini kaum muslimin masih berada di bawah tekanan pemerintah kafir Quraisy, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan syariat dalam kehidupan nyata. Akan halnya periode sesudah itu, negara Islam sudah terbentuk dan syariat pun telah sempurna diturunkan, sehingga Rasulullah Saw. dan kaum muslimin dapat melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan Allah yang dibuktikan oleh sejarah.  Selanjutnya, Dhiyauddin mengutip beberapa ayat Alquran yang memerintahkan Rasulullah Saw. untuk merealisasikan risalahnya, seperti QS. al-Tahrim (66) : 9, QS. al-Anfal (8) : 57 dan QS. al-Maidah (5) : 58.
Pendirian penulis, kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Salah satu doktrin Alquran yang memperkuat doktrin ini adalah hablun min Allah wa hablun hablun min al-nas (QS. Ali Imran (3): 112), artinya hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia merupakan satu kesatuan. Untuk itu, masalah hubungan agama (Islam) dan negara harus  ditempatkan dalam konteks ini. Meskipun Alquran dan sunnah Rasul tidak menentukan bagaimana bentuk pemerintahan Islam, tetapi prinsip-prinsip umumnya sudah digariskan. Karena itu, manusia diberikan kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk pemerintahan apa yang paling baik bagi mereka.
Pemikiran Ali Abdul Raziq, tampaknya mendapat  kritikan keras dari kalangan ulama Mesir, khususnya al-Azhar. Tantangan dan protes keras itu terjadi dalam rapat Majelis  Ulama Besar al-Azhar pada tanggal 12 Agustus 1925, yang dihadiri sebanyak 24 orang ulama al-Azhar. Di sinilah diputuskan bahwa isi buku al-Islam wa Ushul al-Hukm telah bertolak keluar  dari seorang muslim, apalagi dari seorang ulama. Ali Abdul Raziq akhirnya dikeluarkan dari jajaran ulama al-Azhar.
2.    Muhammad Husain Haikal dalam masalah Pemerintahan
Husein Haikal termasuk dalam paham kelompok yang berpendapat bahwa Islam tidak menentukan sistem dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti oleh Umat. Kalaupun ingin mengetahui sistem pemerintahan Islam, menurut Haikal kita harus kembali kepada prinsip-prinsip utama yang telah ditetapkan dan yang dijadikan sebagai landasan kehidupan manusia. Manakala kita sudah mengetahui dan mencamkan prinsip-prinsip tersebut, tidak ada lagi keraguan bahwa sesungguhnya Islam dan demokrasi sinkron dalam semua hal yang esensial. Kita juga tidak meragukan bahwa sesungguhnya sistem mana saja yang tidak mengakui kebebasan individu, solidaritas sosial, dan pengambilan keputusan berdasrkan suara mayoritas adalah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Singkatnya, setiap sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan oleh Islam.
Haikal sendiri menyatakan sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan. model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan, persaudaraan dan persamaan bagi manusia- sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem-sistem demokrasi dalam pengertian sekarang.
1.Prinsip-prinsip Negara Islam Demokrasi
a) Prinsip persaudaraan
Dalam menetapkan prinsip ini, wawasan Islam luas sekali. Islam tidak memasang rintangan dan batasan apapun. Persaudaraan dalam Islam tidak hanya merupakan pemanis bibir atau sekadar basa-basi, melainkan suatu prinsip yang sangat esensial. Persaudaraan Islam juga suatu akidah yang harus ditumbuhkan dalam jiwa setiap muslim dan tercermin dalam tindakan manusia. Atau, kalau tidak, ia akan menjadi orang yang lemah imannya.
