Rabu, 26 Juni 2013

TAKUT ITU WAJAR

Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu.

Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.


kisah-kisah inspirasi terbaik
Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.

”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”

Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan. Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.

Mahasuci Allah dengan segala tanda-tanda-Nya. Perkataan Rasulullah benar terbukti, sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Zaid bin Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:

Duhai dekatnya surga

Harum dan dingin minumannya

Orang Romawi telah dekat dengan azabnya

Mereka kafir dan jauh nasabnya

Jika bertemu, aku harus membunuhnya

Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan menemui syahidnya.

Ibnu Umar ra bersaksi, ”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian belakang.” Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan membuatnya terbang kemanapun dia suka.

Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa sendiri keberanian di dalam hatinya:

Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!

Kamu harus turun atau kamu akan dipaksa

Bila manusia bersemangat dan bersuara

Mengapa aku melihatmu enggan terhadap surga

Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:

Wahai jiwaku

Jika tidak terbunuh kamu juga pasti mati

Ini adalah takdir kan telah kau hadapi

Jika kamu bernasib seperti mereka berdua

Berarti kamu mendapat hidayah

Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan, risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu menghindar. Semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!

Takut, risau dan galau, sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan, kita seringkali merasakannya. Meski begitu, bukan pula alasan kita menghindar dari sesuatu yang harus kita taklukkan karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang. Kemudian kita mencari-cari alasan dengan menyebutnya dengan dalih strategi dan langkah pintar. Menunduk untuk menanduk, atau yang lainnya.

Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang Muslim adalah menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.

Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran, harus dilakukan, betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri. Meniru ulang apa yang dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat Allah yang Maha Tinggi?!” Wallahu a’lam bi shawab.

kisah dan foto diambil dari situs http://www.kisahinspirasi.com/2012/09/takut-itu-wajar.html

Selasa, 25 Juni 2013

PRINSIP-PRINSIP SIYASAH DALAM HIDUP BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA

I.    PENDAHULUAN
Dalam sejarah telah tertulis bahwa semenjak Rasulullah meninggal perselisihan terkait dengan kekuasaan politik atau yang disebut dengan persoalan al-Imamat. Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah, namun waktu itu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali kedalam lingkungan umat Islam.
Kenyataannya sejarah umat Islam dan perkembangan pemikiran mereka ternyata menghasilkan konsepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan pendekatan yang dipergunakan.
Penelitian terhadap kitab-kitab Tafsir Al-Quran menunjukkan adanya kecenderungan perkembangan pemikiran politik diantara paramusafir. Penggalian konsepsi diatas tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Islam di Indonesia.
Sistem perpolitikan Islam tidak sama antara satu Negara dengan Negara yang lain. Ada bentuk Negara yang menyatukan antara agama dan Negara, ada yang berdampingan adapula yang memisahkan antara keduanya.
 Oleh karena itu, kelompok kami akan memberikan penjelasan bagi kawan-kawan terkait prinsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an?
B.    Bagaimana dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits?
C.    Bagaimana istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh?
III.    PEMBAHASAN
A.    Dasar-dasar Siyasah dalam al-Qur’an
Fiqh lebih popular di definisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris Islam. Menurut abu al-Wafa Ibnu Aqil siyasah adalah suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, kendatipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya.
Setiap disiplin ilmu mempunyai sumber-sumber dalam pengkajiannya. Dari sumber-sumber ini disiplin ilmu tersebut dapat berkembang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Demikian juga dengan fiqh siyasah. Sebagai salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqh, fiqh siyasah mempunyai sumber-sumber yang dapat dirujuk dan dijadikan pegangan.  Al-Qur’an menjadi sumber rujukan utama dalam menentukan hukum dalam fiqh siyasah. Dasar–dasar fiqh siyasah dalam al-Qur’an adalah:
1.    Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an (Q.S. al-Mukminun: 52)

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.
   
2.    Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah. Al-qu’an mengisyaratkan bahwa umat Islam terkait keharusan menyelesaikan persoalan. (Q.S. asy-Syuro: 38)

Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka

3.    Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, sebagaimana tertuang dalam Q.S. an-Nisa: 58

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

4.    Kemestian  menaati Allah dan Rasulullah, dan ulil amri (pemegang kekuasaan). (Q.S. an-Nisa:59)

 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.

5.    Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S. al-Hujurat:9)

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!

6.    Kemestian mempertahankan kedaulatan negara, dan larangan melakukan agresi dan infasi (Q.S. al-Baqarah: 190)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu

7.    Kemestian mementigkan perdamaian dari pada permusuhan (Q.S al-Anfal: 61)

 Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.

8.    Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S. al-Anfal: 60)

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.

9.    Keharusan menepati janji (Q.S. an-Nahl:91)

 Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)

10.    Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat: 13)

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

11.    Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr: 7)

Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.

B.    Dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits
1.    Keharusan mengangkat pemimpin
عن ابى هر يرة قال النبى صلى الله عليه وسلم : اذا خرج ثلا ثة فى السفر فا ليؤ مرو ا احمدهم (رواه ابو داود)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin diantara mereka.”

2.    Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
عن عبد الله بن عمرو ان النبى صلى الله عليه وسلم قا ل : كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته ولا ما م على الناس راع وهو مسؤل عن رعيته والر جا ل راع على اهل بية وهو مسؤل عنهم (متفق عليه)
“Dari Ibnu Umar r.a., bersabda Nabi SAW, setiap kamu itu adalah pamimpin dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam yang menjadi pemimpin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggung jawab atas rumah tangganya”

3.    Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
عن عوف بن ما لك عن النبى صلى ا لله عليه وسلم قا ل : خيا ر ائمتكم الذين تحبو نهم ويحبو نكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرائر ائمتكم الذين تبغضو نهم ويبغونكم تلعنو نهم ويلعنو نكم (رواه مسلم)
“Dari Auf bin Malik, telah bersabda Rasulullah SAW, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.”
4.    Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai; tidak  hanya berfungsi sebagai alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : انما الا ما م جنة يقاتل من ورائه ويتقى به فا ذا امر بالتقو ى الله عز وجل وعد  كان له بذ لك اجر وان يامر بغيره كان عليه منه (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya pemimpin itu ibarat perisai yang dibaliknya digunakan berperang dan berlindung. Apabila pemimpin memerintah berdasarkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil, maka baginya ada pahala, apabila memerintah dengan dasar selain itu, maka dosanya akan dibalas.”

5.    Kemestian pemimpin untuk berlaku adil dan dengan itu kemuliaannya tidak hanya dihormati manusia dalam kehidupan dunia, tetapi juga dihormati Allah dalam kehidupan akhirat
عن ابى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : سبعة يظلهم ا لله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل (متفق عليه)
“Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, ada tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT, dibawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama adalah imam yang adil…”
C.    Istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama’ Fiqh
Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’. Kesepakatan-kesepakatan tersebut terangkum dalam pernyataan ibn al-Qayyim:
لاسياسةالاماوافقالشرع
Artinya: “Tidak ada siyasah kecuali yang sesuai dengan syara.”
Akan tetapi, kesepakatan terakhir bukan tanpa masalah. Masalahnya paling tidak, apakah kemestian penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan syara’, berarti harus sesuai dengan mantuq-nya syara’, atau berarti kewajiban penyelenggaraan semangat siyasah syar’iyyah atau berarti ke-mafhum-an syara’.
Dalam mengatasi masalah tersebut, jawaban yang paling layak tentu tidak mempertentangkan kedua alternatif kedua jawaban, tetapi menggabungkan kedua alternatif yang tersedia. Dengan demikian, jawabannya adalah menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah dengan dalil-dalil yang tersurat dalam syara’ secara manthuq suatu keharusan. Akan tetapi, jika keharusan tersebut tidak terpenuhi, bukan berarti tidak ada kemestian untuk menyesuaikan penyelenggaraan siyasah syar’iyyah sesuai dengan dalil-dalil yang tersirat dalam syara’ secara mafhum.
Bertolak dari pemahaman bahwa “dunia merupakan ladang bagi akhirat”, Al-Ghazali menyatakan bahwa, “agama tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama bersaudara kembar. Agama merupakan asal tujuan, sedangkan sulthan merupakan penjaga. Yang tidak berasal atau beragama akan hancur, dan tidak berpenjaga atau bersulthan akan hilang”. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menempatkan ilmu siyasah khalq sebagai alat. Sebagaimana dikatakannya, “tidak sempurna agama, kecuali dengan kehadiran siyasah khalq”.
Lebih lanjut, Al-Ghazali berpendapat bahwa seorang ahli hukum Islam (faqih) seharusnya berpengetahuan tentang siyasah, sebab menurutnya, ia tidak hanya berperan sebagai sulthan, tetapi juga pembimbing ke arah siyasah khalq. Pada gilirannya, Al-Ghazali pun berpendapat ilmu fiqh berarti pengetahuan tentang cara-cara perekayasaan dan pengendalian. Oleh karena itu, bagi Al-Ghazali, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. 
 “Arti pengetahuan siyasah dalam kehidupan umat Islam, yang tidak memisahkan agama dan negara. Terlihat dari adanya sejumlah ilmuan Muslim yang tertarik untuk membuat karangan khusus mengenai siyasah. Sebagian pengarang dan karangan yang tercatat hasanah kepustakaan fiqh siyasah.”
Menurut beberapa pendapat ulama dalam berbagai kitab yang dikarangnya tentang arti penting fiqh siyasah, adalah
1.    Ali Ibn Ismail al Tamar pengarang kitab Al Imamah dan Al Istihqaq
2.    Hisyam Bin Al Hakam, pengarang kitab Imamah dan Imamah al Imamah al Mahfudz
3.    Yaman Ibn Rahab, pengarang kitab Itsbat al Imamah Abu Bakar
4.    Abu Yusuf, pengarang Al-Kharaj
5.    Al Mawardi, pengarang kitab Al Ahkam Al Sulthaniyyah wa al Wilayah Al Diniyyah.
    Perhatian ulama terhadap persoalan fiqh siyasah tidak pernah terhenti. Pada paruh pertama dan kedua abad ke 20, dikenal beberapa penulis siyasah syariyyah, antara lain: Jamaluddin Al Afgani, Rasyid Ridho, Yusuf Musa, Abdul Karim Zaidan, Abu Al A’la Al Maududi, dll. Di Indonesia, dikenal pula nama-nama, seperti: T. M. Khasby Asshidiqi, H. M. Rosidi, Muhammad Nasir, Z. A. Ahmad, Munawir Sazali, dll.
Sekalipun jumhur ulama menerima kemestian pelaksanaan siyasah syariyyah, namun bukan berarti tidak ada ulama yang menolak keharusan tersebut. Sejak dahulu sampai sekarang, terdapat ulama yang tidak mau berbicara tentang siyasah, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu pembicaraan diluar bidang agama. Abu Bakar Al-Asham, dari golongan mu’tazilah dan sebagian golongan khawarij merupakan ulama-ulama yang berpandangan seperti itu. pada masa kini, pandangan demikian terwakili oleh Ali Abd Al Raziq pengarang kitab Al Islam Wa Ushul Al Hukm.
Menurut Ibn Khaldun, penyebab Abu Bakar Al Asham dan pengikutnya cenderung menghindari persoalan siyasah adalah sebagai upaya mereka untuk menghindarkan diri dari gaya hidup raja yang terlena oleh kemewahan duniawi, dan dalam pandangan mereka, hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut Abd al-Raziq ada tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara agama dan negara. Pertama, Paradigma sekularistik, Paradigma ini memberikan garis disparitas antara agama dan negara. Kedua, Paradigma integralistik, dalam perspektif ini, relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga, Paradigma simbiotik, Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbal-balik. Artinya, agama tidak harus diformalkan dalam institusi negara. 