Sebenarnyalah, selama ini arti solidaritas manusia yang kita semua dambakan dan kita kampanyekan dengan sungguh-sungguh, sampai beberapa hal berikut ini terwujud. Yaitu, persaudaraan di antara sesama manusia dan di antara bangsa-bangsa. Sampai setiap individu dan setiap bangsa benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kewajiban persaudaraan menuntut seseorang merasa bahagia melihat saudaranya mendapat kebahagiaan yang sama seperti apa yang ia rasakan.
b) Persamaan Dalam Islam
Adapun persamaan dalam Islam merupakan contoh yang tertinggi yang patut diteladani. Bagi Islam, persamaan tidak hanya sebatas yang ditetapkan undang-undang, tetapi lebih dari itu juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Persamaan Islam sama sekali tidak memperhitungkan keterpautan rezeki, keterpautan ilmu, dan berbagai keterpautan lain yang bersifat duniawi.  Apabila kepercayaan terhadap konser persamaan di depan undang-undang adalah salah satu sendi demokrasi, apalagi kepercayaan terhadap konsep persamaan di hadapan Allah. Allah adalah sumber setiap hukum dan segala sesuatu, kekuatan satu-satunya yang menciptakan dan mengatur alam.
c) Kebebasan, Prinsip Islam Yang Termulia
Dewasa ini, kebebasan bisa berarti mempunyai hak dan boleh menggunakan sekehendak anda, asal Anda tidak merugikan dan tidak mengganggu kebebasan orang lain. Dalam kenyataannya, Islam memang memberikan kebebasan penuh kepada manusia, kecuali, tentu dalam hal-hal yang dikenai sanksi dan syara’nya.
Hanya saja, menurut Haikal bentuk kebebasan yang tersurat dan tersirat dalam semboyan Revolusi Perancis adalah yang terpenting, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Orang mungkin tidak percaya bahwa kebebasan ini juga telah ditetapkan dalam ajaran Islam, justru dalam bentuk dan makna yang lebih luas. Secara historis kebebasan ini lebih banyak dipraktekkan dalam dunia Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Pada masa-masa itu, tulis Haikal tidak dikenal adanya batasan bagi kebebasan berpikir, selama kebebasan berpikir itu tetap berada dalam jalur benar. Kita lihat misalnya bagaimana di kalangan kaum muslimin Ahli Sunnah terdiri dari empat madzhab. Seluruh kaum Muslimin menghormati keempat madzhab tersebut, kendati di antara mereka ada perbedaan dalam berpikir dan berpendapat. Madzhab-madzhab ini ditetapkan oleh para imam yang diakui kelebihannya oleh segenap kaum musllimin, dalam tingkat keimanan dan kedudukan mereka yang tinggi.
2.Implementasi Prinsip-Prinsip Negara Islam Demokrasi
a) Tasyri’ (Perbuatan Undang-undang) dan Hukum
Kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang merupakan semboyan demokrasi dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama Islam. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi dasar terciptanya solidaritas sosial dan bagi tegaknya sistem pemerintahan demokrasi atau pemerintahan Islam.
Prinsip-prinsip ini secara nyata menuntut suatu bangsa melakukan pengambilan keputusan melalui suatu lembaga perwakilan yang benar, perdebatan yang bebas dan menerima prinsip suara mayoritas. Dalam hal pengambilan keputusan ini gejala pertama yang tampak adalah tentang masalah tasyri’ (legislation) dan masalah hukum. Karenanya, seseorang, betapa tinggi kedudukannya, tidak berhak menetapkan sesuatu keputusan secara paksa. Atau menetapkan undang-undang suatu Negara yang tidak dikehendaki oleh kehendaknya yang bebas.
Hakim yang adil di Negara Islam selalu memiliki kekuasaan dan tidak memihak, seperti yang juga dimiliki oleh hakim adil di semua Negara demokrasi. Tak seorangpun dapat menguasai atau mendikte hakim semacam ini, yang kekuasaannya menjangkau seluruh masyarakat. Dan selama masyarakat dapat menerima keadilannya, sang hakim dibenarkan melakukan ijtihad kalau memang menemukan caranya.
b)Islam, dan Bentuk-bentuk Pemerintahan Demokrasi
Haikal menyatakan secara jelas, bahwa ada sementara orang yang mencoba menggambarkan Islam dengan cara yang berbeda. Dan untuk menopang pendapatnya, ia mengatakan bahwa sesungguhnya tasyri’ dan hukum Islam sangat terikat oleh al-Qur’an. Dan itu, katanya, merupakan kendala bagi perkembangan yang amat tidak disukai oleh sistem demokrasi.