IV.    SIMPULAN
1.    Dasar-dasar siyasah dalam al-Qur’an diantaranya:
A.    Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
B.    Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiah
C.    Kemestian menunaiakn amanat dan menetapkan hukum secara adil
D.    Kemestian menaatia Allah dan Rasulullah dan Ulil amri
E.    Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam
F.    Kemetian memepertahankan kedaulatan Negara, dan laranagn melakukan agresi dan infasi
G.    Kemestian mementingkan perdamaain dari pada permusuhan
H.    Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan
I.    Keharusan menepati janji
J.    Keharusan mengutamakan perdamamian bangsa-bangsa
K.    Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat
2.    Dasar-dasar as-Sunnah
A.    Keharusan mengangkat pemimpin
B.    Kekemstian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
C.    Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan antara pemimpin dengan pengikut
D.    Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai
E.    Kemestian premimpin untuk berlaku adil
3.    Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara’.





















DAFTAR PUSTAKA
Djazuli. 2009. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Jakarta .Kencana.
Iqbal, Muhammad. 2007. Fiqh Siyasah: Kontestualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta. Jaya Medi Pratama
Salim, Abdul Muin. 1994. Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Syarif, Mujar Ibnu. 2008. Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta. Erlangga
http://politik.kompasiana.com/2013/03/24/agama-dan-negara-tiga-aliran-besar-tentang-hubungan-islam-dan-politik-539750.html#  pada Senin, 27 Mei 2013 07.46

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

PERKEMBANGAN SIYASAH MASA KERAJAAN SAFAWI

I.    PENDAHULUAN
Membahas sejarah sebuah bangsa tidak akan dapat lepas dari bahasan tentang perkembangan politiknya. Karena dengan pengakuan politik sebuah bangsa atau peradapan dapat diakui keberadaanya. Perkembangan politik suatu bangsa juga menjadi faktor penentu kemajuan peradaban bangsa itu sendiri.
Dalam kebudayaan Islam, masyhur kita dengar tentang Dinasti Umayah, Abasiyah serta Fatimiyah. Selain kerajaan-kerajaan tersebut masih adalagi kerajaan Turki Usmani, Mongol dan Safawi. Tiga kerajaan yang berkembang pada abad pertengahan dan sangat mempunyai pengaruh pada peradaban Islam. Masing-masing dinasti pada masa tersebut mempunyai sejarah yang panjang dalam mencapai kejayaan. Dan dalam makalah ini akan dibahas tentang kerajaan Safawi yang berkuasa di Persia.
II.    PEMBAHASAN
A.    Sejarah Dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Safawi
Kerajaan Safawi berdiri ketika kerajaan Usmani mencapai puncak kejayaan. Secara tegas kerajaan ini menyatakan syiah sebagai mazhab Negara. Oleh karena itu kerajaan ini dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya Negara Iran dewasa ini. Sistem pergantian pemimpin pada kerajaan ini adalah turun temurun.
Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberinama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Turki Usmani. Nama safawiyah diambil dari nama pendirinya Safiudin (1252-1334 M) dan nama Safawi terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama ini terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan .
Safiuddin berasal dari keturunan orang yang mengambil sufi sebagai jalan hidup. Ia keturunan dari imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Safiuddin mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru yang sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. ia diambil menantu oleh sang guru karena ketekunannya dalam kehidupan tasawuf. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajarannya. Semula tarekat ini hanya bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan dan memerangi golongan ahli bid’ah. Pengaruh tarekat ini sangat luas bahkan dapat menyebar sampai seluruh wilayah Persia, Syiria dan Anatolia. Untuk mengatur pengikut tarekat safawi dilluar Ardabil, Safiuddin mengangkat muridnya menjadi wakil yang disebut dengan khalifah.
Ajaran Syiah tarekat Safawi dipegang secara fanatic oleh murid-murid Safiuddin hingga menimbulkan dorongan kuat bagi tarekat ini untuk berkuasa. Karena itu murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara-tentara yang teratur, fanatik dan, menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah.
Ketika tarekat ini berada dibawah pimpinan Junaid (1447-1460), ia mulai mengerahkan kegiatannya tidak hanya pada keagamaan saja akan tetapi mengarah kepada gerakan politik. Junaid mulai memperluas wilayahnya. Perluasan wilayah yang dilakukan Junaid ini mendapat tantangan dari penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik ini Junaid kalah dan berusaha untuk mencari suaka politik pada dinasti Ak Koyunlu yang juga menguasai sebagian wilayah Persia. Selama dalam pengasingan Junaid tinggal di istana Uzun Hasan raja Ak Koyunlu. Hubungan kedua kedua penguasa ini semakin akrab sejak junaid berhasil menikahi adik Uzun Hasan.
Pada tahun 1459 Junaid berusaha merebut kembali Ardabil akan tetapi gagal. Demikian juga usahanya untuk merebut Sircassia pada tahun 1460 juga mengalami kegagalan. Bahkan pada usahanya yang kedua ini Junaid berhasil di bunun oleh tentara Kara Koyunlu melalui Sirwan. Pada saat itu anak Junaid Haidar masih kecil dan dalam pengasuha Uzun Hasan. Baru pada tahun 1470 secara resmi Haidar memimpin gerakan Safawiyah. Dalam perkembangan selanjutnya Haidar mengawini anak Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari berhasil membawa dinasti Safawi pada puncak kejayaan.
Selama dalam pemimpinan Haidar ia memeberikan identitas pada tentara-tentaranya berupa surban berwarna merah dan berubai dua belas yang disebut qizilbash. Bersama tentaranya ini Haidar berhasil mengalahkan Kara Koyunlu (1476). Kemenengan yang berhasil diraih oleh Haidar ini justru menimbulkan situasi politik yang berbeda. Gerakan militer yang berada dibawah pimpinan Haidar ini dianggap sebagai rival politik oleh Ak Koyunlu. Pada saat Haidar dan tentaranya berusaha merebut Sircassia dan pasukan Marwan, Ak Koyunlu justru memberikan bantuan kepada Marwan sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh.
Setelah Haidar terbunuh kepemimpinan geraka Safawi berada dibawah anaknya Ali. Akan tetapi sebelum Ali dapat bergerak ia bersama dengan ibu dan saudaranya dipenjarakan di fars hingga dibebaskan oleh Rustam. Tahun 1494 Ali dibunuh oleh Rustam yang dulu pernah membebaskannya karena kekuatiran Rustam terhadap gerakan Safawi.
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada dibawah Ismail. Bersama Ismail, gerakan Safawi berhasil mengalahkan Ak Koyunlu di Sharur dan berhasil menduduki kota Tabriz. Dikota ini Ismail memproklamirkan diri sebagai raja pertama dinasti Safawi. Selama 23 tahun berkuasa (1501-1524) ia berhasil memperluas wilayahnya sampai keseluruh wilayah Persia dan sebagian wilayah Bulan Sabit Subur. Bahkan ia juga berusaha untuk mengembangkan sayapnya dengan berusaha menguasai Turki Usmani akan tetapi usahanya gagal. Kekalahan ini meruntuhkan kebanggaan Ismail I. sehingga diapun berubah menjadi orang yang suka hura-hura. Sepeninggalan Ismail I kerajaan safawi dalam keadaan lemah hingga raja yang keempat. Pertempuran dengan Turki Usmani sering terjadi pada decade tiga raja setelah ismail I yaitu tahmasp I, Ismail II dan, Muhammad Khudabanda.
Kondisi memprihatinkan dinasti safawi baru berakhir setelah raja kelima, Abbas I (1628 M) naik tahta. Untuk memulihkan kerajaan safawi Abbas I menempuh langkah damai yaitu pertama berusaha menghilangkan dominasi pasukan qizilbash dan menggantinya dengan pasukan baru. Berdamai dengan Turki Usmani meskipun harus merelakan sebagian wilayahnya. Dan berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam.
Usaha yang dilakukan Abbas ini membawa hasil. Perlahan pasukannya mulai kuat. Pada tahun 1598 M ia bersama merebut wilayah kekuasaanya kembali dengan menduduki Heart. Dari sini ia melanjutkan dengan menguasai Marw dan Balkh. Kemudian, pada tahun 1602 M pasukan Abbas menyerang Turki Usmani yang pada saat itu dibawah piminan sultan Muhammad III Fan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan, Baghdad. Dan tahun 1605-1606 M kota Nakhchivan, Erivan, Ganja dan Tiflis dapat ia kuasai. Selanjutnya tahun 1622 ia juga berhasil menduduki Hurmuz dan pelabuhan Gumrun serta mengubah Gumrun menjadi Bandar Abbas .
B.    Daftar Nama-nama Raja yang Menguasai Kerajaan Safawi

No               Nama Raja                          Masa Berkuasa
1    Safiuddin                            1252-1334
2    Sadar Addin Musa                            1334-1399
3    Khawaja Ali                            1399-1427
4    Ibrahim                            1427-1447
5    Junaed                            1447-1460
6    Ismail I                            1501-1524
7    Tahmasp I                            1524-1576
8    Muhammad Khudabanda                            1577-1787
9    Abbas I                            1588-1628
10    Safi Mirza                            1628-1242
11    Abbas II                            1642-1667
12    Sulaiman                            1667-1694
13    Husein                            1694-1722
14    Tahmasp II                            1722-1732
15    Abbas III                            1732-1736

C.    Dinamika Sosial dan Politik Kerajaan Safawi
1.    Kondisi Sosial dan Politik
Sistem pergantian pemimpin yang turun temurun. Sistem ini semakin menguatkan keberadaan kerajaan safawi apalagi didukung oleh figure pemimpin yang kuat. Abbas I adalah seorang pemimpin yang cakap dan dapat disejajarkan dengan dua raja besar yang semasa dengannya yaitu raja sulaiman dari turki usmani dan sultan akbar dari mughal india. Ia juga seorang pecinta pengetahuan, politikus ulung, dan mamiliki toleransi beragama yang tinggi.
Letak kerajaan Persia sangat stategis karena perada di jalur pertemuan timur dan barat. Setelah pelabuhan gumrun diubah menjadi Bandar Abbas, kemajuan kerajaan Persia semakin pesat karena kerajaan ini menguasai jalur perdagangan internasional. Dengan posisinya ini Persia menjadi Negara yang kaya raya. Dan dengan kekayaannya ini tentu saja memberikan sumbangsih besar pada kemajuan kerajaan Safawi.
Pada masanya, sering terjadi konflik pada luar kerajaan seperti konflik dengan kerajaan Turky Utsmani untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik dalam rakyat-rakyatnya mengenai mazdhab yang dianut. Bahkan konflik dalam kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan.
2.    Perundangan, Hukum, Administrasi Negara dan Peradilan
Dalam prakteknya, kerajaan Syafawi menggunakan pandangan Syi’ah sebagai acuan Negaranya. Selain hal tersebut di atas,pada abad 17 beberapa kalangan Ulama Syiah tidak lagi mau mengakui bahwa Safawiyah telah mewakili pemerintahan sang imam tersembunyi. pertama, Ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara turun temurun tersebut sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran islam Syi’ah. Kedua, selaras dengan keyakinan Syiah, bahkan semenjak masa keghaiban besar tahun 941 sang imam tersembunyi tidak lagi terwakili di muka bumi oleh Ulama.Selanjutnya Ulama menegaskan bahwasannya Mujtahid menduduki otoritas keagamaan yang tertinggi.
Kehancuran rezim ini juga di sebabkan sejumlah perubahan yang luar biasa dalam hal hubungan negara dan agama. Safawiyah semula merupakan sebuah gerakan, tetapi setelah berkuasa rezim ini justru menekan bentuk bentuk millenarian islam sufi seraya cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara. Safawiyah menjadikan Syiisme sebagai agama resmi Iran, dan mengeliminir pengikut sufi mereka sebagai mana yang dilakukanya terhadap ulama sunni .
3.    Hubungan Internasional
Hubungan internasional yang terjalin antara kerajaan safawi dengan Negara luar terutama Negara-negara yang menggunakan Persia sebagai jalur perdagangannya. Hubungan ini tentu saja memberikan dampak positif terhadap perkembangan kerajaan Safawi terutama stabilitas dan keamanan Negara .

D.    Kemajuan Dan Kemunduran Kerajaan Safawi
Dalam setiap kejadian pasti mempunyai suatu sebab, maka kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh kerajaan Safawi juga mempunyai sebab. Adakalanya sebab itu berasal dari dalam diri kita sendiri, ada juga yang berasal dari luar.
1.    Kemajuan
Masa kekuasaan Abbas merupakan puncak kejayaan kerajaan safawi. Berbagai kemajuan telah dicapai pada masa raja ini. Dalam bidang pengetahuan, kerajaan safawi adalah kerajaan yang telah berperadapan tinggi dan berjasa mengebangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan yang lahir dari tanah Persia ini diantaranya Sadar Addin Al-Syarazi seorang filosof serta Muhammad baqir ibnu Muhammad Damad seorang filosof, ahli sejarah, teolog dan orang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah.
Dari sektor perekonimian, pada masa Abbas I kerajaan safawi juga mengalami perkembangan seiring dengan stabilitas politik yang telah dicapai. Apalagi setelah menguasai kota Hurmuz dan pelabuhan gumrun dirubah menjadi Bandar Abbas, sektor perdagangan kerajaan safawi semakin menguat. Selain sektor perdagangan pertanian kerajaan safawi juga mengalami kemajuan terutama di daerah bulan sabit subur.
Dalam bidang pembangunan kerajaan ini berhasil menciptakan ibu kota yang indah. Di kota tersebut dibangun bangunan-bangunan yang besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, dan jembatan raksasa di atas Zande Rud dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman yang cantik. Ketika abbas meninggal di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Dibidang seni kemajuan nampak pada gaya arsitektur bangunannya seperti tampak pada masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M. Sedangkan seni lukis mulai dirintis sejak masa Tahmasp I .
2.    Kemunduran
a.    Faktor Internal
1)    Adanya figur pemimpin yang kurang cakap. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyebab kerajaan safawi berkembang pesat adalah kecakapan figure raja Abbas I. dan setelah peninggalannya tidak ada lagi pemimpin yang menyamai kecakapannya sehingga ketika terjadi pergolakan politik di kerajaan Safawi para pemimpin tersebut tidak dapat mengatasinya dengan baik.
2)    Melemahnya kekuatan militer. Pasukan ghulam yang pernah dibentuk abbas I sepeninggalannya tidak lagi sekuat ghulam generasi pertama. Hal ini menyebabkan kelemahan kerajaa Safawi pada sector pertahanan keamanan.
3)    Krisis moral penguasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa raja-raja pada kerajaan Islam banyak menmpunyai wanita piaraan atau harem. Agaknya hal ini juga terjadi pada kerajaan safawi. Raja-raja pengganti Abbas I juga banyak mempunyai wanita piaraan. Hal ini kentara sekali pada masa pemerinyahan Sulaiman. Bahkan dalam literature sejarah disebutka bahwa selama tujuh tahun raja Sulaiman tidak pernah melibatkan dirinya dalam mengurusi pemerintahan.

b.    Faktor Eksternal
1)    Konflik politik dengan kerajaan Turki Usmani. Permusuhan antara safawi dengan turki usmani yang pernah teredam sejak masa pemerintahan Ismail I ternyata tidak benar-benar redam. Perselisihan antara syiah dan sunni ini terus mencuat apalagi dengan melemahnya pemimpin pengganti Abbbas I .
2)    konflik agama. Pada masa pemerintahan Husain dia memerintah dengan lemah lembut. Akan tetapi kelembutannya ini digunakan oleh kaum syiah untuk memaksakan fahamnya kepada rakyat yang belum bermazhab syiah. Hal ini memotivasi rakyat Kandahar yang mayoritas bermazhab suni untuk mengkonsolidasikan kekuatannya dibawah komando Mir Mahmud Khan. Dan pada tahun 1722 M raja Husain berhasil digulingkan.
Untuk menanggulangi Mir Mahmud Khan raja Tahsamp, pengganti raja Husain beraliansi dengan Nadir Khan dari suku Afshar. Dan kemenangan ada di pihak Tahsamp II. Karena lemahnya raja ini Nadir Khan akhirnya memaksa Tahsamp II untuk turun tahta dan digantikan Abbas III yang masih sangat kecil. Empat tahun berikutnya Nadir Khan naik tahta menggantikan Abbas III. Denagn naiknya Nadir Khan menjadi raja maka berakhirlah masa kejayaan kerajaan Safawi .
Kerajaan Safawi mengalami kemajuan pesat pada masa kepemimpinan Abbas I. tetapi setelah raja ini wafat, kegemilangan kerajaan safawi juga ikut terkubur. Raja-raja yang menggantikannya tidak memiliki kecakapan yang sama dengan dia sehingga perlahan lahan kerajaan ini mengalami kemunduran hingga akhirnya benar-benar musnah.
E.    Analisis
1.    Daftar Nama-nama Raja dan Kemajuan Yang Dicapai

No    Nama Raja    Masa Berkuasa    Kemajuan Yang Telah Dicapai
1    Safiuddin    1252-1334    pendiri tarekat safawiyah
2    Sadar Addin Musa    1334-1399   
3    Khawaja Ali    1399-1427   
4    Ibrahim    1427-1447   
5    Junaed    1447-1460    •    membentuk pemerintahan sendiri
•    membawa tarekat safawi ke politik
6    Ismail I    1501-1524    •    memproklamirkan kerajaan safawi
•    menaklukkan ak koyunlu
•    menduduki Tabriz
•    memajukan bidang seni
7    Tahmasp I    1524-1576    •    mematahkan serangan turki usmani
•    pelukis berbakat
8    Muhammad Khudabanda    1577-1787   
9    Abbas I    1588-1628    •    membentuk tentara ghulam
•    menaklukan heart, marw, balkh, kepulauan hurmuz,
•    menjalin hubungan dengan turki
•    membuka jalur pedagangan melalui Bandar abbas
•    menjadikan Persia berperadaban tinggi
10    Safi Mirza    1628-1242   
11    Abbas II    1642-1667   
12    Sulaiman    1667-1694   
13    Husein    1694-1722   
14    Tahmasp II    1722-1732   
15    Abbas III    1732-1736   
Keterangan:
Raja-raja penguasa yang memimpin kerajaan Safawi setelah Abbas I adalah penguasa-penguasa yang lemah dalam kepemimpinannya. Mereka cenderung suka berfoya-foya dan hanya memikirkan diri sendiri, tidak memperdulikan umatnya. Maka, pemimpin-pemimpin inilah yang nantinya menjadikan runtuhnya kerajaan Safawi.