Sebenarnya menurut Haikal apabila kita menyimak kembali pemerintahan islam dari era-era permulaan, tepatnya dari 1.400 tahun lebih yang lalu, kita akan menemukan bahwa prinsip utama demokrasi sebenarnya prinsip milik Islam. Boleh jadi bentuk sistem pemerintahannya berbeda dengan yang kita kenal sekarang, namun dan tujuan dan prinsipnya tetap sama. Kalau menengok kembali peristiwa pembai’atan Abu Bakar, Umar dan Utsman kita akan menemukan secara gamblang maknanya yang hakiki. Dimana para khalifah hanya memiliki kekuasaan eksekutif, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Boleh jadi kekuasaan eksekutif itu tidak memiliki lembaga pengawasa, yang memungkinkan mereka bertindak sebagai dictator tanpa harus mempertanggung jawabkannya kepada siapa pun. Atau harus mempertanggungjawabkannya, mereka diawasi oleh sebuah lembaga pengawasan seperti fungsi parlemen seperti di Negara-negara Eropa, atau lembaga legislative seperti di Amerika. Jika tindak-tanduk khalifah diawasi, apapun bentuknya, tak perlu diragukan lagi bahwa pemerintahan Islam itu juga menerapkan sistem demokrasi. Meskipun bentuknya tidak sama seperti yang kita kenal sekarang, namun prinsip dan dasarnya sungguh ideal.
c)Masa Jabatan Pemimpin Islam
Masa-masa pertama masa jabatan seorang pemimpin Islam tidak dibatasi seperti yang berlaku pada pemimpin republik sekarang. Yang jelas pemikiran kea rah itu belum dirasakan penting oleh orang-orang Islam terdahulu, lantaran adanya pertimbangan yang cukup penting. Kemudian mengenai kehidupan Internasional yang jelas, Islam tidak melalaikan hubungan dengan dunia internasional, yang telah dikenalnya sejak awal pertumbuhannya. Hubungan internasional ini dikenal ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Islam. Akan tetapi yang mengherankan sementara orang adalah seruan Islam menjalin hubungan dan kerjasama internasional. Inilah kemudian diwujudkan oleh Negara-negara demokrasi pada tahun 1919.
Salah satu prinsip penting yang ditetapkan oleh Islam adalah menghormati perjanjian dan tidak merusaknya. Prinsip ini sangat esensial dalam kehidupan internasional Islam. Begitu pentingnya, sampai kaum muslim terdahulu rela berkorban besar demi menghormati perjanjian. Bagaimana Islam dan demokrasi bertemu dalam segala hal yang mendasar. Dalam pembahasan terdahulu sudah ditegaskan, bahwa keduanya bertemu dalam prinsip-prinsip umum. Juga dalam asas legislative (tasyri’) dan hukum, dalam sistem pemerintahan, serta dalam aturan tentang hubungan internasional.
3.    Abdul Wahab Kholaf dalam masalah Pemerintahan
Abd al-Wahhab Khallaf seorang pakar hukum Islam pada fakultas hukum Universitas Kairo di Mesir, sejauh ini kita mengenal Prof. Abd al-Wahhab Khallaf sebagai ahli dalam bidang hukum Islam terutama kajian ushul al-Fiqh  (dasar-dasar hukum Islam) bukan yang lain. Akan tetapi, disanalah uniknya, ternyata Prof. Abd al-Wahhab Khallaf juga banyak mengamati persoalan hukum tata negara Islam dan aliran politik Islam. Hal itu dapat dilihat dalam bukunya berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyyah, beliau membahas dasar-dasar politik dan pemerintahan dalam perspektif Islam. Pembahasan beliau dalam buku tersebut banyak berkaitan dengan upaya pelaksanaan prinsip-prinsip syariat Islam dan kemaslahatan umat. Artinya, untuk melaksanakan dua aspek ini dari segi  siyasah  syar’iyah memerlukan adanya lembaga sebagai instrument pelaksanaannya, yaitu pemerintahan.