2.    Kritik akan Kemejuan dan Kemunduran Kerajaan Safawi
Kerajaan Persia dapat mencapai kejayaan karena memiliki figure pemimpin yang cakap. Abbas I dengan langkah-langkah diplomatis yang dia tempuh justru mengantarkan kerajaan ini menuju masa kejayaan. Pengorbanan yang dilakukan abbas I ketika mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani justru menjadi langkah bagi abbas I untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai Turki Usmani.
Namun demikian, Negara yang berkembang besar karena pengaruh pemimpinnya ini menjadi mundur bahkan akhirnya runtuh karena tidk ada lagi pemimpin pengganti yang secakap dirinya. Keterpurukan kerajaan Safawi juga diperparah karena perilaku pemimpinnya yang lebih mementingkan kesenangan pribadi dari pada kepentingan rakyatnya.
Lihatlah betapa pentingnya posisi pemimpin itu dalam suatu sistem pemerintahan. Jika pemimpin yang ada dalam pemerintahan itu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan baik, maka keadaan sistem pemerintahannya akan berjalan dengan baik pula. Layaknya seperti tubuh manusia yang mempunyai kepala sebagai pusat pengendali gerakan semua anggota tubuhnya. Jika satu saraf saja yang ada dalam kepala itu rusak, maka sistem pergerakan anggota yang lain juga tidak akan normal. Maka, jika kita mendapat kesempatan menjadi pemimpin jadilah pemimpin ya g benar dan amanah.
III.    KESIMPULAN
Kerajaan safawi adalah kerajaan yang menjadikan syiah sebagai mazhab Negara. Kerajaan Safawi ini berasal dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Turki Usmani. Nama safawiyah diambil dari nama pendirinya Safiudin (1252-1334 M).
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa Abbas I. figure pemimpin yang handal dan kecerdasan yang mumpuni membuat kerajaan Safawi mengalami kemajuan di bawah pemerintahannya. Salah satu prestasi besar kerajaan ini adalan dengan dikuasainya kepulauan Hurmuz dan dibukanya pelabuhan Bandar Abbas.
Kerajaan Persia runtuh ketika kerajaan ini diperintah oleh abbas III yang masih sangat belia. Kekuasaanya direbut secara sepihak oleh Nadir Khan dari suku Ashraf yang dulu pernah membantunya.
IV.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami tulis, kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini baik format penulisan maupun isi dalam makalah ini masih terdapat kekurangan untuk itu saran konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan tulisan ini. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA
Fuadi Imam, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta;Teras, 2012)
Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta;Prrenada Media Group, 2011)
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2003)
file:///C:/Users/User/Pictures/KERAJAANSAFAWIYAH.htm. diambil 21/05/13.









<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

PERKEMBANGAN SEJARAH FIQIH SIYASAH PADA MASA NABI dan SAHABAT

I.    Pendahuluan
Sebagaimana tersimak dari tulisan- tulisan sebelumnya, Fiqh siyasah syar’iyyah telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dalam mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial- budaya yang diridhai Allah SWT. Fakta serupa itu, terutama tampak setelah Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah.  Dan masa permulaan Islam sama dengan masa turunnya wahyu, yang antara lain, Pertama , periode di Makkah yang telah menerima wahyu yang pertama, dan Kedua , periode di Madinah telah menerima wahyu yang terakhir.
Dalam perjalanannya mengemban wahyu Allah, Nabi memerlukan suatu strategi yang berbeda di mana pada waktu di Makkah Nabi lebih menonjolkan dari segi tauhid dan perdalam akhlak tetapi ketika di Madinah Nabi banyak berkecimpung dalam pembinaan atau pendidikan sosial masyarakat karena di sana beliau diangkat sebagai Nabi sekaligus sebagai kepala Negara.
Persoalan yang dihadapi oleh Nabi ketika di Madinah jauh lebih komplek dibanding di Makkah. Di sini umat Islam sudah berkembang pesat dan harus hidup berdampingan dengan sesama pemeluk agama yang lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu pendidikan yang diberikan oleh Nabi juga mencangkup urusan- urusan muamalah atau tentang kehidupan bermasyarakat dan politik. 


II.    Sistem Pemerintahan dan Dinamika Sosial Politik
A.    Pada masa Nabi Muhammad
1.    Periode Nabi di Makkah
Muhammad lahir pada tanggal 20 April 571 M  atau 12 Rabi’ul awal bersamaan dengan tahun gajah dan wafat pada usia 63 tahun, tanggal 8 juni 633 M atau 12 Rabi’ul awal 11 H. Masa kenabiannya dimulai ketika berusia 40 tahun dan berlangsung sekitar 23 tahun.   Muhammad lahir dalam keadaan yatim, ayahnya, Abdullah meninggal dunia tiga bulan ketika Muhammad dalam kandungan ibunya. Ketika lahir Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyah. Dalam asuhannya, ia dibesarkan sampai umur empat tahun. Ketika berusia enam tahun, ibunya meninggal dunia, Abdul Mutholib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad, namun dua tahun kemudian Abdul Mutholib meninggal dunia karena renta. Setelah itu tanggung jawab merawat Muhammad beralih kepada pamannya Abu Tholib.
Dalam usia muda Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluargannya dan kambing penduduk Makkah. Pada usia 12 tahun, Muhammad menemani pamannya pergi berdagang ke Syiria. Kemudian pada usia 25 tahun, Muhammad berangkat ke Syiria juga dengan membawa dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda bernama Khadijah. Dalam perdagangan ini, Muhammad memperoleh laba yang besar dan kemudian Khadijah melamarnya. Maka Muhammad menikah pada usia 25 tahun, dan Khadijah berusia 40 tahun.
Menjelang usianya yang ke empat puluh, dia terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer letaknya dari Makkah. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611     M. Malaikat Jibril muncul dihadapannya, dengan menyampaikan wahyu yang pertama yaitu dalam Surat Al- Alaq ayat 1- 5.   Dengan wahyu yang pertama ini, maka beliau diangkat sebagai Nabi, utusan Allah. Pada saat itu, Nabi Muhammad belum diperintahkan untuk menyeru kepada umatnya, namun setelah turun wahyu yang kedua, yaitu surat Al- Muddatsir ayat 1- 7, Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul yang harus berdakwah.
Pada periode di Makkah, tiga tahun pertama, dakwah Islam dilakukan secara sembunyi- sembunyi. Nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwah Islam di lingkungan keluarga, mula- mula istri beliau sendiri, yaitu khadijah, yang menerima dakwah beliau, kemudian Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar sahabat beliau, lalu Zaid, bekas budak beliau.
Namun dakwah yang dilakukan oleh beliau tidak mudah karena mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy, hal tersebut timbul karena beberapa faktor, diantaranya adalah, Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya, para pemimpin Quraisy tidak percaya ataupun mengakui serta tidak menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di Akhirat, dan lain- lain. Banyak cara dan upaya yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad, namun selalu gagal, baik secara diplomatik dan bujuk rayu maupun tindakan- tindakan kekerasan secara fisik.
Karena di Makkah dakwah Nabi Muhammad mendapat rintangan dan tekanan, pada akhirnya Nabi memutuskan untuk berdakwah di luar Makkah. Namun, Thaif beliau dicaci dan dilempari batu sampai beliau terluka. Hal ni sampai membuat Nabi Muhammad putus asa, sehingga untuk menguatkan hati beliau, Allah mengutus dan mengisra’ dan memi’rajkan beliau pada tahun kesepuluh kenabian itu. Berita tentang Isra’ dan Mi’raj ini menggemparkan masyarakat Makkah.
Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam terjadi, yaitu dengan datanganya sejumlah penduduk Yasrib ( Madinah) untuk berhaji ke Makkah. Mereka terdidri dari dua suku yang saling bermusuhan yaitu, suku Aus dan suku Khazraj yang masuk Islam dalam tiga gelombang. Pada gelombang pertama pada tahun kesepuluh kenabian, mereka datang dan memeluk agama Islam dan menerapkan ajarannya sebagai upaya untuk mendamaikan permusuhan antara kedua suku. Gelombang kedua, pada tahun 12 kenabian mereka datang kembali menemui nabi dan mengadakan perjanjian yaitu, “ Aqabah Pertama’’ , yang berisi ikrar kesetiaan. Kemudian gelombang ketiga pada tahun ke- 13 kenabian, mereka datang kembali kepada Nabi untuk hijrah ke Yasrib. Dengan perjanjian yaitu “ Aqabah Kedua”. Demikian periode Makkah terjadi, dalam periode ini Nbi Muhammad mengalami hambatan dan kesulitan dalam dakwah Islamiyah. Dalam periode ini Nabi Muhammad belum terpikir untuk menyusun suatu masyarakat Islam yang teratur, karena perhatian Nabi lebih terfokus pada penanaman teologi atau keimanan masyarakat.
2.    Negara Madinah pada Masa Nabi
a.    Pembentukan Negara di Madinah
Keadaan Madinah sebelum datangnya Nabi Muhammad di sana sama halnya dengan keadaan di Makkah. Pelanggaran hukum merupakan keadaan sehari- hari. Suku- suku yang tinggal disana berperang satu sama lain. Tidak ada pemerintahan yang memaksakan hukum dan ketertiban. Nabi setelah datang kesana, menghapuskan semua perbedaan suku dan mengelompokan penduduk dengan satu nama umum, yaitu Anshar. Dia mulai melaksanakan hukum dan ketertiban, membuat, perdamaian, dan dengan begitu mengukuhkan itikad baik orang- orang Madinah. Sebelum kedatangan Nabi, Madinah terutama didiami oleh dua suku, yaitu suku Aus dan Khazraj.
Hijrah merupakan titik balik di dalam karier Nabi Muhammad. Suatu unsur yang baru dan berbeda mengubah rencana keagamaan Nabi. Disini dia memulai apa yang dapat disebut karier agama dan politik. Selama ini Islam merupakan suatu agama yang murni, tetapi setelah Nabi hijrah ke Madinah, Islam menjadi satu kesatuan agama- politik. Nabi mendirikan suatu persaudaraan Islam. Dia berhasil di dalam mendirikan suatu persekutuan, menggabungkan kaum kaya dan kaum miskin atas dasar yang sama. 
Oleh karena itulah Rasulullah bersama para sahabat melakukan hijrah ke Madinah, adapun sebab utama yang membuat Nabi hijrah ke Madinah adalah, yaitu
Pertama, perbedaan iklim di kedua kota itu mempercepat dilakukannya hijrah. Iklim di Madinah yang lembut dan watak rakyatnya yang tenang sangat mendorong penyebaran dan pengembangan agama Islam. Sebaliknya kota Makkah tidak mempunyai dua kemudahan itu.
Kedua, Nabi- nabi umumnya tidak dihormati di negara- negaranya sehingga Nabi Muhammad pun tidak diterima oleh kaumnya sendiri. Akan tetapi disukai sebagai Nabi Allah, oleh karena orang- orang Madinah dan dia sungguh diundangnya.
Ketiga, tantangan yang Nabi hadapi tidaklah sekeras di Makkah, golongan pendeta dan kaum ningrat Quraisy yang menganggap Islam bertentangan dengan kepentingan mereka, ini tentu berbeda dengan sikap penduduk Madinah terhadap Nabi. 
Negara Madinah dapat dikatakan sebagai negara dalam pengertiannya yang sesungguhnya karena telah memenuhi syarat- syarat pokok pendirian suatu negara yaitu, wilayah, rakyat, pemerintah, dan undang- undang dasar. 
b.    Piagam Madinah
Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan Yahudi  dan orang - orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan karena menyangkut peraturan dan tata tertib umum , otoritas mutlak di berikan pada beliau. Mengenai kapan penyusunan naskah piagam atau perjanjian tertulis itu dilakukan oleh Nabi tidak pasti, mengenai waktu dan tanggalnya. Apakah waktu pertama hijriyah atau sebelum waktu perang badar atau sesudahnya. Menurut Watt, para sejarah umumnya berpendapat bahwa piagam itu dibuat pada permulaan periode madinah tahun pertama hijriyah. 
Piagam konstitusinal Nabi di Madinah merupakan suatu monumen yang abadi dari kebijaksanaan politik dan kewarganegaraannya, sesuatu yang mengagumkan dari wawasan pikiran dan kebijaksanaannya. Piagam ini merupakan yang paling penting dilihat dari pandangan sejarah karena membuka suatu fase baru bagi revolusi Islam dengan menambahkan konstitusi politik  terhadap struktur agama Islam. 
Secara umum, piagam  Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah. Walaupun mereka heterogen kedudukannya sama, masing- masing memiliki kewajiban yang sama untuk membela madinah, tempat tinggal mereka. Dengan demikian, piagam Madinah menjadi alat Muhammad untuk menjadi pemimpin bukan saja bagi kaum muslimin ( muhajirin dan anshar ), tetapi seluruh penduduk madinah. Padahal, Ia belum pernah sekalipun memaklumatkan diri sebagai pemimpin. Secara strategis, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya. Piagam ini akhirnya batal karena pelanggaran dan pengkhianatan yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Mula-mula pelanggaran dilakukan oleh bani Qainuga pada tahun 3 H/ 624 M. Pada suatu hari seorang anggota bani Qainuga menganiaya seorang wanita muslimah dipasar. Ketika sorang muslim daag menolong wanita itu, ia malah dikeroyok oleh kawanana bani qainuga hingga tewas. Rasullulah lalu mengambil keputusan tegas, mengusir bani Qainuga dari madinah. Setahun kemudian, bani Nadzir bermaksud membunuh Rasulullah, namun gagal, Akhirnya bani Nadzirpun diusir.
Pengkhianatan terakhir dilakukan bani Quraizhah yang bersengkongkol dengan bani Nadzir. Dalam perang Khandaq, bani Quraizhah berhasil mengepung kaum muslimin selama 20 hari. Tetapi karena tibul perpecahan diantara kaum Yahudi, usaha mereka gagal dan bani Quraizhah pun diusir. Kejadian ini dengan jelas menunjukkan bahwa pengusiran baru dilakukan apabila kaum Yahudi melakukan pengkhianatan. 
Isi piagam Madinah adalah sebuah shahifah ( piagam) dari Muhammad Rasulullah ( yang mengatur hubungan) antara mukmin Quraiys dan Yatsrib ( Madinah) dan orang – orang yang mengikuti bergabung, dan berjuang ( jahadu) bersama- sama dengan mereka. Adapun isi dari piagam tersebut adalah berjumlah 47 yang tertera dalam referensi “ Fatah Syukur”.  Dari piagam 47 butir piagam Madinah menurut penomoran Schact jelas terlihat beberapa asas yang dianut:
a.    Asas kebebasan beragama
b.    Asas persamaan
c.    Asas kebersamaan
d.    Asas keadilan
e.    Asas perdamaian yang berkeadilan
f.    Asas musyawarah
B.    Pada Masa Khuafa’ur Rasyidin
1.    Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq
Abu bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At- Tamimi. Dijuluki Abu Bakar karena dari pagi- pagi betul memeluk Islam. Gelar Ash- Shidiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan Nabi dalam bernagai peristiwa terutama Isra’ Mi’raj.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai macam masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi dan Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk bersatu mau melanjutkan tugas membangun mulya Nabi. Abu Bakar menyadari bahwa kekuatan kepemimpinan bertumpu pada komunitas yang bersatu. Yang pertama menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksana. Yaitu mengirim eksepedisi ke perbatasan Syirian dibawah pimpinan Usamah untuk membalas pembunuhan Ayahnya Zaid dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mut’ah
Prioritas lain yang terlaksana oleh pemerintahan Abu Bakar adalah hilangnya beberapa orang Arab dari ikatan Islam yang lebih dikenal dalam Islam adalah “ Riddah” mereka melepas kesetiaan dengan tidak memberikan baiat kepada khalifah yang baru dan juga mereka menganggap bahwa perjanjian – perjanjian yang dibuat oleh Nabi dengan sendirinya batal dan disebabkan oleh kematian Nabi.
Salah satu jasa terbesar dalam pemerintahan Abu Bakar adalah pengumulan ayat- ayat Al- Qur’an yang pada waktu itu masih berserakan dan belum dibubukan dalam satu mushaf. Pada waktu itu banyak penghafal Al- Qur’an yang gugur dan meninggal dalam peperangan Riddah sehingga dikawatirkan penghafal Al- Qur’an semakin habis. Oleh karena itu Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan- tulisan Al- Qur’an menjadi satu.
Sesudah Rasulullah wafat, pengendalian dan pengarahan kaum Muslimin dipegang oleh sahabat Abu Bakara. Pasa masa ini timbul persoalan-persoalan yang tidak timbul dimasa Nabi. Oleh karena itu, terdapat beberapa pemecahan masalah yang diambil Abu bakar, dalam hal ini dapat dipandang sebagai fakta siyasah. Adanya kelompok masyarakat yang enggan mengeluarkan zakat, karena zakat hanya wajib dikeluarkan pada waktu Rasul masih hidup  yang telah dijelaskan dalam QS. At- Taubath ayat 103.
Mereka beralasan bahwa bentiuk perintah pada ayat ini ditujukan hanya pada Rasul sehingga setelah Rasul wafat tidak ada kewajiban zakat. selain itu doa yang membawa ketentraman jiwa adalah doa Rasullulah, bukan doa orang selain Rasul. Kebijakan Abu bakar menentang hal ini tidak hanya karena tafsirannya tetapi juga keengganan kelompok tertentu untuk mengeluarkan zakat dapat membahayakan keutuhan umat mempreteli sendi-sendi pokok ajaran Islam. 
2.    Khalifah Umar bin Khattab
Umar bin Khatab nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al- Quraisy dari suku Adi, salah satu yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Makkah empat tahun sebelum kelahiran Nabi. Ia ialah seorang yang berbudi luhur , fasih dan adil serta pemberani. Ia juga dipercaya oleh suku bangsa Quraiys untuk berunding dan dan mewakilinya jika ada persoalan dengan suku- suku lain. Dengan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi serta menjadi tangan kanan khalifah yang baru itu. Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar telah menunujuk Umar bin Khattab menjadi penerusnya.
Umar bin Khattab menyebut dirinya “ Khalifah Khalifati Rasulullah ” ( pengganti- pengganti Rasululah ). Ia juga mendapat gelar Amir Al- Mukuminin ( komandan orang- orang beriman) sehubungan dengan penaklukan- penaklukan yang berlansung pada masa pemerintahannya. 
Pemerintahan Umar telah memiliki peran dalam sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol  karena perluasan wilayahnya. Setelah penaklukan Irak, Iran, Siria, Palestina, dan Mesir di dalam waktu yang singkat, yaitu selama sepuluh tahun kekhalifahannya, negara Islam yang masih bayi itu berubah menjadi suatu kekaisaran yang besar dan kekuatan yang paling besar di dunia pada waktu itu. Akan tetapi, kekhalifahan Umar tidak kurang pula mencoloknya dalam pembaharuan – pembaharuan pemerintahannya.
Umar bin Khatab merupakan khalifah yang banyak sekali memberikan contoh-contoh siyasah, diantaranya penerapan bea-impor, dan pada masa itu berlaku atas dasar keseimbangan, hal ini, seimbang dengan bea-impor yang dikenakan Negara-negara non muslim kepada pedagang-pedagang non muslim. Dalam menjawab Nabi Musa, Gubernur menanyakan tentang bea masuk impor yang harus dikenakan terhadap pedagang non muslim, umar menyatakan : “ Ambilllah oleh mu bea impor sebagaimana mereka mengambil bea impor untuk pedangan muslim.”
Umar bin Khatab yang pertama kali menunjuk seorang hakim untuk mengadili perkara-perkara dibidang harta kekayaan. Dengan demikian sejarah Islam mulai mengenal pembagian kekuasaan, meski terbatas pada lembaga eksekutif dan yudikatif.
Dalam bidang munakhahat, umar menetapkan peraturan bahwa menjatuhkan talak tiga kali bermakna hukum menjatuhkan hukum talak tiga. Hal ini disebabkan banyak kaum muslimin menjatuhkan talaq tiga secara tergesa-gesa. Dengan keputusan kaum muslimin diharapkan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus, karena konsekuensinya sangat berat yaitu jatuh ketiga talaknya.
3.    Khalifah Ustman bin Affan
Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan ibn Abdil Ahs ibn Umayyah dari pihak Quraiys. Ia memluk Islam lantaran ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah satu seorang sahabat dekat Nabi SAW. Melalui persaingan yang ketat dengan Ali, tim formatur yang dibentuk oleh Umar ibn Khattab akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Utsman bin Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman al- Khulafa’ur Rasyidin yaitu 12 tahun.
Separuh pertama pada pemerintahan Ustman, beliau melanjutkan sukses pendahuluannya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Separuh pemerintahan Ustman bin Affan yang kedua muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam sediri. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhdap kepemimpinan Ustman adalah kebijakasanaanya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Jadi, dengan tidak tegasnya Ustman dalam pemerintahannya akhirnya tidak mampu membebaskan diri sepenuhnya dari pengaruh keluarga Umayyah yang mengintari dirinya. Dalam literatur politik pada masa pemerintahan Ustman tidak terealisasi dengan baik. Dalam sejarah, Ustman sering dikatakan sebagai khalifah yang nepotisme. Pada masa pemerintahan Utsman, wilayah kekuasan Islam sudah bertambah luas. Oleh karena itu, Ustman perlu mengangkat orang- orang yang dapat dipercaya dan setia terhadap pemerintah pusat. 
Utsman bin Affan berusaha merapkan siyasah syar’iah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi selama masa pemerintahannya. Contohnya adalah mempersatukan umat islam melalui penyalinan Al-Qur’an pada satu mushaf,  yaitu mushaf Ustmani.  Khalifah hanya melarang menggunakan salinan Al-Qur’an atau mushaf lain demi keselamatan umat. Ustman bin Affan merupakan khalifah pertama yang menentukan lokasi khusus untuk siding pengadilan, karena pada masa sebelumnya proses peradilan dilakukan dimasjid T.M Hasybi As-shidiqy yang menjelaskan kebijakan khalifah Ustman tentang status milik unta yang lepas. 
4.    Khalifah Ali bin Abi Thalib
Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. Ia adalah sepupu Nabi yang telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Makkah, demi untuk membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. 
Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita- cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Ustman kepada kepada kerabat dekatnya menjadi pemilik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat.
Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik sedang bergejolak tentu saja situasi demikian tidak memungkinkan khalifah untuk mengupayakan pengaturan dan pengarahan kehidupan umat secara leluasa pada masa ini, terjadi peperangan antar muslim. Sekalipun khalifah telah berusaha mempersatukan umat, namun situasi politik semakin memburuk. Konflik berdarah yang dikenal dengan perang siffin dan perang jamal pun pecah.
Ali bin Abi Thalib terpaksa berperang meskipun ia senantiasa berkeinginan untuk ishlah dengan sesama muslim. Oleh karena itu sebelum melakukan perang jamal Ali mengirim surat perdamaian dan ia pun menjawab surat-surat dari muawiyah tidak kurang dari empat kali. Meskipun kepemimpinannnya dihadapkan pada situasi politik yang rawan, namun bukan berarti bahwa Ali tidak membuat kebijakan, yang termasuk kategori fikih siyasah antara lain : urusan korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan bersenjata, dan urusan administrasi peradilan.
III.    Kemajuan yang Dicapai pada Masa Nabi Muhammad dan Khulafa’ur Rasyidin
A.    Kemajuan yang Dicapai pada Masa Nabi Muhammad SAW
Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Muhammad terjadi pada saat usianya 35 tahun. Waktu itu bangunan ka’bah rusak berat, perbaikan ka’bah dilakukan secara bergotong royong para penduduk Makkah membantu secara suka rela. Tetapi pada saat terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkanya hajar aswad ditempatnya semula timbul perselisihan. Perselisihan semakin muncak, namun pada akhirnya para pemimpin quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk masjid esok hari, dialah yang berhak meletakkan hajar aswad. Dengan peristiwa itu, dapat diketahui bahwa perjuangan Muhammad dalam menyelesaikan sebuah perselisihan yang terjadi pada kaum Quraisy. Sehingga Muhammad dipercaya menjadi hakim dan diberi gelar “ al- Amin”.
Al- Qur’an merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada umat. Tugas Muhammad disamping mengajarkan tauhid juga mengajarkan Al- Qur’an kepada umatnya agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya yang selanjutnya akan menjadi warisan secara turun temurun dan menjadi pegangan dan pedoman hidup bagi kaum Muslimin sepanjang zaman.
Rasulullah bersabda, ” Aku tinggalkan dua perkara, apabila kamu berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan tersesat, yaitu Al- Qur’an dan sunnah”. Semua yang disampaikan Rasulullah kepada umatnya adalah berdasarkan Al- Qur’an. Bahkan dikatakan dalam sebuah hadits, bahwa akhlak Rasul adalah Al- Qur’an. Apa yang dicontohkan oleh Rasul adalah cermin isi Al- Qur’an. Sehingga kalau umat Islam mau berpegang teguh kepada Al- Qur’an dan hadits  Nabi, maka dijamin mereka tidak akan tersesat.
B.    Kemajuan yang Dicapai pada  Masa Khulafa’ur Rasyidin
Keempat khalifah yanhg menggantikan Nabi di dalam kepemimpinan umat Islam dikenal sebagai khulafa’ur rasyidin atau khalifah- khalifah yang shaleh. Masa khalifah- khalifah yang shaleh merupakan zaman yang paling gemilang di dalam sejarah Islam. Pada zaman ini cita- cita dan ajaran Nabi diteruskan sebagai suatu kekuatan yang hidup, dan khalifah- khalifah mengikuti tradisi dari Sang Guru Agung di dalam cita- cita dan kebijaksanaan.
Meskipun hanya berlangsung 30 tahun, masa replubik Islam itu merupakan masa yang paling penting di dalam sejarah. Ia menyelamatkan Islam, mengonsolidasikannya dan meletakkan dasar bagi keagungan umat Islam. Khalifah rasyidin yang pertama, Abu Bakar menyelamatkan umat Islam dari perpecahan karena karena soal penggantian kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Dia juga menyelamatkan Islam dari bahaya besar orang- oarang murtad dan nabi- nabi palsu, dan mempertahankan keyakinan akan agama yang benar di Arabia. Kahlifah Rasyidin yang kedua, Umar, mengonsolidasikan Islam di Arabia, mengubah anak- anak padang pasir yang liar menjadi bangsa pejuang yang berdisiplin dan mengahancurkan Kekaisaran Persia dan Bizantum, membangun suatu imperium yang sangat kuat. Pemerintahan khalifah rasyidin yang ketiga, Usmant, menyaksikan ekspansi imperium Arab yang lebih jauh di Asia Tengah dan Tripoli. Pemerintahan yang terbentuknya angkatan laut. Pemerintahan khalifah rasyidin yang keempat, Ali, digunakan untuk mengatasi kekacauan di dalam negeri.
Masa kekuasaan khulafa’ur Rasyidin yang dimuali sejak Abu Bakar Ash- Shidiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam yang berhasil dalam mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad yang telah meletakkan dasar agama Islam di Arab, setelah beliau wafat, gagasan dan ide- idenya diteruskan oleh para Khulafa’ur Rasyidin.
Ekspansi ke negeri – negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenaangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat.
Pada masa kekuasaan Khulafa’ur Rasyidin, banyak kemajuan peradaban yang telah dicapai. Diantaranya adalah munculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Diantara gerakan pemikiran yang menonjol pada masa khulafa’ur rasyidin adalah sebagai berikut:
a.    Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al- Karim dan mengumpulkannya dalam bentuk mushaf pada masa Abu Bakar
b.    Memberlakukan mushaf standar pada masa Ustman bin Affan
c.    Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan menerangi kebodohan berilasan para penduduk negeri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa Utsman dikirim ke berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Al- Qur’an dan A- Sunnah kepada banyak penduduk begeri yang sudah dibuka.
d.    Sebagian orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke- 19 banyak yang mempelajari fenomena futuhat al- Islamiyah dan menafsirkannya dengan motif bendawi. Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah perang dengan motif ekonomi, yaitu mencari dan mengeruk kekayaan negeri yang ditundukan.
e.    Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i maupun panglima. Tidak dikenal orang yang berprofesi khusus sebagai da’i. Para khalifah adalah pengusaha, imam shalat, mengadili orang yang berselisih, da’i, dan juga panglima perang.
Disamping itu dalam hal peradaban juga terbentuk organisasi negara atau lembaga- lembaga yang dimiliki pemerintahan kaum muslimin sebagai pendukung kemaslahatan kaum muslimin. Organisasi negara tersebut telah dibina lebih sempurna, telah dijasikan sebagai suatu nizham yang mempunyai alat- alat perlengkapan dan lembaga- lembaga menurut ukuran zamannya telah cukup baik.
Oraganisasi- organisasi atau lembaga- lembaga negara yang ada pada khulafa’ur rasyidin, diantarannya adalah:
a.    Lembaga Politik
Termasuk dalam politik khilafah ( jabatan kepala Negara), wizarah ( kementrian negara), dan kitabah ( sekertaris Negara)
b.    Lembaga Tata Usaha Negara
Termasuk dalam urusan lembaga tata usaha negara, Idaratul Aqalim ( spengelolaan pemerintah negara), dan diwan ( pengurus departemen) seperti diwan kharaj ( kantor urusan keuangan), diwan rasail ( kantor urusan arsip), diwanul barid ( kantor urusan pos), diwan syurthah ( kantor urusan kepolisian) dan departemen lainnya.
c.    Lembaga Keuangan Negara
Termasuk dalam lembaga keuangan negara adalah urusan – urusan keuangan dalam masalah ketentaraan, baik angkatan perang maupun angkatan laut, serta perlengkapan dan persenjataannya.
d.    Lembaga Kehakiman Negara
Termasuk dalam lembaga kehakiman negara, urusan- urusan mengenai Qadhi ( pengadilan Negeri), Madhalim ( pengadilan banding), dan Hisbah ( pengadilan perkara yang bersifat lurus dan terkadang juga perkara pidana yang memerlukan pengurusan segera).
IV.    ANALISIS
Tabel Khalifah dan Kemajuannya ( ada di lampiran berikutnya)
V.    PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.


























DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2009)
Djazuli, H.A., Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu- rambu Syariah, ( Jakarta Prenata Media Grup, 2009)
Fuadi,Imam, Sejarah Peradaban Islam, ( Yogyakarta: Teras, 2011)
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam , ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Mahmudunnaris, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)
Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip- prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996)
Syukur NC, Fatah, Sejarah  Peradaban  Islam, (Semarang: Pustaka  Rizki  Putra,  2010)
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996)








<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>

RUANG LINGKUP FIQH SIYASAH

I.    PENDAHULUAN
Islam sebagai agama telah menyediakan berbagai kerangka normatif dan implementatif untuk dijadikan sebagai pedoman umat manusia dalam berperilaku di muka bumi. Islam tidak memberikan kerangka itu dalam bentuknya yang paling detail, melainkan memberikan panduan nilai-nilai dan kerangka aplikasi sesuai dengan problem yang dihadapi umat manusia. Dengan demikian, Islam tampil sebagai agama yang mampu menjawab segala tantangan zaman.   
Menurut teori yang dikemukakan J.J. Rousseau (1712-1778 M), bahwa secara natural law, setiap individu-individu melalui perjanjian bersama antara mereka membentuk sebuah masyarakat (social contract). Dengan terbentuknya sebuah masyarakat ini, maka secara otomatis pula, terbentuklah sebuah pemerintahan yang dapat mengatur dan memimpin masyarakat tersebut.
Dikatakan pula, bahwa hukum Islam itu adalah sebuah hukum yang sangat menyeluruh, dalam arti hukum Islam dapat mencakup segala aspek kehidupan manusia. Padahal, di satu sisi, hukum Islam terlihat secara lahirnya hanya dikaitkan dengan hukum dogmanitas yang seolah-olah bersifat vertikal, bukan horizontal. Ternyata pandangan ini salah. Karena terbukti hukum Islam secara langsung mengatur urusan duniawi manusia, sama ada yang muslim maupun yang bukan muslim.
Maka dari sinilah perlunya sebuah disiplin ilmu di dalam hukum Islam yang dapat mengatur konsep pemerintahan. Karena pemerintahan sangat diperlukan di dalam mengatur kehidupan manusia. Disiplin ilmu tersebut adalah fiqh siyâsah.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Fiqh Siyasah?
B.    Bagaimana Obyek dan Metode Pembahasan Fiqh Siyasah?
C.    Apa Saja Bidang-bidang Fiqh Siyasah?
D.    Bagaimana Pengembangan Fiqh Siyasah di Era Modern?
III.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fiqh Siyasah
Istilah fiqh siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni fiqh dan siyasah. Secara etimologis, fiqh merupakan bentuk mashdar dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan (tertentu).
Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih populer didefinisikan sebagai berikut: Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.
Adapun Al siyasah berasal dari kata سا س يسوس سياسة yang berarti mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Secara terminologis, sebagaimana dikemukakan Ahmad Fathi Bahatsi, siyasah adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.
Definisi lain ialah Ibn Qayyim dalam Ibn ‘Aqil menyatakan:
"Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah tidak menentukannya" 
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqh siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
Prinsipnya definisi-definisi tersebut mengandung persamaan. Siyasah berkaitan dengan mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkanya dari kemudaratan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siyasah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur, 2. Pihak yang diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:
“Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat”.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyasah berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyasah (siyasah syar’iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlah). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. Definisi politik adalah: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik.
Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.


B.    Obyek dan Metode Pembahasan Fiqh Siyasah
Objek kajian fiqh siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga negara, hubungan antar warga negara dengan lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubungan yang bersifat ekstern antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan. Dari pemahaman seperti itu, tampak bahwa kajian siyasah memusatkan perhatian pada aspek pengaturan. Penekanan demikian terlihat dari penjelasan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy:
“Objek kajian siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan penadbirannya, dengan mengingat persesuaian penadbiran itu dengan jiwa  syariah, yang kita tidak peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nash-nash yang merupakan syariah ‘amah yang tetap”.
Hal yang sama ditemukan pula pada pernyataan Abul Wahhab Khallaf:
“Objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi  kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya”.
Secara garis besar maka objeknya menjadi, pertama, peraturan dan perundang-undangan, kedua, pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan, dan ketiga, hubungan antar penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.
Metode yang digunakan dalam membahas Fiqh Siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam membahas Fiqh lain, dalam Fiqh Siyasah juga menggunakan Ilm Ushul Fiqh dan Qowaid fiqh.


Secara umum, metode yang digunakan adalah:
1.    Al-Ijma’
Al-Ijma’ merupakan kesepakatan (konsensus) para fuqaha (ahli fiqh) dalam satu kasus. Misalnya pada masa khalifah Umar ra. Dalam mengatur pemerintahannya Umar ra melakukan musyawarah maupun koordinasi dengan para tokoh pada saat itu. Hal-hal baru seperti membuat peradilan pidana-perdata, menggaji tentara, administrasi negara dll, disepakati oleh sahabat-sahabat besar saat itu. Bahkan Umar ra mengintruksikan untuk shalat tarawih jama’ah 20 raka’at di masjid, merupakan keberaniannya yang tidak diprotes oleh sahabat lain. Hal ini dapat disebut ijma’ sukuti.
2.    Al-Qiyas
Dalam fiqh siyasah, qiyas digunakan untuk mencari umum al-ma'na atau Ilat hukum. Dengan qiyas, masalah dapat diterapkan dalam masalah lain pada masa dan tempat berbeda jika masalah-masalah yang disebutkan terakhir mempunyai ilat hukum yang sama.
Dalam hal qiyas berlaku kaidah :
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُوْ مَعَ عِلَتِهِ وُجُوْدًا وَعَدْمًصا
"hukum berputar bersama ilatnya, ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya ilat hukum tersebut"
3.    Al-Mashlahah al-Mursalah
Al-mashlahah artinya mencari kepentingan hidup manusia
dan mursalah adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash Al-Qur'an dan As-Sunah yang menguatkan atau membatalkan. Al-mashlahah al-mursalah adalah pertimbangan penetapan menuju maslahah yang
harus didasarkan dan tidak bisa tidak dengan استقراء  (hasil
penelitian yang cermat dan akurat).
4.    Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah.
Sadd al-Dzari'ah adalah upaya pengendalian masyarakat menghindari kemafsadatan dan Fath al-Dzari’ah adalah upaya perekayasaan masyarakat mencapai kemaslahatan.
Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah adalah "alat" dan bukan "tujuan", contohnya ialah pelaksanaan jam malam, larangan membawa senjata dan peraturan kependidikan. Pengendalian dan perekayasaan berdasar sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah dapat diubah atau dikuatkan sesuai situasi.
Dalam hal Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah berlaku kaidah :
للوسا ئل حكم المقاصد
"Hukum 'alat’ sama dengan hukum ‘tujuan’nya".
5.    Al-‘Adah
Kata Al-‘Adah disebut juga Urf. Al-‘Adah terdiri dua macam, yaitu : al-‘adah ash sholihah yaitu adat yang tidak menyalahi syara’
dan al-‘adah al-fasidah yaitu adat yang bertentangan syara’.
Dalam hal Al-‘adah berlaku kaidah :
العادة محكمة
"Adat bisa menjadi hukum"
6.    Al-Istihsan
Al-Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus kepada ketetapan dalam umum. Dengan kata lain berpindah menuju dalil yang lebih kuat atau membandingkan dalil dengan dalil lain dalam menetapkan hukum.
Contoh : menurut sunnah tanah wakaf tidak boleh dialihkan kepemilikannya dengan dijual atau diwariskan, tapi jika tanah ini tidak difungsikan sesuai tujuan wakaf, ini berarti mubazir. Al-Qur'an melarang perbuatan mubazir, untuk kasus ini maka diterapkan istihsan untuk mengefektifkan tanah tersebut sesuai tujuan wakaf.
7.    Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah
Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah adalah sebagai teori ulama yang banyak digunakan untuk melihat ketetapan pelaksanaan fiqh siyasah. Kaidah-kaidah itu bersifat umum. Oleh karena itu, dalam penggunaannya, perlu memerhatikan kekecualian-kekecualian dan syarat-syarat tertentu.
Kaidah-kaidah yang sering digunakan dalam fiqh siyasah, antara lain:
الحكم يدورو مع علته وجودا وعدما
“hukum berputar bersama ilatnya, ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya ilat hukum tersebut”.
تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمنكة والأحول والعواعد والنيات
“Hukum berubah sejalan dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan dan niat”.
دفع المفاسد وجلب المصالح
 “Menolak kemafsadatan dan meraih kemaslahatan”.

C.    Bidang-bidang Fiqh Siyasah
Berkenaan dengan luasnya objek kajian fiqih siyasah, maka dalam tahap perkembangan fiqh siyasah ini, dikenal beberapa pembidangan fiqh siyasah. Tidak jarang pembidangan yang diajukan ahli yang satu berbeda dengan pembidangan yang diajukan oleh ahli lain. Hasbi Ash Siddieqy, sebagai contoh, membaginya ke dalam delapan bidang, yaitu;
1.    Siyasah Dusturriyah Syar’iyyah
2.    Siyasah Tasyri’iyyah Syar’iyyah
3.    Siyasah Qadha’iyyah  Syar’iyyah
4.     Siyasah Maliyah Syar’iyyah
5.    Siyasah Idariyah Syar’iyyah
6.    Siyasah Kharijiyah Syar’iyyah/Siyasah Dawliyah
7.    Siyasah Tanfiziyyah Syar’iyyah
8.    Siyasah Harbiyyah Syar’iyyah
Contoh lain dari pembidangan fiqh siyasah terlihat dari kurikulum fakultas syari’ah, yang membagi fiqh siyasah ke dalam empat bidang, yaitu:
1.    Fiqh Dustury
2.    Fiqh Maliy
3.    Fiqh Dawly
4.    Fiqh Harbiy
Pembidangan-pembidangan di atas tidak selayaknya dipandang sebagai “pembidangan yang telah selesai”. Pembidangan fiqh siyasah telah, sedang dan akan berubah sesuai dengan pola hubungan antarmanusia serta bidang kehidupan manusia yang membutuhkan pengaturan siyasah.
Dalam fiqh tersebut, berkenaan dengan pola hubungan antarmanusia yang menuntut pengaturan siyasah, dibedakan:
1.    Fiqh siyasah dusturiyyah, yang mengatur hubungan antara warga negara dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara yang lain dalam batas-batas administratif suatu negara. Jadi, permasalahan di dalam fiqh siyasah dusturiyyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakat. Maka ruang lingkup pembahsannya sangat luas. Oleh karena itu, di dalam fiqh siyasah dusturiyyah biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya. Contoh Negara yang menganut siyasah dusturiyyah yaitu Negara Indonesia, Ira’ dan lain-lain. Misalnya: Membayar pajak tepat waktu, pembuatan identitas kewarga negaraan seperti pembuatan KTP, SIM, dan AKTA Kelahiran.
2.    Fiqh siyasah dawliyyah, Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash. Fiqh yang mengatur antara warga negara dengan lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara dari negara lain. Contoh Negara yang menganut siyasah dauliyah yaitu Negara Iran, Malaysia, dan Pakistan. Meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam. misalnya. Misalnya: NATO PBB.
3.    Fiqh siyasah maliyyah, fiqh yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara. Maka, dalam fiqh siyasah ada hubungan di antara tiga faktor, yaitu: rakyat, harta, dan pemerintah atau kekuasaan. Dalm suatu kalangan rakyat, ada dua kelompok besar dalam suatu negara yang harus bekerja sama dan saling membantu antar orang-orang kaya dan miskin. Fiqh siyasah ini, membicarakan bagaimana cara-cara kebijakan yang harus diambil untuk mengharmonisasikan dua kelompok tersebut, agar kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak semakin lebar. Adapun Negara yang menganut fiqih maliyyah adalah Semua Negara. Contohnya: RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Negara). 

D.    Pengembangan Fiqh Siyasah di Era Modern
Dunia Islam setelah tiga kerajaan besar Islam mundur; kerajaan Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia (1700-1800 M), tidak mampu menandingi keunggulan Barat dalam bidang tehnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi.
Menghadapi penestrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat, sebagian pemikir Islam: a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju utuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan Khulafa al-Rasyidin. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang sampai dengan sekarang.
Pada periode modern, para pemikir islam bangkit dari kemunduran yang melanda di negeri-negeri muslim, hampir seluruh dunia islam berada di bawah penjajahan Barat. Maka sebagian para pemikiran islam modern atau kontemporer mempunyai suatu kecenderungan untuk mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian islam, hal-hal seperti itu dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, dan sekularisme.
Kelompok pertama memiliki bahwa agama dan politik adalah menyatu, tak terpisahkan. Dalam pandangan kelompok ini negara tidak bisa dipisahkan dari agama, karena tugas negara adalah menegakkan agama sehingga negara islam atau khilafah islamiyah menjadi cita-cita bersama. Karena itulah syariat islam menjadi hukum negara yang dipraktikan untuk seluruh umat islam. Kelompok  pertama ini diwakili oleh:  Muhammad Rasyid Ridha (1869-1935 M), Hasan bin Ahmad bin Abdurrohman Al-Banna atau dikenal Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1966 M), dan Imam Khomeini (1900-1989 M).
Dari sejumlah pemikir yang memiliki pandangan integralistik ini menunjukkan bahwa islam tidak bisa dipisahkan dengan negara yang ditunjukkan oleh mereka dalam aktivitas politiknya dalam bentuk partai politik islam yang bertujuan untuk merebut negara dari penguasa sekuler.
Budaya-budaya fiqih siyasah pada era modern adanya perkembangan mengenai gagasan-gagasan politik dan kebudayaan yang tidak terlepas dari pengaruh sekularisme ke tengah-tengah umat manusia. contohnya bidang tekhnologi, ilmu pengatahuan, ekonomi dan organisasi. Timbulnya budaya-budaya tersebut, semakin lemahnya dunia Islam di bawah penjajahan bengsa Barat. Hampir seluruh Negara Muslim berada di bawah imperialisme dan colonialisme.
Kelompk kedua memiliki pandangan bahwa agama dengan politik melakukan simbolis atau hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara untuk menegakkan aturan-aturan syariat. Sementara negara membutuhkan negara untuk mendapatkan legitimasi. Para pemikir tersebut menunjukkan garis pemikiran politik yang moderat dengan tidak mengabaikan pentingnya negara terhadap agama. Dan kelompok ini diwakili oleh; Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Iqbal (1873-1938 M), Muhammad Husan Haikal (1888-1945 M), Fazlur Rahman (1919-1988 M).
Kelompok ketiga, para pemikir memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan untuk mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya faktor alamiah dan historis dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu umat Islam mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiah. Dan kelompok ini diwakili oleh: Ali Abd al-Raziq (1888-1966 M), Thaha Husein (1889-1973 M), Mustafa Kemal Atturk (1881-1938 M).







IV.    ANALISIS
Fiqh siyasah adalah sebuah disiplin ilmu yang isinya adalah membahas hukum-hukum pemerintahan dan konsep menjalankan pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam dengan tujuan memberi kemaslahatan bagi rakyatnya.
Adapun ruang lingkup fiqh siyasah secara keseluruhan dan secara umum, dapat dikelompokan kepada tiga (3) kelompok: 1. Siyasah dusturiyyah, 2. Siyasah dauliyyah, 3. Siyasah maliyyah.
Pertama, Siyasah Dusturiyah (peraturan perundang-undangan) meliputi pengkajian hukum (tasyrifiyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (qadhaiyah) oleh lembaga yudikatif dan administrasi pemerintah (idariyah) oleh lembaga eksekutif. Adapun Contohnya yaitu: membayar pajak tepat waktu, pembuatan identitas kewarga negaraan seperti pembuatan KTP, SIM, dan AKTA Kelahiran.
Kedua, Siyasah dauliyyah (kedaulatan, kerajaan, kekuasaan, wewenang). Meliputi kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial, nasionalitas ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing dengan tujuan untuk mengatur antara warga negara dengan lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara dari negara lain. Adapun Negara yang menganut siyasah dauliyyah ini yaitu Negara Iran, Malaysia, dan Pakistan. Contohnya: NATO PBB.
Ketiga, Siyasah Maliyah (ekonomi/moneter) ternasuk dalma siyasah maliyah ialah sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak publik, pajak dan perbankan. Adapun Negara yang menganut fiqih maliyyah adalah Semua Negara, contohnya: RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Negara).
Melihat definisi serta luasnya pembahasan ruang lingkup fiqh siyasah, sebaiknya kajian fiqh siyasah ini benar-benar didalami secara mendalam di dalam kelas fiqh siyasah ini karena sangat penting bagi kemajuan pemikiran mahasiswa.
Pembelajaran fiqh siyasah tidak hanya mengacu pada teks-teks fiqh siyasah, akan tetapi juga dapat dirujuk pada kitab-kitab furu’ lainnya. Hendaknya, organisasi gerakan mahasiswa, study group, dan dosen-dosen mulai mewarnai sistem pemikiran politiknya berlandaskan fiqh siyasah, karena selama ini, ideologi yang dipakai hanya bersifat nasionalisme semata, tanpa ada semangat Islami. 

V.    KESIMPULAN
Secara terminologis, fiqh adalah Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan siyasah (menurut Ibn al-Qayyim dalam Ibn ‘aqil) adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah tidak menentukannya.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqh siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
Objek kajian fiqh siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga negara, hubungan antar warga negara dengan lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubungan yang bersifat ekstern antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan.
Metode-metode fiqh siyasah, yaitu: ijma’, al-Qiyas, al-mashlahah al-mursalah, sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah, al-‘adah, al-istihsan, serta kaidah-kaidah fiqhiyyah.
Adapun bidang-bidang fiqh siyasah, antara lain: Fiqh siyasah dusturiyyah, fiqh siyasah dawliyyah dan fiqh siyasah maliyyah.
Pada periode modern, para pemikir islam bangkit dari kemunduran yang melanda di negeri-negeri muslim, hampir seluruh dunia islam berada di bawah penjajahan Barat. Maka sebagian para pemikiran islam modern atau kontemporer mempunyai suatu kecenderungan untuk mencoba meniru barat, ada juga yang menolak barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian islam, hal-hal seperti itu dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, dan sekularisme.

VI.    PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.















DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A., Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2009, Cet. 4
Salim, Abdul Mu’in, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, Cet. 1
Syarif, Mujar Ibnu, dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008
http//blogfiqh.blogspot.com/2010/kuliah-fiqh-siyasah-politik-islam.html
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br /></div>