Menurut Khallaf, pembagian kekuasaan adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari pemerintahan konstitusional yang bersendikan musyawarah. Kewenangan kepala  negara berasal dari rakyat dan adanya pertanggung jawaban kepala  negara. Lebih lanjut Khallaf menegaskan bahwa kekuasaan  negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan membuat undang-undang (al-sulthat at-tasyri‟iyat), kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman (al-sulthat al-qadhaiyat), dan  kekuasaan melaksanakan undang-undang (al-sulthat al-tanfiziyat) masing-masing istilah dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan  legislatif, eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
Adapun sumber hukum bagi pemerintahan Islam terdiri dari hukum dasar Ilahi yang disyariatkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan yang ditetapkan oleh lisan Rasul-Nya. Sumber ketiga menurut Khallaf adalah hukum produk ijtihad penguasa (wulat al-amr) yang tidak bertentangan dengan hukum dasar untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat.


IV.    KESIMPULAN
Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer:
1.    Kemunduran Islam  disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
2.    Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam yang berakhir dengan penjajahan.
3.    Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.
Dalam periode ini ada tiga kecenderungan  pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme.
Kelompok pertama memiliki pandangan  bahwa agama dan politik adalah menyatu dan tidak terpisahkan, Kelompok kedua berpendapat bahwa agama dan politik melakukan hubungan timbal balik yang saling bergantung, Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan mendirikan negara.
Pemikiran para tokoh tentang politik islam kontemporer:
1.    Ali Abdul Raziq
Merupakan tokoh yang paling kontroversial, terutama dengan terbitnya buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang berisi tentang penolakannya terhadap adanya hubungan antara syariah Islam dengan negara. Tugas nabi Muhammad menurutnya hanya sebagai penyampai ajaran agama murni dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Lebih dari itu, Alquran dan hadis  dianggapnya tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang masalah khilafah dan negara.
Faktor-faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi munculannya ide kenegaraan Ali Abdul Raziq adalah: 1) Kondisi kerapuhan dan kemunduran umat Islam, 2) persentuhan dengan pendidikan Barat yang walau ditekuninya hanya setahun, tetapi memberi nuansa yang luas kepada pemikirannya, 3) pengaruh ide pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
2.    Muhammad Husain Haikal
Menurut Haikal sendiri menyatakan sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan. model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan, persaudaraan dan persamaan bagi manusia- sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem-sistem demokrasi dalam pengertian sekarang.
Ada beberapa prinsip dalam Negara islam demokrasi diantaranya yaitu:
•    Prinsip persaudaraan
•    persamaan dalam islam
•    kebebasan prinsip islam yang mulia
Salah satu prinsip penting yang ditetapkan oleh Islam adalah menghormati perjanjian dan tidak merusaknya. Prinsip ini sangat esensial dalam kehidupan internasional Islam. Bagaimana Islam dan demokrasi bertemu dalam segala hal yang mendasar dan bahwa keduanya bertemu dalam prinsip-prinsip umum. Juga dalam asas legislative (tasyri’) dan hukum, dalam sistem pemerintahan, serta dalam aturan tentang hubungan internasional.
3.    Abdul Wahab Khollaf
Menurut Khollaf kekuasaan  negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan membuat undang-undang (al-sulthat at-tasyri‟iyat), kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman (al-sulthat al-qadhaiyat), dan  kekuasaan melaksanakan undang-undang (al-sulthat al-tanfiziyat)  dapat disebut juga kekuasaan  legislatif, eksekutif dan yudikatif.

V.    PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami harap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, supaya pada penyusunan makalah di quarter selanjutnya bias lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi berbagai pihak Amin…




DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd. al-Azis. et. el. (editor). Ensiklopedi Islam. Jilid I. Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1996.
Al-Rais, Dhiyauddin. al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif  Muhammad  dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq. Bandung: Pustaka, 1985
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Surabaya: Risalah Gusti, 1995
Mulia, musdah, negara islam : pemikiran politik husain haikal , Jakarta: paradima, 2001
A.Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, cet.1 Yogyakarta: Jendela, 2003.
Haikal, Muhammad husain, al-hukamatul islamiyah, terj. Oleh tim pustaka firdaus, pustaka firdaus, Jakarta, Cet II, 1993.
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar